MENCETAK GENERASI BERKARAKTER PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
MENCETAK GENERASI BERKARAKTER PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Zakiyah Pendidikan Khusus Negeri Seduri Mojokerto
Pada dasarnya pendidikan karakter tidak hanya di peruntukkan pada anak normal saja. Anak berkebutuhan khusus juga harus ditanamkan pendidikan karakter itu sejak dini, dengan berbagai kekurangan yang ada pada anak berkebutuhan khusus merupakan tantangan tersendiri bagi guru di sekolah luar biasa untuk menanamkan pendidikan karakter pada peserta didik. Anak berkebutuhan khusus berhak mendapat perlakuan yang sama dengan peserta didik reguler, dan juga mempunyai kewajiban yang sama sebagai generasi bangsa yang berkarakter. Meskipun cara perlakukan nya berbeda dengan anak reguler atau anak normal. Seperti yang dituangkan dalam undang undang dasar 1945 pasal 31 ayat
1 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.Ayat 3 yang berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikannasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak muliadalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur denganundang-undang”.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan kemampuan dalam berbagai aspek seperti hambatan kemampuan dalam penglihatan yang di sebut dengan tunanetra. hambatan kemampuan dalam pendengaran disebut dengan tunarungu. hambatan kemampuan dalam kecerdasan disebut dengan tunagrahita. hambatan kemampuan dalam gerak tubuh disebut dengan tunadaksa. hambatan kemampuan dalam emosi dan sosial di sebut tunalaras. Autis, anak berkebutuhan khusus juga bisa menjadi generasi berkarakter sama dengan anak normal lainnya, tapi cara penanganan pada anak berkebutuhan khusus memerlukan strategi dan metode khusus juga, sehingga anak bisa menerapkan karakter karakter yang baik dalam kehidupan sehari hari.
Mencetak generasi berkarakter pada anak berkebutuhan khusus merupakan tantangan tersendiri bagi orang tua di rumah dan guru di sekolah. Diperlukan strategi dan metode khusus dalam penanganannya.
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
Adapun metode dan strategi tersebut harus disesuaikan dengan berbagai macam karakteristik anak berkebutuhan khusus dan harus sesuai dengan hambatan yang disandangnya. Adapun karakteristik anak berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut.
Tunanetra
1. Pengertian Anak Tunanetra Dipandang dari segi bahasa, kata tunanetra terdiri dari kata tuna
dan netra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1990) tuna mempunyai arti rusak, luka, kurang, tidak memiliki, sedangkan netra artinya mata. Tunanetra artinya rusak matanya atau tidak memiliki
mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya. Definisi bila ditinjau dari sudut pendidikan, anak dengan gangguan
penglihatan adalahanak yang mengalami gangguan daya penglihatannya berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus, mereka masih tetap tidak mampu memanfaatkan media pendidikan yang dirancang untuk anak- anak awas pada umumnya, sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus(Azwandi, 2005).
Menurut white conference, pengertian tunanetra adalah seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian (low vision) dari kedua matanya bila kedua mata itu tidak dapat digunakan untuk membaca, meskipun dibantu dengan kaca mata.Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai katajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata terbaik.Setelah mendapat perbaikan yang terbaik atau bila mempunyai ketajaman lebih dari 20/200 tetapi luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak lebih dari 20 derajat (Widdjajantin, 1995).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tunanetra adalah seseorang yang mengalami kerusakan pada kedua matanya, sehingga tidak bisa melihat (buta) atau yang masih dapat melihat tetapi tidak cukup jelas penglihatannya. Kondisi yang tetap tidak mengalami perubahan, walaupun telah dibantu dengan kaca mata ia tidak dapat mengikuti pendidikan dengan menggunakan fasilitas yang umumnya dipakai anak awas.
Mencetak Generasi Berkarakter pada Anak Berkebutuhan Khusus
2. Klasifikasi Tunanetra WHO mengklasifikasikan orang dengan gangguan penglihatan ke
dalam lima kategori (Ilyas dalam Azwandi,2007) yaitu: kategori 1 dan 2 adalah rabun dengan penglihatan kurang dari 30/60 atau ketajaman penglihatan kurang dari 6/60 sedangkan.Kategori 3 dan 4 adalah buta dengan ketajaman penglihatan kurang dari 1/60 atau ketajaman penglihatan kurang dari 1/60 dengan lapang pandang kurang dari 5 derajat. Kategori 5 adalah buta dan tidak ada persepsi sinar.
Penglihatan seseorang dikatakan benar-benar terganggu bila ketajaman penglihatannya lebih rendah atau sama dengan 20/200, yaitu seseorang yang hanya mampu melihat suatu benda pada jarak 20 kaki, sedangkan benda tersebut dapat dilihat oleh orang yang memiliki ketajaman normal pada jarak 200 kaki. Orang yang tidak memiliki ketajaman penglihatan sama sekali atau yang visus matanya nol disebut buta (Arum, 2005). Dari dua pendapat tersebut disimpulkan bahwa pengklasifikasian seorang tunanetra, dapat dilihat dari seberapa besar ketajaman penglihatan yang masih dipunyainya.
