16
tersebut lebih rendah dibandingkan beras lokal dari petani dengan kualitas standar termurah yang harga jualnya paling murah berkisar antara Rp. 3.500 dan Rp.
3.600 per kg. Dampaknya petani lokal merugi karena harga mereka tidak ekonomis dibandingkan dengan beras impor Andi Irawan,2007.
Konsumen lebih memilih beras impor karena harganya lebih murah dengan kualitas yang tidak berbeda. Hal ini menyebabkan penurunan pendapatan
petani padi. Selain itu penyebab penurunan pendapatan petani adalah tingginya ongkos produksi yang dikeluarkan petani berupa biaya pengolahan lahan tanah,
penyediaan sarana produksi pertanian saprotan, biaya input pertanian seperti pupuk,benih dan lain-lain, biaya transportasi dan biaya-biaya yang lainnya
mengalami kenaikan. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan usahatani petani padi.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam rangka pemenuhan pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya terus meningkat, produksi beras dari Pulau Jawa masih diandalkan oleh
pemerintah. Pulau Jawa memegang peranan penting dalam produksi beras, dengan produksi sekitar 56 persen, selebihnya 22 persen di Pulau Sumatera, 10 persen di
Pulau Sulawesi dan 5 persen di Pulau Kalimantan. Di perkirakan beberapa tahun kedepan Pulau Jawa tetap akan menjadi produsen utama beras di Indonesia.
Pemerintah tetap mengandalkan Pulau Jawa sebagai produsen beras utama di Indonesia. Propinsi Jawa Barat yang terletak di Pulau Jawa terus meningkatkan
produksi beras, minimal untuk memenuhi kebutuhan beras bagi penduduknya sendiri. Peningkatan produksi beras di Jawa Barat dimulai dengan usaha
peningkatan luas panen ekstensifikasi yang menghasilkan kenaikan sebesar
17
3,99 persen. Hal ini harus diikuti oleh peningkatan mutu yang baik sebab saat ini peningkatan mutu intensifikasi padi belum mendapat perhatian serius karena
penurunan produksi padi di Jawa barat rata-rata 0,37 persen per tahunnya Dinas Perkebunan dan Hortikultura, 2006.
Ketersedian pangan di Jawa Barat masih ditopang oleh produksi sendiri, cadangan masyarakat dan impor. Ada beberapa daerah lumbung padi daerah
penghasil padi utama di propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Cianjur termasuk salah satu diantaranya.
Kabupaten Cianjur merupakan daerah agraris yang flatform pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian. Hal ini dibuktikan dengan
keberhasilan Kabupaten Cianjur menjadi salah satu daerah di Jawa Barat yang berswasembada padi. Dengan jumlah produksi padi per tahun sekitar 625.000 ton,
kabupaten ini masih memperoleh surplus padi surplus bersih sekitar 40 persen per tahunnya setelah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih Dinas
Pertanian Kab. Cianjur, 2006 Produksi pertanian padi terdapat di seluruh wilayah Kabupaten Cianjur,
akan tetapi dalam menghasilkan produk hasilnya masih berfluktuasi setiap tahunnya Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa sebelum krisis ekonomi
di tahun 1997, produksi padi sawah sudah mulai mengalami penurunan 1995- 1996. Hal ini disebabkan oleh jumlah lahan yang ditanami dan luas lahan yang
dipanen, keduanya sama-sama mengalami penurunan. Keberhasilan panen raya, pengendalian hama, irigasi dan pemupukan yang lebih baik intensifikasi
pertanian yang optimal menjadi faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi. Produksi padi di Kabupaten Cianjur mengalami penurunan yang drastis
18
saat terjadinya puncak krisis ekonomi. Hal ini mengakibatkan inflasi yang tinggi, sehingga berdampak terhadap kenaikan semua barang dan jasa.
Tabel 3. Perbandingan Keadaan Tanaman Padi Sawah Tahun 1995-2001 di Daerah Kabupaten Tingkat II Cianjur
Tahun Luas Tanam Ha Luas Panen Ha Produksi Bruto Ton
Produktivitas KwHa
1995 114,923
104,630 664,601
63,52 1996
107,338 104,430
646,568 61,91
1997 102,550
86,846 630,175
72,56 1998
128,358 111,021
659,499 59,40
1999 116,326
113,948 678,104
59,51 2000
110,091 109,430
661,757 60,11
2001 109,710
107,430 659,906
60,15
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur Tahun 1997-2002
Kenaikan harga faktor-faktor input pertanian seperti benih padi, pupuk dan alat-alat produksi Saprodi pertanian, menyebabkan sebagian besar petani di
Kabupaten Cianjur tidak bisa mengolah lahannya. Hal ini disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu : terbatasnya modal petani dalam mengolah usahataninya dan
penerimaan income petani lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkannya outcome.
