GERAKAN LITERASI, BAK MENYEMAI BIJI DI LAHAN SUBUR
GERAKAN LITERASI, BAK MENYEMAI BIJI DI LAHAN SUBUR
Hariati Tinuk Wakil Kepala SMP Negeri 8 Malang Bidang Kesiswaan
Membaca dan menulis adalah dua bentuk kegiatan yang tidak bisa dipisahkan, karena untuk bisa menulis perlu membaca dan untuk bisa menuangkan apa yang telah dibacanya harus di tulis, sehingga membaca dan menulis merupakan rangkaian aktivitas yang dapat meningkatkan kapasitas belajar dan meningkatakn pengetahuan seseorang. Aktivitas belajar dalam bentuk membaca dan menulis di kalangan pelajar memang belum menggembirakan, belum menjadi ruh, tak terkecuali pula di masyarakat Indonesia secara luas. Membaca dan menulis seolah menjadi dasar untuk belajar lebih jauh dan lebih dalam, karena dengan membaca dan menulis mampu meningkatkan derajat pengetahuan dan keilmuan seseorang. Dan dalam komunitas besar sebagai suatu bangsa, maka budaya membaca dan menulis yang telah tumbuh, mampu meningkatkan derajat dan citra pengetahuan dan keilmuan bangsa tersebut.
Seiring dengan pentingnya membaca dan menulis, karena keduanya merupakan bagian dari literasi, maka sangat tepat jika pemerintah turut ambil bagian dengan mengeluarkan kebijakan, melalui Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang di dalamnya tertuang upaya menumbuhkan budaya membaca dan menulis selama lima belas menit sebelum memulai pelajaran.
Jika merujuk pada Unesco (2003) maka literasi tidak hanya berupa gerakan membaca dan menulis, namun literasi mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat, juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa dan budaya. Itulah sebabnya gerakan literasi sekolah harus melibatkan semua unsur, sumberdaya dan peran maksimal para guru, siswa, tenaga kependidikan, dan pimpinan sekolah, serta masyarakat (khususnya orang tua siswa) dan juga penerbit.
Hadirnya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai gerakan penumbuhan budi pekerti melalui gerakan membaca dan menulis adalah upaya
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
menumbuhkan budaya ilmiah untuk gemar membaca dan menulis pada siswa, yang seharusnya sudah menjadi iklim dan atmosfir yang harus tumbuh dan berkembang secara otomasis pada siswa, sejak di tingkat dasar. Namun harus jujur kita mengakui, bahwa membaca, apalagi menulis belum menjadi budaya yang atmosfirnya tumbuh di lingkungan kita. Banyak faktor yang menyebabkannya, sebagaimana dibahas dalam berbagai diskusi, bahwa rendahnya kemampuan membaca kita dan atau literasi kita sebagai pelajar, mahasiswa dan masyarakat Indonesia antara lain, disebabkan budaya menonton lebih dominan. Masyarakat kita dinilai suka sekali menonton dari pada membaca. Hal ini tidak salah, karena sejak usia kanak-kanak, hadirnya teknologi dan media visualisasi seperti televisi di rumah, telah menciptakan budaya menonton dari pada membaca.
Kita perlu tahu, dimana posisi dan peringkat literasi kita sebagai bangsa Indonesia dibandingkan dengan literasi masyarakat internasional. Jika merujuk pada peringkat literasi tertinggi masyarakat dunia (World,s Most Literate Nations) berdasarkan rujukan dari Central Connecticut State University Tahun 2016 sebagaimana di lansir dalam tranding topic pada Femina.co.id (2016) disebutkan, bahwa terdapat 10 besar negara dengan literasi tertinggi yang dimulai dari Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, Amerika Serikat, Jerman, Latvia, dan Belanda. Sementara jika melihat laporan Programme for International Student Assessment (PISA) di tahun 2012, dikatakan budaya literasi masyarakat Indonesia terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia, karena Indonesia berada di posisi ke 64, dari 65 negara tersebut, dan justru Vietnam menempati urutan ke-20 besar.
