Dwi Ulfa Nurdahlia Pengamat Pendidikan/ IKIP Budi Utomo Malang
Dwi Ulfa Nurdahlia Pengamat Pendidikan/ IKIP Budi Utomo Malang
Kenakalan Remaja sebagai Satu Indikator Gagalnya Pendidikan Juvenile delinquency merupakan istilah yang digunakan dalam dunia
psikologi, khususnya remaja yang sering melakukan kenakalan remaja. Mereka sering melakukan perilaku yang yang maladaptive. Beberapa perilaku negatif yang muncul dalam dunia remaja, antara lain: free sex, tawuran, mencuri, minum minuman keras, dan penggunaan narkoba. Bahkan dalam sebuah jurnal menyebutkan kenakalan remaja semakin meningkat, hal tersebut diapaparkan dari data-data yang berasal dari BNN, KPAI, ditambah informasi dari media cetak seperti Kompas dan media elektronik seperti TV One (Sabarisman dan Unayah, 2015). Perilaku yang bersifat merusak diri dan lingkungan kerap ditunujukkan oleh remaja. Hal ini yang akan membawa para remaja berada dalam lingkaran label negatif dari masyarakat umum. Dampaknya banyak diantara mereka menjadi objek yang dikucilkan dan dijadikan bahan untuk menjadi contoh negatif. Tentunya hal ini akan membuat remaja akan merasa dirinya terintimidasi bahkan akan memperkuat perilaku negatifnya.
Perilaku negatif yang dilakukan oleh remaja, pada dasarnya tidak murni kesalahan dari remaja itu sendiri. Melainkan peranan dari dua faktor antara lain: faktor internal yang berasal dari diri remaja dan faktor eksternal yang berada dari luar diri remaja. Berikut beberapa peritiwa yang menggambarkan faktor internal remaja yang mendorong melakukan perilaku menyimpang sebagai gejala patologis:
Kasus 1: contoh remaja yang mengalami krisis identitas Remaja merasa dirinya sudah dewasa dan memiliki hak yang sama
dengan orang tua, seperti pulang malam, merokok dan dapat bergaul dengan siapa saja. Kemudian remaja tersebut, tidak memiliki kendali
60 Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa untuk memposisikan dirinya sebagai remaja yang memiliki positive
values, sehingga mereka memutuskan untuk mengikuti keinginannya menjadi dewasa tanpa kontrol dari orang tua. Dari peristiwa tersebut, remaja mulai memiliki gaya hidup yang tidak sehat, mereka mulai sering pulang malam, menjadi addicted terhadap rokok dan minuman keras
(Sumber: pengalamam penulis ketika menjadi guru BK) Krisis identitas yang dialami oleh remaja sering dikaitkan dengan
perilaku memberontak di kalangan remaja atau disebut adolescent rebellion. Namun, jika remaja tersebut mendapat kesempatan untuk mengelola emosi yang dimiliki, maka tidak akan timbul pemberontakan dalam diri remaja. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh para ahli antropologi seperti Margaret Mead yang mempelajari pertumbuhan di pulau Samoa, kemudian didukung hasil observasi Schlegel & Barry terhadap 186 masyarakat praindustri 1991, serta beberapa peneliti lain seperti Offer, Ostrov, Howard, dan Atkinson (Feldman dkk, 2009) yang menyatakan bahwa “badai dan stress” yang dialami remaja tidak akan terjadi, jika remaja mengalami peralihan emosi yang stabil.
Kasus 2: contoh tentang keyakinan diri pada remaja Remaja yang memiliki keyakinan diri yang tidak sesuai dengan
lingkungan. Misal remaja memilih membolos daripada harus hadir di sekolah. Tingkah laku tersebut dilakukan secara berulang dengan alasan, aturan sekolah yang mewajibkan hadir pukul 06.45 dan banyak tugas yang diberikan oleh guru.
(Sumber: pengalamam penulis ketika menjadi guru BK) Keyakinan negatif yang dimiliki remaja merupakan suatu bentuk
perwujudan dari penguatan identitas diri untuk mendapat pengakuan, bahwa ia mampu bertindak dan memutuskan apa yang remaja suka dan tidak disukai. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma, merupakan perilaku menyimpang. Menurut Feist (2009) penyimpangan adalah tindakan memberontak melawan penguasa. Remaja menyimpang dengan keras kepala, berpegang pada kepercayaan dan praktik tersebut tidak diterima. Namun, menurut Erikson perilaku remaja tersebut bukan hanya sebagai penyangkalan peran, melainkan penambahan gagasan baru dan vitalitas baru dalam struktur sosial (Feist, 2009). Dengan kata lain, struktur sosial yang merupakan bagian luar dari remaja memerlukan pengkajian terhadap aturan yang memiliki pengaruh terhadap pemikiran internal remaja.
