Rekayasa sistem agroestat hortikultura dengan pendekatan keterpaduan wilayah

(1)

1. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Wacana mengenai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang semakin mengarah pada kebijakan untuk menciptakan kawasan-kawasan terpadu sebagai cara untuk mempercepat perkembangan ekonomi (Porter, 2000; Pietrobelli dan Rabelloti, 2003). Kawasan terpadu dipandang sebagai kekuatan yang mampu mendorong ekspor, menarik investor, dan berfungsi sebagai katalisator pertumbuhan, karena itu beberapa negara merancang pembentukan kawasan terpadu sebagai prioritas program pengembangan wilayah yang berkesinambungan (Breschi dan Malerba, 2001).

Pemberdayaan masyarakat sebagai landasan pengembangan wilayah diupayakan dengan cara meningkatkan produksi sumberdaya lahan pertanian, sehingga petani budidaya mendapatkan tambahan penghasilan dan perolehan nilai tambah secara nyata dari proses industri hasil pertanian. Peningkatan produksi budidaya yang mampu mendukung agroindustri dengan pasokan bahan baku dalam volume dan harga yang pasti akan mensinergikan usahatani dan agroindustri, meningkatkan nilai tambah dan efisiensi dari keseluruhan proses pengembangan kawasan pertanian. Pengelolaan agroniaga dalam pola Agroestat direkayasa dengan mengacu pada mekanisme pasar bebas yang berkeadilan (fair free trade). Melalui cara ini distribusi nilai tambah dapat berlangsung secara adil (fair) dan alami ke semua pihak (Lewis, 1966; Arsyad, 1999; Ary, 1999). Pasar yang tidak sempurna (imperfect markets), infrastruktur yang tidak efektif, sistem pendidikan yang buruk, dan sistem pemerintahan yang lemah menjadikan proses peralihan ke arah pasar dan persaingan bebas menyakitkan bagi perekonomian suatu negara (Stiglitz, 2002).

Strategi industrialisasi pertanian merupakan cara yang paling tepat untuk mengembangkan kegiatan ekonomi yang menjadi tumpuan kehidupan sebagian besar rakyat. Ide dasar dari strategi ini adalah bahwa pembangunan agroindustri akan mampu meningkatkan produksi dan nilai tambah seluruh subsistem yang terkait di dalamnya, yaitu subsistem usahatani, agroindustri, agroniaga, dan usaha jasa/layanan pendukung (Saragih, 2001). Hal ini akan dicapai jika semua subsistem yang terlibat dapat tumbuh


(2)

dan berkembang secara proporsional dan fokus. Sebagai antisipasi dari globalisasi ekonomi dan dalam rangka peningkatan efektivitas sumberdaya yang ada di daerah otonom, harus diupayakan agar setiap wilayah (daerah otonom) menentukan komoditi unggulan yang menjadi spesialisasi kabupaten/kota. Pengembangan komoditi unggulan lokal akan berjalan secara konsisten, jika ditetapkan secara bersama sebagai pilihan masyarakat, sesuai dengan kondisi wilayah. Peningkatan produksi komoditi unggulan yang disepakati harus diupayakan melalui integrasi yang utuh (backward and forward linkage) dalam satu sistem kelola (manajemen). Pengembangan kawasan pertanian terpadu pada sentra-sentra budidaya pertanian yang mempunyai komoditi unggulan akan menjadikan struktur usahatani terintegrasi secara vertikal dengan agroindustri (Eriyatno et al., 1995; IBRD, World Bank, 2000; Haeruman, 2000; Haeruman dan Eriyatno, 2001; Sadjad et al., 2001).

Pendekatan keterpaduan merupakan upaya pemberdayaan rakyat yang dapat menyesuaikan dan menyerap dinamika dan kemampuan masyarakat lokal dan desa-desa yang terdapat di sekitarnya, sehingga akan menghilangkan resiko banyaknya petani yang beralih pekerjaan dan bertambahnya buruh tani yang tidak mempunyai lahan (Hawiset, 1998; Zen, 1999). Keterkaitan ini didasarkan pada arahan untuk mewujudkan keterpaduan agroindustri dengan dukungan pertanian yang mantap (Lewis, 1966; Arsyad, 1999; Ary, 1999).

Usahatani yang berada di wilayah perdesaan akan terhambat oleh rendahnya tingkat produksi dan nilai tambah jika tidak didukung oleh agroindustri. Oleh karena itu, peningkatan produksi usahatani melalui perbaikan infrastruktur pertanian harus dipikirkan secara menyeluruh, termasuk pasar untuk peningkatan hasil produksi petani yang sangat tergantung dari kelanggengan permintaan dari agroindustri. Keberhasilan suatu wilayah untuk menarik industri masuk ke wilayah budidaya di perdesaan merupakan tahap penting yang menentukan keberhasilan perkembangan suatu wilayah, khususnya untuk agroindustri yang memproses bahan baku pertanian menjadi produk konsumsi (material-oriented industries) (Carroll dan Stanfield, 2004).

Semua negara di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang, saat ini sangat mengharapkan masuknya investasi asing ke daerahnya. Investasi modal asing (foreign direct investment) akan menciptakan tenaga kerja dan membawa berbagai


(3)

sumberdaya yang berguna bagi negara bersangkutan, khususnya daerah lokasi investasi, antara lain sumberdaya modal, teknologi, informasi, manajemen, serta jaringan pemasaran (Lee, 2005).

Rekayasa sistem Agroestat merupakan pengembangan kawasan pertanian terpadu berbasis komoditi unggulan yang berdayasaing dengan konsep keterpaduan, bukan kemitraan, membutuhkan keterlibatan pemerintah (daerah) dalam bentuk subsidi tidak langsung (infrastruktur) dan regulasi penataan ruang. Pada hakekatnya rekayasa sistem Agroestat bersifat holistik, mencakup seluruh alur dari rangkaian nilai tambah (value chain) agribisnis, mulai tahap usahatani, agroindustri, dan agroniaga dalam lingkup regional, nasional, dan internasional (ekspor) (Carroll dan Stanfield, 2004). Sistem Agroestat dirancang untuk dapat memperoleh manfaat dari adanya saling ketergantungan dan keterkaitan multi-dimensi (sosial, budaya, ekonomi) antar-sektor (pertanian, industri, dan perdagangan). Rekayasa ini dimaksud untuk menjadikan struktur sektor pertanian terintegrasi dalam satu manajemen (Brown, 1994; Lowe, 2001).

Rekayasa kawasan pertanian terpadu dengan sistem Agroestat mengacu (benchmarking) pada tiga bentuk pola kemitraan dalam pengelolaan kawasan terpadu saat ini, yaitu: Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Pola Agropolitan, dan Pola Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan (Eco-industrial Park). Masing-masing pola ini menggambarkan karakter kemitraan dan latar belakang kawasan terpadu yang spesifik.

PIR dikembangkan Pemerintah sejak tahun 1977 untuk perkebunan kelapa sawit masih berjalan hingga saat ini. Pola ini dengan bentuk-bentuk derivatifnya, menganut sistem inti dan plasma yang diatur dalam suatu perjanjian kerjasama formal. Instansi-instansi Pemerintah (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) ikut aktif sebagai lembaga sekunder dalam wadah Tim Koordinasi PIR (TK-PIR). Pembiayaan berasal dari kredit Bank atau dana Pemerintah yang berasal dari bantuan luar negeri dan APBN.

Bentuk kedua yang sedang dikembangkan Pemerintah adalah Agropolitan dengan konsep pengembangan wilayah perdesaan yang terkait pada pembangunan perkotaan (urban development). Peran Pemerintah terbatas pada pembentukan unit pengembangan kawasan, dan secara berangsur pada tahap akhir hanya berperan pada sektor publik.


(4)

Bentuk ketiga merupakan kawasan komersial, dalam hal ini diambil contoh Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan atau Eco-industrial Park/ (EIP) atau Estate. Kawasan industri yang mulai dikembangkan sejak akhir abad ke-19 dengan pola komersial ini telah menghasilkan pengelolaan yang terorganisasi serta memenuhi harapan semua pabrik/industri yang menghuni. Pengembangan kawasan industri (komersial) dilandasi pemikiran untuk mendapatkan keuntungan dari pengurangan biaya infrastruktur serta manfaat-manfaat lainnya dari adanya economic of scale. EIP merupakan pengembangan kawasan industri terbaru, yang dirancang sebagai suatu keterpaduan bisnis, efisiensi usaha (pasar), waste exchange network, dan memfokuskan pada kelestarian lingkungan masyarakat sekitar. EIP mengembangkan upaya dan teknologi yang melibatkan dan memberikan manfaat kepada seluruh perusahaan penghuni yang berbeda kepemilikannya (tenants), bahkan mendorong timbulnya kerjasama Pemerintah dan Swasta (public-private partnership), sehingga tercipta manfaat langsung oleh masyarakat sekitar kawasan.

Kemitraan akan berlangsung langgeng apabila distribusi keuntungan dilandaskan pada kontribusi dan kompetensi secara wajar dan dirasa adil oleh semua pelaku. Oleh karena itu, penambahan penghasilan petani sebagai salah satu tujuan dari rekayasa sistem Agroestat diupayakan melalui peningkatan produksi sumberdaya lahan sesuai dengan kompetensi petani. Selain itu juga diusahakan adanya perolehan nilai tambah secara nyata (riil) dari pengkayaan usaha petani dalam proses produksi hasil pertanian.

Kebutuhan dana pinjaman menjadikan petani selalu pada posisi yang lemah (inferior) dalam tawar-menawar, sehingga tidak terjadi kesetaraan dalam mekanisme pasar bebas yang adil dan alami. Petani terpaksa berhutang kepada pelaku lainnya khususnya tengkulak, pedagang besar dan industri, dengan mengorbankan posisi tawarnya. Mata rantai ini harus dipecahkan dengan peningkatan penghasilan dan penyediaan paket-paket pinjaman khusus bagi petani lemah, demi terlaksananya kesetaraan dengan menjadikan petani sebagai pebisnis yang bermartabat.

Pengertian ’berkesinambungan’ meliputi aspek ekonomi, sosial/budaya, dan ekologi. Dalam kaitan itu, obyek penelitian ini dipilih produk hortikultura yang merupakan usahatani yang sangat strategis di Indonesia, baik ditinjau dari jumlah petani, luas lahan yang digunakan, serta perannya dalam kehidupan masyarakat dan


(5)

perdagangan dalam negeri dan ekspor. Proses pemilihan komoditi unggulan secara bersama merupakan upaya pemberdayaan masyarakat, yang memperhatikan dinamika dan potensi masyarakat lokal (USAID, 2006).

Perencanaan wilayah sistem Agroestat mengacu pada paradigma pembangunan berkelanjutan, dimana aspek ekologi dijadikan salah satu landasan utama dalam pengaturan tata guna lahan. Esensi pembangunan diarahkan pada internalisasi aspek lingkungan ke dalam perencanaan pembangunan (faktor penyebab) dan faktor ekologis yang terkait pada kemampuan alam untuk mendukung kegiatan pembangunan dihubungkan dengan dampak yang terjadi (faktor akibat).

1.2

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah rekayasa sistem Agroestat sebagai bentuk pengembangan kawasan pertanian secara berkesinambungan yang dapat meningkatkan penghasilan petani, dengan pendekatan keterpaduan wilayah berbasis komoditi hortikultura unggulan lokal yang berdaya saing. Rekayasa ini dijabarkan melalui tahapan-tahapan penelitian sebagai berikut:

1) Analisis kebutuhan elemen-elemen stakeholders dalam wilayah pengembangan. 2) Analisis potensi komoditi hortikultura unggulan lokal yang dapat dikembangkan di

daerah penelitian, sebagai landasan strategi pengembangan wilayah yang mampu mengundang, mendukung dan mendorong agroindustri dengan prinsip mekanisme pasar bebas yang berkeadilan (fair free trade).

3) Sintesa untuk menciptakan kesetaraan posisi tawar elemen-elemen stakeholders, khususnya petani, dalam mekanisme agroniaga produk hortikultura (sesuai sifat-sifat khas dari komoditi) yang berlangsung secara alami, adil dan langgeng.

4) Perumusan peran Pemerintah dalam kerangka otonomi daerah, pada peran koordinasi dan fasilitasi, terutama melalui kebijakan pewilayahan, tata ruang (tata guna lahan), bentuk-bentuk subsidi tidak langsung dalam bentuk pengadaan infrastruktur (sesuai kebutuhan), serta unit kerja atau lembaga koordinasi untuk meyakinkan berlangsungnya pengelolaan agroestat yang profesional.

