Formulasi tepung komposit berbasis pati ganyong (Canna edulis Kerr.) termodifikasi Heat Moisture Treatment dan tepung kacang tunggak (Vigna unguiculata) pada pembuatan mi kering

(1)

FORMULASI TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS PATI GAN YONG

(

Canna edulis

Kerr.) TERMODIFIKASI

HEAT MOISTURE TREATMENT

DAN

TEPUNG KACANG TUNGGAK (

Vigna unguiculata)

PADA PEMBUATAN

MI KERING

SKRIPSI

RINA BUDIYATI

F24060756

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

COMPOSITE FLOUR FORMULATION FROM HMT (HEAT

MOISTURE TREATMENT) MODIFIED CANNA STARCH AND COWPEA

FLOUR FOR DR Y NOODLE MAKING

Rina Budiyati

1

, Subarna

1

, Winda Haliza

2

1

)Departemen of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural Un iversity, IPB Darmaga Campus, Bogor, Indonesia.

2

) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pas capanen Pertanian Bogor.

ABSTRACT

The objectives of this research were to optimize the HMT (Heat Moisture Treatment) condition for canna starch modification in order to reach the optimum properties of canna starch as a noodle raw material and to optimize the proportion of optimum modified canna starch, wheat flour and cowpea flour as a good dry noodle.

Combination of three parameters (temperature, moisture content, and time) gave change in gelatinization temperature. Combinations of temperature and time modification changed the gelatinization temperature, setback viscosity and final viscosity. The combination s of temperature-moisture content and temperature-moisture content-time modification changed the swelling power. Whereas, the gel strength only altered by increased in moisture content of modification. The optimum condition of canna starch was reached by HMT modification temperature at 100oC, with 25% moisture content for 8 hours. The granule shape remain unchanged after HMT whereas the optimum HMT process decreased swelling power, but increased gelatinization temperatures, viscosity profile, setback viscosity, final viscosity and gel strength from the native starch. Changes in phy sicochemical properties on HMT were influenced by the interplayed of crystallite change, starch chain associations and rigidity of starch granules.

Noodles formulation was optimized using Response Surface Method with Mixture D-Optimal Design from Design Expert 7 programs. The noodles formulations were optimized with three different components i.e. optimum HMT modified canna starch, wheat flour, and cowpea flour. The proportion combination from these three components gave 16 formulas. These formula then evaluated of their cook ing and texture properties. The selected formula contained 50% wheat flour, 17.72% optimum HMT canna starch, and 32.28% cowpea flour. The validations result from the selected formula showed that the actual value was not different from the prediction value that suggested by the programs.


(3)

Rina Budiyati. F24060756. Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati Ganyong (Canna edulis Kerr) Termodifikasi Heat Moisture Treatment dan Tepung Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) Pada Pembuatan Mi Kering. Dibawah bimb ingan: Subarna dan Winda Haliza.

RINGKASAN

Mi merupakan salah satu jenis produk makanan pokok selain nasi yang sering dikonsumsi masyarakat di Indonesia. Produksi mi yang biasanya menggunakan bahan baku tepung terigu membuat Indonesia harus mengimpor gandum. Diversivikasi bahan baku mi dilaku kan dengan menggunakan bahan-bahan dari Indonesia, salah satunya adalah pati ganyong dan tepung kacang tunggak. Mi dengan menggunakan bahan baku selain tepung terigu memberikan sifat yang kurang baik sehingga perlu dilakukan fo rmulasi dan proses yang optimu m untuk produknya. Pati ganyong perlu dimod ifikasi terleb ih dahulu agar sifatnya men jadi lebih baik untuk mi.

Penelit ian ini bertu juan untuk menentukan perlakuan modifikasi HMT yaitu suhu, waktu modifikasi, dan kadar air bahan, sehingga optimu m untuk bahan baku mi. Selanjutnya juga bertujuan untuk mendapatkan formu la tepung komposit terbaik untuk mi dengan bahan baku tepung terigu, pati ganyong termodifikasi HMT optimu m, dan tepung kacang tunggak. Penelitian in i dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahapan optimasi modifikasi HMT pati ganyong, dan tahapan optimasi formu lasi tepung komposit untuk produk mi kering.

Modifikasi pati ganyong HMT dilaku kan dengan beberapa perlakuan. Perlakuan yang diterapkan adalah suhu, waktu, dan kadar air. Suhu yang digunakan adalah 100oC dan 110oC, dengan lama waktu 4, 8, dan 16 jam, juga dengan kadar air 20, 25, dan 30%. Modifikasi HMT optimu m yang didapatkan adalah dengan kombinasi suhu 100oC, lama 8jam dan kadar air 25%. Pati ganyong yang dimodifikasi dengan perlakuan tersebut memberikan karakteristik fisikokimia yang berbeda dengan pati alami. Perbedaan tersebut antara lain peningkatan ukuran rata-rata granula pati dari 24.87μm men jadi 34.10μm, peningkatan suhu awal gelatinisasi sebesar 4.85oC, swelling yang terbatas dari 9.6906 g/g men jadi 7.5427 g/g, viskositas setback pati ganyong HMT lebih tinggi hampir dua kali lipat, yang awalnya pati alami memiliki viskositas setback 735.2 cP men jadi 1440 cP. Nilai yang men ingkat juga terjadi pada kekuatan gel dari 400.40 g men jadi 693.75 g. Perubahan juga terjadi pada sifat kimia yaitu kadar pati yang menurun, dan kadar amilosa yang meningkat. Kadar amilosa pati ganyong alami 31.84% sedangkan pati ganyong HMT terpilih memiliki kadar amilosa 34.78%.