Penurunan luas lahan di Kabupaten Cianjur ternyata berbanding lurus dengan penurunan luas panen yang mempengaruhi penurunan jumlah produksi
padi. Penyebabnya tidak berbeda jauh dengan kondisi umum pertanian di Indonesia, yaitu maraknya konversi lahan menjadi perumahan ataupun dijadikan
daerah industri. Dampaknya adalah lahan yang ditanami padi di daerah Cianjur
menjadi berkurang. Hal ini merupakan bukti nyata dari neoliberalisme di
Indonesia yang terbukti menumpas kehidupan petani. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa produksi padi sawah mengalami
peningkatan yang cukup baik hingga tahun 1999 dari 630,175 ton tahun 1997
19
menjadi 678,104 ton pada tahun 1999. Peningkatan produksi pasca krisis terjadi karena sebagian besar petani menanami kembali lahannya kecuali tahun 1999
luas lahan yang di tanam menurun dibanding tahun sebelumnya. Namun peningkatan jumlah produksi tersebut tidak diikuti dengan peningkatan
produktivitas. Angka produktivitas hingga tahun 1999 menurun dibandingkan tahun 1997 dari 61,45 Kw per Ha menjadi 59,51 Kw per Ha. Hal itu
menunjukan keberhasilan panen tidak merata di semua wilayah Cianjur. Peningkatan jumlah produksi pasca krisis ekonomi tidak berlangsung lama, yakni
hanya tahun 1998 dan 1999. Tampak pada Tabel 3 bahwa pada tahun 2000 hingga 2001 produksi padi sawah menurun kembali. Penyebabnya adalah karena luas
lahan tanam dan luas panen mengalami penurunan. Sebagian besar petani di Kabupaten Cianjur menanami padi varietas
unggul nasional IR 64 dan varietas unggul lokal spesifik Tabel 4 yaitu pandanwangi. Tabel 4 menunjukan varietas-varietas yang ditanam oleh petani
padi di Kabupaten Cianjur. Secara khusus Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur menetapkan padi varietas pandanwangi menjadi komoditas unggulan utama hasil
pertanian di samping tanaman Palawija, sayuran, buah-buahan dan tanaman hias. Pemerintah Kabupaten Cianjur yang diwakili oleh Dinas Pertanian beserta
jajarannya, menggalakan kembali pembentukan kelompok petani khusus untuk padi pandanwangi. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan produksi padi
pandanwangi sebagai komoditas unggulan daerah Cianjur dan mempermudah komunikasi berupa transfer informasi teknologi pertanian antara petani dengan
pemerintah petugas penyuluhan pertanian, petugas dinas dari Departemen Pertanian dan peneliti dari instansi pendidikan pertanian. Pembentukan
20
kelompok tani ini diharapkan dapat memecahkan pelbagai permasalahan yang terjadi ditingkat petani seperti masalah dalam hal pembudidayaan usahatani dan
tataniaganya pemasarannya. Tabel 4. Realisasi Penyebaran Varietas Padi
Masa Tanam : Bulan September 2001 S per D Bulan Februari 2002
Kabupaten per Kota : Cianjur
No Varietas Padi
Sawah Ha Padi
Ladang Ha Jumlah
Ha I
Unggul Nasional
1.IR 64
29.828 ‐
29.828 2.Cisadane
4.165 ‐
4.165 3.Way
seputih 952
‐ 952
4.Way Apo Buru
8.881 ‐
8.881 5.Cibodas
586 ‐
586 6.Cilamaya
Muncul 246
‐ 246
7.Widas 4.793
‐ 4.793
8.Ciherang 1.449
‐ 1.449
9.Aromatik 50
‐ 50
10.Towuti 250
521 771
II Varietas
Lokal 1.Pandan
Wangi 14.939
‐ 14.939
2.Tembleg ‐
6.559 6.559
3.Cere ‐
2.359 2.359
4.Hawara ‐
2.845 2.845
5.Cingkrik ‐
167 167
6.Boneng ‐
389 389
III Lain ‐lain
1.BTN 1.075
4.445 5.52
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur 2003 Daerah-daerah penghasil padi pandanwangi sebagian besar merupakan
daerah yang kaya akan air, sehingga jarang ditemui adanya permasalahan yang berkaitan dengan air dalam pembudidayaaannya. Padi jenis pandanwangi
memiliki perbedaan dibandingkan dengan jenis padi lainnya. Perbedaaan tersebut adalah pada proses pembudidayaan hingga proses penangganan pasca panennya
penggolahan dari bentuk gabah menjadi beras. Umur tanaman yang lebih lama serta harganya yang mahal dibandingkan jenis beras lainnya mendorong
terjadinya praktek pencampuran beras pandanwangi dengan beras lain yang
21
memiliki bentuk dan tekstur serupa, sehingga beras yang beredar di pasaran sebagian besar merupakan beras pandanwangi campuran.
Pola tataniaga beras pandan wangi dari tingkat petani hingga konsumen akhir melalui berbagai lembaga tataniaga yang terlibat dalam suatu saluran
tataniaga. Banyaknya mata rantai saluran tataniaga dari tingkat petani hingga konsumen akhir menyebabkan besarnya perbedaan harga produk yang diterima
oleh petani dan harga produk yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Dalam hal ini petani sebagai produsen, cenderung untuk menjual gabah kepada lembaga
tataniaga selanjutnya dari pada mengolahnya secara langsung. Semakin banyak lembaga yang terlibat dalam tataniaga beras, maka semakin besar nilai marjin
tataniaga yang akan terjadi Primas, 2008. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani padi pandanwangi yang diterima petani penggarap dan pemilik penggarap di
lokasi penelitian. 2.
Bagaimana efisiensi dan marjin tataniaga padi pandanwangi di lokasi penelitian.
3. Bagaimana struktur pasar dan fungsi tataniaga padi pandanwangi di lokasi
penelitian.
22
1.3 Tujuan Penelitian