5) Aplikasi soft system methodology untuk rekayasa Model Konseptual Agroestat (soft system) dan Sistem Penunjang Keputusan (hard system) yang efektif.


(6)

1.3

Manfaat Penelitian

Rancangan pola Agroestat sebagai hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat, sebagai berikut:

1) Menyelaraskan kepentingan dan saling ketergantungan para pelaku dalam sistem agribisnis, khususnya dalam upaya mengembangkan agroindustri di sentra budidaya hortikultura serta meningkatkan penghasilan dan kesetaraan petani.

2) Perumusan pola Agroestat sebagai bahan penunjang keputusan bagi:

a. Para pengambil keputusan (Pemerintah) dalam perumusan kebijakan di sektor pertanian, perdagangan, perijinan dan penentuan tata ruang.

b. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam implementasi UU No. 32/2004 dan No. 33/2004 menuju pola pengembangan wilayah secara nyata dan bertanggungjawab.

c. Para peneliti untuk landasan penelitian pengembangan wilayah khususnya untuk daerah perdesaan.

d. Para pengembang, pelaku agro-industri, dan penyandang dana, sebagai kerangka dasar usaha kerjasama lintas sektoral.

3) Sumbangan pemikiran untuk pengembangan model konseptual agroindustri melalui aplikasi teori perumusan kebijakan dengan pendekatan sistem.

1.4

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada beberapa ruang lingkup yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, sebagai berikut:

1) Sistem Agroestat mencakup seluruh proses agribisnis, mulai tahap usahatani, agroindustri, dan agroniaga (perdagangan/distribusi) dalam lingkup regional, nasional dan internasional (ekspor).

2) Sistem Agroestat dirancang khusus untuk dan sesuai dengan karakteristik khas komoditi hortikultura sebagai komoditi unggulan daerah.

3) Pewilayahan Agroestat dirancang berdasarkan kondisi infrastruktur pertanian, serta perkembangan ekonomi di lokasi pengembangan.


(7)

regulasi, guna memfasilitasi pengembangan sektor pertanian dalam kerangka pewilayahan (planning region), penataan ruang (spatial planning), lingkungan (ecology), infrastruktur, agribisnis (business), pembiayaan, dan pengelolaan kawasan.

5) Pengembangan Agroestat didasarkan konsep keterpaduan antara budidaya dan agroindustri serta agroniaga dalam kerangka mekanisme pasar bebas yang adil dan alami, dengan keberpihakan kepada petani sebagai pelaku sektor pertanian yang paling lemah.


(8)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pengembangan Wilayah

2.1.1 Pengertian tentang Pengembangan Wilayah

Richardson (1979) berpendapat bahwa pengertian tentang pewilayahan (regionalisation) dan lingkup wilayah (region) tidak dapat didefinisikan secara baku karena kriteria yang digunakan sangat tergantung dari lingkup rancangan studi yang akan disusun. Cakupannya dapat beragam mulai dari pusat pemukiman kecil, hingga wilayah yang sangat luas mencakup beberapa pulau, bahkan negara (Raymond, 1996).

Menurut Poernomosidi (1981) pengertian tentang wilayah, kawasan, dan daerah adalah sebagai berikut:

1) Wilayah (region) dapat diartikan sebagai batasan geografis yang mempunyai karakter penggunaan tertentu, seperti wilayah pertanian (budidaya), wilayah hutan, atau wilayah padat penduduk.

2) Kawasan dapat meliputi beberapa wilayah karena batasnya ditentukan oleh suatu fungsi tertentu, seperti kawasan pengembangan pertanian yang mencakup wilayah pertanian dan industri hasil pertanian.

3) Daerah adalah wilayah dengan batas administrasi pemerintahan (formal).

Perbedaan juga terjadi pada istilah pembangunan (development) yang sering digunakan secara rancu dengan kata pengembangan. Kedua istilah ini mempunyai pengertian sebagai berikut (Poernomosidi, 1981):

1) Pembangunan adalah upaya untuk mengadakan/membuat/mengatur sesuatu yang belum ada.

2) Pengembangan adalah upaya untuk memajukan/memperbaiki/meningkatkan sesuatu yang telah ada.

Richardson (1979) dan Glasson (1992) mendefinisikan wilayah secara formal adalah suatu kesatuan alam yang mempunyai keterkaitan yang menjadi pengikat. Suatu wilayah dalam pengertian geografi, merupakan kesatuan alam (homogeneous region) yang mempunyai kesamaan (commonalities) dan ciri geografis yang khas, antara lain


(9)

wilayah ekonomi yang berkaitan dengan suatu proyek pembangunan dan pengembangan.

Menurut Raymond (1996), wilayah perencanaan (planning region) pada dasarnya adalah wilayah geografis yang memungkinkan perencanaan dan penerapan program pengembangan wilayah sesuai dengan permasalahan dan kondisi spesifik di wilayah itu. Kesimpulan ini memperkenalkan pengertian tentang wilayah fungsional (functional region), yaitu suatu wilayah dengan keadaan alam yang tidak sama tetapi memungkinkan berlangsungnya bermacam-macam kegiatan/fungsi yang saling mengisi dalam kehidupan masyarakat (Glasson, 1992; Porter, 1998). Dalam kaitannya dengan perencanaan pengembangan, pengertian wilayah formal dan wilayah fungsional menghasilkan dua macam pendekatan yang berguna, yaitu (Johara, 1999):

1) Perencanaan wilayah formal (teritorial) memperhitungkan mobilisasi terpadu dari semua sumberdaya manusia dan sumberdaya alam dari suatu wilayah tertentu yang dicirikan oleh perkembangan masyarakatnya sehingga terbentuk menjadi beberapa kelompok sosial. Strategi yang melandasi perencanaan wilayah formal ini menggunakan pendekatan dari bawah ke atas (bottom up), serta menekankan pada pelayanan aspirasi masyarakat.

2) Perencanaan wilayah fungsional memperhitungkan lokasi berbagai kegiatan/fungsi ekonomi dan perdagangan, serta pengaturan secara ruang dari berbagai simpul (pusat) dan jaringan. Strategi pengembangan dari atas ke bawah (top down) melandasi perencanaan wilayah fungsional ini.

Pewilayahan adalah proses perancangan wilayah yang sangat tergantung dari maksud penyusunan, kriteria yang digunakan, dan data yang tersedia. Dalam hal ketersediaan data yang tidak memadai maka perancangan wilayah akan menghasilkan batas-batas yang kabur (misty boundaries). Oleh karena itu sering digunakan pendekatan kuantitatif untuk mengelompokkan berbagai sub-wilayah. Pengembangan metode kuantitatif dipelopori oleh Berry (1961) yaitu metode Analisis Faktor (The Factor Analysis) yang kemudian dianggap terlalu rumit, sehingga dikembangkan metode Nilai Indeks Terbobot (The Weighed Index Number) oleh Boudeville (1966) yang lebih banyak digunakan. Pada dasarnya perancangan membagi wilayah formal yang ada dengan menggunakan karakter dan kriteria spesifik yang ditentukan. Proses


(10)

perancangan juga memperhatikan faktor fungsi, keterkaitan, dan ketergantungan antar sub-wilayah, yang ditinjau dari dua aspek dasar yaitu (Raymond, 1996):

1) Analisis Aliran (Flow Analysis), dilakukan dengan observasi lapangan yang melihat kenyataan tentang intensitas aliran kegiatan penduduk. Hal ini akan menggambarkan daerah pusat (dominant center) dan daerah penunjang (surrounding sattelites). Dari tingkat intensitas yang ditampakkan maka dapat ditentukan batas-batas wilayah ditinjau dari sisi kriteria tertentu. Kriteria aktivitas yang digunakan dapat berupa aktivitas ekonomi (angkutan barang atau penumpang, jalan raya, atau kereta api), atau motivasi (belanja, sekolah, bekerja, atau informasi).

2) Analisis Gravitasi (Gravitational Analysis), disusun tentang kegiatan yang secara teoritis dilakukan oleh penduduk. Analisa ini menggunakan asumsi bahwa kekuatan interaksi antara dua kutub (poles) ditentukan oleh besarnya massa (jumlah penduduk) dan berbanding terbalik dengan jauhnya jarak.

Wilayah perencanaan yang disusun dengan kriteria formal maupun fungsional pada hakekatnya tidak terkait pada wilayah administrasi pemerintahan. Namun demikian, Smith (1965) menekankan pentingnya orientasi wilayah administrasi dalam penerapan program pengembangan. Dalam kenyataannya, perancangan wilayah seringkali tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan secara tegas. Untuk menghindari kerancuan yang bisa berakibat fatal pada penerapan program pengembangan wilayah, maka pewilayahan tidak dapat disusun dengan melandaskan pada salah satu kriteria murni namun harus disusun secara komprehensif, lentur dengan beberapa kompromi. Hal ini terjadi terutama antara pewilayahan berdasarkan kriteria formal atau fungsional, dan administrasi.

Raymond (1996) menyatakan bahwa pewilayahan dapat ditinjau secara subyektif atau obyektif. Untuk keperluan studi dan penelitian, pewilayahan dipakai sebagai alat untuk menganalisis secara subyektif atas dasar kriteria yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan pendekatan ini dapat dideskripsikan wilayah formal, fungsional, administrasi, dan kawasan pengembangan ekonomi secara terinci, sehingga memudahkan penyusunan rekayasa pengembangan wilayah secara memadai (ideal). Namun pendekatan subyektif membutuhkan ketersediaan data yang memadai untuk dapat menganalisis masing-masing kriteria secara tepat dan akurat. Dalam


(11)

kenyataannya, data yang dibutuhkan sesuai format studi seringkali tidak tersedia, sehingga pewilayahan biasanya disusun berdasarkan ketersediaan data wilayah administrasi dengan tetap memperhatikan dan memperhitungkan prinsip-prinsip dasar subyektif (teoritis) (Glasson, 1992).

2.1.2 Konsep Pengembangan Wilayah

Program pengembangan wilayah akan berhasil dan berkesinambungan jika dilandasi pandangan yang holistik tentang proses perekonomian. Pengembangan wilayah daerah pertanian di perdesaan harus ditempuh melalui pemberdayaan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan sumberdaya spesifik daerah itu, seperti sumberdaya tenaga kerja, iklim, atau lahan, untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang memenuhi persyaratan pasar. Petani di perdesaan, seringkali menghadapi paradoks, yakni peningkatan produksi (termasuk akibat panen musiman) yang justru menurunkan pendapatan petani akibat terjadinya kelebihan pasokan (excess supply). Oleh karena itu, rekayasa pada subsistem usahatani, antara lain melalui perbaikan infrastruktur pertanian, harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk penyelarasan pasar dalam peningkatan produksi petani sesuai dengan kelanggengan permintaan (Saragih, 2001).

Pada hakekatnya, pengembangan wilayah dimaksudkan untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan (Carroll dan Stanfield, 2004):

1) perekonomian usahatani dengan agroindustri dan agroniaga, 2) perekonomian perdesaan dengan perkotaan,

3) tingkat kemakmuran antar wilayah, dari sisi ekonomi (pendapatan dan biaya hidup), maupun sisi sosial (fasilitas pendidikan, kesehatan, dan rekreasi).

Tingkat kemakmuran suatu wilayah yang dimaksudkan tidak hanya dilihat dari rendahnya angka pengangguran, namun sejak tahun 1960-an telah diperluas dengan tolok ukur yang lebih komprehensif. Hal ini mulai disadari karena rendahnya tingkat kesejahteraan hidup umumnya terkait dengan masalah ketidak-seimbangan demografi, ketertinggalan pembangunan, atau tingginya biaya produksi (Blunden et al., 1973; McCrone, 1973; Triutomo, 1999).

Penelitian yang dilakukan oleh USAID (2006) pada 17 proyek pengembangan wilayah perdesaan terpadu yang dibiayai oleh berbagai organisasi donor dunia selama


(12)

30 tahun terakhir menunjukkan faktor-faktor keberhasilan (atau kegagalan) suatu proyek pengembangan, adalah:

1) Kelembagaan.