Hasil dari pati ganyong termodifikasi optimu m kemudian digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi kering. Optimasi formu lasi tepung komposit untuk mi kering dilaku kan dengan Respon Surface Method (RSM). Optimasi dilaku kan pada variabel respon waktu pemasakan (cook ing time), KPAP (cook ing loss), berat rehidrasi (rehydration weight), persentase pemanjangan, kekuatan tarik, kekerasan (hardness), kelengketan (adhesiveness), dan elastisitas. Berdasarkan hasil optimasi dengan RSM d idapatkan formu la optimu m dengan perbandingan tepung terigu 50%, pati ganyong HMT tepilih 17.72% dan tepung kacang tunggak 32.28%. Validasi mi terbaik memberikan nilai variabel respon aktual yang tidak jauh berbeda dengan nilai variabel respon prediksi RSM dan dengan nilai yang ditargetkan.


(4)

FORMULASI TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS PATI GAN YONG (

Canna edulis

Kerr.) TERMODIFIKASI

HEAT MOISTURE TREATMENT

DAN TEPUNG

KACANG TUNGGAK (

Vigna unguiculata)

PADA PEMBUATAN MI KERING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

RINA BUDIYATI

F24060756

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(5)

Judul Skripsi

: Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati Ganyong (Canna

edulis Kerr.) Termodifikasi Heat Moisture Treatment dan Tepung

Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) Pada Pembuatan Mi Kering

Nama

: Rina Buidyati

NIM

: F24060756

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Ir. Subarna, M.Si.

Winda Haliza SP, M.Si

NIP 19600629 198803 1 001

NIP. 19780706 200501 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen ITP

Dr. Ir. Dahrul Syah

NIP. 19650814 199002 1 001


(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul

Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati Ganyong (

Canna edulis

Kerr.)

Termodifikasi

Heat Moisture Treatment

dan Tepung Kacang Tunggak (

Vigna

unguiculata

) Pada Pe mbuatan Mi Kering

adalah hasil karya saya sendiri dengan

arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun

pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2010

Yang membuat pernyataan

Rina Budiyati


(7)

BIODATA PENULIS

Penulis bernama Rina Budiyati, dilahirkan pada tanggal 6 Oktober

1988 di Jakarta dan merupakan putri pertama pasangan Budi Hadi

Sumarto dan Paryati. Penulis menempuh pendidikan di TK KIGR

(1993), pendidikan dasar di SDN 04 pagi Menteng Atas, Jakarta

Selatan (1994-2000), pendidikan menengah pertama di SLTPN 3

Jakarta (2000-2003), dan pendidikan menengah atas di SMUN 68 Jakarta

(2003-2006).

Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Insitut Pertanian

Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB. Selama menempuh pendidikan di IPB

penulis aktif sebagai anggota Koperasi Mahasiswa (2006-2007) dan pengurus

HIMITEPA (2007-2009). Ice Cream Day , 2006 dan 2007 merupakan kegiatan yang

pernah diikuti penulis dalam kegiatan kepanitiaan.

Selama masa kuliah, penulis

mendapatkan beasiswa dari Yayasan Supersemar pada tahun 2008 dan 2009 dan

beasiswa pendidikan dari PT Pacific Paint pada tahun 2007-2010.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas

Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan

Judul “

Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati Ganyong (Canna edulis

Kerr)

Termodifikasi Heat Moisture Treatment dan Tepung Kacang Tunggak (Vigna

unguiculata) Pada Pembuatan Mi Kering

” dibawah bimb

ingan Ir. Subarna, M.Si dan

Winda Haliza SP, M. Si.


(8)

COMPOSITE FLOUR FORMULATION FROM HMT (HEAT

MOISTURE TREATMENT) MODIFIED CANNA STARCH AND COWPEA

FLOUR FOR DR Y NOODLE MAKING

Subarna

1

, Winda Haliza

2

, Rina Budiyati

3

1

)Lecture of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, IPB 2

) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor. 3)

Student of Food Science and Technology, IPB

ABSTRACT

The objectives of this research were to optimize the HMT (Heat Moisture

Treatment) condition for canna starch modification in order to reach the optimum

properties of canna starch as a noodle raw material and to optimize the proportion

of optimum modified canna starch, wheat flour and cowpea flour as a good dry

noodle.

Combination of three parameters (temperature, moisture content, and time)

gave change in gelatinization temperature. Combinations of temperature and time

modification changed the gelatinization temperature, setback viscosity and final

viscosity. The combinations of temperature-moisture content and moisture

content-time modification changed the swelling power. Whereas, the gel strength only

altered by increased in moisture content of modification. The optimum condition of

canna starch was reached by HMT modification temperature at 100

o

C, with 25%

moisture content for 8 hours. The granule shape remain unchanged after HMT

whereas the optimum HMT process decreased swelling power, but increased

gelatinization temperatures, viscosity profile, setback viscosity, final viscosity and

gel strength from the native starch. Changes in physicochemical properties on HMT

were influenced by the interplayed of crystallite change, starch chain associations

and rigidity of starch granules.

