28
2.3.1 Pola-pola Pengembangan Kawasan Terpadu
Pengembangan kawasan terpadu merupakan model yang mengintegrasikan berbagai komponen ke dalam satu sistem. Hal ini umumnya dapat ditempuh melalui
suatu bentuk kemitraan. Ada dua bentuk kemitraan yang lazim diterapkan yaitu kemitraan bisnis business partnership dan kemitraan antara Pemerintah dengan
Swasta public-private partnership. Kemitraan dikembangkan dengan berlandaskan pada prinsip saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling menghidupi, oleh
beberapa pihak tertentu yang memiliki kesetaraan posisi tawar bargaining position Sutarman dan Eriyatno, 2001; Haeruman dan Eriyatno, 2001; Sumardjo, 2001.
Pola kemitraan bisnis digunakan untuk mengubah keterkaitan yang ada dalam agribisnis menjadi bentuk-bentuk keterikatan antara usaha on farm dengan off farm
melalui bentuk-bentuk formal berupa kontrak untuk jangka waktu tertentu, biasanya jangka panjang. Pemilik modal kuat, pengusaha mikrokecil dan petani disetarakan
dengan adanya peran aktif Pemerintah saat dibentuk kerjasama formal oleh para pihak. Pola kemitraan antara Pemerintah-Swasta digunakan dengan keterkaitan yang lebih
bebas dalam suatu keterpaduan untuk mencapai tujuan bersama dari pihak-pihak yang bermitra.
Secara umum pola-pola pengembangan kawasan terpadu yang telah ada saat ini dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu Weitz dan Wang, 2004:
1 Pola Rekayasa Pemerintah. Kawasan pertanian ini dirancang-bangun oleh dan
berorientasi pada peran kekuatan power Pemerintah.
2 Pola Kemitraan Usaha. Kawasan pertanian dengan penguasaan lahan sebagian
atau seluruhnya dan pembangunan oleh investor industri pengolahan, antara lain bentuk contract farming yang berbentuk kerjasama dari sekelompok petani dengan
konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan dengan kepemilikan tetap pada petani. Dalam pola ini pengelolaan usaha on farm dan atau off farm diserahkan kepada
lembaga profesional dengan suatu perjanjian, dan petani bertindak selaku pemegang saham. Pola ini tidak menguntungkan petani gurem dengan lahan yang sempit
Simatupang, 2000.
3 Pola Komersial. Pola ini dirancang secara komersial dimana pengembangan
dilakukan oleh investor Pengembang, melalui mekanisme pasar akan dijual kepada
29 petani, transmigran, atau masyarakat bisnis umum. Pengembang tetap
berkewajiban mengelola kawasan Anonim, 1994. Perkembangan dari pola ke pola yang menunjukkan adanya tiga fenomena yang
sangat penting, yaitu Hawiset, 1998; Maxwell dan Percy, 2002: 1 Peran Pemerintah yang berubah dari peran paternalistik sebagai inisiator, pengatur
dan penguasa pada Pola Rekayasa Pemerintah, menjadi lembaga yang mendukung petani pada Pola Komersial. Hal ini sejalan dengan trend perubahan peran
Pemerintah dalam kawasan pertanian terpadu. 2 Komoditi yang menjadi obyek, dari tanaman perkebunan kelapa sawit, menjadi
tanaman pangan dengan orientasi ekspor atau substitusi impor. 3 Bentuk pengaturan terhadap keterkaitan, dari suatu bentuk pengaturan oleh
Pemerintah menjadi transaksi komersial yang berorientasi pada pasar. 4 Bentuk keterkaitan antara para pelaku dari suatu kemitraan menjadi kebersamaan
dalam mengupayakan keterpaduan. Beberapa masalah mendasar yang dihadapi dalam hubungan kemitraan formal
adalah Lewis, 1966; Djarwadi dan Broto, 1999; Widiati, 1999: 1 Ketidaksiapan dan kompetensi yang tidak memadai dari pihak-pihak yang bermitra,
antara lain: a. Masih lemahnya kesadaran petani tentang pengendalian mutu yang sesuai
dengan kebutuhan pasar, serta masih rendahnya kemampuan petani dalam mengelola usahatani secara efisien dan komersial.
b. Keterbatasan kemampuan finansial perusahaan besar sehingga pembayaran kepada petani sering tertunda.