Desentralisasi dan keterlibatan masyarakat merupakan hal yang utama agar proyek pengembangan dapat berjalan lancar dan langgeng, oleh karena itu:

a. Pendekatan top-down dalam pengembangan wilayah perdesaan telah mengalami kegagalan. Pemerintah Pusat dan lembaga donor harus membatasi keterlibatannya pada penetapan kebijakan, sehingga menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal untuk mengembangkan daerahnya. b. Rasa memiliki harus ditumbuhkan kepada Pemerintah Daerah dan

organisasi/lembaga/masyarakat lokal, terutama untuk menetapkan visi dan strategi daerah. Hal ini sekaligus dimaksud untuk menampung aspirasi, kebiasaan, dan budaya lokal.

c. Unit-unit kerja yang telah ada sebaiknya secara aktif dilibatkan dalam implementasi program. Unit-unit kerja yang masih lemah dan tidak efektif justru menjadi kuat saat diikutsertakan dalam program pengembangan daerahnya. 2) Perencanaan dan pelaksanaan proyek.

Perencanaan yang tidak tepat sering menjadi sebab dari terjadinya kegagalan program, terutama simplifikasi pada diagnosa permasalahan dan optimisme yang berlebihan terhadap solusi yang telah (apriori) ditentukan. Pelaksanaan proyek yang dilaksanakan secara bertahap, fleksibel, serta dimungkinkannya penyesuaian-penyesuaian, akan berjalan langgeng. Ketidakpastian dan perubahan akibat dari pengembangan itu sendiri membutuhkan fleksibilitas.

3) Penciptaan jaringan.

Proyek pengembangan dirancang secara terfokus, namun tidak boleh mengabaikan adanya dinamika dari berbagai program lain yang sedang berjalan secara bersamaan. 4) Kesinambungan.

Tidak langgengnya suatu proyek pengembangan juga dapat disebabkan oleh:

a. Ketergantungan pada agen technical assistance, tanpa dibarengi pelatihan, persiapan, dan pengalihan kepada tenaga lokal.


(13)

b. Biaya perawatan yang mahal yang harus dibiayai masyarakat pada saat proyek berakhir akibat penggunaan peralatan yang terlalu canggih.

c. Unit Kerja atau Lembaga (Pengelola) tidak membaur dengan masyarakat. d. Jangka waktu pelaksanaan dan pengembangan proyek yang relatif pendek. e. Tidak ada rasa ikut memiliki pada masyarakat lokal yang tidak dilibatkan.

Carroll dan Stanfield (2004) menyimpulkan bahwa program pengembangan wilayah harus memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu:

1) Berorientasi pada keterpaduan dan menyeluruh (system approach). 2) Berbasis sumberdaya yang tersedia di wilayah lokal (local specific). 3) Cakupan wilayah mempunyai batas-batas yang jelas.

Program pengembangan fungsional (functional program) bertujuan untuk mengatasi kendala khusus (yang utama) bagi pengembangan wilayah di suatu wilayah perdesaan. Program demikian lebih terarah dan mudah dilaksanakan karena tujuannya spesifik serta mampu memberikan manfaat dalam waktu yang singkat (Lele, 1975). Program pengembangan fungsional umumnya bersifat komprehensif walaupun terfokus pada beberapa fungsi, misalnya pembangunan infrastruktur, pengadaan pinjaman khusus petani, atau pemasaran hasil pertanian.

Pada hakekatnya, pendekatan pewilayahan fungsional dapat mencakup kota, wilayah, atau sekelompok negara yang saling terkait dalam keterpaduan lingkup bisnis yang rumit. Pendekatan secara fungsional tidak terikat pada batas wilayah administrasi pemerintahan (formal). Hal ini juga telah tertanam pada manajemen pemerintahan pasca otonomi daerah yang tidak sekedar menekankan pada batas-batas geografis dan aturan yang berlaku untuk satu wilayah administrasi tertentu, tetapi lebih ke arah pencapaian tujuan organisasi (boundaryless organization) (Thoha, 2001).

Integrated Area Development (IAD) merupakan program pengembangan wilayah fungsional yang berbasis pewilayahan multi-sektoral dan plural. Program ini digunakan untuk pengembangan yang meliputi areal pertanian yang luas untuk tanaman dengan masa tanam pendek dan panjang, tunggal dan tumpangsari (Misra et al., 1978). Program ini juga dirancang untuk meliputi infrastruktur jaringan irigasi, drainase, dan layanan penunjang/pendukung, seperti riset, pemasaran, dan kelompok tani. Hakekat dari pola pengembangan IAD mencakup faktor jaringan (network), bisnis/agroniaga (economic


(14)

activity), dan peran serta masyarakat (social). Dasar pemikiran penerapannya menekankan pada upaya integrasi sumberdaya dan keterkaitan pasar (niaga) dengan berpatokan (UN, 1989):

1) Fokus pada wilayah yang dicakup.

2) Mencakup beberapa komponen fungsi dan sektor.

3) Menerapkan partisipasi masyarakat sejak tahap perencanaan hingga pada pelaksanaan proyek.

IAD digunakan untuk pengembangan wilayah perdesaan, sebagai mekanisme untuk meningkatkan partisipasi lokal guna mendapatkan distribusi manfaat ekonomi yang adil. Program IAD telah diterapkan oleh banyak negara berbasis pertanian di Asia-Pasifik, termasuk Malaysia dan Filipina, untuk pengembangan wilayah sub-regional. Pendekatan ini muncul sebagai reaksi dari pendekatan-pendekatan sektoral yang sempit, sebagaimana dapat dilihat dari dua tujuannya, yaitu (UN, 1989):

1) Mempercepat pertumbuhan dari wilayah tertinggal untuk memperbaiki ketimpangan regional.

2) Memaksimalkan manfaat bagi daerah-daerah miskin sehingga dicapai keseimbangan dalam masyarakat.

Pendekatan program IAD membagi wilayah dalam beberapa sub-wilayah untuk mempertajam analisa dalam perancangan. Dalam kenyataan, seringkali ditemui banyak perbedaan nyata dalam satu sub-wilayah, misalnya sub-wilayah yang terdiri dari daerah pertanian dan industri, sehingga tidak dapat disarikan kesamaan tingkat penghasilan masyarakat. Untuk mengatasi hal itu pendekatan dilakukan dengan melakukan penelusuran hubungan keterkaitan spesifik antar simpul (nodes/poles) yang ada di dalam wilayah atau sub-wilayah tersebut, sehingga menjadi realistis (Richardson, 1979).

Penerapan konsep IAD dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsional yang memperhitungkan lokasi berbagai fungsi (kegiatan) ekonomi yang dikelompokkan dalam beberapa Satuan Kawasan Pengembangan (SKP). Pengaturan SKP dapat dilakukan secara ruang sesuai fungsinya, mencakup jaringan (network) dari beberapa simpul yang merupakan Satuan Wilayah Ekonomi (SWE) tertentu (Poernomosidi, 1981).


(15)

Secara diagramatis proses pengembangan suatu wilayah secara fungsional dengan pendekatan IAD ditunjukkan oleh Gambar 1. Proses diawali dengan menata struktur pewilayahan sesuai fungsi yang akan dianalisis. Uraian keterkaitan dari beberapa simpul kegiatan ekonomi merupakan Satuan Wilayah Ekonomi yang tertentu secara fungsional. Penyebaran simpul-simpul kegiatan ekonomi di beberapa wilayah dikelola secara sistematis (termasuk koreksi dari alur simpul) setelah dilakukan analisis dan sesuai dengan alur keterkaitannya. Melalui cara ini diperoleh keterkaitan yang sinergis dan efisien, sehingga dapat diperoleh peningkatan nilai tambah bagi keseluruhan proses.

Non Formal Terkait Terpadu

Gambar 1 : Proses Pengembangan Kawasan secara Fungsional (Poernomosidi, 1981).

2.1.3 Keruangan Wilayah

Pemahaman struktur keruangan wilayah dapat dilakukan melalui dua komponen dasar pembentuknya yaitu: pola penyebaran penduduk dan pola penyebaran pembangunan kesejahteraan. Pola penyebaran pemukiman menggambarkan konsentrasi penduduk sebagai indikator dimensi spasial wilayah dalam aspek nonfisik. Pola penyebaran kesejahteraan secara langsung maupun tidak langsung menggambarkan pembangunan ekonomi wilayah. Pemahaman spasial ekonomi wilayah ini menunjukkan potensi yang dapat dikembangkan dan bermanfaat bagi pengembangan wilayah, termasuk pembangunan sumberdaya manusianya.

Salah satu pendekatan keruangan perencanaan yang digunakan dalam pembangunan wilayah adalah konsep pusat-tepi (center periphery) dari John Friedman (1966) yang membedakan antara wilayah pusat yang teratur, dinamis dan memiliki kapasitas tinggi untuk menyerap perubahan inovatif, dan daerah tepi yang statis dan mempunyai ketergantungan substansial. Ada empat jenis wilayah (region):


(16)

1) Wilayah inti merupakan konsentrasi ekonomi metropolitan dengan kapasitas inovasi dan perubahan yang tinggi. Wilayah pusat ini memiliki jaringan dari metropolis sampai ke perdesaan (hamlet);

2) Wilayah peralihan adalah daerah tepi dari pusat. Wilayah ini mengandung sumberdaya yang dapat dikembangkan;

3) Wilayah batas sumberdaya merupakan daerah-daerah tepi yang digunakan untuk pemukiman baru;

4) Wilayah peralihan tidak berkembang adalah daerah-daerah yang mengalami stagnasi atau daerah-daerah yang mengalami kemunduran.

Wilayah yang pertama dan kedua umumnya menjadi wilayah pikat, yaitu wilayah yang dapat menarik penduduk sekitarnya karena memiliki potensi ekonomi yang baik. Wilayah ketiga yaitu wilayah batas sumberdaya dapat juga menjadi sumber migran bagi wilayah-wilayah sekitarnya apabila tidak dijaga keseimbangan daya dukung lingkungan terhadap tambahnya penduduk. Wilayah yang paling parah keadaannya dan merupakan sumber migran bagi wilayah-wilayah terdekat adalah wilayah keempat yaitu wilayah peralihan tidak berkembang (Friedman, 1966).

Perkembangan suatu wilayah mengalami empat tahap evolusi ruang, yaitu: Tahap Pra-industri; Tahap Mula Industrialisasi; Tahap Transisi; dan Tahap Mantap. Menurut Friedman, tahap Pra-industri ditandai dengan adanya keseimbangan dari sejumlah pusat-pusat pewilayahan yang kecil, tidak saling tergantung, dan tersebar di wilayah yang luas. Dalam keadaan ini ekonominya cenderung statis dan kemungkinan berkembang sangat kecil. Tahap Mula Industrialisasi (incipient-industrialization), ditandai dengan munculnya primate city yang mendominasi suatu wilayah yang luas. Primate city ini memanfaatkan dan mengeruk sumberdaya dari daerah tepinya, sehingga perekonomian daerah tepi akan banyak dipengaruhi dan terikat. Pada Tahap Transisi primate city tetap berperan dalam wilayah yang luas itu walaupun mulai tumbuh beberapa pusat pertumbuhan yang mengurangi pengaruhnya. Tahap terakhir, yaitu Tahap Mantap baik dari segi keruangan maupun taraf industri. Dalam tahap ini sudah ada sistem dasar dari suatu pewilayahan. Sistem pewilayahan yang secara fungsional memiliki saling ketergantungan ini mempunyai manfaat di bidang efisiensi lokasi, potensi pertumbuhan yang maksimal, dan derajat keseimbangan inter-regional


(17)

yang tinggi. Ketimpangan sosiologis, ekonomi maupun teknologi, akan ikut memacu migrasi penduduk, termasuk urbanisasi (Friedman, 1966).

Senada dengan konsep pusat-tepi dari Friedman, Perroux (1950) juga mengamati adanya suatu mekanisme yang menyebar-luaskan aspek-aspek pengembangan ekonomi yang disebut kutub pertumbuhan (growth pole). Pengertian kutub pertumbuhan menurut Perroux :

“Kutub pertumbuhan adalah pusat (fokus) dalam wilayah ekonomi yang abstrak yang memancarkan kekuatan yang menarik. Tiap pusat mempunyai pusat penarik dan pendorong dalam atau terhadap pusat-pusat yang lain.”

Pengertian ini kemudian dikembangkan oleh Boudeville (1966) dari dan untuk segi geografi menjadi:

“Sebuah kutub pertumbuhan adalah suatu aglomerasi geografis dari berbagai sektor dan kegiatan dalam sistem yang kompleks. Kutub pertumbuhan ini merupakan wilayah yang memiliki industri propulsif (industri pendorong).”