Noodles formulation was optimized using Response Surface Method with

Mixture D-Optimal Design from Design Expert 7 programs. The noodles

formulations were optimized with three different components i.e. optimum HMT

modified canna starch, wheat flour, and cowpea flour. The proportion combination

from these three components gave 16 formulas. These formula then evaluated of their

cooking and texture properties. The selected formula contained 50% wheat flour,

17.72% optimum HMT canna starch, and 32.28% cowpea flour. The validations

result from the selected formula showed that the actual value was not different from

the prediction value that suggested by the programs.


(9)

KATA PENGAN TAR

Segala puji dan syukur, tak henti penulis panjatkan hanya ke hadirat Allah

SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “

Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati Ganyong (Canna

edulis

Kerr) Termodifikasi Heat Moisture Treatment dan Tepung Kacang Tunggak

(Vigna unguiculata) Pada Pembuatan Mi Kering.

”. Shalawat dan Salam semoga

selalu tercurahkan pula kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis

baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis,

terutama kepada :

1.

Bapak dan Ibu tercinta, yang selalu sabar dalam mendidik penulis menjadi

manusia yang berguna. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi dan doa untuk

penulis. Untuk adik tersayang; Ismail Aulia Rahman terima kasih atas kasih

sayang, dukungan, dan kehangatan keluarga yang indah.

2.

Ir. Subarna M.Si sebagai dosen pembimbing, atas kesabaran, nasihat, motivasi

serta segala pelajaran hidup yang telah diberikan kepada penulis selama 3 tahun

ini.

3.

Winda Haliza SP,M.Si selaku dosen pembimbing II yang selalu memberikan

masukan- masukan hingga terselesaikannya skripsi ini serta kelembutan dan

kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.

4.

Dr. Ir Sugiyono M.App.Sc selaku dosen penguji, atas saran-saran yang

membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

5.

Balai Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Bogor

6.

Seluruh dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan

ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis, serta laboran-laboran

ITP dan Seafast Center (Bu Sri, Bu Rub, Pak Ro jak, Pak Ilyas dan Pak Jun) yang

banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

7.

Siti Sri Utami STP sebagai rekan satu tim yang memberikan semangat dan

motivasi selama penulis melakukan penelitian.


(10)

8.

Teman-teman se-bimbingan, Risma Solehatunisa, atas kebersamaan, dukungan

dan kerja sama yang indah.

9.

Syahri Siky Saputra SKom, terimakasih atas kasih sayang, doa, dukungan,

dorongan dan semangat yang diberikan kepada penulis.

10.

Teman-teman terbaik, terutama Bintang Endah Lestari, Hasti Wiaranti, Dewi

Puji Lestari, Wahyu Anggarini, Lingga Bayu Saputra, Roni Septiawan, Rijali

Aroni, Rina Nur Apriani, Tito Tegar, dan Teman-teman ITP 43 lainnya terima

kasih atas dukungan dan kebersamaan kalian yang mewarnai.

11.

Teman-teman tercinta wisma rosa khususnya untuk Pravita Widiastana, Charisna

, Prameswari, Ega, Helga, Suzyant, Eki, Nunu, Adit, Mba Fitri, Ridwan dan

teman-teman wisma rosa, terima kasih atas kasih sayang kalian.

12.

Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terima

kasih, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, 20 Desember 2010


(11)

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...

iii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ...

ix

DAFTAR LAMPIRAN ...

xi

BAB I. PENDAHULUAN ...

1

1.1. LATAR BELAKANG ...

1

1.2. TUJUAN PENELITIAN ...

2

1.3. MANFAAT PENELITIAN ...

2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...

3

2.1

GANYONG ...

3

2.1.1.

Tanaman Ganyong ...

3

2.1.2.

Umbi Ganyong ...

4

2.1.3.

Karakteristik Pati Ganyong ...

6

2.1.4.

Karakteristik Gelatinisasi Pati Ganyong ...

7

2.1.5.

Swelling Power atau Pembengkakan Pati Ganyong ...

8

2.1.6.

Kekuatan Gel Pati Ganyong ...

9

2.2.KACANG TUNGGAK ...

9

2.3.KARAKTERISTIK PATI UNTUK PRODUK MI ...

11

2.4.MODIFIKASI PATI METODE HEAT MOISTURE TREATMENT

(HMT) ...

12

2.5.MI KERING

...

13

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...

15

3.1.ALAT DAN BAHAN ...

15

3.2.METODE PENELITIAN ...

15

3.2.1.

Optimasi Modifikasi Pati dengan Metode HMT ...

16

3.2.2.

Optimasi Formulasi Tepung Komposit untuk Mi Kering

dengan Response Surface Method (RSM) dan Pembuatan Mi

Kering

... 19


(13)

3.3.METODE ANALISIS ...

21

3.3.1.

Analisis Proksimat ...

21

3.3.2.

Analisis Fisiko-Kimia Pati Ganyong dan Tepung Kacang

Tunggak ...

22

3.3.3.

Analisis Karakteristik Pemasakan dan Karakteristik Fisik Mi

Kering ... 24

3.3.4.

Analisis Statistik...

25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

26

4.1.KARAKTERISTIK PATI GANYONG ALAMI DAN PATI

GANYONG HMT ...

26

4.1.1.

Morfologi Granula Pati ... 26

4.1.2.

Profil Gelainisasi Pati ...

28

4.1.2.1.Profil Viskositas Pati...

28

4.1.2.2.Suhu Awal Gelatinisasi ...