2 Hubungan kemitraan tidak dilandasi dengan kesetaraan para pelakunya sehingga semakin rentan terhadap keberpihakan dan peningkatan kesejahteraan petani.
3 Kemitraan yang dibangun tidak melibatkan masyarakat sekitar secara aktif, padahal dukungan masyarakat di sekitar kawasan harus dapat diakomodasi untuk menjamin
kelanggengan dari program. 4 Perkembangan pola kawasan dalam kemitraan menjadi semakin komersial dan
perilaku masyarakat industri, yang tidak ramah lingkungan environmental friendly, tidak dikendalikan secara menyeluruh sehingga menimbulkan degradasi eco-system
30 lingkungan yang menjadi sumber konflik baru di masyarakat, baik di daerah yang
bersangkutan maupun wilayah pengaruhnya hinterland. 5 Pengertian kemitraan secara tradisional yang harus terikat dalam suatu
kontrakkerjasama tertulis yang mengikat para pihak telah ditinggalkan Lowe, 2001. Pola kemitraan beralih menjadi koordinasi bersama pada suatu keterpaduan
yang alami dalam suatu tatanan keruangan guna mencapai kerjasama yang efektif menuju efisiensi bersama Weitz dan Wang, 2004.
Pengembangan pola kemitraan dalam komoditi hortikultura seyogyanya mengakar pada adat budaya dan sistem kelembagaan yang dianut oleh masyarakat setempat dan
didukung dengan sistem kelembagaan yang representatif. Nampak dari berbagai masalah yang masih selalu timbul, bahwa adat budaya setempat tidak dapat menerima
ketidak-seimbangan yang ada dan dalam ketidak-berdayaannya cenderung mengingkari keterikatan kontrak formal, sehingga menjadi faktor kontra produktif dalam
implementasi lembaga kemitraan. Karena itu dalam pengembangan pertanian, khususnya hortikultura, pola kemitraan informal dalam bingkai pasar bebas yang adil
dan alami perlu dibangun, di mana sistem kelembagaannya mengikuti norma adat istiadat setempat Sutrisno et al., 2001; Syukur et al., 2001; Zohar dan Maarshall,
2005. Untuk menghasilkan rekayasa yang teruji dan realistis, maka diamati secara
khusus tiga bentuk pola kemitraan dalam pengelolaan kawasan terpadu yang menggambarkan kemajuan dari rekayasa kawasan terpadu hingga saat ini sebagai acuan
benchmark, yaitu: Pola Perusahaan Inti Rakyat PIR, Pola Agropolitan, dan Pola Kawasan Industri berwawasan Lingkungan Eco-industrial Park. Masing-masing
contoh ini menggambarkan karakter pola kemitraan dan latar belakang pengembangan kawasan terpadu yang spesifik.
1 Perusahaan Inti Rakyat PIR
Sejak tahun 1977 Pemerintah telah mengembangkan Program Anak-Bapak Angkat dan pola Perusahaan Inti Rakyat PIR dengan bentuk-bentuk derivatif-nya yaitu
PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Berbantuan, dan sejak 1986 dikembangkan PIR Transmigrasi. Pola PIR merupakan model kawasan terpadu yang mengintegrasikan
31 beberapa komponen, yaitu kelembagaan, hubungan kerja, sumber dana dan sistem
pembayaran, alokasi lahan dan keagrariaan, perbankan dan pengorganisasian. PIR merupakan perwujudan dari tiga pendekatan, yaitu: 1 keterpaduan dalam usahatani
farming approach, 2 komoditi commodity approach, dan 3 wilayah regional approach.
Pada pola-pola PIR, dianut sistem inti dan plasma yang terdiri dari pelaku- pelaku ekonomi independent individuals and firms yang diatur dalam suatu kerjasama
dengan tujuan untuk menciptakan pembagian keuntungan yang adil. Secara kelembagaan, Pola PIR memadukan dua lembaga primer yaitu perusahaan inti dan
petani plasma. Perkebunan besar sebagai perusahaan inti yang memberikan dukungan di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran, dengan petani perkebunan sebagai petani
plasma yang menghasilkan bahan baku primer hasil pertanian untuk diolah oleh perusahaan inti. Di samping itu terdapat beberapa lembaga sekunder pembantu pada
pola PIR yaitu Pemerintah Daerah, perbankan, keagrariaan, pekerjaan umum, pertanian, koperasi, transmigrasi, perindustrian dan perdagangan, kehutanan dan perkebunan, dan
lembaga lainnya. Hubungan mitra kerja antara dua lembaga primer berlangsung dalam proses
produksi yang utuh. Hubungan kerja antar lembaga sekunder yakni kerjasama antar instansi terkait Pusat, Provinsi, dan Kabupaten dijalankan menurut fungsinya masing-
masing di dalam wadah tim koordinasi PIR TK PIR. Segala bentuk hubungan kerja dituangkan ke dalam perjanjian formalresmi, yaitu:
a. Perjanjian antara perusahaan inti, petani plasma dan bank yang disebut clearing system,
berupa kerjasama produksi antara perusahaan inti dengan petani plasma. b. Perjanjian kredit modal kerja dan penjaminan atas kredit petani plasma.
