Otonomi Daerah Globalisasi dan Otonomi Daerah

65 mempunyai akses kepada modal, kredit, dan pasar, karena itu pengurangan subsidi harus dilakukan secara bertahap, dan subsidi tidak langsung harus diciptakan. Mengacu pada pengalaman di India menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan infrastruktur disertai dengan peningkatan pendidikan, penyuluhan, dan penyediaan fasilitas kredit pertanian berjalan dengan sangat efektif. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian tetap memerlukan peran dan dukungan Pemerintah Anonim, 1996; Arsyad, 1999. Globalisasi yang berlandaskan konsep fair free trade dengan pengertian ‘pasar bebas yang berkeadilan’ merupakan alternatif yang paling tepat untuk negara berkembang, termasuk Indonesia. Konsep fair free trade dilandasi keseimbangan harga melalui mekanisme supply-demand, namun secara operasional dan pemberlakuannya tetap didukung dengan subsidi tidak langsung dari Pemerintah dan keberpihakan kepada petani. Pelaku ekonomi yang lebih besar dan kuat sudah sewajarnya memberikan kelonggaran lebih kepada pelaku ekonomi yang lebih lemah, sehingga keseimbangan antar pelaku ekonomi di latar belakangi tanggung jawab sosial asymmetrical.

2.6.2 Otonomi Daerah

Pokok-pokok pikiran tentang otonomi daerah dapat disimpulkan sebagai berikut: 1 Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dalam rangka menghadapi persaingan global, dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah Otonom secara proporsional. 2 Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan azas dekonsentrasi dan desentralisasi. 3 Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah Propinsi, serta Daerah KabupatenKota yang bersifat otonom. Bagian tertentu dari wilayah administrasi KabupatenKota dapat dijadikan Daerah Otonom Arsyad, 1999; Bratakusumah dan Solihin, 2001. Otonomi daerah diharapkan akan membawa perubahan paradigma pemerintahan, yaitu dari pemerintahan dengan orientasi manajemen yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar, sehingga kepentingan pasar dan publik menjadi pertimbangan utama dalam menangani segala macam persoalan yang timbul. Perencanaan pengembangan wilayah yang menyangkut upaya integrasi multi-sektoral dan multi-level di banyak negara Kanada, Finlandia telah dilimpahkan menjadi proses di tingkat 66 regional, propinsi, atau distrik kabupaten, bahkan di New Zealand termasuk penyusunan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan Thoha, 2001; FAO, 2006. Desentralisasi kelembagaan Pemerintah dipahami sebagai prasyarat dari terjadinya peran serta masyarakat. Ditinjau dari sisi analisis kebijakan policy analysis, manfaat yang terpenting dari desentralisasi adalah keputusan yang cepat dan sesuai dengan kondisi lokal. Namun disamping itu sering mengakibatkan terhambatnya penerapan kebijakan nasional dan konflik antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berdampak pada pelaksanaan proyek pengembangan Weimer dan Vining, 1999; UN, 2000. Perubahan paradigma Pemerintah mendorong dilakukannya reformasi birokrasi reorientation dan repositioning, baik dalam bidang kelembagaan, sistem dan mekanisme kerja. Faktor-faktor ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam menentukan pola pengembangan agroindustri yang akan memberikan nilai tambah value added pada pasar domestik produk pertanian primer dan olahan. Peningkatan menuju perekonomian yang agraris, sangat tergantung keberhasilan dari upaya-upaya untuk Eriyatno, 2001: 1 Mendekatkan nilai tambah. 2 Meningkatkan nilai tukar produk petani. 3 Menurunkan nilai tunda yang memojokkan petani. Mendekatkan nilai tambah berarti konsistensi dalam memacu kehadiran agroindustri masuk ke wilayah sentra produksi bahan baku. Disamping itu, nilai tunda terkait dengan keterisolasian desa harus diatasi dengan peningkatan sarana perhubungan dan penyimpanan gudang Sjarkowi, 2000.

2.7 Pengembangan Konsep Kawasan Pertanian Terpadu