28

4.1.2.3.Viskositas Akhir (VA) ...

31

4.1.2.4.Viskositas Setback

(VS)...

32

4.1.3.

Daya Pengembangan Pati (Swelling Power) ...

33

4.1.4.

Kekuatan Gel (Gel Strength) ...

35

4.2.PENENTUAN KONDISI HMT OPTIMUM ...

36

4.3.INFORMASI KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG

KACANG TUNGGAK ...

39

4.4.OPTIMASI FORMULASI TEPUNG KOMPOSIT DENGAN

MENGGUNAKAN PROGRAM RESPONSE SURFACE METHOD

(RSM) ...

40

Hasil Analisis dan Optimasi Variabel Respon ...

40

4.4.1.

Waktu Pemasakan (Cooking Time) ...

40

4.4.2.

Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ...

42

4.4.3.

Berat Rehidrasi ...

43

4.4.4.

Persentase Pemanjangan...

44

4.4.5.

Kekuatan Tarik ...

46

4.4.6.

Analisis Tekstur Mi ...

47

4.4.6.1.Kekerasan mi (Hardness)...

47

4.4.6.2.Kelengketan mi (Adhesiveness) ...

48

4.4.6.3.Elastisitas mi (Springiness) ...

48


(14)

4.5.

VALIDASI MI HASIL OPTIMASI RSM

... 51

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...

54

5.1.KESIMPULAN ...

54

5.2.SARAN ...

54

DAFTAR PUSTAKA ...

55


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.

Tingkat pemeliharaan tanaman ganyong ...

4

Tabel 2.

Komposisi kimia umbi ganyong (Damayanti, 2002) ...

6

Tabel 3.

Komposisi kimia pati ganyong beberapa varietas di Indonesia ....

7

Tabel 4.

Komposisi zat gizi kacang tunggak (Depkes RI, 1990) ...

10

Tabel 5.

Disain perlakuan HMT ...

17

Tabel 6.

Perbandingan bahan baku terhadap total tepung dalam adonan ...

20

Tabel 7.

Profil amilografi pati ganyong alami dan hasil modifikasinya ....

29

Tabel 8.

Tabulasi data optimasi proses modifikasi HMT pati ganyong...

37

Tabel 9.

Karakteristik fisikokimia pati ganyong alami dan pati HMT

terpilih

...

38

Tabel 10.

Karakteristik fisikokimia tepung kacang tunggak...

39

Tabel 11.

Hasil analisis parameter sifat pemasakan mi kering ...

41

Tabel 12.

Hasil analisis parameter sifat fisik mi kering ...

45

Tabel 13.

Formula terpilih hasil optimasi dengan RSM ... 50

Tabel 14.

Nilai prediksi variabel respon dari formula optimal ...

50

Tabel 15.

Nilai mi terigu sebagai target, nilai prediksi dan nilai aktual hasil

optimasi formula ...

52


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.

Bentuk daun dan tanaman ganyong (Wikipedia, 2010) ...

3

Gambar 2.

Bentuk fisik umbi ganyong (Puncha-arnon et al 2001) ...

5

Gambar 3.

Tanaman kacang tunggak ...

9

Gambar 4.

Bentuk dan ukuran biji kacang tunggak ...

10

Gambar 5.

Diagram alir penelitian ...

16

Gambar 6.

Diagram alir HMT pati ganyong ...

18

Gambar 7.

Diagram alir pembuatan mi kering ...

20

Gambar 8.

Granula pati ganyong alami dan pati ganyong termodifikasi HMT 26

Gambar 9.

Pengaruh interaksi suhu-waktu-kadar air HMT terhadap suhu awal

gelatinisasi (SAG) ...

30

Gambar 10.

Pola respon SAG pada kombinasi perlakuan suhu dan waktu yang

berbeda

...

30

Gambar 11.

Pola respon viskositas akhir (VA) pada kombinasi perlakuan suhu

dan waktu yang berbeda... 31

Gambar 12.

Pola respon viskositas setback (VS) pada kombinasi perlakuan

suhu dan waktu yang berbeda ...

33

Gambar 13.

Pola respon swelling power (SP) pada kombinasi perlakuan suhu

dan kadar air yang berbeda ...

34

Gambar 14.

Pola respon swelling power (SP) pada kombinasi perlakuan

waktu (jam) dan kadar air yang berbeda ...

35

Gambar 15.

Diagram pengaruh kadar air terhadap kekuatan gel ...

36

Gambar 16.

Profil amilografi pati ganyong alami dan termodifikasi HMT

optimum ...

38

Gambar 17.

(a) Profil gelatinisasi tepung kacang tunggak (b)granula pati

kacang tunggak ...

40

Gambar 18.

Hasil optimasi varibel respon waktu pemasakan ... 42

Gambar 19.

Hasil optimasi variabel respon KPAP ...

43

Gambar 20.

Hasil optimasi variabel respon berat rehidrasi ...

43

Gambar 21.

Hasil optimasi variabel respon persentase pemanjangan ...

45

Gambar 22.

Hasil optimasi variabel respon kekuatan tarik ...

46

Gambar 23.

Hasil optimasi variabel respon kekerasan mi (hardness) ... 47


(17)

Gambar 25.

Hasil optimasi variabel respon elastisitas mi (springiness) ... 49

Gambar 26.

Grafik desirability optimasi formula ...

51

Gambar 27.