c. Akad kredit konversi antara petani plasma dengan pihak bank. Pembiayaan proyek PIR berasal dari dana Pemerintah dan kredit bank.
Berdasarkan sumber dananya, maka PIR dapat dibedakan menjadi PIR Berbantuan dan PIR Swadana. Dana dari Pemerintah dapat berasal dari bantuan luar negeri dan dalam
negeri APBN yang digunakan untuk komponen kredit maupun komponen non kredit. Di dalam pelaksanaannya ketentuan kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan kredit dan
komponen non kredit sosial yang diatur Pemerintah sangat bervariasi sesuai dengan
32 situasi, kondisi, dan komitmen-komitmen yang disepakati sebelum proyek PIR
dibangun. Untuk mencapai tujuan dari pendanaan oleh Pemerintah, maka telah dikeluarkan
beberapa acuan teknis, yaitu Soeripto et al.,1994: a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan - 100 saham dimiliki Koperasi Usaha
Perkebunan, b. Pola Patungan Koperasi dan Investor - 65 saham dimiliki Koperasi Petani dan
35 dimiliki oleh investorperusahaan industri pengolahan, c. Pola Patungan Investor dan Koperasi - 80 saham dimiliki perusahaan dan 20
oleh koperasi yang ditingkatkan secara bertahap, d. Pola Build, Operate, and Transfer BOT, dimana pembangunan dan operasi oleh
perusahaan dan pada waktu yang ditentukan akan dialihkan kepada koperasi, dan e. Pola Bank Tabungan Negara BTN, dimana perusahaan membangun kebun dan
atau pabrik dan pada waktu tertentu dialihkan kepada koperasi melalui Kredit Pemilikan dari BTN.
PIR membutuhkan lahan yang cukup luas tetapi harus dapat diperoleh dengan harga penggantian yang murah. Lahan tersebut umumnya berupa tanah terpencil milik
negara maupun milik perorangan yang belum dimanfaatkan. Pencadangan lahan untuk PIR ditetapkan oleh Gubernur, setelah dibebaskan dari semua rencana penggunaan.
Areal tersebut kemudian diatur tata guna tanahnya yaitu untuk plasma, sarana jalan, sarana sosial, lahan untuk perusahaan inti dan lahan cadangan. Dalam pelaksanaannya,
beberapa kendala dijumpai dalam pelaksanaan Pola PIR, antara lain: a. Pengalihan kebun kepada petani plasma umumnya mengalami keterlambatan.
b. Petani plasma umumnya tidak mengetahui masa pengalihan kebun dari perusahaan inti kepada petani plasma
c. Rata-rata produksi kebun inti TBS – tandan buah segarha lebih besar dari produksi kebun plasma untuk periode yang sama
d. Penerimaan TBS hasil panen kebun inti di Pabrik Kelapa Sawit PKS berlangsung cepat, berbeda dengan hasil petani plasma yang harus menginap.
e. Petani plasma merasa dirugikan dalam penentuan harga TBS, rendemen CPO PK, dan cara pembayaran.
33 Permasalahan di atas juga merupakan akibat dari kebijakan Pola PIR yang
memisahkan kepemilikan aset petani plasma dengan perusahaan inti.
2 Agropolitan
Konsep Agropolitan merupakan antisipasi dari ketimpangan antara wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan perdesaan sebagai pusat
kegiatan sektor primer pertanian yang tertinggal. Interaksi ke dua wilayah ini secara fungsional saling memperlemah. Wilayah perdesaan mengalami penurunan
produktivitas, sedangkan wilayah perkotaan sebagai pusat pasar dan pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga menimbulkan masalah sosial dan lingkungan.