Adanya beberapa wilayah pusat dan daerah tepi yang dapat membentuk berbagai kutub pertumbuhan, maka dimungkinkan terjadinya ketimpangan regional atau perbedaan keadaan antar wilayah. Akibat selanjutnya adalah timbulnya gejala polarisasi, dan tiap-tiap kutub dengan kekuatan tarik-dorongnya menimbulkan perpindahan penduduk dari tepi ke pusat atau sebaliknya (Misra et al., 1978).

Program khusus yang mengkaitkan urbanisasi dengan tata wilayah dan tata perdesaan diperlukan agar selalu ada keseimbangan yang serasi antara wilayah pusat dengan daerah tepi. Program ini akan sangat bermanfaat dan mendukung pembangunan wilayah yang menjadi pusat pengumpulan berbagai potensi dan daerah perdesaan yang banyak memiliki sumberdaya alam.

Konsep mengenai daerah nodal oleh Friedman telah dikembangkan oleh Harry Richardson yang menyatakan bahwa ciri dari perekonomian ruang adalah ketidak-homogenannya. Tampak bahwa terdapat aglomerasi kegiatan ekonomi dan distribusi penduduk pada lokasi-lokasi tertentu. Aglomerasi-aglomerasi ini terlihat dari adanya beberapa daerah yang penduduknya lebih padat, terutama pada daerah yang memiliki kegiatan industri, ke arah itu arus penduduk, barang-barang dan jasa-jasa, komunitas


(18)

dan lalu-lintas bergravitasi. Pusat (nuclei) terdapat di suatu wilayah di mana kegiatan-kegiatan bisnis, komersial dan sosial berlangsung. Hal ini terlihat pada peta kepadatan arus lalu-lintas intra wilayah.

Polarisasi merupakan akibat dari adanya kegiatan ekonomi dari poles. Gejala polarisasi yang paling penting adalah terjadinya peningkatan ketimpangan antar wilayah dengan adanya keterkaitan dan interaksi diantaranya. Konsep wilayah penggerak pertumbuhan (generative region) dalam kenyataannya justru tidak mampu menyebarkan dampak pembangunan apalagi memperkecil kesenjangan, bahkan menimbulkan dampak yang sebaliknya. Namun, sebaliknya, suatu wilayah tidak mampu untuk memacu pertumbuhannya sendiri tanpa berhubungan dengan wilayah lainnya (isolasi). Hal ini menjadi landasan penting dalam perencanaan pengembangan wilayah yang mampu membangun secara seimbang, menjadikan pentingnya permodelan dan teknik pengukuran pengaruh, serta keterkaitan antar wilayah (Raymond, 1996; Misra et al., 1978).

2.2

Konsep Tata Ruang

Konsep pengembangan wilayah adalah perencanaan yang didasarkan pada proses perekonomian wilayah secara menyeluruh dan terpadu (comprehensive & integrated development). Konsep pengembangan ini dalam implementasinya didukung dengan konsep tata ruang wilayah yang merupakan model corridor and radial concentric development, yaitu pengendalian pembangunan oleh masyarakat yang diarahkan dengan investasi yang ditanamkan oleh Pemerintah dalam corridor (infrastruktur) prioritas. Tata ruang merupakan suatu kombinasi dari penyebaran pemukiman dan pembangunan ekonomi wilayah. Komposisi ini berbentuk struktur keruangan wilayah yang kompleks dan memberi arti khusus bagi penampilan spasial wilayah tersebut.

Pada hakekatnya tata ruang (ruimtelijke ordering atau spatial order) berarti pengaturan geografis, dilandaskan antara lain pada rencana pengembangan wilayah. Menurut istilah geografi regional, ruang merupakan wilayah yang mempunyai batas geografi, berupa batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan, diterjemahkan dalam tata guna lahan (land use) yang merupakan bagian dari tata ruang, yang mengatur penggunaan tanah (Johara, 1999).


(19)

Tata ruang sebagai organisasi spasial menampakkan adanya unsur pengaturan dan nilai/status ruang-ruang di pewilayahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hierarki suatu daerah adalah aktivitas manusia, fasilitas yang ada untuk melakukan aktivitas, sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia. Penataan ruang mempunyai arti yang penting dalam pengembangan wilayah, terutama karena adanya tata ruang yang jelas, disusun dan disepakati bersama akan mampu untuk (Craig, 2003):

1) Memberikan kepastian usaha bagi semua pihak yang terkait.

2) Melindungi keberadaan lahan pertanian yang sering tergeser karena dinilai tidak kompetitif.

3) Menghindarkan pertentangan (conflict) melalui proses penyusunan yang transparan, disertai dengan langkah sosialisasi dan integrasi tata ruang.

Semua kegiatan ekonomi terkait erat dengan ruang dan lokasi, oleh karena itu perencanaan ekonomi harus didahului dengan perumusan kebijakan pengembangan wilayah, diterjemahkan dalam penataan ruang, dan program pembangunan daerah. Penataan ruang mempunyai dampak biaya yang sangat luas, terutama dengan timbulnya jaringan infrastruktur yang ditetapkan. Ketersediaan dana pembangunan Pemerintah perlu diperhitungkan dalam menyusun perencanaan tata ruang. Sebaliknya, perencanaan tata ruang yang buruk akan berakibat pada penataan ulang (re-zoning) dan relokasi, sehingga menimbulkan biaya ekonomi dan sosial yang tinggi di berbagai sektor, termasuk produksi dan industri pertanian (Craig, 2003).

Strategi pengembangan wilayah (regional planning) melalui konsep tata ruang diarahkan kepada pengaturan wilayah dalam keruangan yang bersifat menyeluruh, terpadu, dan regional (comprehensive, integrated, and regional development). Hal ini dilakukan untuk menggali dan memanfaatkan potensi geografi dan sumberdaya yang ada, khususnya di wilayah perdesaan. Kombinasi yang unik dari berbagai sumberdaya yang ada di suatu daerah membentuk kompetensi wilayah tersebut untuk fungsi ekonomi tertentu (Warpani, 1980). Seringkali pengembangan wilayah menghadapi beberapa persoalan dan kendala yang mencakup beberapa aspek, yaitu kebijakan penggunaan dan strategi pengembangan lahan yang ada (Riyadi, 2001).

Setiap daerah mempunyai sistem pengolahan sumberdaya alam, tenaga kerja, dan produksi, yang merupakan kegiatan pengembangan setiap daerah dalam usahanya untuk


(20)

mencukupi kebutuhan dan mengembangkan daerahnya secara maksimal. Kekurangan dan kelebihan di masing-masing daerah menjadi penyebab terjadinya kegiatan ekspor-impor antar daerah (Warpani, 1980). Pemilihan kawasan strategis yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan di kabupaten/kota berpengaruh besar pada penataan ruang, karena prioritas penataan wilayah dipilih sesuai arah pengembangan wilayah itu. Pemanfaatan dan peruntukan sumber air menjadi salah satu acuan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah. Pengembangan sumberdaya air pada wilayah sungai yang ditujukan bagi peningkatan manfaat guna memenuhi kebutuhan air baku untuk berbagai keperluan (diantaranya untuk pertanian) dilaksanakan sesuai tata ruang (FAO, 2000).

Undang-undang No. 24/1992 dan No. 119/1992, tentang Penataan Ruang memberikan perlindungan khusus untuk para petani sehamparan dan mengamanahkan bahwa tata ruang adalah pola dan wujud struktural pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan. Penataan ruang juga merupakan salah satu instrumen dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena itu harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dan daya dukung alami ruang tersebut dalam mengkonservasi air dan menjalankan fungsi-fungsi ekologisnya, terutama dalam kaitannya dengan daya tampung (ruang sebagai wadah) dan daya dukung lingkungan (ruang sebagai sumberdaya alam). Kemampuan alami tersebut sangat ditentukan oleh komposisi biotik dan abiotik serta penutupan lahan di atasnya serta jenis tanah, jenis geologi, kondisi hidrologi, kemiringan lahan, serta faktor klimat (Künzel, 1996).

Pengelompokan dalam penataan ruang dilakukan berdasarkan fungsi utama kawasan. Hal ini dimaksud untuk membagi ruang yang bisa dimanfaatkan sumberdayanya dan ruang yang harus dijaga kelestariannya. Melalui perencanaan tata ruang, dampak negatif lingkungan yang mungkin terjadi dapat diantisipasi dan dihindari dalam rangka tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu perencanaan keruangan wilayah harus bersifat menyeluruh, terpadu, dan memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan, yaitu:

1) Faktor ekonomi, berkaitan langsung dengan kegiatan pembangunan (faktor penyebab), direpresentasikan oleh kebutuhan konversi lahan (pemukiman, pertanian


(21)

dan industri) yang selalu berubah. Setiap peralihan penggunaan lahan harus dihitung besarnya kadar pencemaran lingkungan yang ditimbulkan.

2) Faktor ekologis, berkaitan dengan kemampuan alamiah untuk mendukung kegiatan pembangunan yang berlangsung serta dampaknya (faktor akibat).

3) Faktor alokasi ruang secara proporsional, yaitu terpenuhinya syarat minimal alami dari suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan. Hal ini diperhitungkan sebelum dilakukan konversi lahan untuk kepentingan pembangunan. 4) Faktor pendekatan keterpaduan, yaitu keterpaduan dalam konsep penataan ruang

wilayah yang terjadi antar sektor pembangunan serta keterpaduan vertikal (skala lokal, regional dan nasional).

5) Faktor pendapatan penduduk, yaitu upaya untuk meningkatkan pendapatan di berbagai sektor dengan tetap menjaga kualitas lingkungan pada setiap skenario pembangunan yang dirancang.

Lima faktor di atas pada hakekatnya menggambarkan keterkaitan antara tata ruang dengan dampak yang terjadi akibat pembangunan terhadap lingkungan. Dampak negatif yang mungkin terjadi harus diantisipasi dan dihindari dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam upaya pelestarian lingkungan ini, disadari sepenuhnya bahwa perencanaan secara nasional harus didukung oleh implementasi pada tingkat lokal (Brody, 2003).

Menurut Marsudi (1992) dan Johara (1999), pengkajian tata ruang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai teori yang telah dikembangkan, antara lain: Teori Lokasi oleh Von Thünen sebagai landasan bagi teori-teori penggunaan tanah (pertanahan) modern, Model Gravitasi, Analisis Input Output, dan Teori Kluster. Teori-teori ini dikembangkan untuk penggunaan pada situasi yang berbeda.

2.2.1 Teori Lokasi (Location Theory)

Setiap kegiatan manusia selalu memerlukan lokasi tanah dan kondisi lingkungan yang baik. Dalam hal ini harga memegang peranan yang penting dan menentukan pemilihan serta intensitas persaingan untuk mendapatkan tanah. Motivasi ekonomi manusia adalah untuk dapat mencapai target keuntungan yang maksimum, biaya transpor minimum dari penggunaan tanah di lokasi yang memadai. Untuk itu, maka


(22)

diperlukan pemahaman tentang kebijakan lokasi dan struktur spasial yang menyangkut pola penggunaan tanah, lokasi industri dan interaksi spasial.

Konsep dasar dari Teori Lokasi memerlukan kajian struktur spasial terhadap sistem jaringan nodal dan hierarki, blok diagram, bangunan normatif konsep pendekatan spasial ekonomi. Wacana teori ini tidak lepas dari interaksi aspek sosial, fisik dan ekonomi. Teori Lokasi masuk ke bidang ilmu ekonomi sejak Von Thünen mengembangkan teorinya sekitar tahun 1880. Teori Lokasi kemudian diperkenalkan secara utuh oleh Walter Isard pada tahun 1952, sehingga konsep pemilihan lokasi produksi mulai disadari pengaruhnya terhadap efisiensi, serta mulai masuk dalam ilmu ekonomi.