Aliran mi keluar dari mesin pencetak mi ...

52

Gambar 28.

Mi kering (A) terigu 100% dan (B) formula optimum hasil RSM 52

Gambar 29.

Hasil pemasakan mi kering dengan formula optimum ...

53


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1.

Contoh perhitungan kesetimbangan masa ...

62

Lampiran 2.

Contoh pembuktian kadar air conditioning sesuai target

(20%) ...

63

Lampiran 3.

Data sebaran ukuran granula pati ganyong alami

termodifikasi dan kacang tunggak ...

64

Lampiran 4.

Profil amilografi pati ganyong alami dan termodifikasi HMT.

65

Lampiran 5.

Hasil olah data SAG pati ganyong HMT dengan SPSS ...

66

Lampiran 6.

Hasil olah data viskositas akhir dengan SPSS...

69

Lampiran 7.

Hasil olah data viskositas setback dengan SPSS ...

70

Lampiran 8.

Data hasil analisis swelling power...

72

Lampiran 9.

Hasil olah data nilai swelling power 90

o

C dengan SPSS ...

73

Lampiran 10.

Hasil olah data kekuatan gel dengan SPSS ... 75

Lampiran 11.

Hasil analisis sidik ragam variabel respon waktu pemasakan

dengan RSM ...

76

Lampiran 12.

Hasil analisis sidik ragam variabel respon kehilangan padatan

akibat pemasakan (KPAP) ...

76

Lampiran 13.

Hasil analisis sidik ragam variabel respon berat rehidrasi

dengan RSM ...

77

Lampiran 14.

Hasil analisis sidik ragam variabel respon persentase

elongasi dengan RSM ...

77

Lampiran 15.

Hasil analisis sidik ragam variabel respon kekuatan tarik

dengan RSM ...

78

Lampiran 16.

Hasil analisis sidik ragam variabel respon kekerasan mi

(hardness) dengan RSM ...

78

Lampiran 17.

Hasil analisis sidik ragam variabel respon kelengketan

(adhesiveness) dengan RSM...

79

Lampiran 18.

Hasil analisis sidik ragam variabel respon elastisitas dengan

RSM...

79


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara agraris dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Hal ini tentunya memerlukan kebutuhan pangan yang tinggi pula. Pertambahan penduduk meningkatkan kebutuhan pangan pokok ko moditas beras, jagung, dan kedelai. Kebutuhan akan makanan pokok yang kebanyakan adalah nasi yang berasal dari beras menjadi tidak terpenuhi dengan baik terutama pada daerah kering yang tidak dapat ditumbuhi padi dengan baik.

Perkembangan sosial budaya telah menu mbuhkan diversifikasi pola pangan utama dari nasi ke bentuk mi dan rerotian yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan terigu di Indonesia dan berimplikasi pada tingginya kebutuhan gandum. Menurut data dari BPS (2008), impor gandum Indonesia mencapai 4 juta ton yang menyerap devisa negara sebesar US $ 1.3 juta dan ju mlahnya men ingkat menjadi 5.3 – 5.5 juta ton pada tahun 2008 dengan menyerap devisa negara sebesar US $ 1.8 juta.

Indonesia kaya akan serealia, u mb i-u mbian, dan kacang-kacangan asli Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti atau sebagai substitusi tepung terigu pada beberapa produk. Penelit ian-penelit ian sebelumnya telah berhasil membuat tepung dari bahan dasar selain gandum sebagai bahan dasar produk-produk yang berbahan dasar tepung terigu, seperti mie, rot i, cook ies, dan lain-lain. Salah satu ko modit i pangan umbi-u mbian yang dapat menggantikan atau mensubstitusi tepung terigu adalah umbi ganyong. Pembuatan dan pemanfaatan pati ganyong sebagai bahan baku pembuatan produk pangan dapat menambah alternatif bahan dasar tepung -tepungan.

Pemanfaatan umbi ganyong sebagai bahan pangan telah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, walau masih sedikit variasi pemanfaatannya. Masyarakat biasa mengonsumsinya sebagai campuran nasi jagung agar nasi jagung terasa lebih enak (Idrawati, 1988). Umb i yang masih muda bisa dimakan dengan cara dibakar atau direbus dan terkadang juga disayur, bahan makanan campuran atau dibuat pati. Sisa u mbi setelah diamb il patinya digunakan sebagai ko mpos (Ro isah, 2009).

Selain diolah dalam bentuk umbi, u mbi ganyong juga bisa diolah menjadi tepung ganyong ataupun pati ganyong. Menurut Damayanti (2002), tepung ganyong dapat dimanfaatkan sebaga i tepung ko mposit atau campuran dalam pembuatan produk pangan. Ditin jau dari sifat fungsional dan ko mposisi kimia, tepung dan pati ganyong mampu dijad ikan sebagai tepung komposit produk pangan. Umbi ganyong memiliki kadar karbohidrat yang tinggi sehingga d apat diproduksi menjadi tepung ataupun tepung pati ganyong. Tepung pati tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pengganti atau sebagai bahan substitusi tepung terigu dalam beberapa produk pangan. Salah satu produk yang potensial menggunakan bahan pati ganyong adalah produk mi (Roisah, 2009). Pat i ganyong lebih baik dari tepung ganyong karena tidak memiliki serat sebanyak tepung ganyong. Serat yang terlalu banyak pada tepung ganyong akan memberikan tekstur yang tidak diingin kan pada produk mi.