61 Pembentukan perilaku remaja tidak hanya disebabkan oleh faktor
Kenakalan Remaja dan Peran Guru di Sekolah
internal, melainkan juga faktor eksternal sebagai reinforcement yang mampu membenarkan remaja untuk melakukan peruatan yang mal- adaptive. Beberapa faktor eksternal yang menyebabkan remaja melakukan tindakan menyimpang, antara lain: keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Kasus 1: remaja yang tinggal dengan keluarga yang tidak harmonis
Ketika berada di rumah, remaja sering mendengarkan pertengkaran dan ibu yang sering mengeluh tentang perbuatan ayahnya, sehingga remaja tersebut memilih untuk menggunakan narkoba yang akan membuatnya tenang dan membuatnya tidur untuk menghilangkan kegundahan hatinya.
(Sumber: pengalamam penulis ketika menjadi guru BK) Dampak negatif faktor eksternal yang ditimbulkan dari pola asuh
orang tua akan menjadikan remaja yang bermasalah. Jika dalam keluarga melakukan program yang bertujuan meningkatkan hubungan dalam perkawinan adalah memperbaiki pengasuhan, maka konsekuensinya adalah menghasilkan anak-anak dan remaja yang lebih sehat (Santrock, 2007). Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan keluarga untuk menjadikan remaja yang sehat. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Rahayu et all (2013) yang menggunakan rumus person product moment (PPM) Karl Person. Disebutkan bahwa ada korelasi antara keharmonisan keluarga dan motivasi belajar siswa sebesar 0,648 pada taraf signifikansi 0,01, sehingga menunjukkan ada hubungan yang sangat erat.
Kasus 2: remaja yang mendapat hukuman saat di sekolah Remaja yang melakukan pelanggaran tidaklah selalu dari kalangan
remaja yang memiliki kemampuan rendah. Adakalnya mereka yang memiliki kemampuan lebih juga pernah melakukannya. Misalkan, ada remaja yang mampu memanipulasi nilai ujian sekolah melalui systemcomputer. Kasus tersebut bagi beberapa guru, mungkin akan dihukum. Akan tetapi, tidak pada sekolah tersebut, remaja tersebut dibina oleh tim guru IT.
(Sumber: pengalamam penulis ketika menjadi guru BK) Sekolah yang hanya memberikan hukuman akan semakin
memperburuk situasi dan keadaan remaja. Mereka akan memiliki mindset sekolah adalah tempat yang buruk serta dipenuhi dengan ancaman dan
62 Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa hukuman. Namun, pemikiran negatif akan berubah menjadi pikiran
yang positif pada saat pendidik mampu mendekatkan diri pada remaja dan melakukan pendekatan secara humanis. Terjalinnya hubungan yang harmonis antara pendidik dengan remaja (siswa) akan menciptakan perilaku yang positif pada diri remaja. Seperti penelitian selalu menunjukkan bahwa kualitas hubungan guru-siswa adalah satu faktor terpenting-mungkin satu-satunya faktor yang paling penting-yang mempengaruhi kesehatan emosi, motivasi, dan pembelajaran siswa selama disekolah (Ormrod, 2009).
Sekolah Sebagai Rumah Kedua Pendidikan merupakan tempat bertukarnya ilmu. Dikatakan sebagai
tempat bertukarnya ilmu dikarenakan terjadi pertukaran ilmu antara guru dengan guru, guru dengan siswa. Guru menyampaikan ilmunya kepada siswa. Disisi lain siswa secara tidak langsung juga memberikan ilmu terkait dengan perilaku yang muncul pada saat proses pembelajaran berlangsung. Konsep pertukaran ilmu inilah yang harusnya dimiliki oleh guru maupun remaja yang sedang menempuh pendidikan di sekolah. Jika konsep tersebut sudah dipahami, maka proses pembelajaran di sekolah merupakan sesuatu yang penting dan akanada rasa saling membutuhkan satu sama lain, layaknya makhluk sosial.