Von Thünen pada dasarnya mengembangkan Teori Lokasi secara keruangan. Lingkaran lokasi yang disusunnya merupakan daerah yang efisien sebagai lokasi kegiatan usaha tertentu dalam daerah tersebut. Teori yang dimulai oleh Launhardt diteruskan oleh Weber yang membahas teori tempat lokasi yang kemudian berkembang pesat. Akhirnya Hotelling mengembangkan teori yang merupakan sumbangan penting dalam perkembangan keseimbangan keruangan. Sejak Isard berhasil mengintegrasikan Teori Lokasi jalur Von Thünen dan Launhardt/Weber dan mengintroduksikan peralatan yang dikenal dalam ekonomi, maka Teori Lokasi lebih diterima di kalangan ahli ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya tampaknya teori tentang tempat lokasi dan ketergantungan lokasi menyatu dalam bentuk yang disebut mikro ekonomi spasial. Sebaliknya teori yang dirintis oleh Thünen menjadi landasan bagi teori pertanahan modern (Johara, 1999).

Teori Lokasi maupun Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah (Growth Theory) sependapat tentang adanya tahapan perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah perdesaan. Transformasi struktural wilayah perdesaan melalui industrialisasi untuk menumbuhkan produktivitas sumberdaya manusia, dapat dilakukan terutama dengan pengaturan tata ruang dan infrastruktur (prasarana) yang progresif di wilayah perdesaan. Peter Hall menyimpulkan bahwa perencanaan dan penataan dalam pengembangan wilayah merupakan upaya perancangan investasi usaha dan masyarakat melalui penataan ruang dan penciptaan fasilitas menjadi insentif yang positif untuk investasi.


(23)

Menurut Claudius Petit, hal itu menunjukkan bahwa perencanaan tata ruang harus dilakukan oleh dan untuk masyarakat di wilayah itu sendiri (Gillingwater, 1975).

Teori Lokasi untuk industri (Industrial Location Theory) menyatakan bahwa investor yang akan membangun suatu industri, secara rasional dan komprehensif mempertimbangkan dan memilih lokasi yang mampu menghasilkan keuntungan maksimal. Dengan pola pikir ini, maka pelaku industri akan tertarik pada lokasi yang paling kompetitif dalam hal upah tenaga kerja, biaya energi, ketersediaan pemasok, fasilitas komunikasi, pendidikan dan diklat, kualitas pelayanan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (Smith, 1973; Glasson, 1992; Arsyad, 1999; Dirdjojuwono, 2004).

2.2.2 Model Gravitasi (Gravity Model)

Model Gravitasi merupakan pendekatan yang fleksibel untuk analisis keterkaitan dan interaksi antara wilayah pusat dan daerah tepi maupun antar wilayah pusat. Model ini menghitung bobot (tingkat) keterkaitan yang dilandaskan pada dua komponen yaitu besarnya massa (mass) dan jarak antara titik-titik wilayah (nodes). Komponen massa menunjukkan tingkat dominasi ekonomi suatu titik wilayah, sedangkan komponen jarak menunjukkan pertimbangan lain yang lebih bersifat non-ekonomi (Misra et al., 1978).

Tingkat simplikasi dalam model ini seringkali dianggap terlalu berlebihan. Keterkaitan antar wilayah merupakan hubungan yang kompleks yang tidak terwakili hanya oleh dua komponen. Namun Richardson berpendapat bahwa Model Gravitasi tetap menjadi model yang secara praktis mampu menunjukkan potensi hubungan antara daerah yang berpengaruh (dominant) terhadap daerah-daerah lain yang dipengaruhinya (dominated). Gambaran tentang potensi ini digunakan untuk penyusunan prediksi yang sangat diperlukan dalam perencanaan perkembangan wilayah. Model Gravitasi menekankan pada kekuatan daya tarik teoritis dari suatu wilayah daripada arus keterkaitannya terhadap wilayah yang lainnya. Namun dengan analisa yang cermat akan tercermin potensi arus keterkaitan dari beberapa wilayah penelitian (Gillingwater, 1975).

Permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan Model Gravitasi adalah keterbatasan data, oleh karena itu prinsip wilayah fungsional dan wilayah administrasi harus mampu dipadukan, sehingga diperoleh hasil yang dapat diimplementasikan. Hal


(24)

ini terkait erat dengan penentuan kriteria pewilayahan yang dijadikan dasar penyusunan wilayah perencanaan (planning region).

2.2.3 Analisis Input Output

Analisis Input Output adalah teknik yang digunakan untuk kuantifikasi tingkat keterkaitan antara wilayah pusat dengan daerah tepi, atau pasangan pusat-pusat wilayah sehingga dapat diidentifikasi tingkat (derajat) keterkaitan dari jaringan yang ada. Analisis ini digunakan untuk identifikasi struktur dan hierarki dari hubungan pewilayahan. Keterkaitan diukur dari besar dan arah arus hubungan fungsional yang terjadi.

Hubungan fungsional di dalam wilayah ini dapat ditelusuri dari banyak pendekatan, misalnya arus komoditi intra-regional, pola komunitas dan arus migrasi; kepadatan komunikasi telpon; dan pola perjalanan dari sentra-sentra tenaga kerja ke tempat kerja; distribusi air irigasi ke wilayah pertanian. Kaitan-kaitan ini dapat diikhtisarkan dalam hubungan wilayah dan daerah-daerah nodal dalam suatu kerangka tata ruang yang lebih luas. Kalau daerah tidak sama besarnya dan tidak mengalami tingkat pertumbuhan yang sama, maka sistem regional sebagai suatu keseluruhan akan memperlihatkan tingkat ketidak-seimbangan yang ada, dan satu atau dua daerah yang mendominasi daerah-daerah lainnya. Arus dalam perekonomian nasional sering lebih berkaitan dengan produksi, jaringan infrastruktur interregional, meliputi jaringan transportasi, komunikasi, sistem jaringan sumberdaya manusia, air, listrik, daripada dengan hubungan-hubungan jasa yang mendominasi arus intraregional. Kerangka interregional ini bersifat hierarki. Secara makro, hierarki keterkaitan wilayah ini mengalami perkembangan yang cepat, sehingga mempunyai efek arus balik terhadap lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi karena pada hakekatnya semua industri dan jasa berorientasi pada pasar (Glasson, 1992).

Analisis Input Output juga merupakan teknik yang berguna untuk menguraikan dan menggambarkan daya saing dari suatu daerah dalam hubungannya dengan keterkaitan antar wilayah. Dalam analisis ini potensi terjadinya impor diabaikan, atau diasumsikan dalam suatu angka tetap atau faktor yang ditentukan secara empiris atas


(25)

dasar data masa lalu. Faktor impor pada hakekatnya sangat dipengaruhi oleh tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara dimana analisis ini dilakukan.

Dengan segala keterbatasan yang ada, Analisis Input Output tetap merupakan pendekatan yang praktis dan mampu memberikan gambaran yang berguna. Keunggulan Analisis Input Output karena menggunakan pendekatan keseimbangan yang sederhana, bersifat netral dan mampu menyesuaikan dengan pola perekonomian yang ada. Hal-hal ini yang menjadikan Analisis Input Output banyak digunakan.

Analisis Input Output berguna untuk meramalkan perekonomian wilayah dalam jangka pendek. Untuk peramalan itu perlu ditambahkan beberapa pendekatan dan asumsi dasar yang sangat menentukan ketepatan dari hasilnya, namun seringkali penetapan asumsi ini yang justru menghambat sehingga Analisis Input Output sulit dilaksanakan. Hal ini diatasi dengan membatasi asumsi dasar pada beberapa faktor penting dengan data yang tersedia. Beberapa manfaat dari Analisis Input Output yang paling berguna adalah prediksi dampak (multiplier effect) dari suatu pola pengembangan, baik terhadap peningkatan ekonomi, pengadaan kesempatan kerja, maupun sasaran-sasaran lain dari rancangan pengembangan wilayah (Glasson, 1992).

2.2.4 Teori Kluster

”Kluster” selain merupakan salah satu teori dalam pengembangan wilayah yang dilengkapi dengan teknik analisa, juga telah berkembang menjadi istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengembangan kelompok dalam tata ruang, serta mengilhami pengembangan kawasan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip Kluster perlu dipahami dalam merekayasa suatu kawasan pertanian terpadu. Teknik Analisis Kluster pada definisi fungsionalnya adalah alat untuk memilah data yang tidak teratur dari beberapa situasi, menganalisis, mencari derajat kesamaan (dan perbedaannya) serta membagikan dalam kelompok-kelompok. Dengan memperoleh kelompok data yang terstruktur dengan variabel yang ditentukan, maka dapat dilihat peta hubungan dan struktur keterkaitan yang dapat dikembangkan lebih lanjut (Everitt, 1980; Porter, 1998).

Lingkup geografis Kluster sering digambarkan sesuai dengan batas wilayah administrasi pemerintahan, namun dalam kenyataannya lingkup Kluster sering melampaui batas formal. Sebagai contoh, penerapan Kluster untuk agroindustri anggur


(26)

di California (USA) mencakup wilayah yang luas dengan keterpaduan lingkup yang rumit. Lebih dari itu, Kluster industri sepatu terkemuka di Italia mencakup seluruh wilayah negara. Berbeda dengan itu, Kluster patung ukiran kayu berpusat di pulau Bali, dan Kluster perabot kayu kelas ekspor di Jepara mencakup wilayah yang lebih terbatas yang terkonsentrasi pada proses produksi saja. Tampak bahwa lingkup geografis dari Kluster dapat mencakup kota, wilayah, hingga sekelompok negara yang saling terkait. Keterkaitan fungsional di dalam Kluster sering digunakan sebagai upaya untuk mencari cara-cara baru dalam bersaing serta terobosan bagi usahanya. Salah satu contoh adalah Silicon Valley yang tercipta menjadi Kluster yang paling inovatif. Keberhasilan penerapan konsep Kluster terutama tergantung dari kemampuan untuk menerapkan konsep itu sendiri (Gattorna, 1998). Hal ini menjelaskan bahwa manajemen pengelolaan merupakan fungsi yang sangat penting yang akan menentukan keberhasilan suatu Kluster (kawasan).

Uraian ini menunjukkan bahwa penataan ruang yang dilandaskan pada kejelian dan keberanian dalam menata keterkaitan fungsional (bukan geografis) merupakan pendekatan yang inovatif (sebagaimana terjadi di Silicon Valley, Amerika). Patut pula disimak keberhasilan perkembangan industrialisasi di Cina yang dikembangkan dengan menekankan pada penataan ruang yang disiplin, penyediaan infrastuktur yang lengkap, dan kemampuan manajemen pengelolaan yang efektif dalam memacu perkembangan industri, termasuk agroindustri (Ho dan Hsieh, 2006).

2.3

Kawasan Pertanian Terpadu

Globalisasi melahirkan persaingan bebas dalam wujud pasar bebas yang berdaya saing tinggi (free competitive market), oleh karena itu keterkaitan antara: (1) sektor pertanian, industri, dan perdagangan; (2) berbagai subsistem dalam sektor pertanian; (3) usaha mikro, kecil, menengah dan besar, harus dikembangkan melalui rekayasa bentuk-bentuk kawasan pertanian terpadu dalam tatanan agroniaga yang wajar (alami). Keberhasilan dan kesinambungan suatu kawasan pertanian yang terpadu membutuhkan prasyarat kesetaraan (bargaining position) dari semua pelaku yang terlibat dalam agroniaganya. Dalam kerangka ini maka keberhasilan pembangunan pertanian sangat


(27)

tergantung pada kemampuan untuk mewujudkan kesetaraan dalam agroniaga menuju pada pemerataan ekonomi, serta meningkatkan produksi dan pendapatan petani.

Pengembangan suatu kawasan pertanian (Lingard, 2002) berkait erat dan sangat bergantung pada ketersediaan sumberdaya lahan, air, manusia, fasilitas maupun bahan-bahan pendukung produksi, serta dukungan atau peran serta penduduk lingkungan sekitar (Craig, 2003). Secara khusus, pertanian merupakan sektor yang paling banyak menggunakan dan membutuhkan sumberdaya air. Oleh karena itu masalah tata ruang dan jaringan irigasi sangat penting bagi pengembangan suatu kawasan pertanian. Data di banyak negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa 80% dari penggunaan air untuk keperluan irigasi, dan sisanya terutama untuk penggunaan peternakan (Lowe, 2001; Journeaux, 2003).

Beberapa penelitian yang dilaksanakan di Asian Institute of Technology

(Pathumthani, Thailand) telah menunjukkan pentingnya jaringan irigasi dalam pengembangan kawasan pertanian terpadu, sebagai berikut (AIT, 1994):

1) Peningkatan kegiatan dan budidaya pertanian, sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani. Kehadiran industri di wilayah budidaya dan pengembangan jaringan irigasi merupakan upaya yang efektif untuk mencegah urbanisasi.