3. Sebab-sebab Ketunanetraan Penyebab ketunanetraan menurut Sunanto (2005) ada beberapa
faktor sebagai berikut.
a. Kelainan yang terjadi pada struktur mata atau karena penyakit yang menyerang kornea mata, saraf mata, dan lain sebagainya.
b. Karena faktor keturunan misalnya perkawinan antar saudara dekat yang dapat menyebabkan kemungkinan diturunkannya kondisi kelainan penglihatan yang dibawa.
c. Karena infeksi virus, tumor otak atau cedera yang terjadi akibat kecelakaan.
d. Penyakit trachoma
e. Kondisi badan yang tidak sehat disertai kekurangan gizi dan perawatan kesehatan dasar yang buruk.
f. Kondisi kelainan genetis bawaan yang disebut retinopaty of prematurity atau kerusakan jalur penglihatan.
Penyebab ketunanetraan juga dapat ditinjau dari sudut internal dan eksternal(Widdjajantin, 1995)seperti beruikut.
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
a. Faktor internal. Faktor intern merupakan faktor penyebab kecacatan mata yang timbul dari dalam diri orang tersebut. Misalnya dari perkawinan keluarga dan perkawinan sesama tunanetra.
b. Faktor eksternal. Faktor ekstern merupakan faktor penyebab kecacatan mata yang timbul dari luar diri orang tersebut. Misalnya karena:
1) Penyakit sifilis/ raja singa/ rubella
2) Malnutrisi berat atau kekurangan nutrisi berat
3) Kekurangan vitamin A
4) Penyakit diabetes melitus
5) Penyakit tekanan darah tinggi
6) Mengalami stroke
7) Mengalami radang kelenjar kelopak mata
8) Penyakit hemangioma yaitu tumor jinak pada pembuluh darah.
9) Penyakit retinoblastoma yaitu tumor ganas yang berasal dari retina.
10) Menderita Cellutis orbita yaitu radang jaringan mata yang disebabkan karena infeksi kuman pada jaringan mata.
11) Glaukoma yaitu tekanan pada bola mata yang tinggi.
12) Fibroplasi retrolensa yaitu pemberian oksigen yang berlebihan pada bayi lahir prematur.
13) Pengaruh obat atau zat kimiawi
4. Karakteristik Tunanetra Karakteristik tunanetra adalah kegiatan yang dilakukan oleh
tunanetra. Edangkan berat ringan karakteristik tersebut tergantung sejak kapan mengalami ketunaannya, tingkat ketajaman penglihatannya, tingkat pendidikannya, lingkungan, serta usia (Widdjajantin, 1995)
a. Karakteristik tunanetra total antara lain :
1) Mempunyai rasa curiga pada orang lain
2) Perasaannya mudah tersinggung
3) Ketergantungan pada orang lain yang berlebihan
4) Melakukan blindism, yaitu gerakan-gerakan yang dilakukan tunanetra tanpa mereka sadari
5) Mempunyai rasa rendah diri
6) Sikap tangan ke depan dan sikap badan agak membungkuk
Mencetak Generasi Berkarakter pada Anak Berkebutuhan Khusus
7) Suka melamun
8) Memiliki fantasi yang kuat untuk mengingat suatu obyek
9) Memiliki sifat kritis
10) Memiliki sifat pemberani
11) dan perhatian terpusat
b. Karakteristik tunanetra kurang lihat antara lain
1) Selalu mencoba melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda.
2) Menanggapi rangsang cahaya yang datang padanya, terutama
pada benda yang kena sinar yang disebut visually function.
3) Bergerak dengan penuh percaya diri baik di rumah maupun di sekolah.
4) Merespon terhadap warna.
5) Dapat menghindari rintangan-rintangan yang berbentuk besar dengan menggunakan sisa penglihatannya.
6) Memiringkan kepala bila akan memulai dan melakukan suatu pekerjaan.
7) Mampu mengikuti gerak benda dengan sisa penglihatannya yang dipunyainya
8) Tertarik pada benda yang bergerak.
9) Berusaha mencari benda jatuh dengan menggunakan penglihatannya.
10) Kebanyakan mereka menjadi penuntun bagi teman-temannya yang buta.
11) Jika berjalan sering terbentur atau kakinya menginjak-injak benda tanpa disengaja.
12) Jika berjalan dengan menyeretkan kaki, menggeserkan kaki atau salah langkah.
13) Mengalami kesulitan dalam menunjuk benda atau mencari benda kecuali benda-benda yang berwarna kontras.