Mi adalah salah satu produk yang menggunakan tepung terigu sebagai bahan baku utamanya. Namun akh ir-akhir ini mi telah banyak menggunakan campuran tepung lain dengan tujuan substitusi tepung terigu. Beberapa diantaranya adalah mi jagung, dan mi sagu. Sehingga tidak mustahil pati ganyong dapat dijadikan bahan substitusi terigu karena kadar karbohidratnya yang tinggi.

Pemanfaatan pati ganyong sebagai bahan baku pembuatan mi dapat diko mbinasikan dengan tepung yang bersumber dari bahan lain sehingga menjadi tepung komposit. Ko mb inasi tersebut dilakukan untuk melengkapi gizi yang terdapat didalam produk tersebut. Produk mi yang dihasilkan


(20)

dari pati ganyong dan tepung terigu memiliki sedikit kandungan protein, sehingga perlu ditambahkan bahan lain agar kandungan gizi d i dalam produk seimbang. Salah satu produknya adalah tepung kacang-kacangan. Tepung kacang tunggak dipilih sebagai pelengkap gizi produk mi.

Tepung kacang tunggak memiliki protein yang cukup tinggi (22,9%) sehingga secara tidak langsung dapat melengkapi gizi produk. Selain itu tepung kacang tunggak mengandung asam fo lat yang lebih tinggi, zat antinutrisi dan faktor produksi flatulensi yang lebih rendah daripada tepung kacang kedelai (Eh lers, 1997). Kandungan karbohidratnya juga cukup tinggi sehingga cocok untuk dijadikan bahan baku tepung komposit. Menurut Saifudin (1998) sohun yang dibuat dari pati kacang tunggak telah memenuhi syarat yang ditetapkan SII 1982, sehingga tepung kacang tunggak berpotensi sebagai bahan baku campuran tepung ko mposit untuk produk mi Tepung kacang tunggak lebih mudah diproduksi daripada pati kacang tunggak, sehingga penggunaan tepung kacang tunggak lebih dipilih daripada pati kacang tunggak.

Pembuatan sohun ganyong dari 100% pati ganyong alami memb erikan hasil yang lengket dan sulit keluar dari ekstruder. Selain itu, kelemahan produk mi yang men ggunakan tepung non -gluten salah satunya adalah tekstur dan elastisitasnya, sehingga perlu dilakukan modifikasi terhadap pati ganyong untuk meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas ini dilakukan dengan cara modifikasi

pati metode HMT untuk mendapatkan pati yang lebih baik untuk produk

mi.

1.2.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan peneilitian ini adalah untuk :

1. Men entukan kadar air, waktu modifikasi, dan suhu modifikasi HMT, untu k menghasilkan

pati ganyong termodifikasi yang baik untuk produk mi.

2. Men entukan formula optimum tepun g komposit berbasis tepung ganyong ter modifikasi

dengan tepun g kacang tunggak dan tepung terigu dalam pembuatan mi kering

1.3.

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

Mendapatkan informasi mengenai kondisi perlakuan HMT optimum yang dapat men ghasilkan pati ganyong termodifikasi dengan karakteristik yang baik untuk mi. Mengaplikasikan pati ganyong termodifikasi dalam produk mi.

Meningkatkan pemanfaatan pati ganyong dan tepung kacang tunggak sehingga dapat meningkatkan penggunaannya dalam produk pangan


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

GAN YONG

2.1.1.

Tanaman Ganyong

Ganyong (Canna edulis Kerr.) adalah tanaman yang termasuk kedalam tanaman jen is umbi -umbian. Bagian tanaman ganyong yang sering dimanfaatkan adalah bagian umbinya, sehingga tanaman in i dimasukkan kedalam jenis u mbi-u mbian.

Tanaman ganyong telah dikenal oleh seluruh masyarakat di d aerah asal Amerika Selatan sekitar tahun 2500 sebelum masehi. Saat in i tanaman ganyong sudah menyebar di seluruh belahan dunia yang memiliki iklim trop is dan hangat seperti daerah Asia Tenggara (Flach dan Rumawas, 1996). Di Indonesia ganyong sudah dikenal oleh masyarakat dan telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali (Damayanti, 2002). Menurut Ropiq (1988) tanaman ganyong telah tumbuh di Pu lau Jawa sejak tahun 1905.

Tanaman ini dikenal dengan nama bunga tasbeh, ubi pikul (Su matera) dan ganyong di Indonesia, sedangkan di Malaysia lebih dikenal dengan nama pisang sebiak (Flach dan Rumawas, 1996). Thailand menyebut tanaman ini dengan nama phutharaksa dan phuttason sedangkan secara internasional dikenal dengan canna. Tanaman yang mudah tumbuh di berbagai tempat berdaerah tropis ini termasuk dalam :

Div isi : Spermatophyte Sub Div isi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Canaceae Gennus : Canna

Spesies : Canna edulis Kerr. (Lingga, 1986)

Menurut Sastrapradja et al. (1977) dalam Damayanti (2002), ganyong mempunyai batang yang berwarna ungu, tingginya mencapai 0.9 m atau dapat mencapai 3.0 m. Daunnya besar dan lebar, pada umu mnya daun dapat tumbuh hingga panjangnya 30 cm dan lebar 12.5 cm, tebal dan bertulang daun tebal ditengahnya, pada salah satu jenis ganyong pada bagian bawah dan tepi daunnya berwarna keunguan. Warna daun beragam dari hijau muda sampai hijau tua. Daun muda berwarna leb ih muda dan menggulung. Gambar tanaman Ganyong d apat dilihat pada Gambar 1.

