Sistem penunjang keputusan cerdas perencanaan industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit untuk proses pengeboran minyak

(1)

SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN CERDAS PERENCANAAN

INDUSTRI PENGOLAHAN BATANG KELAPA SAWIT MENJADI

SERBUK SAWIT UNTUK PROSES PENGEBORAN MINYAK

SKRIPSI

Oleh:

MUTHIA DWIASTRI

F34070133

2011

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

INTELLIGENT DECISION SUPPORT SYSTEM FOR INDUSTRIAL PLANNING

OF PALMTRUNK PROCESSING INTO PALM POWDER IN OIL DRILLING

PROCESS

Muthia Dwiastri, Yandra Arkeman, and Khaswar Syamsu

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java,

Indonesia. Phone: +62856 920 47 661, email: muthiadwiastri@yahoo.com ABSTRACT

Utilization of oil palm has been limited to the fruit to produce oil and all its derivatives, as well as a certain level of utilization of fiber fruits, stems and bark to produce fiber. Trunk of a rejuvenation of old plants that have the largest mass is still untapped commercially.

The establishment of an industry decision-making can use the decision support system (DSS), which will help determine the best decision. DSS is a specific concept of a computerized system that links between decision makers and user, which in detail describes the elements of the system. The system was made must be described clearly one factor that may become obstacles and alternative solutions.

Genetic algorithms are techniques of global optimization search that work according to the principle of evolution and the genetics of the biological mechanisms, such as crossings, mutations, and others. Genetic algorithms are widely used for solving complex optimization problems that can not be solved with conventional optimization techniques.

Critical factors in palmpowder industries were the availability of raw materials or the mass of palm trunk, the balance of energy produced versus the energy required, the determination of industrial location, and scheduling the cutting plant and investment feasibility. The developed industrial planning decision support system, more efficient in program code usage and easy to develop.


(3)

Muthia Dwiastri F34070133. Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit untuk Pengeboran Minyak. Di bawah bimbingan Yandra Arkeman dan Khaswar Syamsu. 2011.

RINGKASAN

Pemanfaatan kelapa sawit selama ini hanya terbatas pada buah untuk memproduksi minyak beserta segala turunannya, serta sampai pada tingkat tertentu pemanfaatan serat buah, tandan dan pelepah untuk memproduksi serat. Bagian batang hasil peremajaan tanaman tua yang mempunyai massa terbesar masih belum dimanfaatkan secara komersil. Dari sekitar 2 juta hektar tanaman kelapa sawit di indonesia pada tahun 1997, diperkirakan potensi produksi batang kelapa sawit terbesar adalah Sumatera Utara dan Riau dengan volume sekitar 5 juta m3/tahun. Melihat besarnya potensi batang kelapa sawit yang dihasilkan serta minimnya industri pemanfaatan batang kelapa sawit menjadi produk yang bernilai tambah, pendirian industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi loss circulation material (LCM) serbuk sawit sebagai bahan additive di dalam lumpur pengeboran sangatlah berpotensi untuk didirikan.

Pengambilan keputusan pendirian suatu industri dapat menggunakan suatu sistem penunjang keputusan (SPK), yang akan membantu menentukan keputusan terbaik. SPK merupakan suatu konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemakainya, yang secara rinci memaparkan elemen-elemen sistem. Pemaparan yang semakin detail dapat semakin baik menunjang proses pengambilan keputusan. Sistem yang dibuat harus dapat menggambarkan dengan jelas faktor yang mungkin menjadi penghambat dan alternatif penyelesaiannya.

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis tekno ekonomi dan menghasilkan sistem yang dapat memberikan keputusan terbaik bagi investor di industri pengolahan limbah batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan sistem yang terdiri dari model pemilihan lokasi alternatif, model forecasting, model optimasi untuk menyelesaikan masalah penjadwalan penebangan pohon kelapa sawit, model teknis dan teknologis serta model finansial dalam menentukan kelayakan suatu industri.

Algoritma genetika merupakan teknik pencarian dan optimasi global yang bekerja berdasarkan prinsip evolusi dan mekanisme biologi genetika, seperti penyilangan, mutasi dan lainnya. Algoritma genetika banyak digunakan untuk memecahkan masalah optimasi yang rumit dan tidak dapat dipecahkan dengan teknik optimasi konvensional. Clustering adalah klasifikasi objek serupa ke dalam beberapa kelompok. Lebih tepatnya, partisi dari kumpulan data ke subset (cluster). Metode clustering yang digunakan dalam penelitian ini adalah clustering dengan metode K-Means. Metode K-Means dapat mengklasifikasikan data sesuai dengan kesamaan antar data dengan perhitungan jarak perbedaan menggunakan rumus Euclidean.

Metode algoritma genetika dan clustering digunakan dalam model penjadwalan penebangan batang kelapa sawit. Algoritma genetika digunakan dalam menyelasaikan total salesperson problem (TSP) untuk mencari jarak tempuh terpendek yang akan dilalui penebang dalam melakukan proses re-planting. Jarak tempuh terpendek yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar 633 km. Setelah jarak tempuh terpendek didapat, dilakukan analisis pengelompokkan data blok kebun dengan metode clustering guna mendapatkan blok-blok kebun yang nantinya akan di tebang pertama kali. Digunakan 150 contoh random data perkebunan dengan tiga atribut yang berupa usia pohon, produktivitas pohon dan infeksi terhadap penyakit. Dari proses tersebut didapat bahwa klaster 1 merupakan klaster blok kebun yang akan ditebang pertama kalinya.


(4)

Target pemasaran produk loss ciruculation material (LCM) serbuk sawit ini lebih ditujukan pada perusahaan- perusahaan pengeboran minyak dan perusahaan penyedia lumpur pengeboran baik dalam negeri maupun luar negeri dengan kemasan berupa kemasan berbahan dasar plastik dengan bobot tertentu . Penjualan produk secara langsung ke konsumen dan produk disalurkan melalui distributor pada wilayah tertentu. Kapasitas industri LCM serbuk sawit ini adalah 512 kg per hari. Penentuan kapasitas ini berdasarkan jumlah bahan baku yang dihasilkan oleh kebun. Industri LCM serbuk sawit ini direncanakan didirikan di Rokan Hulu, Riau dengan seleksi kriteria-kriteria yang berhubungan dengan menggunakan metode perbandingan eksponensial. Industri ini dijalankan oleh 25 orang tenaga kerja dengan deskripsi kerja masing-masing dengan luas pabrik sekitar 658 m2. Industri LCM serbuk sawit ini menghasilkan limbah padat yang dapat diolah menjadi produk samping.

Besarnya investasi yang diperlukan untuk pendirian industri LCM serbuk sawit ini adalah sebesar Rp 559,298,250 dengan umur proyek 10 tahun, yang terdiri dari nilai NPV Rp. 723,717,481, IRR sebesar 30%, nett B/C sebesar 2.19 dan PBP selama 3.8 tahun sehingga industri LCM serbuk sawit ini dinyatakan layak untuk didirikan ditinjau dari analisis kriteria kelayakan yang berupa nilai NPV lebih dari nol, IRR lebih dari sama dengan discount factor dan PBP kurang dari umur proyek.


(5)

SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN CERDAS PERENCANAAN

INDUSTRI PENGOLAHAN BATANG KELAPA SAWIT MENJADI

SERBUK SAWIT UNTUK PROSES PENGEBORAN MINYAK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MUTHIA DWIASTRI

F34070133

2011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Judul Skripsi : Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Perencanaan Industri

Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit

Untuk Proses Pengeboran Minyak

Nama

: Muthia Dwiastri

NRP

: F34070133

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Yandra Arkeman, M. Eng Prof. Dr. Ir.

Khaswar Syamsu

, M.Sc.St.

NIP. 19650914 199002 1 001

NIP. 19630817 198803 1 003

Mengetahui :

Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti

NIP. 19621009 198903 2 001


(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit Untuk Proses Pengeboran Minyak adalah hasil karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Muthia Dwiastri F34070133


(8)

©Hak cipta milik Muthia Dwiastri, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,


(9)

BIODATA PENULIS

Muthia Dwiastri dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 November 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Harry Muhammad Nadir dan Lena Puspita. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Islam Asyafi’iyah 02 pada tahun 2001, dan pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP PUTRA 1 pada tahun 2004. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 8 Jakarta dan lulus pada tahun 2007. Setelah lulus sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Perusahaan.

Selama masa kuliah penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengawasan Mutu (2010) dan asisten responsi mata kuliah Analisis Sistem Penunjang Keputusan (2011). Penulis melaksanakan praktek lapangan pada tahun 2010 di PT. Bakrie Sumatera Plantation, Kisaran, Sumatera Utara dengan mempelajari aspek Supply Chain Management Agroindustri Karet. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Sistem Penunjang Keputusan Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit Untuk Proses Pengeboran Minyak” untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian di bawah bimbingan Dr. Ir.


(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga skripsi ini bisa diselesaikan. Penelitian dengan judul “Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Perencanaan Industri Pengolahan Batang Kelapa Sawit Menjadi Serbuk Sawit Untuk Proses Pengeboran Minyak” dilaksanakan di laboratorium komputer Teknologi Industri Pertanian sejak bulan Februari sampai Juli 2011. Pada kesempatan ini, penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih atas dukungan, bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini sampai terselesaikan.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng sebagai Dosen Pembimbing Pertama atas segenap bimbingan yang telah diberikan,

2. Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.St sebagai Dosen Pembimbing Kedua atas segenap bimbingannya yang telah diberikan,

3. Dr. Eng. Taufik Djatna,S.TP, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Ketiga atas segenap ilmu, bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis,

4. Kedua orang tua penulis Bapak Harry Muhammad Nadir dan Ibu Lena Puspita, Kakek penulis Bapak Sama’an Syamsudin serta kedua saudara kandung penulis, kakak Rahma Nadia Zahra dan adik Rifqi Muhammad Fauzi atas dukungan dan doanya yang selalu diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,

5. Sahabat sebimbingan Agita, Icha, Zafira,

6. Sahabat-sahabat penulis Vidya, Fadillah Rizky, Nurzakiyah, Ayuningtyas, Novina, Agung, Triyoda, Iqbal bibir, Desti, Eva, Muthi, Anita, Amanda, Niken, Amalia, Nova, Andri Fauzan, Arya, Fahri, Faiz , Arifyandi, Nanda Rahardiansyah, Hergha, Iqbal a.w, Iza, Pandudamai, Dimas gusti randa, Astrid yeyen, Fajrin, Fitri, Rezia, Detylia, Resti, Astrid widya, Nina, Amel, Utami, Kak Kiki, Ginan,

7. Pak Nandra, Pak Fredy, Kak sai, Kak Ago, Mas hendro, Kak iwan, Mas teguh atas segala arahan dan bimbingannya,

8. Teman-teman TIN 44 yang telah memberi semangat kepada penulis, 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, tetapi penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat serta menambah pengetahuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.