Menurut Oktavian (2016), indeks membaca rata-rata penduduk Indo- nesia hanya membaca 4 judul buku setahun dan masih jauh dari standard UNESCO, yaitu 7 judul buku dalam setahun, dalam hal ini posisi Indonesia di peringkat 60 dari 65 negara dan masih di bawah Malaysia. Data ini menunjukkan betapa Indonesia masih rendah dan jauh ketinggalan dibanding negara-negara lain di dunia dalam hal budaya membaca. Jika kita baca sejarah, sesungguhnya budaya membaca telah dibentuk dan ditumbuhkan sejak jaman penjajahan Belanda, di mana siswa AMS (sekolah Belanda) saat itu diwajibkan untuk membaca
25 judul buku sebelum mereka lulus. Tentu tidak salah, jika kebijakan Belanda tersebut melahirkan para tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan
309 yang pada perjalanan hidupnya pernah mengenyam pendidikan di
Gerakan Literasi, Bak Menyemai Biji di LAhan Subur
sekolah Belanda tersebut. Sering kita membaca slogan, “Membaca adalah jalan Menguasai
Dunia” atau “Membaca Jendela Dunia”, tentu yang dimaksud dengan sloganini bukan dunia dalam makna materi, akan tetapi dunia dalam kehidupan global, dunia dalam percaturn kehidupan internasional, dunia dalam kehidupan dan kemajuan. Oleh karena itu, jika kita membaca buku saku Gerakan Literasi Sekolah (Wiediarti, dkk:2016) akan kita temukan adanya tiga tahapan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), yaitu: 1) Penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca (sebagaimana Permendikbud No. 23 Tahun 2015); 2) Meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan; dan
3) Meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran: menggunakan buku pengayaan dan strategi membaca di semua mata pelajaran. Tiga tahapan dimaksud jika disimpulkan merupakan gerakan tiga langkah menumbuhkan literasi, yaitu tahap pembiasaan (belum ada tagihan), tahap pengembangan (ada tagihan sederhana untuk penilaian non-akademik); dan tahap pembelajaran (ada tagihan akademik).
Tahap pembiasaan ditumbuhkan melalui kegiatan membaca selama lima belas menit setiap hari sebelum jam pelajaran dengan membaca buku secara nyaring (read aloud) atau seluruh warga sekolah membaca dalam hati (sustained silent reading). Keberhasilan tahap ini harus didukung dengan penyediaan lingkungan fisik sekolah yang kaya literasi, antara lain: (1) adanya perpustakaan sekolah, sudut baca, area baca yang nyaman; (2) pengembangan sarana lain (UKS, kantin, kebun sekolah): dan (3) penyediaan koleksi teks cetak, visual, digital, maupun multimodal yang mudah diakses oleh seluruh warga sekolah; (4) pembuatan bahan kaya teks (print-rich materials).
Tahap pengembangan ditumbuhkan melalui kegiatan membaca juga selama lima belas menit sebelum jam pelajaran, juga membacakan buku dengan nyaring (read aloud) atau dalam hati, membaca bersama (shared reading), dan/atau membaca terpandu (guided reading) diikuti kegiatan lain dengan tagihan non-akademik, contoh: membuat peta cerita (story map), menggunakan graphic organizer, dan bincang buku. Keberhasilan tahap ini akan tercapai atas dukungan pengembangan lingkungan fisik, sosial, afektif sekolah yang kaya literasi dan menciptakan ekosistem sekolah yang menghargai keterbukaan dan kegemaran terhadap
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
pengetahuan dengan berbagai kegiatan, antara lain: (1) memberikan penghargaan kepada capaian perilaku positif, kepedulian sosial, dan semangat belajar peserta didik (dimana penghargaan ini dapat diberikan pada setiap uapacara bendera hari Senin dan/atau peringatan lain); (2) kegiatan-kegiatan akademik lain yang mendukung terciptanya budaya literasi di sekolah, seperti belajar di kebun sekolah, belajar di lingkungan luar sekolah, wisata perpustakaan kota atau daerah, dan taman bacaan masyarakat, dan lain-lain. Juga mndorong peserta didik untuk merespon teks (baik cetak atau visual atau digital), fiksi dan nonfiksi, melalui beberapa kegiatan sederhana seperti menggambar, membuat peta konsep, berdiskusi, dan berbincang tentang buku.