Tanaman Ganyong di Indonesia dikenal ada dua jenis yaitu jenis ganyong merah dan ganyong putih. Menurut Damayanti (2002) tanaman ganyong merah dicirikan dengan adanya warna ungu pada tepian daun, tulang daun, dan batang serta sisiknya berwarna ungu (Lathifah, 2009), sedangkan tanaman umbi ganyong putih dicirikan dengan daun dan batangnya yang berwarna hijau muda hingga


(22)

hijau tua serta sisik umbinya kecoklatan. Perbedaan lainnya juga terletak pada ukuran batang. Ukuran batang ganyong merah lebih besar dan tinggi sedangkan ganyong putih lebih kecil dan pendek. Tanaman umb i ganyong merah tidak tahan terhadap kekeringan, sulit menghasilkan biji, dan biasanya umbinya dikonsumsi dengan cara langsung dimakan. Tanaman umb i ganyong putih lebih tahan terhadap kekeringan, selalu menghasilkan biji, dan umbinya biasa diproses untuk diambil patinya (Lingga et al., 1996).

Selain di Indonesia tanaman ganyong juga dibudidayakan di Thailand. Terdapat dua jenis ganyong di Thailand yaitu Thai-purple dan Thai-g reen. Thai purple memiliki ciri-ciri yang sama dengan ganyong merah di Indonesia dan Thai-green memiliki ciri-ciri yang sama dengan ganyong putih di Indonesia juga Japanese-green di Jepang.

Tanaman ganyong di Indonesia banyak yang tumbuh liar, dapat dilihat pada data dari Nuryadin (2008) pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat pemeliharaan tanaman ganyong Propinsi Budidaya

teratur (%)

Budidaya tidak teratur (%)

Tumbuhan liar (%)

1. Jawa Barat 10 90 -

2. Jawa Tengah 100 0 -

3. Jawa Timur 83 17 -

4. D.I. Yogya 0 100 0

5. Sumatera Barat 0 0 100 di pekarangan dan di pinggir hutan

6. Jamb i 0 100 100 di pekarangan dan di

pinggir hutan

7. Riau 0 0 100 di pekarangan dan di

pinggir sungai

8. Lampung 10 90 0

9. Kalimantan Selatan 0 0 Banyak terdapat di pinggir jalan raya, 100 liar di ladang belum dikenal

10. Sulawesi Tenggara 2.5 0 -

11. Sulawesi Selatan 0 0 100 di pinggir kebun dekat rumah

12. Sulawesi Tengah 0 20 80 di hutan dan ladang Nuryadin, 2008

Tanaman ganyong bukan tanaman yang manja, mudah untuk membudidayakannya. Umb i ganyong biasanya dipanen dan pada usia 8 bulan akan memberikan produkt ivitas yang tinggi karena rhizo ma mengalami perbesaran maksimu m, bulan selanjutnya umbi menjad i keras dan tidak d ipanen pada umur lebih dari 10 bulan (Flach dan Ru mawas 1996, dan Kay 1973 dalam Ro isah 2009). Pemanenan dapat dilakukan d i segala musim karena tanaman ganyong merupakan tanaman yang tidak mengenal musim.

Produksi optimu m akan dicapai apabila ditanam pada tanah liat yang berpasir (Sastrapadja 1977, dalam Damayanti 2002). Kemudian lan jut Azahari (2008) satu hektar lahan dapat ditanam sekitar 10 ribu tunas ganyong dan dalam waktu 8 bulan dapat dihasilkan 50 ton umbi ganyong.

2.1.2.

Umbi Ganyong

Umbi ganyong adalah rhizo me yang merupakan batang yang tinggal di dalam tanah, sehingga umbi ganyong merupakan umb i batang (Lingga dkk 1989). Panjang ru mpun umbi dapat mencapai 60 cm (Kay 1973).

Tanaman Ganyong berumbi besar dengan diameter antara 5 – 8,75 cm dan panjangnya 10 – 15 cm, bahkan bisa mencapai 60 cm. Umb i ini biasanya bagian tengahnya tebal dengan kedua ujung dan pangkalnya menyempit. Bag ian luar u mbi d ikelilingi berkas -berkas sisik dengan akar serabut tebal yang panjang dan ukurannya tidak seragam. Warn a sisik umb i ada yang ungu ada juga yang coklat (Azahari, 2008) dengan daging umbi berwarna putih dan jika dilukai akan tampak berlendir


(23)

(Damayanti, 2002). Menurut pengamatan yang dilaku kan Damayanti (2002) u mb i ganyong memiliki bagian kulit luar yang keras dan bagian daging yang berserat dengan bentuk seperti lengkuas.

