Pengembangan Konsep Kawasan Pertanian Terpadu

66 regional, propinsi, atau distrik kabupaten, bahkan di New Zealand termasuk penyusunan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan Thoha, 2001; FAO, 2006. Desentralisasi kelembagaan Pemerintah dipahami sebagai prasyarat dari terjadinya peran serta masyarakat. Ditinjau dari sisi analisis kebijakan policy analysis, manfaat yang terpenting dari desentralisasi adalah keputusan yang cepat dan sesuai dengan kondisi lokal. Namun disamping itu sering mengakibatkan terhambatnya penerapan kebijakan nasional dan konflik antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berdampak pada pelaksanaan proyek pengembangan Weimer dan Vining, 1999; UN, 2000. Perubahan paradigma Pemerintah mendorong dilakukannya reformasi birokrasi reorientation dan repositioning, baik dalam bidang kelembagaan, sistem dan mekanisme kerja. Faktor-faktor ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam menentukan pola pengembangan agroindustri yang akan memberikan nilai tambah value added pada pasar domestik produk pertanian primer dan olahan. Peningkatan menuju perekonomian yang agraris, sangat tergantung keberhasilan dari upaya-upaya untuk Eriyatno, 2001: 1 Mendekatkan nilai tambah. 2 Meningkatkan nilai tukar produk petani. 3 Menurunkan nilai tunda yang memojokkan petani. Mendekatkan nilai tambah berarti konsistensi dalam memacu kehadiran agroindustri masuk ke wilayah sentra produksi bahan baku. Disamping itu, nilai tunda terkait dengan keterisolasian desa harus diatasi dengan peningkatan sarana perhubungan dan penyimpanan gudang Sjarkowi, 2000.

2.7 Pengembangan Konsep Kawasan Pertanian Terpadu

Keterkaitan petani, sebagai pelaku budidaya, dengan agroindustri yang menggunakan hasil budidaya sebagai bahan baku, telah berlangsung sejak abad pertama. Pada awalnya, pemilik tanah pertanian menyewakan tanahnya kepada petani dan mengambil sebagian sepertiga hingga separoh dari hasil produksinya sebagai pembayaran sewa tanah. Cara tradisional yang berbasis prinsip barter ini berlangsung dan berkembang di banyak negara hingga abad ke-19 di Amerika Serikat, Cina dan 67 jajahan negara-negara Eropa. Perkembangan pola kemitraan selanjutnya adalah bentuk contract farming yang lebih teratur dan mempunyai pembagian kerja yang semakin jelas. Definisi contract farming adalah suatu kesepakatan di awal forward agreement antara petani dan unit pengolahan dan atau perusahaan pemasaran disebut: Sponsor untuk pengadaan dan pengiriman komoditi pertanian dalam waktu tertentu dan teratur, dengan harga yang disepakati. Ada lima model contract farming yang telah dikembangkan, yaitu Eaton dan Shepherd, 2001: 1 Model Terpusat Centralized Model Model ini melibatkan sejumlah industri dan pedagang yang terpusat dan membeli hasil pertanian dari para petani kecil. Hal ini umumnya terjadi untuk produk pertanian yang membutuhkan proses pengolahan yang panjang seperti teh atau sayuran yang diolah, diawetkan, dan dikemas kalengbotol. Model ini terkoordinasi baik secara vertikal dengan pengaturan kuota dan kontrol kualitas yang ketat. 2 Nucleus Estate Model Seperti Model Terpusat diatas, tetapi pihak Sponsor memiliki kebun atau sawah yang besar sebagai pemasok utama buffer. Model ini biasa digunakan pada lokasi pemukiman kembali resettlement dan transmigrasi. 3 Multipartite Model Model ini melibatkan banyak organisasi, umumnya perusahaan yang mengelola dengan model Centralized atau Nucleus Estate yang bekerjasama dengan beberapa badanlembaga, seperti: koperasi pertanian dan bank. 4 Model Informal Bentuk ini melibatkan banyak pengusaha dan perusahaan kecil yang membuat kontrak dengan para petani untuk masa satu musim. Model ini membutuhkan dukungan Pemerintah dalam bentuk riset dan pengembangan. 5 Model Perantara Intermediary Model Model ini menggunakan sistem pembelian bertangga, sehingga sering menimbulkan masalah dalam pembelian oleh perusahaan besar atau industri, terutama dalam hal mutu dan waktu pengiriman yang tidak sesuai. 