14) Mengalami kesulitan melakukan gerakan-gerakan yang halus, dan lembut.
15) Bila melihat benda secara global atau menyeluruh.
16) Kerjasama antara mata dan anggota badan lemah.
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
Tunarungu
1. Pengertian anak tunarungu Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagai akibat dari kerusakan atau
tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari– hari yang berdampak terhadap kehidupanya secara menyeluruh.
Seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruh alat pendengarannya dalam kehidupan sehari–hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya secara komplek (Permanarian dan Hernawati, 1996: 27).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagai akibat dari kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari – hari yang berdampak terhadap kehidupannya secara menyeluruh.
2. Karakteristik anak tunarungu
a. Karakteristik dalam segi intelegensi. Secara umum anak tunarungu memiliki intelegensi normal atau rata – rata, tetapi dalam perkembangannya intelegensi tidak secepat anak normal pendengaran. Hal tersebut sangat dipengaruhi kemampuan bahasa yang dimiliki anak, akibatnya dalam prstasi anak tunarungu lebih rendah dibanding dengan anak berpendengaran normal atau mendengar yang sebaya. Rendahnya tingkat prestasi anak tunarungu bukan berasal dari kemampuan intelektual yang rendah, tetapi pada umumnya disebabkan intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang dengan maksimal, tapi tidak semua aspek intelegensi anak tunarungu terhambat hanya yang bersifat verbal saja anak tunarungu mengalami hambatan.
b. Karakteristik dalam segi bahasa dan bicara. Kemampuan berbicara dan berbahasa anak tunarungu berbeda dengan anak yang mendengar, hal ini disebabkan perkembangan bahasa erat kaitannya dengan kemampuan mendengar, anak tunarungu mengalami hambatan karena masalah ketajaman pendengaran yang dapat mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara anak
Mencetak Generasi Berkarakter pada Anak Berkebutuhan Khusus
c. Karakteristik dalam segi kepribadian, emosi dan sosial. Kemiskinan bahasa anak tunarungu mengakibatkan terhambatnya komunikasi dengan lingkungan, hal tersebut menimbulkan masalah bagi anak tunarungu karena anak terasing dari pergaulan sehari–hari dimana dia hidup. Keterasingan tersebut dapat menimbulkan efek negatif seperti:
1) Egoisentrisme yang melebihi anak berpendengaran normal.
2) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas.
3) Ketergantungan terhadap orang lain.
4) Perhatian mereka sukar dialihkan.
5) Lebih mudah marah dan cepat tersinggung. Karena dampak tersebut diatas menyebabkan anak tunarungu kurang
mempunyai konsep sosial meliputi pengertian luas yaitu lingkungan dimana dia hidup, sehingga menimbulkan perasaan rendah diri, terasing, cemburu, mudah curiga, kurang dapat bergaul, dan mudah marah.
Tunagrahita
1. Pengertian Anak Tunagrahita Pengertian Anak tunagrahita menurut beberapa ahli (soemantri,
2007:103) adalah “anak yang memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata”. Menurut Delphie (2007:2) “anak dengan hambatan kemampuan (tunagrahita) memiliki problema belajar disebabkan adanya hambatan perkembangan intelegensi, mental, emosi, sosial, fisik”. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, yang dimaksud dengan anak tunagrahita adalah anak dengan gangguan intelegensi atau intelegensi di bawah rata-rata normal sehingga mengalami kesulitan dalam akademik, komunikasi, bahasa maupun sosial.
2. Karakteristik Anak tunagrahita ringan
a. Ditinjau dari segi Kecerdasan. Umumnya anak tunagrahita ringan adalah anak yang mengalami
keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dan memiliki kecerdas-an di bawah rata-rata. Dengan kecerdasan di bawah rata-rata ini anak tunagrahita ringan memiliki keterbatasan kemampuan dalam berpikir
abstrak dan kemampuan intelektual lain di bawah kemampuan yang dimiliki oleh kebanyakan anak, anak tunagrahita ringan lebih banyak belajar dengan cara membeo (rate learning).
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
Dengan kemampuan yang terbatas ini, anak tunagrahita ringan sering dianggap sebagai anak yang bodoh dan acapkali menempati urutan paling bawah dalam prestasi belajar di lingkungan tempat tinggalnya. Sebagaimana tertulis dalam The new America Webster (dalam Amin, 1995:37) bahwa “Moron (debile) is person whole mentality does not develop beyond the 12 years old level”. Maksudnya kecerdasan berpikir seseorang tunagrahita ringan paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12 tahun.