Bogor, Agustus 2011 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ... ... i

DAFTAR ISI ... ... ii

DAFTAR TABEL ... ... v

DAFTAR GAMBAR ... .... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... .. viii

I. PENDAHULUAN ... ... 1

A. Latar Belakang ... ... 1

B. Tujuan ... ... 2

C. Ruang Lingkup ... ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... ... 4

A. Sistem Penunjang Keputusan ... ... 4

B. Sistem Penunjang Keputusan Cerdas ... ... 6

C. Algoritma Genetika ... ... 7

1. Aplikasi Algoritma Genetika ... ... 7

2. Prinsip Kerja Algoritma Genetika ... ... 8

3. Prosedur Algoritma Genetika ... ... 11

4. Schemata Theory dan The Building Block Hypothesis ... 11

5. Perbandingan Algoritma Genetika dengan Teknik Pencarian dan Optimasi Konvensional. ... 13

6. Profil Algoritma Genetika Sebagai Metode Optimasi ... 13

D. Batang Kelapa Sawit ... ... 15

E. Serbuk Sawit sebagai Bahan Aditif didalam Lumpur Pengeboran ... 17

1. Fungsi Utama Lumpur Pengeboran ... 17

2. Jenis Lumpur Pengeboran ... 19

3. Komposisi Lumpur Pengeboran ... 21

F. Perencanaan Industri ... 23

1. Aspek Pasar dan Pemasaran ... 24

2. Aspek Teknis dan Teknologis ... 24

3. Aspek Manajemen dan Organisasi ... 27

4. Aspek Finansial ... 27

5. Aspek Legalitas ... 28

6. Aspek Lingkungan ... 29

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30

A. Kerangka Pemikiran ... 30

B. Pendekatan Masalah ... 31

C. Metode Pengolahan Data ... 32

1. Metode Perbandingan Eksponensial dalam Pemilihan Lokasi ... 32

2. Metode Prakiraan Bahan Baku ... 33

3. Metode Perhitungan Analisis Finansial ... 34

4. Metode Analisis Pasar dan Pemasaran ... 37

5. Metode Analisis Teknis dan Teknologis ... 37


(12)

7. Metode Analisis Lingkungan dan Legalitas ... 40

8. Metode Penjadwalan Penebangan ... 40

D. Pengembangan Sistem Berorientasi Objek ... 43

E. Tahapan Pendekatan Sistem ... 44

1. Analisis Kebutuhan ... 45

2. Formulasi Masalah ... 46

3. Identifikasi Sistem ... 46

4. Implementasi Sistem ... 47

5. Verifikasi Sistem ... 48

IV. ANALISIS SISTEM ... 49

A. Deskripsi Sistem ... 49

B. Konfigurasi Sistem ... 49

1. Sistem Pengolahan Terpusat ... 49

2. Sistem Manajemen Dialog ... 49

3. Sistem Manajemen Basis Data ... 49

C. Analisis Kebutuhan Informasi Pengguna ... 49

D. Hubungan Antar Pelaku ... 50

E. Kebutuhan Fungsional Sistem ... 51

1. Kebutuhan Perangkat Lunak dan Perangkat Keras ... 51

2. Kebutuhan Tenaga ... 51

3. Pemeliharaan Sistem ... 52

V. PERENCANAAN INDUSTRI ... 53

A. Analisis Pasar dan Pemasaran ... 53

1. Potensi Pasar ... 53

2. Strategi Pemasaran ... 54

B. Analisis Teknis dan Teknologis ... 58

1. Spesifikasi Bahan Baku ... 58

2. Ketersediaan dan Prakiraan Bahan Baku ... 59

3. Kapasitas Produksi ... 61

4. Proses Produksi ... 62

5. Penentuan Lokasi Pabrik ... 67

6. Desain Tata Letak dan Kebutuhan Ruang Pabrik ... 68

C. Aspek Manajemen dan Organisasi ... 74

1. Kebutuhan Tenaga Kerja ... 74

2. Struktur Organisasi ... 76

3. Deskripsi Pekerjaan ... 77

D. Aspek Lingkungan dan Legalitas ... 78

1. Lingkungan ... 78

2. Legalitas ... 79

E. Analisis Finansial ... 81

1. Asumsi Perhitungan Finansial ... 81

2. Sumber Dana dan Struktur Pembiayaan ... 82

3. Biaya Investasi ... 83

4. Harga dan Prakiraan Penerimaan ... 83

5. Proyeksi Laba Rugi ... 84


(13)

7. Titik Impas (Break Event Point) ... 85

8. Kriteria Kelayakan Investasi ... 85

9. Analisis Kepekaan/Sensitivitas ... 86

VI. IMPELEMENTASI SISTEM ... 88

A. Tampilan Paket Program ... 88

1. Halaman Menu Utama ... 88

2. Halaman Informasi Produk dan Jasa ... 89

3. Halaman Informasi Lingkungan ... 90

4. Halaman Informasi Instruksi Penggunaan Sistem ... 90

B. Verifikasi Sistem ... 90

1. Model Pemilihan Lokasi ... 90

2. Model Prakiraan Bahan Baku ... 93

3. Model Teknis dan Teknologis ... 93

4. Model Penjadwalan Penebangan ... 94

5. Model Kelayakan Industri ... 102

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nilai fitness masing-masing kromosom ... 9

Tabel 2. Ukuran slot masing-masing kromosom ... 9

Tabel 3. Hasil penyilangan kromosom ... 10

Tabel 4. Contoh dan spesifikasi lost circulation material ... 23

Tabel 5. Komponen-komponen batang kelapa sawit ... 58

Tabel 6. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Riau ... 60

Tabel 7. Hasil prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit (2010-2019) ... 60

Tabel 8. Spesifikasi Hammer Mills secara umum ... 63

Tabel 9. Spesifikasi pompa yang digunakan pada proses produksi LCM serbuk sawit ... 64

Tabel 10. Kebutuhan energi listrik pada mesin dan peralatan yang digunakan oleh industri LCM serbuk sawit ... 66

Tabel 11. Jumlah perkebunan kelapa sawit 4 provinsi terbesar di Indonesia ... 68

Tabel 12. Hasil perhitungan lokasi potensial pendirian industri LCM serbuk sawit ... 68

Tabel 13. Nilai Total Closeness Rating (TCR) ... 72

Tabel 14. Kebutuhan ruang produksi ... 73

Tabel 15. Kebutuhan luasan ruang pabrik industri LCM serbuk sawit ... 73

Tabel 16. Penentuan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada setiap pekerjaan ... 75

Tabel 17. Kebutuhan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan pada industri LCM serbuk sawit ... 76

Tabel 18. Struktur pembiayaan industri LCM serbuk sawit ... 82

Tabel 19. Komposisi modal kerja ... 83

Tabel 20. Biaya investasi industri LCM serbuk sawit ... 83

Tabel 21. Penilaian kriteria investasi ... 86

Tabel 22. Analisis sensitivitas terhadap penurunan kapasitas dan harga jual ... 87


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Taksonomi sistem informasi manajemen ... 4

Gambar 2. Struktur Sistem penunjang keputusan ... 5

Gambar 3. Tahapan untuk meningkatkan Intelligence Density ... 6

Gambar 4. Roda rolet dengan ukuran slot yang masing-masing mewakili peluang terpilihnya kromosom ... 10

Gambar 5. Batang kelapa sawit ... 16

Gambar 6. Contoh lumpur pengeboran dalam kemasan ... 17

Gambar 7. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ... 31

Gambar 8. Diagram alir proses analisis pasar dan pemasaran ... 37

Gambar 9. Diagram alir proses analisis teknis dan teknologis ... 38

Gambar 10. Diagram alir proses analisis manajemen ... 40

Gambar 11. Diagram alir proses analisis K-means cluster ... 41

Gambar 12. Diagram algoritma sederhana dalam mencari fungsi optimum ... 43

Gambar 13. Rencana struktur sistem penunjang keputusan ... 44

Gambar 14. Metodologi pemecahan masalah dengan pendekatan sistem ... 45

Gambar 15. Diagram input output serbuk sawit ... 47

Gambar 16. Diagram hubungan antar pelaku ... 50

Gambar 17. Produk dan kemasan LCM serbuk sawit ... 56

Gambar 18. Diagram alir proses pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit ... 59

Gambar 19. Grafik prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit provinsi Riau ... 61

Gambar 20. Hammer Mills dengan modifikasi pipa ... 63

Gambar 21. Oven pengering ... 63

Gambar 22. Pompa yang digunakan pada proses produksi LCM serbuk sawit ... 64

Gambar 23. Generator Set ... 64

Gambar 24. Neraca massa proses pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit ... 66

Gambar 25. Pola aliran bahan dalam ruang produksi LCM serbuk sawit ... 70

Gambar 26. Diagram keterkaitan antar aktivitas ... 71

Gambar 27. Keterkaitan ruang ... 72

Gambar 28. Layout pabrik LCM serbuk sawit ... 74

Gambar 29. Struktur organisasi industri LCM serbuk sawit ... 77

Gambar 30. Tampilan utama SPKPalmpowder 1.0 ... 89

Gambar 31. Tampilan halaman informasi produk dan jasa ... 89

Gambar 32. Tampilan halaman informasi lingkungan ... 90

Gambar 33. Tampilan halaman informasi petunjuk penggunaan sistem ... 90

Gambar 34. Tampilan halaman model pemilihan lokasi ... 92

Gambar 35. Tampilan halaman model prakiraan bahan baku ... 93

Gambar 36. Tampilan halaman model teknis dan teknologis ... 94

Gambar 37. Graf rute penebangan ... 96

Gambar 38. Grafik tute terpendek hasil perhitungan dengan MATLAB ... 100

Gambar 39. Hasil penyelesaian TSP dengan algoritma genetika ... 101

Gambar 40. Hasil penyelesaian clustering k-means dalam penjadwalan penebangan ... 102

Gambar 41. Tampilan halaman model penjadwalan penebangan ... 102

Gambar 42. Tampilan halaman asumsi pada model kelayakan finansial ... 103


(16)

Gambar 44. Tampilan halaman biaya tetap ... 104 Gambar 45. Tampilan halaman biaya variabel ... 104 Gambar 46. Tampilan halaman kelayakan industri dalam program SPKPalmpowder 1.0 ... 105


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data flow diagram SPKPalmpowder 1.0 ... 113