Tahap pembelajaran memiliki kesamaan dengan tahap satu dan dua dalam hal kegiatan ini dimulai dengan membaca setiap hari selama lima belas menit sebelum jam pelajaran dengan membacakan buku yang nyaring (read aloud) atau dalam hati, membaca bersama (shared read- ing), dan/atau membaca terpandu (guided reading) namun diikuti dengan kegiatan lain berupa tagihan non-akadamik dan akademik. Tagihan akademik disesuaikan dengan tagihan akademik pada kurikulum 2013. Kegiatan literasi pada tahap tiga ini dapat dikembangkan melalui berbagai macam strategi, khususnya dalam memahami teks dalam semua mata pelajaran (misalanya, dengan menggunakan graphic orga- nizer). Lingkungan fisik, sosial, afektif, dan akademik (disertai beragam bacaan cetak, visual, audotori, dan digital) yang kaya literasi di luar buku teks pelajaran untuk memperkaya pengetahuan dalam mata pelajaran.
Graphic organizer, menurut Wikipedia (2016) juga dikenal sebagai peta pengetahuan (knowledge map), peta konsep (concept map), peta cerita (story map), pengorganisasian pengetahuan (cognitive organizer), ‘gagasan awal’ (advance organizer), dan diagram konsep (diagram concept). Adapun contoh bentuk-bentuk diagram dari graphic organizer dimaksud dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah:
Gerakan Literasi, Bak Menyemai Biji di LAhan Subur
Gambar 1: Peta Konsep Cahaya
(Sumber: Anonim, 2012)
Selain peta konsep di atas, juga bisa dikembangkan dalam peta pikiran (mind mapping) sebagaimana Gambar 2 di bawah:
Gambar 2: Contoh Peta Pikiran (Mind Mapping) (1) Sukses Belajar ; (2) Surat
(Sumber: Ratri, 2011; Kurniasari, 2015)
Dari dua contoh gambar di atas perlu diketahui, bahwa peta konsep berbeda dengan peta pikiran, sebagaimana menurut Buzan (2007), mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar otak dari otak, dan dengan mind
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
map, daftar informasi yang panjang bisa dialihkan menjadi diagram warna-warni, sangat teratur, dan mudah diingat yang bekerja selaras dengan cara kerja alami otak dalam melakukan berbagai hal. Adapun peta konsep menurut Hudojo, at al (2002) adalah keterkaitan antara konsep dan prinsip yang dipresentasikan sebagai jaringan konsep yang perlu di konstruk, sedangkan Novak and Gowin (1985) menyebut peta konsep adalah alat atau cara yang dapat digunakan guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh siswa.
Penumbuhan dan pengembangan literasi di sekolah dengan membudayakan membaca selama 15 menit sebelum pelajaran utama dimulai, adalah atmosfir baru yang harus senantiasa ditumbuhkan, diaktifkan, terjadwal, terorganisir dan terpadu keterlaksanaannya dengan melibatkan semua unsur di dalam sekolah dan orang tua siswa. Penumbuhan minat membaca pada siswa menampakkan atmosfir belajar di sekolah, meskipun terkesan dipaksa untuk membaca, namun dampak yang terjadi akan mendorong terbentuknya perilaku membaca di kalangan siswa, dan hal ini akan menjadi langkah baik untuk merubah kebiasaan siswa dari tidak peduli terhadap buku menjadi peduli terhadap buku, dari sekedar melihat cover buku, menjadi ingin mengetahui isi buku.