2) Penurunan biaya budidaya pertanian ditentukan (terutama) oleh tingkat ketersediaan jaringan irigasi, selain kombinasi dari peralatan bantu mekanik dan tenaga kerja tersedia.

3) Ketersediaan jaringan irigasi mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan budidaya pertanian yang dilakukan oleh petani miskin.

4) Perbaikan sistem operasi dan pengelolaan jaringan irigasi skala besar harus diawali dengan penentuan tingkat kebutuhan. Dengan menggunakan model matematik dan data yang disusun, dapat ditentukan skala jaringan yang paling memadai (optimal). 5) Peningkatan efisiensi penggunaan air akan memperluas lahan pertanian beririgasi

dengan menggunakan jumlah air yang sama.

6) Pengamatan pada area yang luas menunjukkan bahwa kehilangan air pada irigasi terutama (lebih dari 50%) disebabkan oleh pelimpahan permukaan (surface runoff),

layout, kondisi fisik sawah, dan pengelolaan air. Perencanaan jaringan irigasi yang lebih baik akan meningkatkan efisiensi air irigasi.


(28)

2.3.1 Pola-pola Pengembangan Kawasan Terpadu

Pengembangan kawasan terpadu merupakan model yang mengintegrasikan berbagai komponen ke dalam satu sistem. Hal ini umumnya dapat ditempuh melalui suatu bentuk kemitraan. Ada dua bentuk kemitraan yang lazim diterapkan yaitu kemitraan bisnis (business partnership) dan kemitraan antara Pemerintah dengan Swasta (public-private partnership). Kemitraan dikembangkan dengan berlandaskan pada prinsip saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling menghidupi, oleh beberapa pihak tertentu yang memiliki kesetaraan posisi tawar (bargaining position) (Sutarman dan Eriyatno, 2001; Haeruman dan Eriyatno, 2001; Sumardjo, 2001).

Pola kemitraan bisnis digunakan untuk mengubah keterkaitan yang ada dalam agribisnis menjadi bentuk-bentuk keterikatan antara usaha on farm dengan off farm

melalui bentuk-bentuk formal berupa kontrak untuk jangka waktu tertentu, biasanya jangka panjang. Pemilik modal kuat, pengusaha mikro/kecil dan petani disetarakan dengan adanya peran aktif Pemerintah saat dibentuk kerjasama formal oleh para pihak. Pola kemitraan antara Pemerintah-Swasta digunakan dengan keterkaitan yang lebih bebas dalam suatu keterpaduan untuk mencapai tujuan bersama dari pihak-pihak yang bermitra.

Secara umum pola-pola pengembangan kawasan terpadu yang telah ada saat ini dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu (Weitz dan Wang, 2004):

1) Pola Rekayasa Pemerintah. Kawasan pertanian ini dirancang-bangun oleh dan berorientasi pada peran kekuatan (power) Pemerintah.

2) Pola Kemitraan Usaha. Kawasan pertanian dengan penguasaan lahan (sebagian atau seluruhnya) dan pembangunan oleh investor industri pengolahan, antara lain bentuk contract farming yang berbentuk kerjasama dari sekelompok petani dengan konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan dengan kepemilikan tetap pada petani. Dalam pola ini pengelolaan usaha (on farm dan atau off farm) diserahkan kepada lembaga profesional dengan suatu perjanjian, dan petani bertindak selaku pemegang saham. Pola ini tidak menguntungkan petani gurem dengan lahan yang sempit (Simatupang, 2000).

3) Pola Komersial. Pola ini dirancang secara komersial dimana pengembangan dilakukan oleh investor Pengembang, melalui mekanisme pasar akan dijual kepada


(29)

petani, transmigran, atau masyarakat bisnis (umum). Pengembang tetap berkewajiban mengelola kawasan (Anonim, 1994).

Perkembangan dari pola ke pola yang menunjukkan adanya tiga fenomena yang sangat penting, yaitu (Hawiset, 1998; Maxwell dan Percy, 2002):

1) Peran Pemerintah yang berubah dari peran paternalistik sebagai inisiator, pengatur dan penguasa pada Pola Rekayasa Pemerintah, menjadi lembaga yang mendukung petani pada Pola Komersial. Hal ini sejalan dengan trend perubahan peran Pemerintah dalam kawasan pertanian terpadu.

2) Komoditi yang menjadi obyek, dari tanaman perkebunan (kelapa sawit), menjadi tanaman pangan dengan orientasi ekspor atau substitusi impor.

3) Bentuk pengaturan terhadap keterkaitan, dari suatu bentuk pengaturan oleh Pemerintah menjadi transaksi komersial yang berorientasi pada pasar.

4) Bentuk keterkaitan antara para pelaku dari suatu kemitraan menjadi kebersamaan dalam mengupayakan keterpaduan.

Beberapa masalah mendasar yang dihadapi dalam hubungan kemitraan formal adalah (Lewis, 1966; Djarwadi dan Broto, 1999; Widiati, 1999):

1) Ketidaksiapan dan kompetensi yang tidak memadai dari pihak-pihak yang bermitra, antara lain:

a. Masih lemahnya kesadaran petani tentang pengendalian mutu yang sesuai dengan kebutuhan pasar, serta masih rendahnya kemampuan petani dalam mengelola usahatani secara efisien dan komersial.

b. Keterbatasan kemampuan finansial perusahaan besar sehingga pembayaran kepada petani sering tertunda.

2) Hubungan kemitraan tidak dilandasi dengan kesetaraan para pelakunya sehingga semakin rentan terhadap keberpihakan dan peningkatan kesejahteraan petani.

3) Kemitraan yang dibangun tidak melibatkan masyarakat sekitar secara aktif, padahal dukungan masyarakat di sekitar kawasan harus dapat diakomodasi untuk menjamin kelanggengan dari program.

4) Perkembangan pola kawasan dalam kemitraan menjadi semakin komersial dan perilaku masyarakat industri, yang tidak ramah lingkungan (environmental friendly), tidak dikendalikan secara menyeluruh sehingga menimbulkan degradasi eco-system


(30)

(lingkungan) yang menjadi sumber konflik baru di masyarakat, baik di daerah yang bersangkutan maupun wilayah pengaruhnya (hinterland).

5) Pengertian kemitraan secara tradisional yang harus terikat dalam suatu kontrak/kerjasama tertulis yang mengikat para pihak telah ditinggalkan (Lowe, 2001). Pola kemitraan beralih menjadi koordinasi bersama pada suatu keterpaduan yang alami dalam suatu tatanan keruangan guna mencapai kerjasama yang efektif menuju efisiensi bersama (Weitz dan Wang, 2004).

Pengembangan pola kemitraan dalam komoditi hortikultura seyogyanya mengakar pada adat budaya dan sistem kelembagaan yang dianut oleh masyarakat setempat dan didukung dengan sistem kelembagaan yang representatif. Nampak dari berbagai masalah yang masih selalu timbul, bahwa adat budaya setempat tidak dapat menerima ketidak-seimbangan yang ada dan dalam ketidak-berdayaannya cenderung mengingkari keterikatan (kontrak formal), sehingga menjadi faktor kontra produktif dalam implementasi lembaga kemitraan. Karena itu dalam pengembangan pertanian, khususnya hortikultura, pola kemitraan informal dalam bingkai pasar bebas yang adil dan alami perlu dibangun, di mana sistem kelembagaannya mengikuti norma adat istiadat setempat (Sutrisno et al., 2001; Syukur et al., 2001; Zohar dan Maarshall, 2005).

Untuk menghasilkan rekayasa yang teruji dan realistis, maka diamati secara khusus tiga bentuk pola kemitraan dalam pengelolaan kawasan terpadu yang menggambarkan kemajuan dari rekayasa kawasan terpadu hingga saat ini sebagai acuan (benchmark), yaitu: Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Pola Agropolitan, dan Pola Kawasan Industri berwawasan Lingkungan (Eco-industrial Park). Masing-masing contoh ini menggambarkan karakter pola kemitraan dan latar belakang pengembangan kawasan terpadu yang spesifik.

1) Perusahaan Inti Rakyat (PIR)

Sejak tahun 1977 Pemerintah telah mengembangkan Program Anak-Bapak Angkat dan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dengan bentuk-bentuk derivatif-nya yaitu PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Berbantuan, dan sejak 1986 dikembangkan PIR Transmigrasi. Pola PIR merupakan model kawasan terpadu yang mengintegrasikan


(31)

beberapa komponen, yaitu kelembagaan, hubungan kerja, sumber dana dan sistem pembayaran, alokasi lahan dan keagrariaan, perbankan dan pengorganisasian. PIR merupakan perwujudan dari tiga pendekatan, yaitu: (1) keterpaduan dalam usahatani (farming approach), (2) komoditi (commodity approach), dan (3) wilayah (regional approach).

Pada pola-pola PIR, dianut sistem inti dan plasma yang terdiri dari pelaku-pelaku ekonomi (independent individuals and firms) yang diatur dalam suatu kerjasama dengan tujuan untuk menciptakan pembagian keuntungan yang adil. Secara kelembagaan, Pola PIR memadukan dua lembaga primer yaitu perusahaan inti dan petani plasma. Perkebunan besar sebagai perusahaan inti yang memberikan dukungan di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran, dengan petani perkebunan sebagai petani plasma yang menghasilkan bahan baku primer hasil pertanian untuk diolah oleh perusahaan inti. Di samping itu terdapat beberapa lembaga sekunder (pembantu) pada pola PIR yaitu Pemerintah Daerah, perbankan, keagrariaan, pekerjaan umum, pertanian, koperasi, transmigrasi, perindustrian dan perdagangan, kehutanan dan perkebunan, dan lembaga lainnya.

Hubungan mitra kerja antara dua lembaga primer berlangsung dalam proses produksi yang utuh. Hubungan kerja antar lembaga sekunder yakni kerjasama antar instansi terkait (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) dijalankan menurut fungsinya masing-masing di dalam wadah tim koordinasi PIR (TK PIR). Segala bentuk hubungan kerja dituangkan ke dalam perjanjian formal/resmi, yaitu:

a. Perjanjian antara perusahaan inti, petani plasma dan bank yang disebut clearing system, berupa kerjasama produksi antara perusahaan inti dengan petani plasma. b. Perjanjian kredit modal kerja dan penjaminan atas kredit petani plasma.

c. Akad kredit (konversi) antara petani plasma dengan pihak bank.

Pembiayaan proyek PIR berasal dari dana Pemerintah dan kredit bank. Berdasarkan sumber dananya, maka PIR dapat dibedakan menjadi PIR Berbantuan dan PIR Swadana. Dana dari Pemerintah dapat berasal dari bantuan luar negeri dan dalam negeri (APBN) yang digunakan untuk komponen kredit maupun komponen non kredit. Di dalam pelaksanaannya ketentuan kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan kredit dan komponen non kredit (sosial) yang diatur Pemerintah sangat bervariasi sesuai dengan


(32)

situasi, kondisi, dan komitmen-komitmen yang disepakati sebelum proyek PIR dibangun.

Untuk mencapai tujuan dari pendanaan oleh Pemerintah, maka telah dikeluarkan beberapa acuan teknis, yaitu (Soeripto et al.,1994):

a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan - 100% saham dimiliki Koperasi Usaha Perkebunan,

b. Pola Patungan Koperasi dan Investor - 65% saham dimiliki Koperasi Petani dan 35% dimiliki oleh investor/perusahaan industri pengolahan,

c. Pola Patungan Investor dan Koperasi - 80% saham dimiliki perusahaan dan 20% oleh koperasi yang ditingkatkan secara bertahap,

d. Pola Build, Operate, and Transfer (BOT), dimana pembangunan dan operasi oleh perusahaan dan pada waktu yang ditentukan akan dialihkan kepada koperasi, dan e. Pola Bank Tabungan Negara (BTN), dimana perusahaan membangun kebun dan

atau pabrik dan pada waktu tertentu dialihkan kepada koperasi melalui Kredit Pemilikan dari BTN.