Walaupun anak tunagrahita ringan ke-mampuan akademiknya terbatas namun mereka masih memiliki kemampuan yang dapat di-kembangkan dalam bidang ketrampilan. Dalam berbicaranya Anak tunagrahita ringan banyak yang lancar, tetapi minim kosa katanya, Mereka mengalami kesulitan dalam berpikir abstrak, tetapi mereka masih mampu mengikuti pelajaran yang bersifat akademik atau tool subject, baik di sekolah biasa maupun di sekolah luar biasa (SLB).
b. Ditinjau dari segi bahasa. Anak tunagrahita ringan yang mengalami gangguan bahasa lebih
banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara (Rochyadi dalam Imandala, 2012). Hasil penelitian Robert Ingall (Rochyadi dalam Imandala,2012) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita dengan menggunakan ITPA (Illionis Test of Psycholinguistic Abilities), menunjukkan bahwa (1)anak tunagrahita memperoleh keterampilan berbahasa pada dasarnya sama seperti anak normal, (2)kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dari pada anak normal, (3)kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan bahasa yang sempurna, (4)perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat terlambat dibandingkan dengan anak normal, sekalipun pada MA yang sama, (5)anak tunagrahita mengalami kesulitan tertentu dalam menguasai gramatikal, (6)bahasa tunagrahita bersifat kongkrit, (7)anak tunagrahita tidak dapat menggunakan kalimat majemuk. Ia akan banyak menggunakan kalimat tunggal.
Mc Lean dan Synder (Sunardi dan Sunaryo, 2007:194) mengemukakan bahwa “anak tunagrahita cenderung mengalami kesulitan dalam keterampilan berbahasa, meliputi morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam hal semantic mereka cenderung kesulitan dalam menggunakan kata benda, sinonim, penggunaan kata sifat, dan dalam pengelompokkan hubungan antara objek dengan ruang, waktu, kualitas, dan kuantitas”.
241 Menurut Sutjihati (Sunardi dan Sunaryo, 2007:194) anak tunagrahita
Mencetak Generasi Berkarakter pada Anak Berkebutuhan Khusus
disamping dalam komunikasi sehari-hari cenderung menggunakan kalimat tunggal, pada mereka umumnya juga mengalami gangguan dalam artikulasi, kualitas suara, dan ritme, serta mengalami kelambatan dalam perkembangan bicara”.
c. Ditinjau dari segi sosial dan emosi Anak tunagrahita kurang memiliki kemampuan untuk beradaptasi
atau bersosialisasi dengan lingkungannya. Kemampuan menyesuaikan diri yang kurang ini akan sulit bagi mereka untuk membuka jaringan sosial dengan teman sebayanya. Kalaupun mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama sebagai proses adaptasi. Oleh karena itu, anak tunagrahita lebih cenderung bergaul dengan anak usia lebih mudah di bawah usia mereka sendiri. Lingkungan yang baru juga merupakan hal yang sangat dihindari oleh anak tunagrahita ringan karena beberapa adat kebiasaan yang berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Beberapa anak tunagrahita membutuhkan pertolongandalam kemampuan itu dibutuhkan untuk hidup, bekerja, dan bermain di dalam masyarakat.
Fungsi mental anak tunagrahita juga mengalami kemunduran seiring dengan ke-mampuan sosial mereka. Secara mental, kecerdasan setaraf anak normal berumur 12 tahun. Mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, pelupa, kurang mampu membuat asosiasi dan sukar membuka kreasi-kreasi yang baru. Dengan demikian anak tunagrahita ringan akan semakin tersisih secara sosial dan pada akhirnya akan berakibat pada emosinya. Dimana anak tunagrahita emosinya kurang kaya, kurang kuat dan kurang banyak mempunyai keragaman anak tunagrahita jarang menghayati perasaan bangga, tanggung jawab dan hak sosial.
d. Masalah Anak tunagrahita ringan Menurut Sunardi & Sunaryo (2007) permasalahan Anak tunagrahita
ringan meliputi:
1) Hambatan perkembangan motorik. Anak tunagrahita memiliki kecakapan motorik yang lebih rendah dibandingkan kelompok anak normal sebaya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
2) Hambatan perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif anak tunagrahita hakekatnya seperti yang terjadi pada anak normal. Namun, sulit untuk berfikir abstrak.
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
3) Hambatan perkembangan komunikasi. Perkembangan bahasa dan bicara erat kaitannya dengan perkembangan kognitif. Per-kembangan kognitif yang terhambat ber-pengaruh pada perkembangan bahasa dan bicaranya.
4) Hambatan perkembangan sosial dan emosi. Dalam perkembangan sosialnya anak tunagrahita memiliki ketergantungan pada orang lain.
Perkembangan emosi anak tunagrahita tidak jauh dengan anak normal tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat memeperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana hatinya secara tepat.
Tunadaksa
1. Pengertian tuna daksa Tunadaksa adalah adalah bahasa kasar Indo nya adalah cacat, dan
bahasa halus adalah Tuna Daksa (alias cacat tubuh). Definisi Tunadaksa menurut situs resmi Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, tunadaksa berasal dari kata “Tuna“ yang berarti rugi, kurang dan “daksa“ berarti tubuh.