68 Model-model bentuk kerjasama kemitraan di atas terus dikembangkan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Dari sisi petani budidaya, masalah yang sering dihadapi adalah: 1 Problem dari manajemen Sponsor yang tidak efisien mengakibatkan pengurangan kuota dan tidak semua hasil panen diserap sesuai kesepakatan. 2 Manajemen Sponsor bertindak semena-mena pada posisi monopoli yang kuat, dan pembagian kuota sering menjadi ajang korupsi oleh para staf perusahaan Sponsor. 3 Petani budidaya seringkali mempunyai hutang yang tidak terbayar akibat kegagalan panen dan uang muka ke berbagai pihak benih, pupuk yang menumpuk. Dari sisi Sponsor juga masih dihadapi banyak masalah antara lain: 1 Petani seringkali mengingkari kesepakatan dengan menjual hasil produksinya ke pihak lain, terutama karena harga saat itu yang lebih tinggi dengan pembayaran tunai. 2 Petani cenderung melaksanakan sistem budidaya tradisional sehingga tidak dapat memenuhi ketentuan mutu yang dipersyaratkan. 3 Manajemen pengelolaan dari Sponsor yang buruk menyebabkan tidak terlaksananya forum komunikasi dan konsultasi yang baik dengan petani, berakibat petani tidak dapat memenuhi kewajibannya, baik waktu, mutu, maupun volume. 4 Khusus untuk petani dengan lahan sewa, seringkali dihadapi masalah kontrak yang tidak berkesinambungan sehingga menyulitkan stabilnya tingkat pasokan bagi Sponsor. Pola-pola pengembangan wilayah dalam kawasan pertanian terpadu terus dikembangkan. Pola yang baru dikenal dengan konsep Agropolitan. Konsep ini dilandaskan pada pengembangan infrastruktur sebagai sarana penghubung dan pengkait antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan. Infrastruktur yang meliputi jaringan jalan, komunikasi, dan tenaga listrik dimaksud untuk menjadi katalisator penyeimbang distribusi nilai tambah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, serta mencegah terjadinya urbanisasi Hamenda, 2003; Mutizwa, 1993. Departemen Pertanian 2005 juga telah meluncurkan program Prima Tani sebagai Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian. Lingkup Prima Tani meliputi satu atau dua desa, yang disebut Laboratorium Agribisnis. 69 Tujuan utama dari Prima Tani adalah untuk mempercepat diseminasi dan adopsi inovasi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian, serta untuk memperolah umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat guna spesifik pengguna dan lokasi. Prima tani diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung antara Badan Litbang sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian delivery system maupun pelaku agribisnis receiving system sebagai pengguna inovasi. Pola-pola pengembangan kawasan terpadu yang telah ada diatas hingga saat ini tidak cukup memadai untuk menjadikan sektor pertanian terintegrasi maupun sebagai upaya pemberdayaan ekonomi rakyat. Model Nucleus Estate dengan konsep satellite farming di Indonesia diterjemahkan dalam Pola PIR masih menghadapi berbagai kendala dan lingkupnya dirancang hanya untuk produk perkebunan kelapa sawit yang hanya meliputi pekebun dalam jumlah yang relatif sedikit dibanding masyarakat petani. Pola Agropolitan tidak berbasis komoditi spesifik, melainkan meliputi semua komiditi dan jasa multi product yang ada di wilayah pengembangan karena konsepnya memang ditekankan kepada pengembangan kota untuk mendukung daerah perdesaan sebagai upaya distribusi nilai tambah. Dalam pelaksanaannya Agropolitan juga menghadapi kendala kelembagaan karena dengan adanya Otonomi Daerah, kewenangan Pemerintah Kota dan wilayah Kabupaten disekitarnya dipisahkan secara otonom Rustiani et.al. 1967. Demikian pula pengembangan Kawasan Industri yang berbasis komersial terbatas untuk berbagai jenis pertanian dan non-pertanian dan ukuran industri. Pola pengelolaan Kawasan Industri