PIR membutuhkan lahan yang cukup luas tetapi harus dapat diperoleh dengan harga penggantian yang murah. Lahan tersebut umumnya berupa tanah terpencil milik negara maupun milik perorangan yang belum dimanfaatkan. Pencadangan lahan untuk PIR ditetapkan oleh Gubernur, setelah dibebaskan dari semua rencana penggunaan. Areal tersebut kemudian diatur tata guna tanahnya yaitu untuk plasma, sarana jalan, sarana sosial, lahan untuk perusahaan inti dan lahan cadangan. Dalam pelaksanaannya, beberapa kendala dijumpai dalam pelaksanaan Pola PIR, antara lain:

a. Pengalihan kebun kepada petani plasma umumnya mengalami keterlambatan. b. Petani plasma umumnya tidak mengetahui masa pengalihan kebun dari perusahaan

inti kepada petani plasma

c. Rata-rata produksi kebun inti (TBS – tandan buah segar/ha) lebih besar dari produksi kebun plasma untuk periode yang sama

d. Penerimaan TBS hasil panen kebun inti di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) berlangsung cepat, berbeda dengan hasil petani plasma yang harus menginap.

e. Petani plasma merasa dirugikan dalam penentuan harga TBS, rendemen CPO/ PK, dan cara pembayaran.


(33)

Permasalahan di atas juga merupakan akibat dari kebijakan Pola PIR yang memisahkan kepemilikan aset petani plasma dengan perusahaan inti.

2) Agropolitan

Konsep Agropolitan merupakan antisipasi dari ketimpangan antara wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan perdesaan sebagai pusat kegiatan sektor primer (pertanian) yang tertinggal. Interaksi ke dua wilayah ini secara fungsional saling memperlemah. Wilayah perdesaan mengalami penurunan produktivitas, sedangkan wilayah perkotaan sebagai pusat pasar dan pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga menimbulkan masalah sosial dan lingkungan.

Perkembangan wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan tidak memberikan efek penetesan (trickle down effect), justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backward effect). Konsep growth pole menganjurkan investasi padat modal di pusat urban dengan harapan akan terjadi penyebaran pertumbuhan (spread effect) sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih luas. Namun pengalaman di negara sedang berkembang, kebijakan growth pole telah gagal untuk menjadi pendorong utama (prime mover) ekonomi di wilayahnya. Proses penetesan dan penyebaran yang ditimbulkan tidak cukup menggerakkan perekonomian wilayah itu (Rondinelli, 1985).

Friedman dan Douglass (1975), menyarankan bentuk Agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan (rural development) dengan batasan jumlah penduduk antara 50.000-150.000 orang. Strategi pengembangan Agropolitan ini dimaksud untuk menggerakkan ekonomi perdesaan dan penciptaan nilai tambah oleh pelaku lokal di tingkat perdesaan. Kawasan perdesaan didorong untuk tidak hanya menghasilkan bahan primer, tetapi juga bahan pangan olahan.

Konsep Agropolitan merupakan pengembangan wilayah perdesaan yang dilakukan dengan mengaitkan pada pembangunan perkotaan (urban development) secara berjenjang. Agropolitan dikembangkan di wilayah perdesaan karena sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama dari masyarakat, selain itu ketersediaan lahan pertanian dan air yang masih banyak tersedia dan dibutuhkan dalam pengembangan Agropolitan.


(34)

Agropolitan mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan. Pendekatan ini dimaksud untuk mendorong penduduk agar tetap tinggal dan berinvestasi di perdesaan.

Persyaratan pemberdayaan (enpowerment) masyarakat perdesaan menjadi kelemahan dari konsep Agropolitan. Dengan posisi tawar (bargaining position) yang lemah, masyarakat perdesaan tidak dapat menikmati nilai tambah dari proses interaksi wilayah. Kelemahan lain dari konsep ini adalah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya konversi lahan pertanian sebagai akibat dari adanya pembangunan infrastruktur dari proses pengkotaan. Hal ini akan menjadikan peran sektor pertanian berkurang secara bertahap.

Batas pengembangan Agropolitan ditetapkan dengan memperhatikan tingkat kemajuan dan luas wilayah; ciri agroklimat dan lahan, serta sumberdaya manusia/petani. Wilayah pengembangan di pulau Jawa cukup mencakup satu kecamatan, tetapi di luar Jawa pengembangan Agroplitan perlu lebih luas, mencapai skala kabupaten (district scale). Saat ini penetapan batas Agropolitan cenderung mengarah pada kemudahan operasional oleh karena itu mengikuti batas wilayah administratif.

Pengembangan Kawasan Agropolitan diawali dengan penetapan lokasi. Tahap berikutnya adalah penyusunan tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu adalah tahap penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan, sehingga bisa dihindari mengalirnya nilai tambah keluar kawasan yang tidak terkendali. pemukiman yang tidak memusat; aksesibilitas dengan kelas jalan yang sesuai; serta adanya tataruang yang memenuhi kebutuhan pengelolaan kawasan.

Penguatan kelembagaan lokal dan sistem kemitraan ditempuh dengan membentuk kemitraan antara petani perdesaan, Investor dan Pemerintah, dalam bentuk public private patnership. Prasyarat utama yang harus dipenuhi adalah terjaminnya keuntungan dari masing-masing pihak secara berkelanjutan. Pengembangan Agropolitan yang berhasil akan dapat membuktikan bahwa suatu wilayah dapat maju tanpa harus bertransformasi menjadi perkotaan atau berpindah dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri/jasa. Agropolitan yang berkembang dicirikan oleh peran sektor pertanian (termasuk agroindustri) yang tetap dominan.


(35)

Peranan Pemerintah dalam pengembangan kawasan Agropolitan di tahap awal adalah memfasilitasi terbentuknya unit pengembangan kawasan. Perkembangan berikutnya Pemerintah mulai berkurang perannya dan pada tahap akhir, Pemerintah hanya berperan pada sektor publik.

3) Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan

Konsep kawasan-kawasan komersial, berupa kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan pergudangan, dan kawasan-kawasan eksklusif komersial lainnya, telah dikembangkan secara internasional dengan mekanisme pasar bebas. Dalam pelaksanaannya pola pengembangan komersial itu telah menghasilkan pengelolaan yang terorganisasi rapi serta memenuhi harapan semua penghuni yang ada, walaupun masih ada beberapa permasalahan sosial dengan masyarakat sekitar (Lown, 2003; Cunningham dan Lamberton, 2005). Kawasan industri yang telah dikembangkan sejak akhir abad ke-19, dipilih sebagai rujukan (benchmark) dalam rekayasa sistem Agroestat karena adanya berbagai kesamaan sasaran.

Definisi dari kawasan industri sesuai National Industrial Zoning Committee (USA, 1967) adalah suatu kawasan yang luas dan dikelola oleh lembaga/badan profesional, dengan rancangan tata ruang tersendiri sesuai dengan lokasi, zoning, dan topografinya, didukung dengan ketersediaan aksesibilitas serta infrastruktur untuk aktivitas industri, termasuk pengelohan limbah. Pengembangan suatu kawasan industri (komersial) dilandasi pemikiran untuk mendapatkan keuntungan dari pengurangan biaya infrastruktur dari economic of scale dan pendekatan keterpaduan industri dalam wilayah. Kawasan industri pada umumnya dimaksudkan untuk mempermudah para investor pemilik pabrik/industri memperoleh tanah dengan kepastian hukum yang aman dan jelas, serta kelengkapan sarana, prasarana, dan fasilitas penunjang lainnya.

Pewilayahan kawasan industri, diupayakan pada daerah pinggiran kota (sub-urban area) yang tidak produktif, namun didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai untuk dapat mencapai simpul-simpul transportasi. Sarana dan prasarana biasanya dibangun secara bertahap sesuai perkembangan dari kawasan industri itu. Sarana penunjang industri seperti: pemukiman, perkantoran, pasar, ibadah, sekolah, dan fasilitas umum/sosial lainnya, dirancang dalam tata ruang sehingga bersifat menyeluruh dan terpadu.


(36)

Kawasan industri berwawasan lingkungan (eco-industrial park atau estate), merupakan bentuk pengembangan kawasan industri yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an, yang mem-fokuskan pada lingkungan masyarakat sekitar dan dirancang sebagai suatu keterpaduan bisnis, efisiensi usaha (pasar), dan waste exchange network

untuk meningkatkan pengelolaan kelestarian lingkungan. EIP bertujuan untuk menambah manfaat ekonomis dan sosial sambil mengurangi dampak lingkungan, secara bersama-sama. Setiap langkah dirancang sebagai upaya untuk meningkatkan tingkat laba usaha dan mengurangi biaya tambahan dari dampak lingkungan yang ditimbulkan. EIP dirancang untuk melakukan produksi bersih (cleaner production) antara lain dengan pakai-ulang (re-use) dan daur-ulang (recycling) dari bahan baku, aliran distribusi untuk menghemat pemakaian air baku dan tenaga (panas), serta pengolahan limbah secara bersama dari seluruh pabrik/industri yang ada di kawasan. Upaya penghematan bahan baku dan energi, pemanfaatan limbah, serta pengurangan dampak lingkungan dirancang dengan melihat seluruh kawasan sebagai struktur yang utuh dengan tujuan tunggal.

Pengusahaan kawasan industri dilakukan oleh pengusaha swasta, sedangkan masing-masing pabrik/industri dan usaha lainnya dalam kawasan mempunyai kepemilikan yang terpisah. EIP mendorong timbulnya kerjasama masyarakat, Pemerintah (Daerah) dan pihak Swasta dalam suatu public-private partnership, sehingga secara langsung juga dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan.

Perencanaan yang disusun sejak awal harus menambah alternatif yang akan mencegah terjadinya konflik sosial tetapi justru memberi manfaat kepada seluruh stake holders. Salah satu bentuk yang paling sederhana adalah dalam hal penyediaan fasilitas pendidikan yang hasilnya akan dinikmati oleh semua pabrik/industri dan usaha lainnya berupa pasokan tenaga kerja trampil, selain memberi manfaat pendidikan dan perluasan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan.

2.3.2 Lembaga-lembaga Pendukung

Peran lembaga-lembaga pendukung sangat penting bahkan ikut menentukan keberhasilan dalam membangun keterpaduan pada pengembangan kawasan pertanian. Ada tiga pihak yang mutlak dibutuhkan dan harus terlibat secara aktif dalam membangun keterpaduan ini, yaitu (CADI, 2002):


(37)

1) Pemerintah (Pemerintah Daerah), untuk mengamankan pihak yang lebih lemah agar diperlakukan secara adil, melalui keberpihakan dalam bentuk kebijakan. 2) Bisnis, untuk menampung kepentingan usaha yang menguntungkan.

3) Masyarakat, untuk menjamin tata laksana yang sesuai dengan budaya yang dianut masyarakat setempat.

Disamping itu, secara teknis, pengembangan sektor pertanian harus didukung oleh beberapa lembaga ekonomi yang perlu direkayasa dan ditumbuh-kembangkan secara sehat, yaitu (Anonim, 1997/1998; Syukur et al., 2001; Gumbira dan Intan, 2001):

1) Pemerintah (Pemerintah Daerah), berperan dalam menciptakan lingkungan usaha pertanian yang kondusif dan mampu mendukung pengembangan agroindustri yang tangguh, dengan wewenang regulasi yang ada padanya.

2) Lembaga Keuangan Mikro – berperan dalam mengembangkan alternatif penyediaan modal investasi dan modal kerja, dari sektor hulu sampai hilir. Pembiayaan bukan hanya untuk produsen primer (usahatani), melainkan juga usaha yang ada di hulu (usaha pembenihan, penyediaan obat-obatan/pupuk, dan peralatan pertanian) dan di hilir (usaha distribusi produksi primer, sekunder dan tersier). 3) Kelompok Tani, berperan dalam mengelola penyediaan bahan baku agroindustri

berupa produk hasil pertanian, sehingga tersedia dalam harga, mutu, dan jumlah yang berkesinambungan serta layak secara teknoekonomis.

4) Lembaga Pemasaran dan Distribusi – berfungsi sebagai mediator yang menghubungkan konsumen pengguna (deficit units) dan produsen (surplus units) yang efektif dan efisien.

5) Koperasi – sebagai badan ekonomi rakyat berperan dalam menghimpun kekuatan ekonomi anggota untuk kemaslahatan bersama dengan azas kekeluargaan.

6) Lembaga Pendidikan Formal dan Informal. Lembaga pendidikan formal yang berbasis keilmuan agroindustri dan pendukungnya, serta pelatihan informal yang berbasis pengetahuan praktis, diperlukan untuk mendukung sektor riil di bidang usahatani dan agroindustri.