2. Ciri-ciri anak tunadaksa
1) Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh
2) Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna,tidak lentur/tidak terkendali).
3) Terdapat bagian angggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebihh kecil dari biasanya.
4) Terdapat cacat pada alat gerak.
5) Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam.
6) Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal.
7) Hiperaktif/tidak dapat tenang.
a. Ciri-ciri fisik Anak memiliki keterbatasan atau kekurangan dalam kesempurnaan
tubuh. Misalnya tangannya putus, kakinya lumpuh atau layu, otot atau motoriknya kurang terkoordinasi dengan baik.
Mencetak Generasi Berkarakter pada Anak Berkebutuhan Khusus
b. Ciri-ciri mental
1) Anak memiliki kecerdasan normal bahkan ada yang sangat cerdas.
2) Depresi, kemarahan dan rasa kecewa yang mendalam disertai dengan kedengkian dan permusuhan. Orang tersebut begitu susah dan frustasi atas cacat yang dialami.
3) Penyangkalan dan penerimaan, atau suatu keadaan emosi yang mencerminkan suatu pergumulan yang diakhiri dengan penyerahan. Ada saat-saat di mana individu tersebut menolak untuk mengakui realita cacat yang telah terjadi meskipun lambat laun ia akan menerimanya.
4) Meminta dan menolak belas kasihan dari sesama. Ini adalah fase di mana individu tersebut mencoba menyesuaikan diri untuk dapat hidup dengan kondisinya yang sekarang. Ada saat-saat ia ingin tidak bergantung, ada saat-saat ia betul-betul membutuhkan bantuan sesamanya. Keseimbangan ini kadang-kadang sulit dicapai.
c. Ciri-ciri sosial Anak kelompok ini kurang memiliki akses pergaulan yang luas
karena keterbatasan aktivitas geraknya. Kadang-kadang anak menampakkan sikap marah-marah (emosi) yang berlebihan tanpa sebab yang jelas. Untuk kegiatan belajar-mengajardisekolah diperlukan alat- alat khusus penopang tubuh, misalnya kursi roda, kaki dan tangan buatan.
Penyebab tunadaksa ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada sistem musculusskeletal.Adanya keragaman jenis tuna daksa dan masing-masing kerusakan timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
1) Sebab-sebab Sebelum Lahir (Fase Prenatal), kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan disebabkan oleh:
(a) Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya, misalnya infeksi, sypilis, rubela, dan typhus abdominolis.
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
(b) Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusat tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
(c) Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
(d) Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur yang cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat merusak sistem syaraf pusat.
2) Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal, peri natal), Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antara lain:
(a) Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.
(b) Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
(c) Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.
(d) Sebab-sebab setelah proses kelahiran (fase post natal), Fase setelah kelahiran adalah masa mulai bayi dilahirkan sampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
(1) Kecelakaan/trauma kepala, amputasi. (2) Infeksi penyakit yang menyerang otak. (3) Anoxia/hipoxia.
3. Karakteristik Anak Tuna Daksa, Kareakteristik anak tunadaksa mempengaruhi kemampuan
penyesuaian diri dengan lingkungan, kecenderungan untuk bersifat
245 pasif. Demikianlah pada halnya dengan tingkah laku anak tuna daksa
Mencetak Generasi Berkarakter pada Anak Berkebutuhan Khusus
sangat dipengaruhi oleh jenis dan derajat keturunannya.jenis kecacatan itu akan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai kompensasi akan kekurangan atau kecacatan. Ditinjau dari aspek psikologis, anak tuna daksa cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari lingkungan.
Tunalaras
1. Definisi Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dankontrol sosial.Individu tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan
aturan yang berlaku di sekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.Menurut Somantri (2007:139)“Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain.”Individu tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
2. Ciri-ciri Anak Tuna Laras Penggolongan anak tunalaras secara umum dapat ditinjau dari segi
gangguan atau hambatan dan kualifikasi berat ringannya kenakalan, dengan penjelasan sebagi berikut.
a. Gangguan Emosi. Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu: senang- sedih, lambat cepat marah, dan releks-tertekan. Secara umum emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, rasa tertekandan merasa cemas. Gangguan atau hambatan terutama tertuju pada keadaan dalam dirinya. Macam-macam gejala hambatan emosi, yaitu:
1) Gentar, yaitu suatu reaksi terhadap suatu ancaman yang tidak
disadari, misalnya ketakutan yang kurang jelas objeknya.
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
2) Takut, yaitu rekasi kurang senang terhadap macam benda, mahluk, keadaan atau waktu tertentu. Pada umumnya anak merasa takut terhadap hantu, monyet, tengkorak, dan sebagainya.
