Konsep Pengembangan Wilayah Pengembangan Wilayah

11 kenyataannya, data yang dibutuhkan sesuai format studi seringkali tidak tersedia, sehingga pewilayahan biasanya disusun berdasarkan ketersediaan data wilayah administrasi dengan tetap memperhatikan dan memperhitungkan prinsip-prinsip dasar subyektif teoritis Glasson, 1992.

2.1.2 Konsep Pengembangan Wilayah

Program pengembangan wilayah akan berhasil dan berkesinambungan jika dilandasi pandangan yang holistik tentang proses perekonomian. Pengembangan wilayah daerah pertanian di perdesaan harus ditempuh melalui pemberdayaan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan sumberdaya spesifik daerah itu, seperti sumberdaya tenaga kerja, iklim, atau lahan, untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang memenuhi persyaratan pasar. Petani di perdesaan, seringkali menghadapi paradoks, yakni peningkatan produksi termasuk akibat panen musiman yang justru menurunkan pendapatan petani akibat terjadinya kelebihan pasokan excess supply. Oleh karena itu, rekayasa pada subsistem usahatani, antara lain melalui perbaikan infrastruktur pertanian, harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk penyelarasan pasar dalam peningkatan produksi petani sesuai dengan kelanggengan permintaan Saragih, 2001. Pada hakekatnya, pengembangan wilayah dimaksudkan untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan Carroll dan Stanfield, 2004: 1 perekonomian usahatani dengan agroindustri dan agroniaga, 2 perekonomian perdesaan dengan perkotaan, 3 tingkat kemakmuran antar wilayah, dari sisi ekonomi pendapatan dan biaya hidup, maupun sisi sosial fasilitas pendidikan, kesehatan, dan rekreasi. Tingkat kemakmuran suatu wilayah yang dimaksudkan tidak hanya dilihat dari rendahnya angka pengangguran, namun sejak tahun 1960-an telah diperluas dengan tolok ukur yang lebih komprehensif. Hal ini mulai disadari karena rendahnya tingkat kesejahteraan hidup umumnya terkait dengan masalah ketidak-seimbangan demografi, ketertinggalan pembangunan, atau tingginya biaya produksi Blunden et al., 1973; McCrone, 1973; Triutomo, 1999. Penelitian yang dilakukan oleh USAID 2006 pada 17 proyek pengembangan wilayah perdesaan terpadu yang dibiayai oleh berbagai organisasi donor dunia selama 12 30 tahun terakhir menunjukkan faktor-faktor keberhasilan atau kegagalan suatu proyek pengembangan, adalah: 1 Kelembagaan. Desentralisasi dan keterlibatan masyarakat merupakan hal yang utama agar proyek pengembangan dapat berjalan lancar dan langgeng, oleh karena itu: a. Pendekatan top-down dalam pengembangan wilayah perdesaan telah mengalami kegagalan. Pemerintah Pusat dan lembaga donor harus membatasi keterlibatannya pada penetapan kebijakan, sehingga menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal untuk mengembangkan daerahnya. b. Rasa memiliki harus ditumbuhkan kepada Pemerintah Daerah dan organisasilembagamasyarakat lokal, terutama untuk menetapkan visi dan strategi daerah. Hal ini sekaligus dimaksud untuk menampung aspirasi, kebiasaan, dan budaya lokal. c. Unit-unit kerja yang telah ada sebaiknya secara aktif dilibatkan dalam implementasi program. Unit-unit kerja yang masih lemah dan tidak efektif justru menjadi kuat saat diikutsertakan dalam program pengembangan daerahnya. 2 Perencanaan dan pelaksanaan proyek. Perencanaan yang tidak tepat sering menjadi sebab dari terjadinya kegagalan program, terutama simplifikasi pada diagnosa permasalahan dan optimisme yang berlebihan terhadap solusi yang telah apriori ditentukan. Pelaksanaan proyek yang dilaksanakan secara bertahap, fleksibel, serta dimungkinkannya penyesuaian- penyesuaian, akan berjalan langgeng. Ketidakpastian dan perubahan akibat dari pengembangan itu sendiri membutuhkan fleksibilitas. 3 Penciptaan jaringan. Proyek pengembangan dirancang secara terfokus, namun tidak boleh mengabaikan adanya dinamika dari berbagai program lain yang sedang berjalan secara bersamaan. 4 Kesinambungan. Tidak langgengnya suatu proyek pengembangan juga dapat disebabkan oleh: a. Ketergantungan pada agen technical assistance, tanpa dibarengi pelatihan, persiapan, dan pengalihan kepada tenaga lokal. 13 b. Biaya perawatan yang mahal yang harus dibiayai masyarakat pada saat proyek berakhir akibat penggunaan peralatan yang terlalu canggih. c. Unit Kerja atau Lembaga Pengelola tidak membaur dengan masyarakat. d. Jangka waktu pelaksanaan dan pengembangan proyek yang relatif pendek. e. Tidak ada rasa ikut memiliki pada masyarakat lokal yang tidak dilibatkan. Carroll dan Stanfield 2004 menyimpulkan bahwa program pengembangan wilayah harus memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu: 1 Berorientasi pada keterpaduan dan menyeluruh system approach. 