dapat dipandang paling maju dan terkoordinasi dengan baik, namun karena landasan utamanya adalah komersial maka tidak dapat digunakan sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat marginal di wilayah perdesaan Dengan mempertimbangkan berbagai masalah dan kelemahan dari pola pengelolaan kawasan pertanian terpadu yang telah ada dan dikembangkan hingga saat ini maka dapat disimpulkan bahwa diperlukan pengembangan lebih lanjut yang lebih menyeluruh, termasuk sub-sektor agroniaga, serta berkaitan langsung dengan upaya peningkatan sektor pertanian dan pemberdayaan masyarakat petani di perdesaan. Hal ini menjadi tujuan dari rekayasa sistem Agroestat yaitu menciptakan suatu kawasan pertanian terpadu yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi khususnya di daerah perdesaan Breschi dan Malerba, 2001. 70 Bentuk Agroestat Hortikultura harus dirancang secara berbeda. Pengembangan Agroestat akan menjadi lebih bermakna sebagai upaya pemberdayaan ekonomi rakyat karena dilandaskan pada model keterpaduan dan memilih hortikultura yang spesifik lokal Saragih, 2001; USAID, 2006. Komoditi unggulan hortikultura ditetapkan dan disepakati bersama sebagai pilihan masyarakat, sesuai dengan kondisi wilayah, pada hakekatnya merupakan tanaman kebun tuinbouw yang melibatkan petani dalam jumlah yang besar serta merupakan potensi masyarakat perdesaan Porter, 2000; Saragih, 2001; Pietrobelli dan Rabelloti, 2003. Pengembangan kawasan pertanian terpadu yang berlokasi pada sentra budidaya pertanian ini akan menjadikan usahatani terintegrasi secara vertikal dengan agroindustri Eriyatno et al. 1995; IBRD, World Bank, 2000; Haeruman, 2000; Haeruman dan Eriyatno, 2001; Sadjad et al. 2001. Pada hakekatnya Agroestat yang diperlukan harus direkayasa secara holistik, mencakup seluruh rangkaian nilai tambah value chain agribisnis, mulai tahap usahatani, agroindustri, dan agroniaga domestik maupun ekspor Carroll dan Stanfield, 2004. Sistem Agroestat harus mengambil manfaat dari adanya saling ketergantungan dan keterkaitan multi-dimensi sosial, budaya, ekonomi antar-sektor pertanian, industri, dan perdagangan. Rekayasa ini dimaksud untuk menjadikan struktur sektor pertanian terintegrasi dalam satu manajemen. Pengelolaan menjadi peran yang penting dalam menjalankan operasionalisasi kawasan, dan koordinasi antar para pelaku dengan Pemerintah Brown, 1994; Lowe, 2001. Metodologi Soft System Methodology SSM dengan paradigma Systems Thinking merupakan pendekatan yang layak untuk merekayasa Agroestat sebagai bentuk pengembangan wilayah yang demikian kompleks secara holistik Checkland, 1981; Jackson, 2000. Rekayasa ini harus memenuhi tiga persyaratan yang mendasar, yaitu Carroll dan Stanfield, 2004: 1 Berorientasi pada keterpaduan dan menyeluruh system approach. 2 Berbasis sumberdaya yang tersedia di wilayah lokal local specific. 3 Cakupan wilayah mempunyai batas-batas yang jelas regionalisation. Pendekatan rekayasa Agroestat berbasis keterpaduan dengan pewilayahan multi- sektoral dan plural, sehingga digunakan pola Integrated Area Development IAD sebagai program pengembangan wilayah fungsional. Hakekat dari pola pengembangan 71 IAD mencakup faktor jaringan network, bisnisagroniaga economic activity, dan peran serta masyarakat social. Dasar pemikiran penerapannya menekankan pada upaya integrasi sumberdaya dan keterkaitan pasar niaga dengan berpatokan UN, 1989: 1 Fokus pada wilayah yang dicakup. 2 Mencakup beberapa komponen fungsi dan sektor. 