3) Gugup/nervous, yaitu rasa cemas yang tampak dalam perbuatan- perbuatan aneh. Gerakan pada mulut seperti meyedot jari, gigit jari dan menjulurkan lidah. Gerakan aneh sekitar hidung, seperti mencukil hidung, mengusap-usap atau menghisutkan hidung. Gerakan sekitar jari seperti mencukil kuku, melilit-lilit tangan atau mengepalkan jari. Gerakan sekitar rambut seperti, mengusap-usap rambut, mencabuti atau mencakar rambut.
4) Demikian pula gerakan-gerakan seperti menggosok-menggosok, mengedip-ngedip mata dan mengrinyitkan muka, dan sebagainya.
5) Sikap iri hati yang selalu merasa kurang senang apabila orang lain memperoleh keuntungan dan kebahagiaan.
6) Perusak, yaitu memperlakukan bedan-benda di sekitarnya menjadi hancur dan tidak berfungsi.
7) Malu, yaitu sikap yang kurang matang dalam menghadapi tuntunan kehidupan. Mereka kurang berang menghadapi kenyataan pergaulan.
8) Rendah diri, yaitu sering minder yang mengakibatkan tindakannya melanggar hukum karena perasaan tertekan.
b. Gangguan Sosial. Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala-gejala perbuatan itu adalah seperti sikap bermusuhan, agresip, bercakap kasar, menyakiti hati or- ang lain, keras kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak milik orang lain dan sebagainya. Perbuatan mereka terutama sangat mengganggu ketenteraman dan kebahagiaan orang lain. Beberapa data tentang anak tunalaras dengan gangguan sosial antara lain adalah:
1) Mereka datang dari keluarga pecah (broken home) atau yang sering kena marah karena kurang diterima oleh keluarganya.
2) Biasa dari kelas sosial rendah berdasarkan kelas-kelas sosial.
3) Anak yang mengalami konflik kebudayaan yaitu, perbedaan pandangan
hidup antara kehidupan sekolah dan kebiasaan pada keluarga.
4) Anak berkecerdasan rendah atau yang kurang dapat mengikuti kemajuan pelajaran sekolah.
Mencetak Generasi Berkarakter pada Anak Berkebutuhan Khusus
5) Pengaruh dari kawan sekelompok yang tingkah lakunya tercela dalam masyarakat.
c. Dari keluarga miskin. Dari keluarga yang kurang harmonis sehingga hubungan kasih sayang dan batin umumnya bersifat perkara. Salah satu contoh, kita sering mendengar anak delinkwensi. Sebenarnya anak delinkwensi merupakan salah satu bagian anak tunalaras dengan gangguan karena social perbuatannya menimbulkan kegoncangan ketidak bahagiaan/ketidak tentraman bagi masyarakat. Perbuatannya termasuk pelanggaran hukum seperti perbuatan mencuri, menipu, menganiaya, membunuh, mengeroyok, menodong, mengisap ganja, anak kecanduan narkotika, dan sebagainya.
Klasifikasi berat-ringannya kenakalan Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk
menetapkan berat ringan kriteria itu adalah:
1. Besar kecilnya gangguan emosi, artinya semikin tinggi memiliki perasaan negatif terhadap orang lain. Makin dalam rasa negative semakin berat tingkat kenakalan anak tersebut.
2. Frekwensi tindakan, artinya frekwensi tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalannya.
3. Berat ringannya pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sanksi hukum.
4. Tempat/situasi kenalakan yang dilakukan artinya Anak berani berbuat kenakalan di masyarakat sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila di rumah.
5. Mudah sukarnya dipengaruhi untk bertingkah laku baik. Para pendidikan atau orang tua dapat mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak “bandel” dan “keras kepala” sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.
6. Tunggal atau ganda ketunaan yang dialami. Apabila seorang anak tunalaras juga mempunyai ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaannya. Maka kriteria ini dapat menjadi pedoman pelaksanaan penetapan berat-ringan kenakalan untuk dipisah dalam pendidikannya
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
Autis Autis adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang
yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan yang normal. Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur hidup, walaupun demikian penderita Autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi Autisme sedini mungkin, seringkali dapat mengikuti Sekolah Umum, menjadi Sarjana dan dapat bekerja memenuhi standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dari rekan selama bersekolah dan rekan sekerja seringkali dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau tidak memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara. Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain. [1] Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian dari gangguan spektrum autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder (PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme.Autisme adalah yang terberat di antara PDD.
