Produk Domestik Regional Bruto PDRB Sektoral

137 digunakan data Nasional. Kontribusi nilai Produk Domestik Bruto PDB tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 menurut skala usaha, tercatat skala usaha mikro sebesar 32.95 persen, usaha kecil 10.83 persen, dan usaha menengah 14.62 persen, dan sisanya sebesar 41.60 persen adalah kontribusi dari usaha besar Kemenkop dan UKM, 2009. Berdasarkan data tahun 2007 Kemenkop dan UKM, 2007, porsi atau kontribusi usaha mikro terhadap PDB, tercatat sebesar 32.95 persen, dengan kontribusi sektor pertanian menempati urutan paling tinggi sebesar 38.00 persen, dikuti sektor perdagangan 29.50 persen, sektor industri pengolahan 9.67 persen, sektor jasa-jasa 10.07 persen, dan sektor-sektor lainnya 12.76 persen. Ini juga mengindikasikan pula bahwa PDB sektor pertanian masih cukup dominan di bentuk oleh usaha mikro, hal ini merupakan kelebihan sekaligus juga kelemahan karena usaha mikro masih menumpuk di sektor pertanian yang umumnya usaha mikro tersebut belum mampu mengakses perbankan dengan baik atau belum bankable . Sedangkan dari kontribusi usaha kecil terhadap PDB sebesar 10.83 persen, dengan kontribusi sektor pertanian sebesar 0.28 persen, sektor perdagangan memiliki kontribusi paling tinggi 49.30 persen, sektor industri pengolahan 21.00 persen, sektor jasa-jasa 10.85 persen, dan sektor-sektor lainnya 18.57 persen. Ini menunjukkan bahwa PDB sektor perdagangan cukup dominan di bentuk oleh usaha kecil, hal ini menunjukkan kelebihan sektor perdagangan karena umumnya usaha kecil ini telah mampu mengakses sumber kredit dari perbankan atau telah bankabl e. 138 Sementara dari porsi usaha menengah terhadap PDB sebesar 14.62 persen, dengan kontribusi sektor pertanian sebesar 8.60 persen, sektor perdagangan 15.22 persen, sektor industri pengolahan manufacturing memiliki kontribusi paling tinggi 23.60 persen, sektor jasa-jasa 4.40 persen, dan sektor-sektor lainnya 48.18 persen. Ini menunjukkan bahwa PDB sektor industri pengolahan cukup dominan di bentuk oleh usaha menengah. Pada sisi lain, hal ini menunjukkan kelemahan karena sektor industri pengolahan yang seharusnya menjadi batu loncatan untuk “naik kelas” dari usaha mikro ke usaha kecil ternyata masih di dominasi oleh usaha menengah, sehingga usaha mikro dan kecil akan cenderung masih tertahan di sektor primer terutama di pertanian. Secara ringkas dapat dicatat hal yang menarik, 1 untuk skala usaha mikro kontribusi sektoral terhadap PDB relatif di dominasi sektor pertanian dan sektor perdagangan, 2 untuk skala usaha kecil kontribusi sektoral terhadap PDB di dominasi sektor perdagangan, dan sektor industri pengolahan, tetapi dsangat timpang di sektor pertanian, dan 3 untuk skala usaha menengah kontribusi sektoral terhadap PDB di dominasi sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan. 139

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan disajikan hasil analisis dan pembahasan terhadap penelitian yang telah dilakukan dengan menyajikan keragaan model ekonomi usaha kecil dan keragaan keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah.

6.1. Keragaan Model Ekonomi Usaha Kecil

Analisis terhadap model ekonomi usaha kecil akan melihat keragaan dari sejumlah analisis parsial, meliputi keragaan permintaan kredit, modal usaha, penggunaan bahan baku, penggunaan bahan bakar, penggunaan tenaga kerja, penerimaan usaha, tabungan, konsumsi, dan pengeluaran pendidikan dan sosial. Hasil pendugaan parameter model ekonomi usaha kecil menunjukkan nilai koefisien determinasi R 2 dari persamaan-persamaan yang ada dalam model ini cukup beragam. Dari 8 persamaan struktural perilaku yang ada, terdapat 6 persamaan dengan nilai koefisien determinasi R 2 di atas 0.50 dan 2 persamaan lainnya memiliki nilai koefisien determinasi R 2 antara 3.0 sampai dengan 0.50. Sedangkan sebagian besar variabel penjelas yang digunakan dalam persamaan- persamaan pada model ini memiliki pengaruh yang nyata, serta menunjukkan tanda yang sesuai dengan yang diharapkan.