Lampiran 2. Conceptual dan physical data model SPKPalmpowder 1.0 ... 115

Lampiran 3. Luas areal perkebunan kelapa sawit tahun 2009 ... 117

Lampiran 4. Luas areal perkebunan kelapa sawit tahun 1995-2009 ... 118

Lampiran 5. Grafik prakiraan luas areal perkebunan kelapa sawit ... 119

Lampiran 6. Contoh kuisioner pemilihan lokasi potensial pendirian industri LCM serbuk sawit 121 Lampiran 7. Tabel asumsi untuk analisis finansial industri LCM serbuk sawit ... 126

Lampiran 8. Struktur pembiayaan bunga terhadap bank ... 127

Lampiran 9. Perincian biaya investasi ... 128

Lampiran 10. Tabel depresiasi dan modal kerja ... 129

Lampiran 11. Tabel total penjualan LCM serbuk sawit ... 130

Lampiran 12. Rincian biaya operasional ... 131

Lampiran 13. Perhitungan total biaya operasi pabrik ... 132

Lampiran 14. Proyeksi laba rugi ... 133

Lampiran 15. Proyeksi Arus kas ... 134

Lampiran 16. Proyeksi kelayakan investasi ... 135

Lampiran 17. Analisis sensitivitas I pengurangan kapasitas produksi ... 136

Lampiran 18. Analisis sensitivitas II penurunan harga jual 20.7 persen ... 140

Lampiran 19. Analisis sensitivitas III penurunan harga jual 20.8 persen ... 141

Lampiran 20. Analisis sensitivitas IV penurunan harga jual 10 persen ... 142

Lampiran 21. Halaman informasi petunjuk penggunaan sistem ... 143

Lampiran 22. Tampilan halaman isi model teknis teknologis ... 144

Lampiran 23. Contoh 150 data random kondisi kebun kelapa sawit ... 148


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Melihat perkembangan harga minyak sawit dipasaran internasional cenderung membaik, industri minyak sawit akan menjadi andalan devisa di masa depan. Untuk dapat bersaing dipasar global, perkembangan dan persyaratan perdagangan internasional perlu di antisipasi. Industri kelapa sawit nasional mengalami perkembangan menggembirakan. Terbukti selama tahun 1985-2005, pertambahan kebun kelapa sawit mencapai lima juta hektar per tahun atau meningkat 837 persen, dan hal itupun dibuktikan juga oleh kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional yang mencapai enam persen, komoditas ini juga nomor satu dari produksi Indonesia. Selama tahun 2005, minyak sawit telah menjadi minyak makan terbesar didunia. Pasokan crude palm oil (CPO) untuk produksi dalam negri juga meningkat menjadi 12,8 juta ton pada tahun 2005, bila dibandingkan dengan 12,5 juta ton pada tahun 2004. Pada tahun 2010, perkebunan kelapa sawit dapat menyerap hingga 500 ribu tenaga kerja dan menghasilkan 2,7 juta TBS (tandan buah segar) per tahun dan diperkirakan akan menjadi produsen minyak sawit terbesar didunia (Ditjenbun, 2006).

Namun seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dampak positif dari perkembangan seperti sektor agroindustri umumnya dan perkebunan kelapa sawit khususnya, juga diikuti oleh dampak negatif terhadap lingkungan akibat dihasilkannya limbah cair, padat dan gas dari kegiatan kebun dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Untuk itu tindakan pencegahan dan penanggulangan dampak negatif dari kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit dan PKS harus dilakukan dan sekaligus meningkatkan dampak positifnya. Tindakan tersebut tidak cukup dengan mengandalkan peraturan perundang-undangan saja tetapi perlu juga didukung oleh pengaturan sendiri secara sukarela dan pendekatan instrumen-instrumen ekonomi. Pengaturan ini dikenal sebagai mixed policy tools.

Kenyataan menunjukkan bahwa sejak masalah lingkungan hidup mulai diangkat kepermukaan, Indonesia memiliki berbagai macam program yang berkaitan dengan lingkungan yang tidak mencapai sasaran secara optimal. Hal ini disebabkan antara lain oleh pendekatannya yang bersifat “pemaksaan” melalui berbagai peraturan perundang-undangan dengan berbagai ancaman sanksi. Belajar dari hal tersebut, dewasa ini telah terjadi perkembangan pemikiran dimana limbah yang sebelumnya dikategorikan sebagai produk samping yang menimbulkan masalah dan selayaknya harus ditanggulangi (end-of-pipe), saat ini dianggap sebagai indikator tidak efisiennya proses produksi. Pemikiran inilah yang mendorong perubahan strategi penanganan limbah

Ketergantungan proses produksi terhadap bahan baku impor dapat menghambat kontinuitas produksi suatu kegiatan usaha. Oleh sebab itu perlu ditemukan terobosan-terobosan untuk meningkatkan nilai tambah material yang tidak termanfaatkan, sehingga dapat menjadi bahan baku bagi industri lain dan mendorong industri untuk menggunakan bahan baku yang berasal dari kandungan lokal.

Pemanfaatan kelapa sawit selama ini hanya terbatas pada buah untuk memproduksi minyak beserta segala turunannya, serta sampai pada tingkat tertentu pemanfaatan serat buah, tandan dan pelepah untuk memproduksi serat. Bagian batang hasil peremajaan tanaman tua yang mempunyai massa terbesar masih belum dimanfaatkan secara komersil. Dari sekitar dua juta hektar tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1997, diperkirakan potensi produksi batang kelapa sawit terbesar adalah Sumatera Utara dan Riau dengan volume sekitar lima juta m3/tahun. Secara umum potensi batang kelapa sawit di indonesia terkonsentrasi di pulau Sumatera dengan


(19)

volume lebih dari 17 juta m3/tahun atau sekitar 74% dari potensi batang kelapa sawit nasional (Balfas, 2003). Melihat besarnya potensi batang kelapa sawit yang dihasilkan serta minimnya industri pemanfaatan batang kelapa sawit menjadi produk yang bernilai tambah, pendirian industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit sebagai bahan aditif di dalam lumpur pengeboran sangatlah potensial untuk didirikan.

Pengambilan keputusan pendirian suatu industri dapat menggunakan suatu sistem penunjang keputusan (SPK), yang akan membantu menentukan keputusan terbaik. SPK merupakan suatu konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemaikainya, yang secara rinci memaparkan elemen-elemen sistem. Pemaparan yang semakin detil dapat semakin baik menunjang proses pengambilan keputusan (Eriyatno, 1999). Sistem yang dibuat harus dapat menggambarkan dengan jelas faktor yang mungkin menjadi penghambat dan alternatif penyelesaiannya. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan keputusan terbaik bagi investor di industri pengolahan limbah batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan sistem yang terdiri dari model pemilihan lokasi alternatif, model forecasting, model optimasi untuk menyelesaikan masalah penjadwalan penebangan pohon kelapa sawit, model teknis dan teknologis serta model finansial dalam menentukan kelayakan suatu industri.

Algoritma genetika merupakan teknik pencarian dan optimasi global yang bekerja berdasarkan prinsip evolusi dan mekanisme biologi genetika, seperti penyilangan, mutasi dan lainnya. Algoritma genetika banyak digunakan untuk memecahkan masalah optimasi yang rumit dan tidak dapat dipecahkan dengan teknik optimasi konvensional

B. Tujuan

Penelitian ini secara khusus pada pengembangan sistem penunjang keputusan cerdas untuk perencanaan industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit untuk menunjang proses pengambilan keputusan yang terkait dengan perusahaan pengeboran minyak itu sendiri. Tujuan penelitian ini antara lain:

1. Menganalisa teknoekonomi pendirian industri serbuk sawit dari aspek pasar dan pemasaran, aspek teknik dan teknologis, aspek manajemen, aspek legalitas, aspek lingkungan, serta analisis finansial dan analisis sensitivitas. Kemungkinan hasil studi yang diperoleh dapat menyatakan bahwa industri serbuk sawit tersebut layak atau tidak layak. Jika layak maka pendirian industri serbuk sawit ini dapat direalisasikan, sedangkan jika tidak layak maka industri tersebut tidak dapat direalisasika

2. Merancang, mengembangkan dan menghasilkan model sistem penunjang keputusan untuk perencanaan industri serbuk sawit sehingga para pelaku bisnis atau investor dapat mengetahui gambaran mengenai peluang dan prospek industri tersebut serta dapat mengambil keputusan secara sistematis.

3. Mengaplikasikan algoritma genetik dan k-means clustering sebagai bagian dari sistem penunjang keputusan cerdas untuk perencanaan industri pengolahan limbah batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit

C. Ruang lingkup

Ruang lingkup perancangan sistem penunjang keputusan untuk perencanaan industri pengolahan batang kelapa sawit menjadi serbuk sawit yaitu:

1. Analisis tekno ekonomi pendirian industri serbuk sawit


(20)

3. Analisis prakiraan jumlah bahan baku yang dapat digunakan 4. Analisis aspek teknis dan teknologis industri serbuk sawit 5. Analisis penjadwalan penebangan


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Penunjang Keputusan

Sistem penunjang keputusan adalah konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi dengan para pengambil keputusan sebagai penggunanya (Eriyatno, 1996). Menurut Keen dan Morton (1978), sistem penunjang keputusan adalah suatu sistem berbasis komputer-interaktif yang memudahkan pemecahan masalah dari problem-problem keputusan yang semi-terstruktur dan tidak semi-terstruktur. Sedangkan menurut Dhar dan Stein (1997), sistem penunjang keputusan merupakan bagian dari sistem informasi manajemen dan digunakan sebagai bagian dari sebuah proses dimana di dalamnya manusia melakukan kegiatan pengambilan keputusan yang dilakukan secara berulang.

Dhar dan Stein (1997) membuat taksonomi dari sistem informasi manajemen sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1. Taksonomi tersebut membagi sistem informasi manajemen secara umum menjadi pemroses transaksi dan sistem penunjang keputusan.

Gambar 1. Taksonomi sistem informasi manajemen

Sebuah sistem penunjang keputusan pada umumnya digunakan untuk mendukung keputusan-keputusan yang memiliki pengaruh jangka panjang dan membutuhkan pembenaran dari manusia. Pembenaran dari manusia diperlukan ketika suatu masalah menjadi sangat tidak terstruktur bagi model sistem penunjang keputusan untuk menangkap perbedaan kecil dalam situasi pengambilan keputusan (Dhar dan Stein, 1997).