Perkembangan wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan tidak memberikan efek penetesan trickle down effect, justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya
dari wilayah sekitarnya backward effect. Konsep growth pole menganjurkan investasi padat modal di pusat urban dengan harapan akan terjadi penyebaran pertumbuhan
spread effect sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih luas. Namun pengalaman di negara sedang berkembang, kebijakan growth pole telah
gagal untuk menjadi pendorong utama prime mover ekonomi di wilayahnya. Proses penetesan dan penyebaran yang ditimbulkan tidak cukup menggerakkan perekonomian
wilayah itu Rondinelli, 1985. Friedman dan Douglass 1975, menyarankan bentuk Agropolitan sebagai
aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan rural development dengan batasan jumlah penduduk antara 50.000-150.000 orang. Strategi pengembangan
Agropolitan ini dimaksud untuk menggerakkan ekonomi perdesaan dan penciptaan nilai tambah oleh pelaku lokal di tingkat perdesaan. Kawasan perdesaan didorong untuk tidak
hanya menghasilkan bahan primer, tetapi juga bahan pangan olahan. Konsep Agropolitan merupakan pengembangan wilayah perdesaan yang
dilakukan dengan mengaitkan pada pembangunan perkotaan urban development secara berjenjang. Agropolitan dikembangkan di wilayah perdesaan karena sektor
pertanian merupakan mata pencaharian utama dari masyarakat, selain itu ketersediaan lahan pertanian dan air yang masih banyak tersedia dan dibutuhkan dalam
pengembangan Agropolitan.
34 Agropolitan mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara kota
di wilayah perdesaan. Pendekatan ini dimaksud untuk mendorong penduduk agar tetap tinggal dan berinvestasi di perdesaan.
Persyaratan pemberdayaan enpowerment masyarakat perdesaan menjadi kelemahan dari konsep Agropolitan. Dengan posisi tawar bargaining position yang
lemah, masyarakat perdesaan tidak dapat menikmati nilai tambah dari proses interaksi wilayah. Kelemahan lain dari konsep ini adalah antisipasi terhadap kemungkinan
terjadinya konversi lahan pertanian sebagai akibat dari adanya pembangunan infrastruktur dari proses pengkotaan. Hal ini akan menjadikan peran sektor pertanian
berkurang secara bertahap. Batas pengembangan Agropolitan ditetapkan dengan memperhatikan tingkat
kemajuan dan luas wilayah; ciri agroklimat dan lahan, serta sumberdaya manusiapetani. Wilayah pengembangan di pulau Jawa cukup mencakup satu kecamatan, tetapi di luar
Jawa pengembangan Agroplitan perlu lebih luas, mencapai skala kabupaten district scale
. Saat ini penetapan batas Agropolitan cenderung mengarah pada kemudahan operasional oleh karena itu mengikuti batas wilayah administratif.
Pengembangan Kawasan Agropolitan diawali dengan penetapan lokasi. Tahap berikutnya adalah penyusunan tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai
dengan kebutuhan. Setelah itu adalah tahap penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan, sehingga bisa dihindari mengalirnya nilai tambah keluar kawasan yang
tidak terkendali. pemukiman yang tidak memusat; aksesibilitas dengan kelas jalan yang sesuai; serta adanya tataruang yang memenuhi kebutuhan pengelolaan kawasan.
Penguatan kelembagaan lokal dan sistem kemitraan ditempuh dengan membentuk kemitraan antara petani perdesaan, Investor dan Pemerintah, dalam bentuk public
private patnership . Prasyarat utama yang harus dipenuhi adalah terjaminnya keuntungan
dari masing-masing pihak secara berkelanjutan. Pengembangan Agropolitan yang berhasil akan dapat membuktikan bahwa suatu wilayah dapat maju tanpa harus
bertransformasi menjadi perkotaan atau berpindah dari dominasi sektor pertanian ke sektor industrijasa. Agropolitan yang berkembang dicirikan oleh peran sektor pertanian
termasuk agroindustri yang tetap dominan.
35 Peranan Pemerintah dalam pengembangan kawasan Agropolitan di tahap awal
adalah memfasilitasi terbentuknya unit pengembangan kawasan. Perkembangan berikutnya Pemerintah mulai berkurang perannya dan pada tahap akhir, Pemerintah
hanya berperan pada sektor publik.