Sekolah merupakan tempat memanusiakan manusia. Para ahli teori humanistic menunjukkan bahwa (1) tingkah laku individu pada mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri dan dunia
sekitarnya, dan (2) individu bukanlah satu-satunya hasil dari lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh ahli teori tingkah laku, melainkan langsung dari dalam (internal), bebas memilih, dimotivasi oleh keinginan
untuk aktualisasi diri (self-actualization) atau memenuhi potensi keunikan mereka sebagai manusia (Djiwandono, 2004). Pandangan teori humanis- tic menunjukkan bahwa remaja merupakan kesatuan utuh, memiliki akal
untuk menciptakan sesuatu atau bertingkah laku sesuai dengan kehendak yang dimiliki. Jika dikaitkan dengan kenakalan remaja, maka sebagi seorang pendidik harus mampu mengelola remaja sebagai individu utuh
yang layak untuk dimanusiakan. Mereka bukan robot yang dapat disetting oleh lingkungan terlebih oleh orang lain.
Kemampuan mengelola remaja di sekolah dapat dilakukan dengan
5 cara. Hal ini seperti yang biasa dilakukan oleh guru bimbingan dan
63 konseling atau konselor yaitu: pemahaman, pencegahan, pengentasan,
Kenakalan Remaja dan Peran Guru di Sekolah
pengembangan, dan advokasi. (1) Pemahaman: remaja diberikan penjelasan perihal yang negatif dan
positif,sehingga remaja memiliki pemahan utuh untuk tidak melakukan perilaku negatif.
(2) Pencegahan: memberikan kegiatan positif yang bertujuan untuk mengembangkan bakat dan minat remaja,sehingga kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri terpenuhi. Selain itu, energi yang dimiliki remaja akan tersalurkan pada pengembangan diri yang positif.
(3) Pengentasan: penanganan terhadap remaja yang terlanjur melakukan perilaku maladaptive, maka dapat dilakukan pendekatan melalui konseling. Pendekatan konseling yang digunakan menyesuaiakan permasalahan yang dialami oleh remaja. Selama proses pengentasan, guru BK bekerjasama dengan seluruh guru mapel atau pun karyawan dan staff di sekolah untuk tidak memberikan label negatif. Guru BK atau konselor harus memiliki kemampuan menjaga kerahasiaan dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh siswa.
(4) Pengembangan: pengembangan bakat dan minat secara maksimal, sehingga mereka tumbuh dan berkembang menjadi remaja yang memiliki kepercayaan diri serta akan menjadi remaja yang memiliki identitas utuh.
(5) Advokasi: proses pendampingan dan pembelaan terhadap remaja yang memiliki permasalahan. Tidaklah bijaksana seorang guru BK atau konselor membiarkan siswa berjuang sendiri tanpa adanya pendampingan. Membela bukan berarti tidak ada ketegasan untuk menunjukkan kesalahan yang telah dilakukan oleh remaja.Melainkan menguatkan remaja dan memberikan petunjuk untuk bertanggungjawab dan memperbaiki kesalah yang telah dibuatnya.
Saat 5 konsep tersebut mampu diterapkan di sekolah,kemugkinan terbesar adalah remaja akan merasa aman dan nyaman ketika berada disekolah. Seolah bapak dan ibu guru di sekolah merupakan orang tua kedua yang selalu ada untuk mereka. Dengan kata lain, sekolah sebagai rumah kedua yang mampu melindungi dan mengayomi layaknya keluarga di rumah.
Pendidikan sebagai Pilar Pembentukan Karakter Pendidikan sebagai pilar yang harus dikokohkan yang memiliki
unsur antara lain: kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan. Guru
64 Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa merupakan pemeran utama yang tidak luput dari dukungan karyawan
dan kepala sekolah. Namun, interaksi yang paling dominan adalah guru yang mengajar di kelas yang berinteraksi secara intens dengan para remaja (siswa). Oleh sebab itu, penting bagi seorang guru memiliki sifat humanis yang mampu memberikan kenyamanan. Saat remaja (siswa) merasa nyaman, maka besar kemungkinan penanaman nilai-nilai positif akan lebih mudah,sehingga akan terwujud remaja yang memiliki karakter positif. Terdapat kebutuhan-kebutuhn afektif yang terkait dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi, dan moral (dalam Djiwandono, 2004) yang kemudian diuraikan sebagai tujuan pendidikan humanistik oleh Combs (dalam Djiwandono, 2004) seperti berikut ini.
(1) Menerima kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa serta menciptakan pengalaman dan program untuk perkembangan keunikan potensi siswa.