Menurut Keen dan Morton (1978), aplikasi sistem penunjang keputusan akan berguna apabila:

1. Dibutuhkan efisiensi waktu dalam pengolahan data. 2. Terbatasnya waktu dalam pengambilan keputusan

3. Diperlukan manipulasi dan komputasi dalam proses pencapaian tujuan

4. Perlunya penentuan masalah, pengembangan alternatif dan pemilihan solusi berdasarkan akal sehat.

Menurut Dhar dan Stein (1997), sistem penunjang keputusan dapat dibagi menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah model-driven DSS, yaitu sistem penunjang keputusan yang nilainya

Sistem Informasi Manajemen

Pemroses Transaksi Sistem Penunjang Keputusan (SPK)

Model - Driven Decision Support System

Data - Driven Decision Support System


(22)

bergantung kepada kualitas model yang digunakan. Pada tipe ini, kemampuan analisisnya tergantung kepada model atau kekuatan teori yang digunakan, yang dikombinasikan dengan tampilan antar-muka yang baik sehingga mudah untuk digunakan. Tipe yang kedua adalah data - driven DSS, dimana nilainya bergantung kepada data yang dimilikinya. Tipe ini biasanya cukup sederhana, misalnya digunakan untuk menghitung rata-rata, total, dan distribusi data. Tujuannya adalah untuk memudahkan pengguna menghimpun sejumlah besar data yang kemudian diubah menjadi suatu bentuk yang berguna untuk mengelola bisnis.

Secara konsep, sistem penunjang keputusan terdiri dari tiga komponen utama yang menunjang proses pengambilan keputusan, yaitu: pengambilan keputusan, data, dan model yang masing-masing dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Sistem manajemen dialog yang terdapat didalamnya berfungsi untuk mengelola masukan dan keluaran dari dan untuk pengguna. Pengelolaan atau manipulasi data dilakukan oleh sistem manajemen basis data, sedangkan model dikelola oleh sistem manajemen basis model.

Hubungan antara komponen utama yang terdapat dalam sistem penunjang keputusan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur sistem penunjang keputusan (Turban, 1991)

Sistem manajemen basis data harus bersifat interaktif dan fleksibel. Hal ini berarti sistem harus dapat mengakomodir apabila ternyata terdapat perubahan terhadap struktur, isi, dan ukuran elemen-elemen data (Minch dan Burns, 1983). Sifat tersebut merupakan yang penting karena menurut Turban (1991), komponen data harus dapat disunting, ditambah, atau dihapus agar tetap relevan bila dibutuhkan. Sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasi pengambilan keputusan atau aktifitas lainnya seperti pembuatan model, implementasi, pengujian, validasi, eksekusi dan pemeliharaan model (Eriyatno, 1996). Lebih lanjut Turban (1991), menjabarkan bahwa model yang dimaksud dapat berupa model finansial, statistika, atau model-model kuantitas yang disiapkan untuk sistem analitik.

Menurut Keen dan Morton (1978), tujuan dari sistem penunjang keputusan adalah membantu para pengambil keputusan dalam menyeleksi kriteria untuk proses pengambilan yang pada umunya bersifat struktural. Sifat ini berarti adanya kemampuan untuk menyelaraskan

Data

Model

Pengguna

Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)

Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)

Sistem Pengolahan Problematik


(23)

keputusan struktural dengan penilaian yang bersifat subyektif dari masing-masing struktural. Sistem ini hanya membantu dalam proses pengambilan keputusan, keputusan terakhir tetap berada ditangan pengambil keputusan. Teknik pengambilan keputusan ini dikembangkan hanya untuk meningkatkan efektifitas dalam proes pengambilan keputusan. Efektifitas dimaksud mencakup pada identifikasi dari apa yang harus dilakukan dan menjamin bahwa kriteria yang kemudian dipilih adalah relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan.

B. Sistem Penunjang Keputusan Cerdas

Menurut Dhar dan stein (1997). Sistem penunjang keputusan cerdas merupakan sebuah sistem penunjang keputusan yang menggunakan teknik-teknik yang muncul dibidang intelejensi buatan (Artificial Intelligent) seperti: fuzzy systems, neural networks, machine learning dan genetic algorithms (algoritma genetik). Tujuannya adalah untuk membantu pengguna dalam mengakses, menampilkan, memahami, serta memanipulasi data secara lebih cepat dan mudah untuk membantunya dalam mengambil keputusan.

Suatu sistem penunjang keputusan cerdas diukur berdasarkan tingkat kecerdasannya yang disebut sebagai tingkat kerapatan kecerdasan merupakan perbandingan antara tingkat kepuasan yang dihasilkan dalam proses pengambilan keputusan dengan jumlah waktu analisis yang dihabiskan seorang pembuat keputusan. Misalnya, seorang pembuat keputusan secara konsisten membuat keputusan dengan kualitas yang sama setelah memeriksa sumber A selama 3 menit dan sumber B selama 30 menit. Maka sumber A dikatakan memiliki 10 kali tingkat kerapatan kecerdasan dibandingkan dengan sumber B (Dhar dan Stein, 1997). Sehingga sistem penunjang keputusan cerdas yang baik adalah sistem yang mampu menghasilkan keluaran yang dapat membantu pengambil keputusan menentukan keputusan dengan cepat tanpa mengurangi kualitas keputusan, atau dapat meningkatkan kualitas keputusan dalam rentang waktu yang sama. Suatu organisasi yang mampu mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam membuat keputusan spesifik sekaligus melakukan analis spesifik tanpa menurunkan kualitas, atau meningkatkan kualitas analisis yang dilakukan dalam jangka waktu yang sama, akan memiliki sumber daya yang dapat digunakan secara lebih efektif, sehingga akan meningkatkan kompetensi organisasi tersebut (Dhar dan Stein, 1997). Gambar 3. Memperlihatkan tahap-tahap dalam meningkatkan tingkat kerapatan kecerdasan menurut Dhar dan Stein (1997).

Increasing Intelligence Density

Gambar 3. Tahapan untuk meningkatkan Intelligence Density

Berdasarkan tahapan diatas, langkah pertama adalah bagaimana memperoleh dan menghimpun data. Ada banyak cara untuk memperoleh data. Data elektronik, yakni data yang

Learn

Data

Transform

Integrate

Scrub

Discover


(24)

disimpan di dalam database, dapat diperoleh dengan cara menemukan lokasi data, bagaimana memanggil data dengan perintah-perintah query, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk data yang berasal dari keahlian manusia, dapat diperoleh dengan cara menghubungi pakar yang ahli dan berkonsultasi dengan mereka.

Setelah memperoleh data, tahap selanjutnay adalah memoles data tersebut, yakni dengan menyisihkan data-data yang rusak, tidak konsisten, tidak rapih, dan lain sebagainya. Setelah data bersih, tahap selanjutnya adalah mengintegrasikan data tersebut dengan data dari sumber-sumber lainnya untuk membangun gambaran yang lengkap dari model bisnis.

Sebuah solusi yang efektif dapat diperoleh dengan cara mengkombinasikan dua faktor, yakni kebutuhan akan intelligence density dari problem yang dihadapi, dengan kendala logistik terkait untuk digunakan dalam pengembangan solusi. Sedangkan faktor terakhir adalah kecocokan metode pencarian solusi yang digunakan dengan kedua faktor tersebut (Dhar dan Stein 1997).

C. Algoritma Genetika

Algoritma genetik merupakan suatu teknik pencarian optimasi stokastik (melibatkan probabilitas) yang cara kerjanya meniru proses evolusi dan perubahan genetik pada struktur kromosom makhluk hidup (Goldberg, 1989). Konsep dasar algoritma genetik pertama kali dicetuskan pada tahun 1975 oleh John Holland, seorang profesor di Universitas Michigan dalam sebuah bukunya yang berjudul Adaptation in Neural and Artificial System untuk melihat apakah sebuah program komputer dapat berevolusi seperti dalam logika Darwin (Dhar dan Stein, 1997).

Holland memperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk memecahkan masalah yang rumit, masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan teknik-teknik konvensional. Pendekatan baru yang diperkenalkannya itu terdiri dari beberapa tahapan pemecahan masalah (Algoritma) yang kemudian diimplementasikan dalam program komputer. Pendekatan ini telah memberi petunjuk untuk penemuan penting diantara sistem pengetahuan alami dan buatan.

Algoritma genetika termasuk kedalam sistem penunjang keputusan cerdas dikarenakan teknik pencarian optimasi ini berdasarkan seleksi alam, prinsip genetika dan evolusi. Algoritma genetika dapat memanipulasi digit biner (0,1) yang disebut kromosom yang mewakili sejumlah titik. Algoritma genetika dapat mencari kromosom yang baik tanpa harus tahu bentuk fungsi permasalahan yang dihadapi (Yu dan Gen, 2010)

1. Aplikasi Algoritma Genetika

Pada dasarnya algoritma genetika dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah optimasi baik yang sederhana maupun kompleks. Namun, algoritma genetika dapat menjadi sebuah tool yang powerfull apabila digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah optimasi yang tidak dapat dipecahkan atau sulit dipecahkan dengan teknik pencarian dan optimasi yang sudah banyak dikenal saat ini seperti kalkulus, enumeratif, dan pencarian acak.

Algoritma genetika sangat cocok digunakan untuk mencari solusi optimal dari masalah yang bersifat NP-complete (Non-deterministic Poynomial), yang berarti bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut akan semakin meningkat dengan sangat-sangat cepat (secara eksponensial) sering dengan bertambahnya jumlah elemen dalam masalah tersebut (Dhar dan Stein, 1997).

Dalam hal ini, algoritma genetik tampil sebagai sebuah metode optimasi yang powerfull, cepat, dan efisien, karena algoritma genetik dapat mencari solusi dari ruang pencarian (search space) yang luas tanpa harus memeriksa ruang pencarian secara keseluruhan. Hal ini dimungkinkan karena dalam pelaksanaannya algoritma genetik mencoba banyak calon solusi


(25)

secara bersamaan, mengevaluasi tiap calon solusi secara bersamaan, mengevaluasi tiap calon solusi, kemudian memurnikan calon-calon solusi yang lebih baik dengan cara mempertukarkan informasi diantara calon solusi yang berbeda (crossover), dan bereksperimen dengan menciptakan calon solusi baru yang belum pernah ada sebelumnya (mutation). Dengan bereksperimen terhadap sejumlah calon solusi, algoritma genetika dengan cepat dapat menentukan ruang pencarian yang menjanjikan solusi yang optimal dari keseluruhan ruang pencarian dan mengeksplorasinya secara lebih mendetail (Dhar dan Stein, 1997). Karena kemampuan inilah, algoritma genetik juga dapat diterapkan untuk menyelesaikan persamaan-persamaan linear maupun non linear yang bersifat kontinyu maupun diskontinyu.