6.1.1. Pengambilan Kredit

Pengambilan Kredit PKM yang dimaksud adalah besarnya jumlah kredit atau pinjaman yang diambil pelaku usaha kecil dalam satu tahun terakhir ini dan dihitung dalam satuan rupiah. Sedangkan jenis kredit dalam penelitian ini meliputi kredit dari bank dan non bank, terutama kredit modal kerja untuk usaha. Kredit dari bank adalah kredit yang diperoleh usaha kecil dari lembaga kredit formal, 140 seperti bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat BPR. Sedangkan kredit dari non bank adalah kredit yang berasal dari koperasi simpan pinjam dan lembaga kredit atau pemberi pinjaman informal. Dari hasil perhitungan, rata-rata besarnya pengambilan kredit oleh setiap usaha kecil per tahun adalah sekitar Rp 16 280 000,-. Pengambilan kredit oleh usaha kecil ini akan menjadi tambahan modal terutama sebagai modal kerja modal lancar, dengan asumsi bahwa tambahan modal sendiri dari setiap siklus produksi harian untuk membeli bahan baku masih terbatas jumlahnya. Berbagai variabel ekonomi dari usaha kecil yang meliputi tingkat bunga kredit, tabungan, pengeluaran non tenaga kerja, pengalaman usaha dan dummy sumber kredit diduga akan mempenguruhi pengambilan kredit dari usaha kecil. Tabel 16. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengambilan Kredit PKM No Variabel Parameter Dugaan Prob │t│ Elastisitas 1 Intersep 15 104 932 0.0601 2 Tingkat Bunga Kredit SBK -1 071 138 0.0001 -1.2531 3 Tabungan TABS 2.6830 0.0145 0.8028 4 Pengel. Non Tenaga Kerja PNTK 2.5544 0.2239 0.1658 5 Pengalaman Usaha LTU -49 707 0.8314 -0.0405 6 Dummy Sumber Kredit DSK 16 640 364 0.0003 R 2 = 0.4090 F Hitung = 11.63 Prob F = 0.0001 Keterangan: = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata α 0.10 Hasil pendugaan parameter persamaan Pengambilan Kredit PKM, menunjukkan nilai koefisien determinasi R 2 sebesar 0.4090. Ini menunjukkan 40.90 persen variasi dari variabel endogen PKM dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang meliputi Tingkat Bunga Kredit SBK, Tabungan TABS, Pengeluaran Non Tenaga Kerja PNTK, Pengalaman Usaha LTU, dan Dummy Sumber Kredit DSK, dan signifikan pada taraf uji α 10 persen yang ditunjukkan oleh nilai Prob F sebesar 0.0001. 141 Tingkat Bunga Kredit SBK berpengaruh nyata terhadap Pengambilan Kredit PKM dengan nilai elastisitas sebesar -1.2531. Ini berarti bahwa setiap penurunan tingkat bunga kredit sebesar 1 persen akan meningkatkan pengambilan kredit sebesar 1.2531 persen. Besarnya nilai elastisitas ini mengindikasikan bahwa tingkat bunga kredit masih merupakan faktor yang penting dalam mendorong pengambilan kredit usaha kecil, oleh karena itu upaya mendorong penurunan bunga kredit kecil akan sangat membantu industri tersebut dalam mengakses dan mendapatkan kredit. Kondisi ini juga sejalan dengan fenomena umum yang sering ditemui pada usaha kecil, dimana tingkat bunga kredit masih merupakan indikator utama yang menentukan besarnya pengambilan kredit. Pada kondisi dimana terjadi efisiensi usaha, maka kenaikan pengambilan kredit ini akan mampu meningkatkan kinerja kegiatan usaha kecil sehingga berkembang menjadi lebih besar. Tabungan TABS berpengaruh nyata terhadap Pengambilan Kredit PKM dengan nilai elastisitas sebesar 0.8028. Tabungan merupakan bagian dari pendapatan setelah dikurangi dengan konsumsi dan pengeluaran untuk pendidikan dan sosial lainnya. Nilai elastisitas ini juga menunjukkan bertambahnya tabungan pada usaha kecil akan meningkatkan jumlah kredit yang diambil. Hal ini diduga karena makin besar tabungan yang dimiliki makin besar pula akses yang dimiliki usah kecil untuk memperoleh pinjaman. Namun demikian kebiasaan menabung pada pelaku usaha kecil masih cukup rendah dan banyak bersifat tradisional karena masih banyak pula usaha kecil yang menyimpang uang dalam bentuk tunai atau aset lainnya. Kebiasaan ini diduga karena kelebihan dana yang dimiliki pelaku usaha masih ditanamkan dalam