Perundang-undangan Agribisnis Ayam Broiler

45

2.1.4.6. Perundang-undangan Agribisnis Ayam Broiler

Perundang-undangan yang menjadi payung hukum bagi agribisnis usaha ayam broiler adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, adapun tujuan umum dari dibentuknya undang-undang ini adalah “Di bidang peternakan dan pemeliharaan kesehatan hewan diadakan perombakan dan pembangunan- pembangunan dengan tujuan utama penambahan produksi untuk meningkatkan taraf hidup peternak Indonesia dan untuk dapat memenuhi keperluan bahan makanan yang berasal dari ternak bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil merata dan cukup.” Sehingga Perusahaan peternakan menurut Keputusan Menteri Pertanian No.362 tahun 1990 adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu, untuk tujuan komersial yang meliputi kegiatan yang menghasilkan ternak serta usaha penggemukan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkan yang tiap jenis ternaknya melebihi dari jumlah yang ditetapkan untuk tiap jenis peternakan rakyat. Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No.472KptsTN.330696 tentang petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras, menyatakan bahwa usaha peternakan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu peternakan rakyat, pengusaha kecil peternakan, dan pengusaha peternakan. Peternakan rakyat atau skala usaha kecil adalah peternakan ayam yang mempunyai kepemilikan 1.000 ekor sampai 50.000 ekor, peternakan rakyat mempunyai beberapa karakter seperti modal terbatas, adanya masa istirahat kandang, kandang dibangun sederhana dan dekat dengan tempat tinggal, serta kepemilikannya bersifat perorangan sedangkan pengusaha kecil peternakan atau peternakan skala sedang adalah peternak yang memelihara ayam dengan jumlah 50.000 ekor sampai 100.000 ekor dengan manajemen pemeliharaan yang lebih maju daripada manajemen yang dilaksanakan oleh peternakan rakyat, pada umumnya dimiliki oleh perorangan dan secara legalitas belum membentuk perusahaan yang berbadan hukum, adapun perusahaan peternakan adalah peternakan yang sudah berbadan hukum secara legal dengan jumlah ayam yang 46 dipelihara diatas 500.000 ekor, peternakan ini pengoperasiannya ditangani sendiri dengan manajemen yang baik dan ada juga yang menjalin kerjasama dengan peternakan rakyat yang dsebut dengan pola kemitraan Fadillah, 2007.

2.2. Risiko Agribisnis Peternakan

Risiko agribisnis peternakan meliputi risiko produksi, risiko pemasaran, risiko keuangan, risiko hukum dan risiko sumberdaya manusia. Dalam agribisnis peternakan ayam ras pedaging risiko terbesar berupa risiko produksi dan risiko harga, risiko produksi terkait cuaca, musim, wabah penyakit, dan kerusakan peralatan. Adapun risiko harga berupa fluktuasi harga pakan, DOC dan harga jual ayam. Risiko harga merupakan kontributor utama terhadap variabilitas pendapatan. Sutawi, 2009. 2.3. Tinjauan Studi Terdahulu 2.3.1. Studi Terdahulu Mengenai Risiko dan Ayam Broiler Penelitian Herawati 2001 mengenai analisisi biaya dan pendapatan menjelaskan bahwa biaya paling besar yang dikeluarkan CV Pekerja Keras dalam produksinya adalah biaya pakan sebesar 65,55 persen dan DOC sebesar 29,23 persen. Sedangkan biaya obat dan vaksin, biaya tenaga kerja, biaya sewa kandang dan biaya lain-lain relatif kecil yaitu sebesar 4,06 persen, 1,34 persen, 1,23 persen, dan 0,33 persen. Keuntungan yang diterima CV Pekerja Keras sangat berfluktuatif setiap periodenya. Keuntungan terbesar selama delapan periode yang diteliti terjadi pada periode ke-5 April-Mei 2000 yaitu sebesar Rp. 218.644.674 yang disebabkan harga jual ayam pada saat itu naik sebesar Rp. 332,3kg. Keuntungan terrendah terjadi pada periode ke-2 Oktober-November 1999 yaitu sebesar Rp. 2.691.351 yang disebabkan terjadinya kebakaran kandang sehingga tingkat mortalitas sangat tinggi. Selama periode penelitian terdapat dua periode yang mengalami kerugian, yaitu periode ke-1 dan ke-4. Kerugian terbesar terjadi pada periode ke-4 sebesar Rp. 63.432.562 yang disebabkan karena adanya peningkatan total biaya produksi, sedangkan harga jual ayam pada saat itu turun sebesar Rp. 740.989kg.