Saat ini algoritma genetika telah berhasil diimplementasikan ke dalam berbagai bidang keteknikan (engineering), investasi, robotik, manajemen industri (seperti desain sistem produksi, tata letak fasilitas, penjadwalan produksi, dan otomatisasi industri), serta improvisasi musik jazz. Di bidang agroindustri, algoritma genetika juga diaplikasikan untuk desain sistem penyimpanan dan pengawetan hasil laut, desain sistem bioreaktor, prediksi permintaan produk agroindustri, prediksi tingkat suku bunga, penjadwalan pemupukan serta penentuan kadar nutrisi pupuk tanaman.

2. Prinsip Kerja Algoritma Genetika

Mekanisme kerja algoritma genetika cukup sederhana, dimana melibatkan proses yang tidak lebih rumit dari menyalin kromosom dan mempertukarkan bagian tertentu dalam kromosom tersebut. Kesederhanaan operasi dan kehebatan dalam menyelesaikan masalah optimasi merupakan dua hal yang sangat menarik dari algoritma genetika (Goldberg, 1999).

Untuk menyelesaikan suatu masalah dengan algoritma genetika, tahap pertama adalah mengkodekan variabel keputusan kedalam suatu struktur yang mirip dengan kromosom makhluk hidup. Dalam optimasi numerik menggunakan algoritma genetika, angka biner {0,1} adalah notasi yang paling banyak digunakan untuk mempresentasikan suatu variabel ke dalam suatu kromosm (Bagchi, 1999).

Algoritma genetika mulai bekerja dengan membangkitkan beberapa calon solusi awal sebanyak n kromosom yang masing-masing memiliki panjang l. Kromosom-kromosom tersebut merupakan populasi awal (initial population) yang akan dieksekusikan oleh algoritma genetika. Calon-calon solusi tersebut dibangkitkan secara acak oleh algoritma genetika menggunakan analogi koin yang dilempar berturut-turut sebanyak n x l, dimana bagian muka koin mewakili angka 1 dan bagian belakang koin mewakili angka 0. Contohnya: suatu populasi awal terdiri dari 4 kromosom yang masing-masing memiliki panjang 5, maka dibutuhkan 20 (4 x 5) kali lemparan koin untuk menentukan populasi awal. Misalnya, lemparan tersebut menghasilkan populasi awal sebagai berikut:

01101 11000 01000 10011

Goldberg (1989) menyatakan bahwa sebuah algoritma genetika yang dapat menghasilkan solusi yang baik pada banyak masalah praktis terdiri dari tiga operator utama, yakni:

1. Reproduction

2. Crossover


(26)

Reproduction adalah sebuah proses dimana sebuah deret kromosom disalin berdasarkan bila fungsi tujuan f (para ahli biologi menyebut fungsi ini sebagai fungsi fitness). Fungsi fitness merupakan suatu fungsi yang mengukur keuntungan, kegunaan, atau kebaikan yang akan dimaksimalkan. Menyalin kromosom berdasarkan nilai fitness berarti bahwa kromosom yang memiliki nilai fitness lebih tinggi akan memiliki peluang yang lebih tinggi dalam memberikan satu atau lebih keturunan pada generasi berikutnya. Misalnya, algoritma genetika digunakan untuk menyelesaikan sebuah masalah, yakni memaksimalkan fungsi f (x) = x2. Maka nilai fitness empat buah kromosom yang dihasilkan pada populasi awal akan ditentukan oleh fungsi tujuannya, yakni f(x) = x2. Tabel 1 berikut menunjukkan nilai fitness masing-masing kromosom dalam populasi awal.

Tabel 1. Nilai fitness masing-masing kromosom No. Kromosom Pada Populasi Awal

(Dibangkitkan secara acak)

Nilai x

f(x) x2 1 01101 = 24x0 + 23x1 + 22x1 + 21x0 +

20x1

13 169

2 11000 = 24x1 + 23x1 + 22x0 + 21x0 + 20x0

24 576

3 01000 = 24x0 + 23x1 + 22x0 + 21x0 + 20x0

8 64

4 10011 = 24x1 + 23x0 + 22x0 + 21x1 + 20x1

19 361

Operator reproduksi dapat diimplementasikan kedalam bentuk algoritmik dalam berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menciptakan roda rolet dimana tiap kromosom dalam populasi memiliki slot pada rolet yang ukurannya sesuai dengan proporsi nilai fitness-nya, yakni rasio antara nilai fitness suatu kromosom dengan total nilai fitness semua kromosom. Tabel 2 berikut menunjukkan besarnya ukuran slot masing-masing kromosom pada populasi awal.

Tabel 2. Ukuran slot masing-masing kromosom No. Kromosom Pada Populasi Awal f(x)

x2

Ukuran Slot (fi / ∑f) x 100%

1 01101 169 14,40%

2 11000 576 49,20%

3 01000 64 5,50%

4 10011 361 30,90%

Reproduksi dilakukan dengan cara memutar roda rolet yang telah ditentukan ukuran slotnya sebanyak jumlah kromosom yang terdapat dalam populasi tersebut. Kromosom yang terpilih selanjutnya akan disalin dan hasil salinannya akan ditempatkan ke dalam mating pool, yaitu tempat berkumpulnya kromosom-kromosom induk yang akan mengalami penyilangan dan mutasi. Gambar 4 berikut merupakan contoh roda rolet yang setiap slotnya mewakili peluang terpilihnya kromosom untuk dimasukkan ke dalam mating pool.


(27)

Gambar 4. Roda Rolet dengan ukuran slot yang masing-masing mewakili peluang terpilihnya kromosom.

Setelah roda rolet diputar sebanyak empat kali, hasilnya menunjukkan bahwa kromosom 1 dan 4 masing-masing memiliki satu salinan di dalam mating pool, kromosom 2 memiliki dua salinan, sedangkan kromosom 4 tidak memiliki salinan. Hal ini menunjukkan bahwa kromosom yang memiliki nilai fitness yang paling tinggi akan memiliki lebih banyak salinan, kromosom yang nilai fitness-nya rata-rata memiliki salinan yang lebih sedikit, sedangkan kromosom yang nilai fitness-nya paling rendah tidak akan disalin.

Di dalam mating pool yang telah terisi oleh salinan kromosom-kromosom dengan nilai fitness yang baik, proses penyilangan akan terjadi dalam dua tahap: Pertama, kromosom akan dipasangkan secara acak dengan kromosom lainnya melalui lemparan koin. Kedua, kromosom yang telah berpasangan akan disilangkan, dimana titik penyilangannya akan ditentukan oleh lemparan koin. Kedua, kromosom yang telah berpasangan akan disilangkan, dimana titik penyilangannya akan ditentukan oleh lemparan koin. Berdasarkan contoh sebelumnya, hasil lemparan koin ternyata memasangkan kromosom 3 dengan kromosom 1 dan titik penyilangannya adalah 4, sehingga dua kromosom tersebut, yakni 11000 dan 01101 bersilangan dan menghasilkan dua kromosm baru: 11001 dan 01100. Dua kromosom lainnya melakukan penyilangan pada titik 2. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Hasil penyilangan kromosom Kromosom dalam

Mating Pool

Pasangan (Dipilih Acak)

Titik Penyilangan (Dipilih Acak)

Populasi Baru

Nilai x

f(x) x2

0110 | 1 2 4 01100 12 144

1100 | 0 1 4 11001 25 625

11 | 000 4 2 11011 27 729

10 | 011 3 2 10000 16 256

Operator terakhir adalah mutasi, yang dilakukan dengan basis perbit. Menurut Goldberg (1989), operator mutasi diperlukan karena meskipun operator reproduksi dan penyilangan dapat mencari solusi secara efektif dan mengkombinasikan peluang-peluang yang ada, namun terkadang opertaor0operator tersebut bekerja terlalu berlebihan sehingga menghilangkan beberapa material genetik yang potensial, misalnya 1 atau 0 pada lokasi tertentu dalam krmomosom, dimana material tersebut berperan dalam meningkatkan nilai fitness suatu kromosom dan keturunannya. Dhar dan Stein (1997) berpendapat bahwa operator mutasi menyediakan peluang bagi anggota populasi dalam algoritma genetika untuk melompat dari suatu daerah dalam ruang solusi ke tempat lainnya, sehingga algoritma genetika dapat memeriksa daerah pencarian baru dalam rangka untuk mencari solusi yang lebih baik.

1. 14,4% 2. 49,20% 3. 5,50% 4. 30,90%


(28)

Peluang terjadinya mutasi (Pm) adalah rasio antara jumlah gen yang diharapkan mengalami mutasi pada setiap generasi dengan jumlah gen total dalam populasi. Nilai Pm yang digunakan biasanya sangat rendah, yakni berkisar antara 0,001-0,2 (Gen dan Cheng, 1997). Pada contoh diatas, diasumsikan bahwa peluang terjadinya mutasi adalah sebesar 0,001. Dengan jumlah gen sebanyak 20 bit dalam populasi, perkiraan banyaknya bit yang akan mengalami mutasi dalam satu generasi adalah sejumlah 20 x 0,001 = 0,02 bit. Namun contoh di atas menunjukkan bahwa mutasi tidak terjadi selama proses pembiakan.

Berdasarkan contoh diatas, dapat dilihat bahwa algoritma genetika menghasilkan populasi baru dengan rata-rata nilai fitness yang lebih tinggi, yakni sebesar 439 dibandingkan rata-rata nilai fitness populasi awal yang hanya sebesar 293. Nilai fitness maksimum pada populasi baru juga meningkat, yakni sebesar 729, sedangkan populasi awal hanya sebesar 576. Hal ini menujukkan bahwa lagoritma genetika memiliki kemampuan untuk belajar dan beradaptasi, dengan menciptakan calon-calon solusi yang lebih baik pada setiap generasi, sampai ditemukannya solusi yang paling optimal.

3. Prosedur Algoritma Genetika.

Secara umum, prosedur algoritma genetika adalah sebagai berikut:

Langkah 1 : Pengkodean calon solusi dan set up beberapa parameter awal (jumlah individu, probabilitas, penyilangan dan mutasi, dan jumlah generasi maksimum) Langkah 2 : t ← 0 (inisialisasi awal)

Pembangkitan acak sejumlah n kromosom pada generasi ke-0

Langkah 3 : evaluasi masing-masing kromosom dengan menghitung nilai fitness-nya. Langkah 4 : seleksi beberapa kromosom dari sejumlah n individu yang memiliki nilai

fitness terbaik.