Potret perubahan perilaku pada siswa dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) memang belum terevaluasi, namun melihat kondisi sekolah di pagi hari yang menjadi tenang dan semua siswa membaca buku bacaan apapun yang dibawanya selama 15 menit, atau buku bacaan yang telah disediakan sekolah telah menciptakan suasana baru dalam belajar. Hal ini tentu menjadi titik awal sebuah harapan dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS), yaitu terciptanya belajar sepanjang hayat.
Pengembangan literasi harus disadari sebagai jalan menumbuhkan siswa berkarakter, sehingga akan terbentuk siswa berkarakter. Bukan tidak mungkin selama 15 menit siswa membaca tidak akan memperoleh informasi penting, justru dengan waktu 15 menit membaca bacaan apapun yang telah diarahkan guru, pasti siswa akan memperoleh kekayaan informasi dan buku yang dibacanya, sehingga menambah pengetahuan yang belum diketahui sebelumnya.
Jika kita kembalikan kepada posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan, maka akan sangat salah jika Gerakan Literasi Sekolah (GLS) tidak diupayakan semaksimal mungkin dan sekondusif mungkin, sebab gerakan membaca dan menulis (literasi) adalah rohnya pendidikan.
313 Pendidikan dapat berkembang, siswa menjadi cerdas dan berprestasi jika
Gerakan Literasi, Bak Menyemai Biji di LAhan Subur
budaya utama yang menjadi ciri sosok siswa, yaitu membaca dan menulis dikembangkan dan ditumbuhkan.
Penumbuhan gerakan membaca dan menulis dalam lingkup literasi sebenarnya merupakan gerakan kesadaran diri yang seharusnya sudah tumbuh otomatis, apalagi pada diri siswa. Ketika seseorang berstatus sebagai siswa, maka tentunya membaca dan menulis adalah tugas utamanya dalam belajar dan secara otomatis menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Bukankah setiap hari siswa mendapatkan pelajaran yang selalu berbeda dengan hari sebelumnya, kecuali mata pelajaran yang memang membutuhkan pertemuan lebih dari satu kali dalam seminggu.
Membaca dan menulis adalah aktivitas yang mudah di ucapkan namun sulit dilaksanakan, karena kedua kegiatan ini membutuhkan kesiapan hati dan pikiran yang penuh perhatian dan fokus. Ketika hati tidak siap untuk diajak membaca, maka pikiran tidak terdorong untuk membaca, namun jika hati terdorong untuk membaca, maka pikiran akan sepenuhnya berkonsentrasi dan fokus pada bacaan yang dibacanya, karena sejatinya hati dan pikiran membutuhkan gelombang dan frekuensi yang sama untuk menuju keseimbangan kerja. Oleh karena itu Gerakan Literasi Sekolah (GLS) harus didorong dengan menumbuhkan rasa senang pada diri siswa, serta menumbuhkan situasi psikologis yang kondusif agar hati dan pikiran siswa menyatu dalam menerima Gerakan Literasi Sekolah (GLS) ini, sehingga siswa merasa senang membaca dan menulis dan tidak meninggalkan kebiasaan membaca dan menulis yang sudah mulai tumbuh dan membudaya dengan sia-sia.
Mengkondisikan siswa untuk sampai pada kebisaan membaca dan menulis adalah pekerjaan kasih-sayang dari berbagai pihak, sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Memberi kesempatan sebaik- baiknya, menerima segala pendapat dan uraian atas bacaan yang telah dibacanya serta memberi ruang untuk menulis apa yang telah dibacanya, harus pula dibangun, sebab hal demikian perlahan dan pasti akan meningkatkan kemampuan literasi siswa dengan baik. Kemampuan literasi memang harus dibangun dan dibentuk tidak bisa muncul begitu saja tanpa ada dorongan yang menyertainya. Mengapa demikian? Karena harus disadari, bahwa kesadaran literasi pada berbagai lapisan masyarakat kita, termasuk para siswa masih jauh dari harapan. Oleh karena itu kehadiran Gerakan Literasi Sekolah (GLS) tidak hanya memberikan kondisi
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
dan situasi guna meningkatkan kebiasaan membaca dan menulis pada siswa, namun para guru juga harus ikut terlibat dengan baik dalam membaca dan menulis agar turut serta menjadi generasi literat.