bentuk barang-barang yang memiliki 142 likuiditas yang tinggi misalnya perhiasan dan aset likuid lainnya, atau disimpan dirumah untuk keperluan menjaga kebutuhan tunai pada saat diperlukan untuk menjaga likuiditas usaha kecil. Dummy Sumber Kredit DSK yaitu: 0 adalah sumber pinjaman kredit dari lembaga non bank dan 1 adalah sumber kredit dari bank, berpengaruh nyata dan positif terhadap Pengambilan Kredit PKM. Terdapat perbedaan sumber kredit pinjaman oleh pelaku usaha terhadap pengambilan kredit, kelompok pelaku usaha yang memperoleh sumber kredit dari bank memiliki tingkat pengambilan kredit yang lebih tinggi dibandingkan kelompok pelaku usaha kecil yang memperoleh sumber kredit atau pinjaman dari lembaga keuangan non bank. Semakin tinggi tingkat formalitas dari lembaga keuangan yang menjadi sumber pinjaman dan kredit, maka semakin besar pengambilan kredit oleh usaha kecil. Perbedaan ini diduga karena pada sumber pinjaman kredit yang berasal dari non bank misalnya: dana bergulir, koperasi simpan pinjam jumlah pinjaman yang diberikan telah ditentukan pagu pinjamannya, sedangkan sumber kredit dari bank misalnya: BPR dan BRI Unit jumlah kredit yang diberikan bisa lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan usaha dan agunan yang dimiliki usaha kecil, melalui beragam jenis kredit skim kredit yang ditawarkan. Menurut Robinson 2001, permasalahan utama yang sering muncul dalam penyaluran kredit adalah adanya imperfect information , yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah berikutnya yang dihadapi oleh lembaga penyalur kredit terkait dengan asymmetric information , moral hazard, adverse selection dan credit rationing. Salah satu dampak dari permasalahan ini, umumnya pemberi pinjaman kredit akan cenderung memberikan pinjaman dalam jumlah yang lebih kecil daripada yang 143 diajukan dan dibutuhkan oleh peminjam. Lembaga bank umumnya mempunyai kemampuan lebih baik dalam mengatasi imperfect information, sehingga kredit yang diberikan lebih sesuai dengan besarnya kebutuhan kredit. Sedangkan Pengeluaran Non Tenaga Kerja PNTK tidak berpengaruh nyata terhadap Pengambilan Kredit PKM. Hal ini diduga karena pengeluaran non tenaga kerja yang dilakukan oleh usaha kecil ini umumnya berkaitan dengan masih kecilnya skala usaha mereka. Pengeluaran non tenaga kerja merupakan pengeluaran usaha kecil untuk membeli bahan baku dan bahan bakar dalam satu periode siklus usaha. Dengan skala usaha yang masih kecil ini maka perlu dukungan untuk mendapatkan kredit. Sementara Pengalaman Usaha LTU walaupun bertanda negatif namun secara statistik tidak nyata, ini menunjukkan bahwa Pengambilan Kredit PKM tidak secara siginifikan dipengaruhi oleh pengalaman usaha. Hal ini menunjukkan usaha kecil pada awal kegiatan usahanya masih membutuhkan kredit untuk modal usaha, sementara itu umumnya usaha kecil ini masih menggunakan sumber pendapatan keluarga agar tetap bisa beroperasi, namun demikian dorongan untuk mendapatkan kredit lebih besar tidaklah semata-mata dari lama pengalaman usaha, tetapi diduga lebih banyak ditentukan oleh variabel internal lainnya yang berkaitan dengan kemampuan kewirausahaan, seperti keberanian mengambil risiko dan tingkat pengembangan produk inovasi. Beberapa hal penting dapat disimpulkan dari persamaan pengambilan kredit oleh usaha kecil adalah; Pertama, pengambilan kredit memiliki respon yang tinggi terhadap perubahan tingkat bunga kredit. Ini mengindikasikan bahwa pengambilan kredit oleh usaha kecil untuk mengembangkan kegiatan usahanya 144 masih cukup besar. Kedua, pengeluaran tabungan oleh usaha kecil masih cukup rendah, sehingga perlu didorong lagi agar mampu meningkatkan pengambilan kredit lebih tinggi lagi. Ketiga, permintaan kredit oleh usaha kecil makanan olahan yang berasal dari sumber kredit bank menunjukkan pengambilan kredit yang lebih besar dibandingkan pengambilan kredit dari sumber kredit yang berasal dari non bank.