3 Menerapkan partisipasi masyarakat sejak tahap perencanaan hingga pada pelaksanaan proyek. Pendekatan program IAD membagi wilayah dalam beberapa sub-wilayah untuk mempertajam analisa dalam perancangan. Perbedaan nyata dalam sub-wilayah diatasi dengan melakukan penelusuran hubungan keterkaitan spesifik antar simpul nodespoles yang ada di dalam sub-wilayah tersebut Richardson, 1979. Implementasi dari konsep pengembangan wilayah yang telah disusun atas dasar perekonomian lokal secara menyeluruh dan terpadu, dilakukan dengan konsep tata ruang. Tata ruang merupakan model pengendalian pembangunan, baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun Pemerintah. Tata ruang membentuk struktur keruangan wilayah yang kompleks dan memberi arti khusus bagi penampilan spasial wilayah tersebut Johara, 1999. Proses peralihan ke arah pasar dan persaingan bebas, menurut Stiglitz 2002 harus dipersiapkan dengan baik dan dilaksanakan secara bertahap, karena itu pengelolaan agroniaga dalam pola Agroestat mengacu pada mekanisme harga sesuai keseimbangan supply-demand. Pengembangan Agroestat tetap menerapkan adanya subsidi tidak langsung dari Pemerintah Daerah dalam bentuk komitmen, penyiapan jaringan infrastruktur, dan regulasi dalam penataan ruang. Peran lain dari Pemerintah yang juga penting adalah menjaga kesetaraan pelaku pasar, terutama petani yang menjadi pelaku yang paling lemah dalam agroniaga pertanian. Penyediaan kredit bersubsidi dari Pemerintah untuk usahatani, khususnya petani, sangat dibutuhkan untuk membebaskan petani dari keterikatan hutang kepada tengkulak, pedagang besar, dan industri. Pemberdayaan masyarakat sebagai landasan pengembangan wilayah diupayakan dengan cara meningkatkan produksi sumberdaya lahan pertanian, sehingga petani 72 budidaya mendapatkan tambahan penghasilan. Peningkatan produksi budidaya yang mampu mendukung agroindustri dengan pasokan bahan baku dalam volume dan harga yang pasti akan mensinergikan usahatani dan agroindustri, meningkatkan nilai tambah dari keseluruhan proses pengembangan kawasan pertanian. Petani juga didorong untuk melakukan proses industri mikrorumah tangga hasil pertanian, sehingga diperoleh nilai tambah secara nyata dari agroindustri oleh petani. Melalui cara ini distribusi nilai tambah dapat berlangsung secara wajar ke semua pihak Lewis, 1966; Arsyad, 1999; Ary, 1999. 73

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini bertujuan untuk merekayasa sistem Agroestat sebagai bentuk pengembangan kawasan pertanian yang berkesinambungan dengan pendekatan keterpaduan wilayah berbasis komoditi hortikultura unggulan setempat yang berdaya saing. Salah satu tolok ukur keberhasilan yang terukur dari rekayasa ini adalah terjadinya peningkatan pendapatan penghasilan petani secara nyata. Rekayasa kawasan pertanian terpadu Agroestat merupakan alternatif untuk mewujudkan pembangunan sentra-sentra pertanian di perdesaan yang mempunyai komoditi unggulan dilaksanakan dengan pendekatan keterpaduan wilayah. Rekayasa ini mengolah masukan input yang tidak terkendali uncontrollable dan yang terkendali controllable, diolah sehingga menghasilkan keluaran output yang dikehendaki secara maksimal, serta meminimalkan keluaran yang tidak dikehendaki Gambar 4. REKAYASA SISTEM AGROESTAT DENGAN PENDEKATAN KETERPADUAN WILAYAH Input yang tidak terkendali : Ketentuan Imporekspor komoditi hortikultura. Fluktuasi harga komoditi, lokal regional dan internasional. Ketentuan tentang kredit bersubsidi. Input yang terkendali : Pengaturan tata ruang. Subsidi tidak langsung, berupa pengadaan infrastruktur irigasi. Teknologi pembibitan, budidaya, dan pengolahan pasca panen. Mutu komoditas. Ketersediaan kredit khusus petani. Output yang dikehendaki : Peningkatan pendapatan petani. Peningkatan Agroindustri. Harga komoditi yang stabil tinggi. Peningkatan hasil produksi dan ketersediaan sepanjang tahun. Tata niaga produk pertanian yang setara, adil dan alami. Keserasian lingkungan. Output yang tidak dikehendaki : Kesenjangan pendapatan Keterbatasan infrastruktur Kredit usaha macet Usaha yang merugi 1 Input Lingkungan 1. Iklim dan cuaca klimat 2. Peraturan Pemerintah 3. Kondisi sosial ekonomi 4. Gejolak ekonomi dan moneter umpan balik Manajemen Pengendalian Agroestat Gambar 4 : Diagram Input-output Pengembangan Kawasan Pertanian Terpadu.