3 Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan
Konsep kawasan-kawasan komersial, berupa kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan pergudangan, dan kawasan-kawasan eksklusif komersial lainnya,
telah dikembangkan secara internasional dengan mekanisme pasar bebas. Dalam pelaksanaannya pola pengembangan komersial itu telah menghasilkan pengelolaan yang
terorganisasi rapi serta memenuhi harapan semua penghuni yang ada, walaupun masih ada beberapa permasalahan sosial dengan masyarakat sekitar Lown, 2003;
Cunningham dan Lamberton, 2005. Kawasan industri yang telah dikembangkan sejak akhir abad ke-19, dipilih sebagai rujukan benchmark dalam rekayasa sistem Agroestat
karena adanya berbagai kesamaan sasaran. Definisi dari kawasan industri sesuai National Industrial Zoning Committee USA,
1967 adalah suatu kawasan yang luas dan dikelola oleh lembagabadan profesional, dengan rancangan tata ruang tersendiri sesuai dengan lokasi, zoning, dan topografinya,
didukung dengan ketersediaan aksesibilitas serta infrastruktur untuk aktivitas industri, termasuk pengelohan limbah. Pengembangan suatu kawasan industri komersial
dilandasi pemikiran untuk mendapatkan keuntungan dari pengurangan biaya infrastruktur dari economic of scale dan pendekatan keterpaduan industri dalam
wilayah. Kawasan industri pada umumnya dimaksudkan untuk mempermudah para investor pemilik pabrikindustri memperoleh tanah dengan kepastian hukum yang aman
dan jelas, serta kelengkapan sarana, prasarana, dan fasilitas penunjang lainnya. Pewilayahan kawasan industri, diupayakan pada daerah pinggiran kota sub-urban
area yang tidak produktif, namun didukung dengan sarana dan prasarana yang
memadai untuk dapat mencapai simpul-simpul transportasi. Sarana dan prasarana biasanya dibangun secara bertahap sesuai perkembangan dari kawasan industri itu.
Sarana penunjang industri seperti: pemukiman, perkantoran, pasar, ibadah, sekolah, dan fasilitas umumsosial lainnya, dirancang dalam tata ruang sehingga bersifat menyeluruh
dan terpadu.
36 Kawasan industri berwawasan lingkungan eco-industrial park atau estate,
merupakan bentuk pengembangan kawasan industri yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an, yang mem-fokuskan pada lingkungan masyarakat sekitar dan dirancang
sebagai suatu keterpaduan bisnis, efisiensi usaha pasar, dan waste exchange network untuk meningkatkan pengelolaan kelestarian lingkungan. EIP bertujuan untuk
menambah manfaat ekonomis dan sosial sambil mengurangi dampak lingkungan, secara bersama-sama. Setiap langkah dirancang sebagai upaya untuk meningkatkan tingkat
laba usaha dan mengurangi biaya tambahan dari dampak lingkungan yang ditimbulkan. EIP dirancang untuk melakukan produksi bersih cleaner production antara lain dengan
pakai-ulang re-use dan daur-ulang recycling dari bahan baku, aliran distribusi untuk menghemat pemakaian air baku dan tenaga panas, serta pengolahan limbah secara
bersama dari seluruh pabrikindustri yang ada di kawasan. Upaya penghematan bahan baku dan energi, pemanfaatan limbah, serta pengurangan dampak lingkungan dirancang
dengan melihat seluruh kawasan sebagai struktur yang utuh dengan tujuan tunggal. Pengusahaan kawasan industri dilakukan oleh pengusaha swasta, sedangkan
masing-masing pabrikindustri dan usaha lainnya dalam kawasan mempunyai kepemilikan yang terpisah. EIP mendorong timbulnya kerjasama masyarakat,
Pemerintah Daerah dan pihak Swasta dalam suatu public-private partnership, sehingga secara langsung juga dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan.
Perencanaan yang disusun sejak awal harus menambah alternatif yang akan mencegah terjadinya konflik sosial tetapi justru memberi manfaat kepada seluruh stake
holders . Salah satu bentuk yang paling sederhana adalah dalam hal penyediaan fasilitas
pendidikan yang hasilnya akan dinikmati oleh semua pabrikindustri dan usaha lainnya berupa pasokan tenaga kerja trampil, selain memberi manfaat pendidikan dan perluasan
kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan.
2.3.2 Lembaga-lembaga Pendukung