6.1.2. Penggunaan Bahan Baku

Bahan baku selalu dibutuhkan dalam setiap siklus kegiatan produksi yang dilakukan oleh usaha kecil, karena proses produksi merupakan aktivitas rutin yang selalu dilakukan hampir setiap hari selama setahun dan hanya libur pada saat hari raya atau pada musim tertentu yang berkaitan dengan lesunya pasar atau kelangkaan bahan baku pada beberapa jenis usaha kecil tertentu. Kebutuhan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku ini bisa menjadikan beban bagi usaha kecil, apabila jumlah bahan baku yang dibutuhkan semakin bertambah, jumlah persediaan barang jadi yang belum terjual, serta penjualan barang jadi pembayaran tertunda, karena modal kerja yang dibutuhkan menjadi bertambah. Selama ini kebutuhan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku bisa dikatakan selalu meningkat karena adanya kenaikan harga bahan baku, serta adanya kebutuhan untuk memenuhi kenaikan permintaan pasar pada musim tertentu atau memperluas pasar yang umumnya pembayaran tunainya menjadi lebih lama. Oleh karena itu tambahan modal dari luar eksternal dalam bentuk kredit sangat dibutuhkan bagi usaha kecil untuk membeli bahan baku kegiatan produksinya. 145 Penggunaan Bahan Baku PBM merupakan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh usaha kecil untuk membeli bahan baku guna menghasilkan produk makanan olahan dalam periode satu tahun dan dihitung dalam satuan rupiah. Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata pengeluaran untuk penggunaan bahan baku setiap usaha kecil per tahun adalah sekitar Rp 235 990 000 atau sekitar 84 persen dari pengeluaran untuk total biaya produksi, nilai ini cukup besar bagi usaha kecil yang bergerak untuk menghasilkan produk makanan olehan dan berbasis tempat usaha di wilayah pedesaan. Kebutuhan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku bisa didapatkan dari modal sendiri internal usaha yang didapat dari surplus usaha dalam setiap kali proses produksi juga akan digunakan lagi untuk membeli bahan baku, namun jumlahnya juga menjadi terbatas karena masih banyak tertahan dalam bentuk persediaan bahan baku, persediaan barang jadi dan penjualan tunai yang tertunda. Oleh sebab itu tambahan modal kerja dari luar usaha eksternal berupa kredit untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran bahan baku sangat mendukung usaha kecil, karena modal kerja yang berasal dari pengambilan kredit akan menambah Modal Usaha MOUS. Tambahan modal usaha yang berasal dari pengambilan kredit sangat membantu usaha kecil dalam menjaga kebutuhan untuk pengeluaran secara tunai pada saat diperlukan likuiditas usaha terutama untuk membeli bahan baku, serta bahan bakar, dan membayar tenaga kerja untuk kegiatan produksi. Berbagai variabel yang meliputi modal usaha, harga input bahan baku, dan jumlah tenaga kerja, diduga akan mempengaruhi pengeluaran untuk penggunaan bahan baku. 146 Tabel 17. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Bahan Baku PBM No Variabel Parameter Dugaan Prob │t│ Elastisitas 1 Intersep 20 367 366 0.6653 2 Modal Usaha MOUS 2.3972 0.0143 0.3239 3 Harga Input Produksi PI 630.02 0.8509 0.0120 4 Jumlah Tenaga Kerja JTK 65 441.69 0.0061 0.5778 R 2 = 0.3244 F Hitung = 13.77 Prob F = 0.0001 Keterangan: = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata α 0.10 Hasil pendugaan parameter persamaan Pengeluaran Bahan Baku PBM, menunjukkan nilai koefisien determinasi R 2 sebesar 0.3244. Ini menunjukkan 32.44 persen variasi dari variabel endogen Pengeluaran Bahan Baku PBM dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang meliputi Modal Usaha MOUS, Harga Input Produksi PI dan Jumlah Tenaga Kerja JTK, dan signifikan pada taraf uji α 10 persen yang ditunjukkan oleh nilai Prob F sebesar 0.0001. Modal Usaha MOUS berpengaruh nyata terhadap Pengeluaran Bahan Baku PBM. Ini berarti bahwa peningkatan modal akan mampu menaikkan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku. Oleh karena itu upaya mendorong peningkatan modal usaha melalui tambahan kredit bagi usaha kecil akan sangat membantu usaha tersebut dalam meningkatkan kapasitas produksi melalui tambahan penggunaan bahan baku. Dalam kegiatan produksi bahan baku merupakan komponen utama dan menyerap kebutuhan dana yang paling besar dari pengeluaran untuk total biaya produksi yang merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk penggunaan bahan baku, bahan bakar, dan tenaga kerja. Jumlah Tenaga Kerja JTK yang digunakan, juga berpengaruh nyata terhadap Penggunaan Bahan Baku PBM dengan nilai elastisitas sebesar 0.5778. Jumlah tenaga kerja dalam kegiatan usaha kecil ini masih cukup dominan mengingat usaha kecil makanan olahan ini merupakan kegiatan usaha yang