2 Berbasis sumberdaya yang tersedia di wilayah lokal local specific. 3 Cakupan wilayah mempunyai batas-batas yang jelas. Program pengembangan fungsional functional program bertujuan untuk mengatasi kendala khusus yang utama bagi pengembangan wilayah di suatu wilayah perdesaan. Program demikian lebih terarah dan mudah dilaksanakan karena tujuannya spesifik serta mampu memberikan manfaat dalam waktu yang singkat Lele, 1975. Program pengembangan fungsional umumnya bersifat komprehensif walaupun terfokus pada beberapa fungsi, misalnya pembangunan infrastruktur, pengadaan pinjaman khusus petani, atau pemasaran hasil pertanian. Pada hakekatnya, pendekatan pewilayahan fungsional dapat mencakup kota, wilayah, atau sekelompok negara yang saling terkait dalam keterpaduan lingkup bisnis yang rumit. Pendekatan secara fungsional tidak terikat pada batas wilayah administrasi pemerintahan formal. Hal ini juga telah tertanam pada manajemen pemerintahan pasca otonomi daerah yang tidak sekedar menekankan pada batas-batas geografis dan aturan yang berlaku untuk satu wilayah administrasi tertentu, tetapi lebih ke arah pencapaian tujuan organisasi boundaryless organization Thoha, 2001. Integrated Area Development IAD merupakan program pengembangan wilayah fungsional yang berbasis pewilayahan multi-sektoral dan plural. Program ini digunakan untuk pengembangan yang meliputi areal pertanian yang luas untuk tanaman dengan masa tanam pendek dan panjang, tunggal dan tumpangsari Misra et al., 1978. Program ini juga dirancang untuk meliputi infrastruktur jaringan irigasi, drainase, dan layanan penunjangpendukung, seperti riset, pemasaran, dan kelompok tani. Hakekat dari pola pengembangan IAD mencakup faktor jaringan network, bisnisagroniaga economic 14 activity , dan peran serta masyarakat social. Dasar pemikiran penerapannya menekankan pada upaya integrasi sumberdaya dan keterkaitan pasar niaga dengan berpatokan UN, 1989: 1 Fokus pada wilayah yang dicakup. 2 Mencakup beberapa komponen fungsi dan sektor. 3 Menerapkan partisipasi masyarakat sejak tahap perencanaan hingga pada pelaksanaan proyek. IAD digunakan untuk pengembangan wilayah perdesaan, sebagai mekanisme untuk meningkatkan partisipasi lokal guna mendapatkan distribusi manfaat ekonomi yang adil. Program IAD telah diterapkan oleh banyak negara berbasis pertanian di Asia- Pasifik, termasuk Malaysia dan Filipina, untuk pengembangan wilayah sub-regional. Pendekatan ini muncul sebagai reaksi dari pendekatan-pendekatan sektoral yang sempit, sebagaimana dapat dilihat dari dua tujuannya, yaitu UN, 1989: 1 Mempercepat pertumbuhan dari wilayah tertinggal untuk memperbaiki ketimpangan regional. 2 Memaksimalkan manfaat bagi daerah-daerah miskin sehingga dicapai keseimbangan dalam masyarakat. Pendekatan program IAD membagi wilayah dalam beberapa sub-wilayah untuk mempertajam analisa dalam perancangan. Dalam kenyataan, seringkali ditemui banyak perbedaan nyata dalam satu sub-wilayah, misalnya sub-wilayah yang terdiri dari daerah pertanian dan industri, sehingga tidak dapat disarikan kesamaan tingkat penghasilan masyarakat. Untuk mengatasi hal itu pendekatan dilakukan dengan melakukan penelusuran hubungan keterkaitan spesifik antar simpul nodespoles yang ada di dalam wilayah atau sub-wilayah tersebut, sehingga menjadi realistis Richardson, 1979. Penerapan konsep IAD dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsional yang memperhitungkan lokasi berbagai fungsi kegiatan ekonomi yang dikelompokkan dalam beberapa Satuan Kawasan Pengembangan SKP. Pengaturan SKP dapat dilakukan secara ruang sesuai fungsinya, mencakup jaringan network dari beberapa simpul yang merupakan Satuan Wilayah Ekonomi SWE tertentu Poernomosidi, 1981. 15 Secara diagramatis proses pengembangan suatu wilayah secara fungsional dengan pendekatan IAD ditunjukkan oleh Gambar 1. Proses diawali dengan menata struktur pewilayahan sesuai fungsi yang akan dianalisis. Uraian keterkaitan dari beberapa simpul kegiatan ekonomi merupakan Satuan Wilayah Ekonomi yang tertentu secara fungsional. Penyebaran simpul-simpul kegiatan ekonomi di beberapa wilayah dikelola secara sistematis termasuk koreksi dari alur simpul setelah dilakukan analisis dan sesuai dengan alur keterkaitannya. Melalui cara ini diperoleh keterkaitan yang sinergis dan efisien, sehingga dapat diperoleh peningkatan nilai tambah bagi keseluruhan proses. Non Formal Terkait Terpadu Gambar 1 : Proses Pengembangan Kawasan secara Fungsional Poernomosidi, 1981.

2.1.3 Keruangan Wilayah