7) Lembaga Penyuluhan Pertanian Lapangan – berperan memperkenalkan (desiminasi dan sosialisasi) berbagai program peningkatan produksi hortikultura melalui


(38)

bimbingan dalam pelaksanaan melalui para penyuluh pertanian lapangan (PPL) di lapangan.

8) Lembaga Riset – berperan untuk memajukan sektor agro terutama dalam mengupayakan keunggulan mutu dan diferensiasi produk yang sesuai permintaan pasar melalui rekayasa genetika atau bio-teknologi.

9) Lembaga Penjamin dan Penanggungan Resiko – berperan menghilangkan kekhawatiran para petani budidaya yang ingin masuk ke dalam sektor industri mikro terhadap resiko yang besar di sektor pertanian.

10) Lembaga Arbritator – berperan dalam merumuskan rambu-rambu perniagaan dan kemitraan usaha, serta menyelesaikan konflik kepentingan yang merugikan salah satu pelaku (terutama yang lemah) yang beranggotakan para pemuka daerah dan tokoh yang disegani.

Pemerintah (Pemerintah Daerah) dan Lembaga Keuangan Mikro merupakan kelembagaan primer dalam rekayasa kawasan kertanian terpadu, artinya merupakan lembaga yang berpengaruh langsung terhadap keberhasilan dalam penerapannya. Oleh karena itu, secara khusus perlu dibahas tentang Lembaga Keuangan Mikro yang melalui perannya dapat meningkatkan usaha ekonomi skala mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang terkonsentrasi pada sektor pertanian (petani), perdagangan dan industri rumah tangga (84.7%). Pertumbuhan UMKM (2003) sebesar 5.36%, lebih besar dibanding pertumbuhan usaha skala besar (4.04%) membuktikan peran UMKM yang sangat besar dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Pengembangan UMKM terhambat oleh kemampuan permodalannya yang rendah, akibat lemahnya akses kepada lembaga keuangan formal. Sampai saat ini UMKM masih sulit memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan oleh lembaga perkreditan mikro yang ada, hanya 12% UMKM yang mempunyai akses kepada perbankan yang disebabkan oleh beberapa keterbatasan yaitu:

1) Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UMKM. 2) Pencadangan yang berlebihan terhadap resiko kredit UMKM. 3) Biaya transaksi kredit UMKM relatif tinggi.

4) Persyaratan teknis bank (proposal dan agunan) kurang terpenuhi baik. 5) Monitoring dan koleksi kredit UMKM tidak efisien.


(39)

6) Bantuan teknis masih harus disediakan oleh bank sehingga biaya pelayanan UMKM relatif mahal.

7) Bank belum terbiasa dengan pembiayaan UMKM.

Kredit Usahatani (KUT) dan Kredit Umum Perdesaan (KUPEDES) merupakan kredit bersubsidi dari Pemerintah untuk usahatani dan usaha penunjang pertanian lainnya. Salah satu tujuan KUT adalah untuk memacu penerapan teknologi pertanian, khususnya untuk pemilihan input produksi. Kredit program semacam KUT ini adalah alat yang sangat efektif dalam peningkatan produksi melalui program intensifikasi. Tingkat bunga yang rendah dan prosedur yang relatif mudah dalam pelaksanaan penyaluran kredit program telah mendorong adopsi teknologi yang direkomendasikan dan mendorong petani ke arah yang lebih baik. Kredit program adalah langkah awal yang strategis untuk memberdayakan golongan ekonomi lemah untuk mengatasi aksesibilitas mereka terhadap kredit umum. Dalam kredit program ini yang perlu diperbaiki adalah prosedur administrasi yang masih relatif panjang yang menjadi penyebab utama keengganan masyarakat perdesaan untuk berhubungan dengan perbankan (Sudaryanto et al., 2002a).

Dikaitkan dengan arah pembangunan pertanian yang menitik-beratkan kepada pendekatan keterpaduan sektor pertanian, maka karakteristik skim permodalan usaha pertanian haruslah memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Dapat mengakomodasi besaran kredit yang diperlukan petani skala kecil.

2) Dapat melayani subsistem produksi (budidaya dan pengolahan), juga subsistem lainnya (distribusi dan pemasaran).

3) Bersifat lentur dalam hal waktu pelayanan dan penyaluran sesuai dengan struktur musim di pertanian, khsususnya untuk kredit produksi.

4) Memiliki prosedur pengajuan, penyaluran dan pengembalian yang sederhana dan mudah dipahami maupun dipenuhi.

5) Dapat memberikan pelayanan, monitoring penggunaan pinjaman dan kontrol terhadap penyaluran kredit yang menjamin kredit disalurkan kepada sasaran dalam jumlah dan waktu yang tepat.


(1)

Halaman

4.5. Formulasi Alternatif Strategi Dasar ... 91

4.6. Analisis Strategi Dasar ... 93

5. REKAYASA POLA AGROESTAT... 102

5.1. Konsep Dasar Pola Agroestat... 102

5.2. Jaringan Infrastruktur Agroestat ... 105

5.3. Pewilayahan Agroestat... 109

5.4. Agroniaga Komoditi Unggulan dalam Agroestat ... 123

5.5. Pembiayaan Usahatani ... 129

5.6. Tata Guna Lahan ... 132

5.7. Organisasi Pengelolaan Kawasan ... 137

5.8. Kelayakan Lingkungan Kawasan... 140

6. SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN (SPK) AGROESTAT... 146

6.1. Konfigurasi Model ... 146

6.2. Validasi Model ... 153

7. KESIMPULAN DAN SARAN... 180

7.1. Kesimpulan ... 180

7.2. Proses Validasi ... 183

7.3. Kontribusi Disertasi terhadap Ilmu Pengetahuan... 184

7.4. Saran... 185

DAFTAR PUSTAKA... 187


(2)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Proses Pengembangan Kawasan secara Fungsional... 15

Gambar 2 Tujuh Langkah Penerapan Soft System Methodology (SSM)... 51

Gambar 3 Diagram Alir Proses Hierarki Analitik (PHA) ... 53

Gambar 4 Diagram Input Output Pengembangan Kawasan Pertanian Terpadu... 73

Gambar 5 Diagram Alur dari Sistem Pengembangan ... 76

Gambar 6 Diagram Rancang Bangun Sistem Pengembangan ... 77

Gambar 7 Hierarki Faktor Penentu Keberhasilan ... 86

Gambar 8 Hierarki Komoditi unggulan Agroestat ... 88

Gambar 9 Struktur Pewilayahan Agroestat (Fungsional)... 109

Gambar 10 Pewilayahan Agroestat (Fungsional)... 111

Gambar 11 Pewilayahan Agroestat (Geografis)... 111

Gambar 12 Struktur Jaringan Irigasi untuk Pertanian ... 114

Gambar 13 Peta Daerah Irigasi di Kabupaten Brebes ... 116

Gambar 14 Peta Daerah Ketinggian di Kabupaten Brebes ... 117

Gambar 15 Peta Curah Hujan di Kabupaten Brebes ... 118

Gambar 16 Daerah dengan Potensi Industri (Bawang Merah)... 119

Gambar 17 Peta Pewilayahan Agroestat ... 121

Gambar 18 Alur Niaga Komoditi Hortikultura ... 126

Gambar 19 Perbedaan Tata Guna Lahan versi Agroestat dengan RTRW Kabupaten... 136

Gambar 20 Organisasi Pengelola Kawasan... 140

Gambar 21 Diagram Rekayasa SPK Agroestat ... 146

Gambar 22 Diagram Alir Deskriptif – Pemilihan Strategi... 147

Gambar 23 Diagram Alir Deskriptif – Perubahan Demand ... 149

Gambar 24 Diagram Alir Deskriptif – Perubahan Irigasi ... 150

Gambar 25 Diagram Alir Deskriptif – Perubahan Irigasi Terbatas... 152

Gambar 26 Alur Pikir Rekayasa SPK Agroestat... 153


(3)

Halaman

Gambar 28 Grafik Luas Lahan Bawang Merah di Kabupaten Brebes (2003 –

2005)... 165 Gambar 29 Grafik Produksi Bawang Merah di Kabupaten Brebes (2003 –

2005)... 166 Gambar 30 Grafik Fluktuasi Harga Bawang Merah di Kabupaten Brebes

(2003 – 2005) ... 166 Gambar 31 Keterkaitan antara Luas Lahan dengan Produksi Bawang Merah... 166 Gambar 32 Keterkaitan antara Produksi dengan Harga Bawang Merah (2003


(4)

v ii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Perbedaan Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dengan

Pendekatan Statistik... 50

Tabel 2 Karakter Metode Riset dengan berbagai Pendekatan ... 51

Tabel 3 MPE – Tingkat Kepentingan dari Tujuan Agroestat ... 94

Tabel 4 Hasil Penilaian Strategi Berdasarkan Peningkatan Pendapatan Petani ... 95

Tabel 5 Hasil Penilaian Strategi Berdasarkan Harga Jual Produk... 96

Tabel 6 Hasil Penilaian Strategi Berdasarkan Jaminan Pemasaran... 96

Tabel 7 Hasil Penilaian Strategi Berdasarkan Kesinambungan Pasokan ... 97

Tabel 8 Hasil Penilaian Strategi Berdasarkan Kesempatan Kerja... 97

Tabel 9 Hasil Penilaian Strategi Berdasarkan Distribusi Laba Usaha... 98

Tabel 10 Hasil Penilaian Strategi Berdasarkan Keamanan Berusaha ... 99

Tabel 11 Hasil Penilaian Strategi Berdasarkan Harga Bahan Baku yang Layak ... 99

Tabel 12 Hasil Penilaian Strategi Berdasarkan Partisipasi Masyarakat Lokal... 100

Tabel 13 Hasil Penilaian Strategi Berdasarkan Peningkatan PAD... 100

Tabel 14 MPE Matrix Nilai Skor Alternatif ke-i pada Kriteria ke-j... 101

Tabel 15 Pengembangan dan Tata guna lahan di Indonesia tahun 1990-2010 ... 107

Tabel 16 Pengelolaan Infrastruktur Agroestat dibanding Kawasan Komersial... 108

Tabel 17 Analisis Batas Wilayah Agroestat ... 120

Tabel 18 Rantai Usaha Agro-industri dalam Alur Niaga Bawang Merah... 128

Tabel 19 Produk Pinjaman Khusus Petani... 131

Tabel 20 Analisa Tata Guna Lahan dalam Sistem Agroestat (1) ... 134

Tabel 21 Analisa Tata Guna Lahan Dalam Sistem Agroestat (2) ... 135

Tabel 22 Profil Pengelola Agroestat dibanding Kawasan Komersial ... 138


(5)

Halaman

Tabel 24 Komponen Biaya Industri Bawang Goreng (kapasitas 1.000

kg/bulan) ... 158

Tabel 25 Investasi Mesin dan Peralatan Industri Bawang Goreng (kapasitas 1.000 kg/bulan)... 159

Tabel 26 Hasil analisis kelayakan industri bawang goreng pada berbagai kapasitas ... 161

Tabel 27 Struktur Distribusi Keuntungan dalam Rantai Agribisnis Bawang Merah... 163

Tabel 28 Rekapitulasi perhitungan usaha budidaya bawang merah ... 164

Tabel 29 Hasil analisis finansial usaha tani bawang merah ... 164

Tabel 30 Profil Kabupaten Brebes... 168

Tabel 31 Perhitungan Kebutuhan Fasilitas Gudang Bawang Merah... 169

Tabel 32 Daftar Luas Lahan, Produksi, dan Harga Bawang Merah 2003 – 2005 ... 171

Tabel 33 Perhitungan Kebutuhan Luas Lahan dengan Perubahan Demand Bawang Merah sebesar 10% per tahun... 172

Tabel 34 Perhitungan Demand Bawang Merah melalui Peningkatan Luas Lahan sebesar 10% per tahun ... 172

Tabel 35 Peningkatan Keuntungan Petani Budidaya Pertanian (1)... 173

Tabel 36 Peningkatan Keuntungan Petani Budidaya Pertanian (2)... 173

Tabel 37 Peningkatan Keuntungan Petani Budidaya Pertanian (3)... 175

Tabel 38 Perhitungan Harga Bawang Merah pada Perubahan Irigasi Terbatas ... 175


(6)

i x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Industri Pasca Panen Bawang Merah ... 195

Lampiran 2 Organisasi Pemerintah Kabupaten Brebes ... 199

Lampiran 3 Daftar Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)... 201