(2) Memudahkan aktualisasi diri siswa dan perasaan diri mampu. (3) Memperkuat perolehan keterampilan dasar (akademik, pribadi,
antarpribadi, komunikasi, dan ekonomi). (4) Memutuskan pendidikan secara pribadi dan penerapannya. (5) Mengenal pentingnya perasaan manusia, nilai, dan persepsi dalam
proses pendidikan. (6) Mengembangkan suasana belajar yang menantang dan dapat
dimengerti, mendukung, menyenangkan, serta bebas dari ancaman. (7) Mengembangkan rasa ketulusan, respek, menghargai orang lain, dan
terampil dalam menyelesaikan konflik pada diri siswa. Pola pendidikan yang tepat sesuai dengan kebutuhan remajaakan
membentuk karakter positif. Keberhasilan pembentukan karakter akan terlihat ketika remaja tersebut mampu bersosialisasi dengan masyarakat umum. Mereka tidak lagi berperilaku baik karena berada disekolah dan dalam pengawasan guru, melainkan kesadaran pribadi yang utuh dalam bermasyarakat.
Peranan Guru yang Efektif Pembentukan karakter bagi anak-anak yang spesial “remaja yang
berperilaku negatif” memerlukan guru yang luar biasa. Mereka adalah guru-guru tangguh yang memiliki mental positif. Berikut ini merupakan atribut bagi guru yang peduli terhadap prestasi akademik dan pembelajaran sosial (Arends, 2013).
65 (1) Guru-guru yang efektif memiliki kualitas personal yang membuat
Kenakalan Remaja dan Peran Guru di Sekolah
mereka mampu mengembangkan hubungan manusia yang autentik dan penuh perhatian dengan para siswa, orang tua, dan kolega.
(2) Guru efektif dapat menciptakan kelas yang demokratis dan memberikan contoh keadilan sosial siswa.
(3) Guru yang efektif memiliki disposisi positif terhadap pengetahuan. Mereka memiliki kemampuan dalam tiga hal, yaitu dasar pengetahuan luas yang berkaitan dengan bidang studi, pengembangan manusia dan pembelajaran, serta pedagogi. Mereka menggunakan pengetahuan ini untuk membimbing ilmu dan seni dari praktik mengajar.
(4) Guru efektif memiliki repertoar praktik-praktik mengajar yang efektif yang dapat memotivasi siswa, meningkatkan prestasi siswa dalam keterampilan dasar, mengembangkan pemikiran tingkat tinggi, dan menghasilkan pembelajar yang dapat mengatur diri sendiri.
(5) Guru yang efektif secara personal cenderung berefleksi dan memecahkan masalah. Mereka menganggap belajar untuk mengajar adalah proses seumur hidup, dapat mendiagnosis situasi dan beradaptasi, serta menggunakan pengetahuan profesionalnya secara tepat untuk meningkatkan pembelajaran dan peningkatan mutu sekolah.
Guru-guru yang efektif tidak akan memberikan stereotip negatif yang menciptakan jarak dengan (siswa). Mereka adalah orang tua kedua saat disekolah, disertai dengan peran sebagai pendamping, pembimbing, dan pendidik jika terjadi kesalahan. Kemampuan guru-guru efektif inilah yang akan menjadi pilar pembentukan karakter remaja. Bahkan para remaja yang tergolong spesial “teracuhkan oleh masyarkat” tidak akan lagi terabaikan.
Kesimpulan: Pada dasarnya sekolah merupakan tempat yang layak untuk membantu
remaja dalam membentuk karakter positif. Tentunya dengan bantuan para guru-guru yang efektif, sehingga remaja tidak lagi mendapat stereotip negatif dan mereka tidak akan terabaikan. Dengan kata lain, sekolah memiliki fungsi maksimal bagi seluruh remaja yang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan sebagai warga negara Indonesia.
guruku sahabatku, guruku pahalawanku,
66 Menyelamatkan Masa Depan Generasi Emas Bangsa DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard, I. 2013. Belajar untuk Mengajar Edisi 9 buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.
Djiwandono, Wuryani. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo. Feist, G. J. dan Feist, J. 2009. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humnika. Feldman, R. D., Olds, S. W., dan Papalia, D. E. 2009. Perkembangan Manusia.
Jakarta: Salemba Humanika. Ormrod, J. Ellis. 2009. Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang jilid 2. Jakarta: Erlangga. Rahayu, K. S. I, et all. 2013. Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dan
Motivasi Belajar Siswa. Jurnal Ilmiah Konseling, 2 (1): 23-56. Sabarisman, Muslim dan Unayah, Nunung. 2015. Fenomena Kenakalan
Remaja dan Kriminalitas. Jakarta: Yrama Media. Santrock. 2007. Remaja: edisi 11, jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Kenakalan Remaja dan Peran Guru di MTs