Langkah 5 : rekombinasikan kromosom terpilih dengan secara melakukan penyilangan (crossover) dan mutasi (mutation)

Langkah 6 : t ← t + 1

4. Schemata Theory dan The Building Block Hypothesis

Schemata atau schema adalah sebuah kesamaan pola yang diperlihatkan oleh sebuah himpunan yang terdiri dari kromosom yang memiliki kesamaan pola pada posisi tertentu dalam kromosomnya (Goldberg, 1989). Sedangkan menurut Bagchi (1999), sebuah schema merupakan sebuah pola yang terbentuk dari susunan bit-bit pada kromosom, yakni bit (0 dan 1) dan simbol bintang (*). Sebuah schema dapat dibuat dengan menambahkan simbol * atau don’t care symbol ke dalam notasi yang digunakan dalam kromosom (Goldberg, 1989). Pada kromosom yang terdiri dari notasi bilangan biner {0, 1}, menambahkan simbol * berarti menambah varian notasi yang dapat dimasukkan kedalam kromosom menjadi {0, 1, *}.

Schema dapat diartikan sebagai sebuah perangkat pencocok pola (pattern matching device) yang berfungsi untuk mencocokkan pola-pola tertentu dalam kromosom (Goldberg, 1989). Sebuah schema dikatakan cocok pada bagian tertentu dari kromosom apabila mengikuti aturan sebagai berikut: nilai 1 pada schema hanya cocok dengan nilai 1 pada kromosom, nilai 0 pada schema hanya cocok dengan nilai 0 pada kromosom, sedangkan simbol * pada schema cocok dengan nilai 1 maupun nilai 0 pada kromosom. Hal ini berarti bahwa schema *0000 cocok kepada dua kromosom, yakni {10000, 00000}, schema *111* menjabarkan sebuah himpunan yang terdiri dari empat anggota {01110, 01111, 11110, 11111}, sedangkan schema 0*1** cocok terhadap


(29)

delapan kromosom dengan panjang 5 yang dimulai dengan sebuah nilai 0 dan mempunyai nilai 1 di posisi ketiga.

Konsep schemata menjelaskan bahwa meskipun populasi yang dieksekusi oleh algoritma genetika memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, namun sebenarnya ada banyak sekali informasi penting yang dapat diperoleh algoritma genetika dari populasi tersebut, dengan cara memperhatikan nilai fitness dan kesamaan-kesamaan yang terdapat diantara kromosom yang ada dalam populasi tersebut. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: sebuah kromosom tunggal yang memiliki panjang 5, contohnya 11111, memiliki schemata sebanyah 25 karena pada kromosom tersebut, setiap posisi dapat berupa nilai kromosom itu sendiri yakni 1, atau simbol *. Hal ini berarti bahwa, secara umum sebuah kromosom dengan panjang l akan memiliki 2l schemata, 2l sampai n.2l schemata tergantung pada keberagaman populasi tersebut (Goldberg, 1989).

Namun, dari jumlah tersebut, tidak seluruh schemata dapat diproses dengan probabilitas tinggi oleh algoritma genetika. Hal ini disebabkan schemata yang memiliki jarak yang pendek antara dua bit terluar yang telah didefinisikan pada kromosomnya (long defining length schemata) relatif lebih mudah rusak dalam proses crossover dibandingkan schemata yang memiliki jarak yang pendek antara dua bit terluar yang telah didifinisikan pada kromosmnya (short defining length schemata). Contohnya: schemata 1***0 yang merupakan long defining length schemata akan lebih mudah rusak oleh proses crossover dibandingkan dengan schemata **11* yang merupakan short defining length schemata. Hal ini dibuktikan oleh Goldberg (1989) melalui persamaan:

ns = (l – ls + 1) n3 4

Dimana ns adalah jumlah schemata yang akan diproses, l adalah panjang kromosom, ls adalah jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata (the defining length on schemata), dan n adalah ukuran populasi.

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa semakin panjang jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata (nilai ls semakin tinggi) maka semakin sedikit jumlah schemata yang diproses oleh algoritma genetika. Sedangkan semakin pendek jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata (nilai lssemakin kecil) maka semakin banyak pula jumlah schemata yang dapat diproses oleh algoritma genetika.

Jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata juga berpengaruh terhadap peluang kelangsungan hidup schemata pada saat menjalani proses crossover. Bagchi (1999) membuktikan hal ini melalui persamaan:

Peluang kelangsungan hidup schema ≥ 1- pc . d(H) / (l – 1) dalam proses crossover

Dimana d(H) adalah defining length atau jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata H, dan (l – 1) adalah banyaknya kemungkinan lokasi crossover satu titik dalam kromosom dengan panjang l. Dengan nilai pc yang telah ditentukan, dapat dilihat bahwa peluang kelangsungan hidup schemata akan menjadi lebih tinggi seiring dengan semakin pendeknya jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schema.

Banyaknya jumlah schemata dalam sebuah populasi menunjukkan banyaknya jumlah informasi yang dapat diperoleh oleh algoritma genetika dari sebuah populasi. Hal ini menunjukkan bahwa algoritma genetika melakukan pencarian nilai optimum dengan cara menyusun schemata-schemata yang memiliki jarak yang pendek antara dua bit terluar yang telah didefinisikan (low


(30)

order schema), serta memiliki nilai fitness tinggi untuk membentuk kromosom-kromosom dengan potensi nilai fitness yang lebih tinggi. Proses ini dilakukan berulang-ulang samapai kriteria penghentian tercapai dan nilai optimal ditentukan.

Proses tersebut menggambarkan The Building Block Hypothesis, yaitu hipotesis yang menyatakan bahwa algoritma genetika mencari solusi optimal dengan cara membangun kromosom yang lebih baik dan lebih baik lagi berdasarkan sebagian solusi yang berasal dari proses sebelumnya (Goldberg, 1989). Sedangkan Holland (1975) dalam Bagchi (1999) berasumsi bahwa algoritma genetika bekerja berdasarkan penemuan, penegasan, dan pengkombinasian balok-balok bangunan yang baik. Menurut Bagchi (1999), balok bangunan (building block) yang dimaksud merupakan kombinasi dari nilai bit yang memberikan nilai fitness yang tinggi kepada kromosom yang mengandungnya. Dengan mengekspoitasi kesamaan kode pada schemata yang berhubungan dengan meningkatnya nilai fitness menggunakan operator seleksi, crossover, dan mutasi, maka algoritma genetika dapat melakukan pencarian nilai optimal secara lebih efektif.

5. Perbandingan Algoritma Genetika dengan Teknik Pencarian dan Optimasi Konvensional.

Goldberg (1989) menyebutkan empat perbedaan algoritma genetika dengan teknik pncarian dan optimasi konvensional, yaitu:

 Algoritma genetika bekerja pada sekumpulan calon solusi yang telah dikodekan, bukan pada solusi itu sendiri.

 Algoritma genetika melakukan pencarian nilai optimal pada sekumpulan calon solusi secara pararel (bersifat parallel search atau population-based search)

 Algoritma genetika secara langsung memanfaatkan fungsi tujuan atau fungsi fitness, bukan fungsi turunan.

 Algoritma genetika bekerja dengan menggunakan aturan probabilistik, bukan aturan deterministik.

6. Profil Algoritma Genetika Sebagai Metode Optimasi

Berikut ini adalah penjelasan mengenai profil algoritma genetika sebagai metode optimasi menurut Dhar dan Stein (1997):

a. Tingkat akurasi

Tingkat akurasi algoritma genetika bervariasi mulai dari rendah sampai tinggi. Hal ini dikarenakan algoritma genetika menggunakan teknik heuristik dalam mencari solusi optimal, sehingga algoritma genetika tidak dapat menjamin ditemukannya solusi yang benar-benar optimal. Pada umumnya, solusi optimal yang dihasilkan algoritma genetika seringkali merupakan solusi yang terdekat dengan solusi optimal, bukan solusi yang benar-benar optmal meskipun tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya solusi yang benar-benar optimal sehingga meski tidak sempurna, solusi tersebut dinilai cukup baik untuk mengatasi masalah-masalah dengan ruang lingkup yang luas.

b. Waktu

Tidak seperti kebanyakan teknik matematika lainnya, waktu pencarian solusi yang dilakukan dengan algoritma genetika umunya dapat diprediksi secara akurat. Hal ini dikarenakan algoritma genetik selalu mengikuti tahap-tahap yang sama secara berulang dalam mencari solusi,


(31)

sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencari solusi hanya bergantung dari jumlah kromosom dalam populasi dan jumlah generasi yang dijalankan.

Pada algoritma genetika, evaluasi nilai fungsi fitness menghabiskan waktu lebih lama deibandingkan dengan operasi-operasi lainnya dalam algoritma genetika seperti: crossover, mutation, dan selection. Semakin besar jumlah populasi atau semakin panjang kromosom yang harus dikodekan dan dievaluasi, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengeksekusi algoritma genetika akan didominasi oleh banyaknya jumlah pengkodean dan evaluasi nilai fitness, bukan oleh operasi-operasi algoritma genetika lainnya. Oleh sebab itu, ketika waktu yang dibutuhkan untuk mengevaluasi nilai fitness dari sebuah kromosm diketahui, maka waktu pencarian solusi dapat diprediksi berdasarkan waktu untuk mengevaluasi nilai fitness dikalikan dengan jumlah kromosom dalam sebuah generasi dikalikan dengan jumlah generasi.

c. Fleksibilitas

Algoritma genetika memiliki fleksibilitas yang tinggi. Satu-satunya hal yang mengikat algoritma genetika terhadap proses penyelesaian suatu masalah adalah bagaimana cara algoritma genetika mengkodekan dan mengevaluasi nilai fitness suatu masalah. Sehingga ketika pengguna ingin mengubah masalah yang dioptimasi menggunakan algoritma genetika, programer cukup mengubah algoritma genetika dalam mengkodekan (decoder) dan mengevaluasi kromosom (fitness function). Hal ini menyebabkan algoritma genetika dapat denga mudah dimodifikasi untuk menyelesaikan masalah yang berbeda dan mudah beradaptasi terhadap suatu masalah yang kondisinya berubah.

d. Penyesuaian terhadap perubahan skala.

Algoritma genetik dapat dengan mudah beradaptasi terhadap perubahan skala. Contohnya, dengan mengatur panjang kromosom menjadi 30 dibandingkan 20, maka algoritma genetika dapat mengembangkan masalah pemilihan variabel dimana algoritma genetika dapat memeriksa 30 variabel dalam satu waktu. Dengan cara ini, perubahan skala dapat dilakukan dengan baik.