Gejala-gejala autisme dapat muncul pada anak mulai dari usia tiga puluh bulan sejak kelahiran hingga usia maksimal tiga tahun.Penderita autisme juga dapat mengalami masalah dalam belajar, komunikasi, dan bahasa.Seseorang dikatakan menderita autisme apabila mengalami satu atau lebih dari karakteristik berikut: kesulitan dalam berinteraksi sosial secara kualitatif, kesulitan dalam berkomunikasi secara kualitatif, menunjukkan perilaku yang repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau tidak normal
Dari beberapa pengertian dan karakteristik tentang anak berkebutuhan khusus dari tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras dan autis, dapat kami kami simpulkan bahwa pendidikan karakter dapat di berikan pada anak berkebutuhan khusus tapi pemberiannya di sesuaikan dengan karakteristik masing masing anak dan di sesuaikan dengan
249 kebutuhan khususnya, pendekatan harus memperhatikan time yang tepat,
Mencetak Generasi Berkarakter pada Anak Berkebutuhan Khusus
sebab kalau tidak tepat maka akan pemperburuk pada perkembangan anak tersebut, dengan melihat time yang tepat maka penanaman karakter karakter yang baik dapat merubah prilaku yang kurang baik pada anak didik berkebutuhan khusus. Sehingga anak berkebutuhan khususpun dapat menjadi pribadi pribadi yang berkarakter sehingga anak dapat bergaul secara sosial dengan masyarakat pada umumnya.
Penanaman Nilai – nilai Karakter Pada anak Berkebutuhan Khusus Di sekolah Pendidikan Khusus Negeri Seduri penanaman prilaku
yang berkarakter selalu ditanamkan sejak dini pada anak berkebutuhan khusus dari jurusan tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan Autis. Perilaku–perilaku berkarakter perlu ditanamkan pada anak didik supaya mereka bisa saling membantu, saling menghargai, dan saling menghormati, meskipun mereka beda kebutuhan khususnya. Ada rasa kebersamaan sesama anggota warga sekolah seperti wali murid, pendidikan dan tenaga kependidikan, adapun prilaku yang ditanamkan pada peserta didik tersebut dibagi tiga yaitu :
1. Diluar kelas
a. Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Perilaku ini ditanamkan pada anak didik pada awal sebelum masuk kelas, anak di kumpulkan di halaman sekolah untuk berdoa bersama dipimpin oleh salah satu siswa tunanetra, dengan alasan siswa tunanetra mampu mengucapkan doa dengan ucapan yang jelas sehingga dapat mengajarkan pada siswa tunagrahita dan tunadaksa, sedang untuk siswa tunarungu, ada salah seorang guru yang membantu dengan isyarat jari tangan untuk disimak siswa tunarungu dalam berdoa. Keadaan tersebut dapat di lihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Kegiatan berkumpul di halaman untuk berdo’a
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
Prilaku karakter religius juga ditanamkan pada siswa pada saat sholat berjamaah Di mushollah sekolah, siswa di ajak sholat dhuhur berjamaah, sebelum pulang sekolah. Dan sholat berjamaah tersebut juga diikuti oleh siswa SD reguler yang kebetulan dekat dengan sekolah pendidikan khusus negeri seduri, disitu terlihat adanya saling interaksi siswa berkebutuhan khusus dengan siswa reguler.
b. Peduli sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
c. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
Siswa berkebutuhan khusus juga memiliki rasa peduli pada orang lain, meskipun itu siswa tunagrahita yang selama ini dianggap sebagian masyarakat sebagai anak tidak berguna karena lemah mentalnya, ternyata dengan pembiasaan yang ditanamkan guru pada siswa, anak tunagrahita juga mempunyai rasa peduli pada temannya, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2. Bersalaman dengan guru
Mereka tanpa disuruh mendorong kursi roda temannya yang tunadaksa agar bisa bersalaman dengan guru, setelah selesai berdoa bersama.
d. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Prilaku karakter disiplin pada siswa berkebutuhan khusus ditanamkan pada saat setelah selesai berdoa bersama, mereka berbaris rapi untuk bersalaman dengan guru nya. Mereka dengan tertib berbaris untuk bersalaman, dan saling menolong juga ditunjukkan dengan mendorong temanya yang tunadaksa dan tunanetra untuk berjalan berbaris dengan rapi di halaman sekolah.
251 Prilaku disiplin juga ditanamkan pada siswa pada saat mau masuk
Mencetak Generasi Berkarakter pada Anak Berkebutuhan Khusus
kelas, disini terllihat kebersamaan siswa, pada saat mau masuk kelas siswa dengan tertib berbaris dengan rapi mesikipun yang mempimpin adalah anak tunagrahita, siswa tunarungu mau menghargai pemimpin barisan meskipun pemimpinnya tunagrahta.
Gambar 3. Berbaris untuk melatih kedisiplinan
a) Di dalam kelas
1) Bersahabat/Komunikatif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain
Didalam kelas perlu ditanamkan sikap karakter ini sebab agar siswa mudah bersosialisasi denga temannya, enjoy menerima pelajaran, dengan suasana enjoy
siswa lebih bisa berkomunikasi dengan guru dan temannya, terutama siswa tunagrahita,yang sulit ditebak prilakunya. Guru harus benar benar melakukan dengan pendekatan dengan berbagai startegi dan metode. Agar dapat menguasai kelas.