Membangun dan membentuk kebiasaan membaca dan menulis (literasi) pada siswa di sekolah melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS) ini tentu tidak terfokus pada membaca dan menulis bacaan di luar mata pelajaran. Harapan yang menjadi tujuan ke depan tentu akan tumbuh pada diri setiap siswa bentuk literasi yang lebih baik dan meningkat pada mata pelajaran, sehingga dengan meningkatnya literasi siswa pada mata pelajaran tentu diharapkan akan diikuti dengan meningkatnya prestasi belajar siswa. Jika langkah ini berhasil, maka akan sinergis dengan tahapan ketiga dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS), yaitu meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran: menggunakan buku pengayaan dan strategi membaca di semua mata pelajaran.
Lingkungan sekolah yang kondusif dan kaya akan sumber penumbuhan literasi adalah lahan yang subur, sehingga bagaimana lahan yang subur bisa menghasilkan panen yang berlimpah, maka biji- bji kebiasaan membaca dan menulis harus disemai dengan baik, karena siswa-siswa di sekolah adalah biji-biji yang baik yang harus di tanam di lahan yang subur. Oleh karena itu menumbuhkan budaya literasi di sekolah, bak menyemai biji di lahan subur, yang harus di semai oleh semua guru, pimpinan, tenaga pendidikan, orang tua siswa, masyarakat sekitar sekolah, para penerbit buku dan penggiat literasi.
Daftar Pustaka Anonim. (2012). Peta Konsep Bunyi dan Cahaya. Retrieved from http://
fdsmtsnslawi.blogspot.co.id/2012/01/peta-konsep-bunyi-dan- cahaya.html
Buzan. (2007). Buku Pintar Mind Map. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dahar, R.W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga Hudojo, Herman, at al. (2002). Peta Konsep. Makalah. Jakarta: disajikan
dalam forum diskusi Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional Januati, Eka dan Yusrini, 2016. Peringkat Literasi Indonesia, Nomor Dua
Dari bawah. http://www.femina.co.id/trending-topic/peringkat-literasi- indonesia-nomor-dua-dari-bawah, diakses 30 Desember 2016.
Kurniasari, H. (2015). Pembahasan. Retrieved from http:// hanykurniasari14.blogspot.co.id/2015_03_01_archive.html
315 Litbang Kemendikbud. (2015). Mendikbud Luncurkan Gerakan Literasi
Gerakan Literasi, Bak Menyemai Biji di LAhan Subur
Sekolah. (Online). http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/index- berita-bulanan/2015/berita-bulan-agustus-2015/1297-mendikbud- luncurkan-gerakan-literasi-sekolah, diaskes 27 Desember 2016
Novak and Gowin. (1985). Learning how to learn. Cambridge; Cambridge University Press.
Oktavian, Catur Nurrochman. (2016). Membangun Budaya Literasi Di Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat. Retrieved from http:// literasi.jabarprov.go.id/baca-artikel-424-membangun-budaya-literasi-di- keluarga-sekolah-dan-masyarakat.html, diaskes, 31 Desember 2016.
Ratri, D. (2011). Belajar untuk belajar. Retrieved from http:// menerjemahkandunia.blogspot.co.id/2011/04/belajar-untuk- belajar.html; Kurniasari, 2015)
Unesco. (2003). Literacy: a Unesco Perspective. Retrieved from http:// unesdoc.unesco.org/ images/0013/ 001318/131817eo.pdf, diakses 30 Desember 2016
Wiedarti, Pangesti, dkk. (2016). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Wikipedia. (2016). Graphic Organizer. Retrieved from https:// en.wikipedia.org/wiki/Graphic_ organizer, diakses, 27 Desember 2016
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
Budaya Literasi dalam Pembentukan Karakter di SMAMDA Sidoarjo