Namun demikian, perubahan skala dalam algoritma genetika memiliki kendala. Semakin panjang kromosom, maka akan semakin sulit bagi algoritma genetika dalam mengeksplorasi ruang pencarian. Bertambahnya panjang kromosom menuntut ukuran populasi yang lebih besar seiring dengan banyaknya kombinasi gen yang potensial. Semakin besar ukuran populasi dan semakin panjang kromosom menyebabkan semakin bertambahnya waktu yang diperlukan untuk mengkodekan dan mengevaluasi nilai fitness, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengeksekusi algoritma genetika menjadi lebih lama. Akibatnya, algoritma genetika akan membutuhkan koputer yang berkecepatan tinggi dengan memori yang cukup besar untuk mengeksekusi masalah tersebut. Bahkan dalam kasus tertentu dibutuhkan sejumlah komputer yang dipararelkan untuk mempercepat algoritma genetika dalam mengeksekusi sejumlah besar perhitungan atau melakukan perhitungan yang berbasis database secara intensif.

e. Kecepatan merespon

Kecepatan merespon algoritma genetik cukup tinggi tergantung kepada kompleksitas masalah. Semakin kompleks masalah, maka semakin panjang kromosom yang dikodekan dan semakin besar pula ukuran populasi. Hal ini menentuka lamanya waktu yang dibutuhkan oleh algoritma genetika dalam mengeksekusi suatu masalah.


(32)

f. Kesesuaian

Dari sudut pandang algoritma, algoritma genetika bukanlah suatu hal yang sangat kompleks. Justru yang membuatnya hebat adalah karena kesedehanaannya. Faktanya, program algoritma genetika umumnya memiliki ukuran yang tidak terlalu besar karena ukurannya tergantung pada banyaknya kode yang ditulis dalam program tersebut. Hal ini menjadikan algoritma genetika sebuah program optimasi yang sangat kompak dibandingkan dengan, misalnya, sistem pakar.

g. Kemampuan untuk digabungkan dengan sistem lain.

Karena algoritma genetika relatif sederhana, maka umumnya algoritma genetika dapat disisipkan sebagai sebuah modul dalam sistem lainnya. Hal ini tergantung kepada apa yang dilakukan fungsi fitness dalam mengakses database atau program lain. Pada umumnya, algoritma genetika cukup nyaman ketika eksekusinya tidak membutuhkan pencarian yang luas di dalam database. Namun untuk beberapa aplikasi algoritma genetika, fungsi fitness perlu untuk mengakses dan memproses data-data organisasi. Untuk tipe aplikasi ini, kualitas dan kuantitas data meruoakan hal yang penting.

h. Kecepatan pengembangan

Algoritma genetika memiliki algoritma yang terbuka sehingga mudah dipelajari dan dimodifikasi. Seorang programer handal dapat mengembangkan rancangan percobaan algoritma genetika dalam beberapa hari, karena pada dasarnya usaha yang dilakukan adalah memahami masalah, membuat formulasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, dan menentukan fungsi fitness yang baik.

i. Akses terhadap pakar

Algoritma genetika memungkinkan pengguna memakai program tersebut untuk mneyelesaikan suatu masalah meskipun pengguna tersebut tidak mngetahui bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini dapat terjadi karena yang harus dilakukan pengguna hanyalah mendeskripsikan solusi yang baik dan menyediakan sebuah fungsi fitness yang dapat menilai kromosom yang diberikan.

Kebutuhan akses terhadap pakar untuk meminta pendapat mereka menjadi lebih rendah, karena pengguna algoritma genetika tidak perlu memiliki banyak pengetahuan mengenai “bagaimana” cara menemukan jawaban dari sebuah masalah. Yang perlu diketahui oleh algoritma genetika hanyalah bagaimana cara untuk mengukur “kebaikan” suatu solusi melalui fungsi fitness-nya.

D. Batang Kelapa Sawit

Salah satu sumber biomassa yang pemanfaatannya masih terbatas dan tersedia dalam jumlah yang melimpah, yaitu biomasa kelapa sawit (elaeis guineensis Jacq). Indonesia merupakan negara yang memliliki potensi kelapa sawit terbesar di dunia setelah Malaysia, baik milik pemerintah, swasta maupun rakyat. Perkebunan kelapa sawit pertama kali dikembangkan secara massal di Sumatera Utara dan Lampung sejak tahun 1970. Sekarang ini kelapa sawit telah menyebar di hampir seluruh nusantara (balfas, 2003).


(33)

Gambar 5. Batang kelapa sawit

Batang kelapa sawit yang dapat dilihat dalam Gambar 5 diatas mempunyai umur ekonomis 25 tahun. Setelah itu, batang akan ditebang karena produksinya mulai menurun dan batang terlalu tinggi dan sulit untuk dipanen. Selama ini pohon kelapa sawit tua yang ditebang, diabakar atua dibiarkan melapuk dilapangan. Pembakaran, selain tidak menghasilkan apa-apa, juga akan menimbulkan pencemaran udara yang dapat mengganggu lingkungan (Prayitno dan Darnoko, 1994).

Pemanfaatan kelapa sawit selama ini hanya terbatas pada buah untuk memproduksi minyak beserta segala turunannya, serta sampai pada tingkat tertentu pemanfaatab serat buah, tandan dan pelepah untuk memproduksi serat. Bagian batang hasil peremajaan tanaman tua yang mempunyai massa terbesar masih belum dimanfaatkan secara komersil. Dari sekitar 2 juta hektar tanaman kelapa sawit di indonesia pada tahun 1997, diperkirakan potensi produksi batang kelapa sawit terbesar adalah sumatera utara dan riau dengan volume sekitar 5 juta m3/tahun. (Balfas, 2003).

Kayu dituntut memiliki sifat-sifat mekanik yang memenuhi persyaratan struktural dan keamanan sebagai bahan konstruksi. Salah satu limbah padat dari kelapa sawit yang mengandung lignoselulosa adalah batang kelapa sawit. Batang kelapa sawit memiliki sifat yang sangat beragam dari bagian luar ke pusat batang dan sedikit bervariasi dari bagian pangkal ke ujung batang. Untuk digunakan sebagai kayu solid, batang kelapa sawit setidaknya memiliki 4 kelemahan yaitu: stabilitas dimensi rendah, kekuatan rendah, keawetan rendah, dan sifat pemesinan yang rendah sehingga batang kelapa sawit tidak dapat digunakan dalam bentuk alami (Bakar, 2003).

Batang kelapa sawit terdiri atas dua komponen utama, yaitu jaringan ikatan pembuluh (vascular bundles) dan jaringan parenkim. Struktur jaringan penyusun kelapa sawit tidak jauh berbeda dengan struktur penyusun pada tanaman monokotil dan dikotil yaitu berupa kumpulan serat, jaringan pengangkut dan jaringan parenkim dalam komposisi tertentu. Parenkim berdinding tipis dan mengandung karbohidrat yang tinggi.

Kandungan parenkim ini meningkat pada bagian batang yang semakin tinggi. Parenkim batang kelapa sawit atas mengandung pati sampai 40%. Dan diketahui pula bahwa batang kelapa sawit yang tersusun atas vascular bundle (ikatan pembuluh) dan parenchyma (parenkim) memiliki sifat mekanis dan sifat keawetan yang tergolong rendah serta mengandung kadar air yang tinggi. Dengan mengetahui sifat fisis dan kimia vascular bundle yang merupakan bagian terluar dari batang kelapa sawit maka tidak menutup kemungkinan akan adanya penelitian-penelitian lanjutan untuk memberikan nilai ekonomis yang tinggi untuk batang kelapa sawit yang umumnya masih dianggap sebagai limbah saat ini (Afandy, 2007).

Vascular bundle (jaringan pembuluh) merupakan ikatan pembuluh yang terdiri atas serat, pembuluh penyalur makanan atau metaxylem (mata dan proto). Pemisahan vascular bundle secara


(34)

manual mengalami beberapa kesulitan yaitu pada saat penarikan bagian vascular bundle dari batang, karena memiliki ikatan yang kuat terhadap parenkimnya pada beberapa bagian. Sifat mekanis batang kelapa sawit dipengaruhi oleh berat jenis vascular bundle. Namun karena jumlah zat kayu penyusun vascular bundle lebih rendah maka kekuatan mekanis batang kelapa sawit juga akan rendah. Hasil pengujian sifat fisis tidak dipengaruhi konsentrasi larutan dan lama perebusan, nilai-nilai pengujian sifat kimia kelarutan dalam air dingin dan NaOH 1% dipengaruhi oleh lama perebusan dan konsentrasi (Bakar, 2003).

E. Serbuk Sawit sebagai Bahan Aditif didalam Lumpur Pengeboran

Lumpur pengeboran merupakan faktor yang penting dalam operasi pengeboran. Kecepatan pengeboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pengeboran sangat tergantung dari lumpur pengeboran yang dipakai. Lumpur pengeboran diperkenalkan pertama kali dalam pengeboran putar pada sekitar awal tahun 1900. Pada mulanya orang hanya menggunakan air untuk mengangkat serbuk bor (cutting) secara kontinyu. Kemudian dengan berkembangnya teknologi pengeboran, lumpur mulai digunakan, dan fungsi lumpur menjadi semakin komplek dan untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur tersebut ditambahkan bahan-bahan kimia (additive). Salah satu contoh lumpur pengeboran dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini.

Gambar 6. Contoh Lumpur Pengeboran dalam Kemasan

Sumber: http://migasnet04badruz777.blogspot.com/2009_05_10_archive.html

1. Fungsi utama lumpur pengeboran adalah :

a. Mengangkat serbuk bor ke permukaan

Serbuk bor yang dihasilkan pada waktu operasi pengeboran harus segera diangkat ke permukaan agar tidak terjadi penumpukan serbuk bor di dasar lubang. Kapasitas pengangkatan serbuk bor tergantung dari beberapa faktor, antara lain : kecepatan aliran di anulus, viskositas plastik, yield point lumpur pengeboran dan slip velocity dari serbuk bor yang dihasilkan.