Gambar 4. Kegiatan siswa di dalam kelas
2) Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Pembelajaran di kelas hendaknya mampu mendorong rasa ingin tau siswa terhadap materi pembelajaran, guru harus mampu memilih startegi dan metode yang sesuai dengan karakteristik pada siswa, sehingga kelas menjadi bermakna. Contohnya : pembelajaran tidak harus di lakukan dalam kelas, pembelajaran bisa di lalukan di luar kelas tapi harus di sesuaikan juga dengan materi yang ada, sekiranya bisa dilakukan di luar kelas lebih baik di luar kelas untuk menghindari kejenuhan siswa pada pembelajaran. Seperti pada gambar di bawah ini. Siswa tunagrahita
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
pada Pembelajaran alat komunikasi bisa langsung di bawa ke asarama untuk di kenalkan pada alat komunikasi, yaitu telepon, hp, televisi, dan Tape/radio.
Gambar 5. Kegiatan melatih rasa ingin tahu
3) Tanggung-jawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
4) Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Penanaman rasa tanggung jawab dan mandiri perlu ditanamkan pada siswa berkebutuhan khusus, mesikupun mereka ada kekurangan, tapi mereka harus bisa mandiri, harus bisa bertanggung jawab minimal pada diri mereka sendiri tanpa bergantung pada orang lain, maksimal bisa ikut serta dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Hal ini ditanamkan pada siswa agar mampu mandiri, mampu mengurusi kebutuhan diri nya sendiri tanpa bergantung pada orang lain, baik itu saudara, orang tua atau teman, seperti gambar di bawah ini
Mencetak Generasi Berkarakter pada Anak Berkebutuhan Khusus
Gambar 6. Kegiatan melatih tanggung jawab dan mandiri
b) Di rumah Program–program yang ditanam kan guru di sekolah tidak akan ada
guna nya bila tidak ada dukungan dari orang tua siswa itu sendiri, sebab program dan bimbingan itu tidak ada gunanya bila dirumah tidak dilakukan pembiasaan, untuk itu perlu adanya kerjasama dan komunikasi yang baik antara guru dan orang tua wali murid, perlu adanya diskusi mengenai program yang akan dilakukan pada siswa, juga kendala kendala yang dialami guru di sekolah bisa di diskusikan dengan orang tua siswa demikian juga sebaliknya, kendala kendala orang tua dalam meneruskan program sekolah di rumah di konsultasikan dan diskusikan ke guru agar keberhasil program bisa berhasil dengan baik. Sebab pengorbanan oraang tua berkebutuhan khusus tidak sedikit, seperti di bawah ini, harus meluangkan waktu untuk mengantarkan anaknya ke sekolah, sambil membawa anak yang masih kecil, juga dengan finansial yang tidak sedikit, untuk transpot, uang saku, dan kebutuhan lainnya.
KESIMPULAN Dengan berbagai macam teori tentang anak berkebutuhan khusus
dan kenyataan di lapangan meskipun itu hanya sebagaian kecil contoh perlakuan pada siswa berkebutuhan khusus di Pendidikan Khusus Negeri Seduri, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pembiasaan merupakan pendekatan yang tepat untuk menanamkan prilaku yang berkarakter pada siswa berkebutuhan khusus baik itu yang tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan aiutis.
Semakin komplek karakteristik siswa berkebutuhan khusus semakin memerlukan perlakuan dan strategi khusus dalam menanamkan prilaku berkarakter pada siswa tersebut. Mesikipun berkebutuhan khusus siswa di SLB atau di Pendidikan Khusus mampu menjadi generasi yang
Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa
berkarakter. Tinggal masyarakat luas saja apakah mereka mau menerima mereka dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka, jangan menutup mata pada mereka, seperti slogan kami para guru–guru pendidilkan luar biasa untuk menanamkan rasa percaya diri pada anak berkebutuhan kusus yaitu: JANGAN KASIHANI KAMI, TAPI BERI KAMI KESEMPATAN.
DAFTAR PUSTAKA Arum, W.S.A, 2005. Perspektif Pendidikan Luar Biasa dan Implikasinya bagi
Penyiapan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Depdiknas. Purbaningrum, Endang. 2013. Modul Bina Persepsi Bunyi dan Bina Bicara.
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Press. Somad, Permanarian dan Hernawati, Tati .1996.Ortpedagogik Anak
Tunarungu.Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru.
Sunaryo dan Sunardi. 2007. Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.
Sutjiati, Somantri. 2006. Psikologi Anak LuarBiasa. Bandung: Reflika Aditama.
Widdjajantin, A, 1995. Ortopaedagogik Tunagrahita Jakarta: DepdikbudDin. Widdjajantin, A, 1995. Ortopaedagogik Tunanetra I. Jakarta: DepdikbudDin.
Menggapai Uluran Tangan Anak