Secara umum, resultan kecepatan (atau kecepatan pengangkatan) serbuk bor adalah merupakan perbedaan antara kecepatan di anulus, Vr, dan slip velocity, Vs.

b. Mengontrol tekanan formasi

Untuk keselamatan pengeboran, tekanan formasi yang tinggi juga harus diimbangi dengan tekanan hidrostatik lumpur yang tinggi, sehingga tekanan hidrostatik lumpur lebih besar dari tekanan formasi. Secara efektif perbedaan antara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan


(35)

formasi (overbalance pressure) harus sama dengan nol, tetapi dalam praktek harganya sekitar 100 - 200 psi. Untuk mengontrol tekanan formasi tersebut dilakukan dengan mengatur berat (densitas) lumpur.

c. Mendinginkan serta melumasi pahat dan drillstring

Perputaran pahat dan drillstring terhadap formasi akan menghasilkan panas, sehingga dapat mempercepat keausan pahat dan drillstring. Selain panas yang ditimbulkan akibat gesekan juga panas yang berasal dari formasi itu sendiri, dimana semakin dalam formasi yang dibor, temperatur juga semakin tinggi. Dengan adanya lumpur pengeboran, maka panas tersebut dapat ditransfer keluar dari lubang bor. Lumpur pengeboran dapat membantu mendinginkan drillstring dengan menyerap panas dan melepaskannya, melalui proses konveksi dan radiasi, pada udara di sekitar mud pit. Lumpur pengeboran juga dapat melumasi pahat dan drillstring dengan menurunkan friksi drillstring dan pahat dengan formasi yang ditembus. Untuk mendapatkan pelumasan yang lebih baik pada umumnya dapat ditambahkan sedikit minyak kedalam lumpur.

d. Membersihkan dasar lubang bor

Secara umum, pembersihan dasar lubang bor dilakukan dengan menggunakan fluida yang encer pada shear rate tinggi saat melewati nozzle pada pahat. Ini berarti bahwa fluida yang kental kemungkinan besar dapat digunakan untuk membersihkan lubang bor, jika fluida tersebut mempunyai sifat shear thinning yang baik. Dan pada umumnya, fluida dengan kandungan padatan (solid content) yang rendah merupakan fluida yang paling baik untuk membersihkan dasar lubang bor.

e. Membantu dalam evaluasi formasi

Sifat fisik dan kimia lumpur pengeboran berpengaruh terhadap program well logging. Pada saat tertentu diperlukan informasi tentang kandungan hidrokarbon, batas air-minyak, dan lainnya untuk korelasi, maka dilakukan well logging, yaitu memasukkan sonde/alat kedalam sumur, misalnya log listrik, maka diperlukan media penghantar, dalam hal ini lumpur merupakan penghantar listrik. Sebagai contoh, lumpur dengan kadar garam yang tinggi akan menghambat pengukuran spontaneous potential (SP) karena konsentrasi garam dari lumpur dan formasi hampir sama. Disamping itu, oil mud akan menghambat resistivitas karena minyak akan bertindak sebagai insulator dan dapat mencegah terjadinya aliran listrik. Oleh karena itu, pemilihan lumpur pengeboran harus sesuai dengan program evaluasi formasi.

f. Melindungi formasi produktif

Perlindungan formasi produktif sangat penting. Oleh karena itu, pengendapan mud cake pada dinding lubang bor dapat mengijinkan operasi pengeboran terus berjalan dan tidak menyebabkan kerusakan formasi produktif. Kerusakan formasi produktif biasanya akan menurunkan permeabilitas disekitar lubang bor.

g. Membantu stabilitas formasi

Pada lubang bor sering dijumpai adanya problem stabilitas yang disebabkan oleh fenomena geologi, seperti zona rekahan, formasi lepas, hidrasi clay, dan tekanan tinggi. Lumpur pengeboran harus mampu mengontrol problem-problem tersebut, sehingga lubang bor tetap terbuka dan proses pengeboran dapat terus dilanjutkan. Perencanaan sistem lumpur untuk menjaga stabilitas lubang bor sering digunakan sebagai basis untuk pemilihan jenis dan sifat lumpur.


(36)

2. Jenis Lumpur Pengeboran:

a. Fresh Water Muds

Adalah lumpur yang fasa cairnya adalah air tawar dengan (kalau ada) kadar garam yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1 % berat garam). Jenis-jenis lumpur fresh water muds adalah : Spud Mud, Natural Mud, Bentonite – treated mud, Phosphate treated mud, Organic colloid treated mud, “Red” mud, Calcium mud, Lime treated mud, Gypsum treated mud dan Calcium salt.

Spud Mud, adalah lumpur yang digunakan pada pemboran awal atau bagian atas bagi

conductor casing. Fungsi utamanya adalah untuk mengangkat cutting dan membuka

lubang di permukaan.

Natural Mud, yaitu dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dalam fasa cair, sifat-sifatnya

bervariasi tergantung formasi yang di bor. Lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada surface casing.

Bentonite – treated Mud, yaitu mencakup sebagian besar dari tipe-tipe air tawar. Bentonite adalah material paling umum yang digunakan untuk koloid inorganic yang berfungsi mengurangi filtrate loss dan mengurangi tebal mud cake. Bentonite juga menaikkan viskositas.

Phospate treated Mud, yaitu mengandung polyphospate untuk mengontrol viscositas gel

strength dan juga dapat mengurangi filtrate loss serta mud cake dapat tipis.

Organic colloid treated Mud, terdiri dari penambahan pregelatinized starch atau carboxymethyl cellulose pada lumpur yang digunakan untuk mengurangi filtration loss pada fresh water mud.

Red Mud, yaitu mendapatkan dari warna yang dihasilkan oleh treatment dengan cautic soda dan gueobracho (merah tua). Jenis lumpur ini adalah alkaline tannate treatment dengan penambahan polyphospate untuk lumpur dengan pH dibawah 10.

Calcium Mud, yaitu lumpur yang mengandung larutan calcium (di sengaja). Calcium bisa ditambah dengan bentuk slake lime (kapur mati), semen, plaster (CaSO4) atau CaCl2.

b. Salt Water Mud

Lumpur ini digunakan terutama untuk membor garam massive (salt dome) atau salt stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang bila ada aliran air garam yang terbor. Filtrate loss-nya besar dan mud-cake-nya tebal bila tidak ditambah organic colloid, pH lumpur dibawah 8, karena itu perlu presentative untuk menahan fermentasi starch. Jika salt mudnya mempunyai pH yang lebih tinggi, fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi ini bisa diperbaiki dengan penggunaan attapulgite sebagai pengganti bentonite. Adapun jenis-jenis lumpur salt water mud adalah : Unsaturated salt water mud, Saturated salt-water mud dan Sodium-Silicate muds.

c. Oil Base Mud

Adalah lumpur yang dibuat dengan minyak sebagai fase continue dan attapulgite sebagai pengganti bentonite memiliki kadar air dibawah 3-5% volume untuk mengontrol viscositas, menaikan gel strength, efek kontaminasi, untuk menaikan gel strength perlu ditambahkan zat kimia. Manfaat oil base mud adalah pada completion dan workover sumur. Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit dan mempermudah pemasangan casing dan liner.


(1)

No. Kebun Umur Ekonomis (tahun) Produktivitas (ton/tahun) Infeksi Ganoderma

1 28 4 0

2 14 17 0

3 24 6 1

4 11 20 1

5 2 3 0

6 29 4 0

7 29 3 1

8 15 20 1

9 9 6 0

10 30 6 1

11 23 3 1

12 15 20 0

13 10 4 0

14 27 5 1

15 18 20 0

16 3 4 0

17 9 3 0

18 2 5 0

19 12 15 0

20 30 4 0

21 28 5 1

22 9 4 0

23 13 15 0

24 29 6 1

25 25 5 1

26 22 5 1

27 26 6 1

28 18 18 1

29 3 5 0

30 14 20 0

31 30 3 1

32 1 4 0

33 8 3 1

34 8 5 1

35 26 4 0

36 15 15 0

37 18 19 0

38 8 4 0

39 29 5 0


(2)

No. Kebun Umur Ekonomis (tahun) Produktivitas (ton/tahun) Infeksi Ganoderma

41 29 4 0

42 23 3 0

43 26 5 0

44 28 4 0

45 26 3 0

46 29 4 0

47 7 4 0

48 8 6 0

49 3 5 0

50 3 4 0

51 1 5 0

52 11 18 0

53 23 6 1

54 22 4 0

55 12 19 0

56 27 3 0

57 28 4 1

58 24 4 1

59 6 6 0

60 7 5 0

61 19 20 1

62 8 6 0

63 27 3 0

64 21 6 1

65 30 5 1

66 7 4 0

67 19 19 1

68 23 4 1

69 6 4 0

70 22 5 1

71 2 4 0

72 16 19 0

73 15 20 0

74 5 4 0

75 23 4 0

76 21 5 0

77 6 5 0

78 25 3 1

79 20 18 1

80 12 17 0

81 11 18 0


(3)

83 8 4 0

84 3 5 0

85 27 6 1

86 30 3 1

87 9 3 0

88 26 4 1

89 30 5 1

90 11 19 0

91 4 5 0

92 17 19 0

93 26 6 0

94 30 6 0

95 29 4 0

96 15 17 0

97 24 3 0

98 6 3 0

99 16 16 0

100 12 19 0

101 17 16 0

102 1 3 0

103 8 3 0

104 13 19 0

105 19 18 0

106 10 3 0

107 21 5 0

108 2 6 0

109 5 3 0

110 11 17 0

111 11 15 0

112 17 20 1

113 18 18 1

114 27 3 1

115 12 16 0

116 7 5 0

117 4 4 0

118 16 17 0

119 8 4 0

120 9 4 0

121 30 6 1

122 21 6 0

123 21 6 0


(4)

No. Kebun Umur Ekonomis (tahun) Produktivitas (ton/tahun) Infeksi Ganoderma

125 29 5 0

126 10 5 0

127 2 3 0

128 13 17 0

129 18 15 0

130 1 5 0

131 30 4 1

132 24 6 1

133 13 16 0

134 3 6 0

135 11 19 0

136 12 18 0

137 5 3 0

138 22 3 1

139 8 5 0

140 5 6 0

141 21 3 0

142 11 20 0

143 1 3 0

144 21 6 0

145 9 3 0

146 25 4 1

147 13 16 0

148 18 19 1

149 8 5 0

150 9 4 0

Keterangan:

Produksi di lapangan

: rata-rata produksi TBS kg/ha/bln

Produktivitas

: rata

rata produksi TBS/bln

jumlah pokok produktif

Usia produktif

: 10-20 tahun

Produktivitas baik

: > 15 ton TBS/hektar/tahun

Infeksi Ganoderma

: 1 = infeksi , 0 = tidak terinfeksi


(5)

No. Kebun

Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3

2 5 1

4 9 3

8 13 6

12 16 7

15 17 10

19 18 11

23 22 14

28 29 20

30 32 21

36 33 24

37 34 25

40 38 26

52

47 27

55

48 31

61 49 35

67 50 39

72 51 41

73 59 42

79 60 43

80 62 44

81 66 45

82 69 46

90 71 53

92 74 54

96 77 56

99 83 57

100 84 58

101 87 63

104 91 64

105 98 65

110 102 68

111 103 70

112 106 75

113 108 76

115 109 78

118 116 85

124 117 86

128 119 88


(6)

Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3

133 126 93

135 127 94

136 130 95

142 134 97

147 137 107

148 139 114

140 121

143 122

145 123

149 125

150 131

132

138

141

144