Bagian luar u mb i ganyong ditutupi oleh kelopak-kelopak tipis pada tiap-t iap ruasnya. Bentuk yang seperti lengkuas itu, menunjukkan bahwa umb i ganyong berbuku -buku. Setiap u mbi terdiri dari 3 sampai 7 ruas umbi (buku-buku) dan tiap ruas ditutupi oleh 1 sampai 3 helai kelopak t ipis yang berwarna coklat tua. Di bawah kelopak-kelopak tersebut ialah bagian kulit u mbi yang berwarna leb ih terang dari kelopaknya yaitu coklat muda (Damayanti, 2002). Pada tanaman yang tua, umbi ganyong memiliki beberapa segment. Setiap segment bervariasi dalam u mur dan ukurannya. Setiap segment memiliki beberapa buku-buku. Penyebaran granula pati berbeda pada setiap segment walaupun dalam satu umbi yang sama. Terdapat pula perbedaan komposisi kimia dan sifat fisikokimia pada segment yang berbeda disebabkan oleh tahapan pertumbuhan yang berbeda pada tiap segment yang dibagi men jadi empat tahapan segment yaitu induk (mother), premature, mature, dan immature. Gambar umbi ganyong yang memiliki beberapa ruas (segment) dapat dilihat pada Gambar 2.

Bagian dalam daging u mbi berwarna putih dengan bau khas ganyong. Jika dipotong, dalam waktu 5-10 menit, irisan umbi akan berwarna kecoklatan. Apabila daging u mbi d isayat maka akan keluar getah dan lender yang kemungkinan mengandung fenol. Menurut Damayanti (2002) seperti halnya kentang, umbi ganyong juga mengalami reaksi pencoklatan enzimatis jika u mb i dilu kai atau dikupas. Secara tidak langsung reaksi pencoklatan itu akan mempengaruhi derajat putih tepung yang dihasilkan. Reaksi pencoklatan enzimat is ini dikarenakan adanya kandungan fenol pada umbi ganyong. Kandungan fenol umb i ganyong cukup besar, yaitu 17,7-46,9 pp m. Kandungan fenol ini selain dapat mempengaruhi derajat putih tepung juga dapat bereaksi dengan bahan tambahan pada saat penggunaan tepung untuk pembuatan produk makanan.

Umbi ganyong sangat baik digunakan sebagai sumber energ i karena memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. Menurut Lingga (1986) perbedaan komposisi kimia u mbi ganyong selain dipengaruhi varietas, juga u mur dan iklim tempat tu mbuh umb i. Hal tersebut dapat dilihat pada data ko mposisi kimia empat varietas umbi ganyong yang berasal dari empat varietas di Jawa Barat pada Tabel 2.

Menurut Ropiq (1988) kandungan karbohidrat umbi ganyong cukup tinggi, setara dengan umbi-u mbi yang lain sehingga cocok dijadikan sebagai sumber energi. Umb i ganyong juga termasuk umbi yang mengandung kalsiu m, fosfor, dan besi, walaupun dalam ju mlah yang ke cil. Hal ini diperkuat dengan data dari Departemen Kesehatan (1981) yang menyatakan didalam 100 g u mbi ganyong terdapat 21 mg kalsium, 70 mg fosfor, dan 20 mg besi. Selain itu u mbi ganyong juga memiliki kandungan beberapa vitamin yaitu vitamin B1 (100mg ) d an vitamin C (10 mg) dalam 100 g umbi ganyong (Departemen Kesehatan RI, 1981).


(24)

Tabel 2. Ko mposisi kimia u mb i ganyong (Damayanti, 2002). Ko mposisi

kimia (%)

Varietas

Ganyong 1 Ganyong 2 kebumen Ciamis Karang

gayam

Leuwi damar

Kadar air 76.1 69.2 72.4 63.4 74.64 75.00

Abu 0.7 1.3 1 0.8 0.84

Protein 1.4 1.3 1.3 1.4 0.16 1.00

Lemak 0.8 0.4 0.2 0.1 0.23 0.10

Serat 4.14 2.0 2.1 1.5 2.12

Karbohidrat* 18.8 27.9 25.1 34.3 24.13 22.60 Total fenol

(ppm) 23.8 46.9 17.9 17.7 - -

1Idrawati, 1988

2Dep Kes, 1992

Umbi ganyong sangat baik digunakan sebagai sumber karbohidrat untuk penyediaan energi (Ro isah, 2002). Umbi in i juga dapat dijadikan sebagai campuran nasi jagung agar nasi jagung terasa lebih enak (Idrawat i, 1988). Umb i yang masih muda bisa d imakan dengan cara dibakar atau d irebus dan terkadang juga disayur, bahan makanan campuran atau dibuat pati. Sisa umbi setelah diamb il patinya digunakan sebagai ko mpos (Roisah, 2009). Selain d iolah dalam bentuk u mbi, u mbi ganyong juga bisa diolah menjadi tepung ganyong ataupun pati ganyong. Menurut Damayanti (2002), ditin jau dari sifat fungsional dan komposisi kimia, tepung ganyong dapat dimanfaatkan sebagai tepung ko mposit atau campuran dalam pembuatan produk pangan

Ganyong porspektif dikembangkan untuk produk tepung pati. Pati dari u mbi ganyong dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat yang banyak digunakan sebagai produk antara untuk dijadikan produk olahan lanjutan. Pati ganyong dapat digunakan sebagai bahan campuran dalam membuat mie, bihun, sohun (Roisah, 2009, dan Chansri, 2005), cendol, atau juga dibuat sebagai bubur pati ganyong.

2.1.3.

Karakteristik Pati Ganyong

Pati merupakan bahan organik polisakarida pertama yang diproduksi dari reaksi antara karbondioksida dari udara dan air dari dalam tanah, pad a suatu proses fotosintesis dengan menggunakan energi radiasi sinar matahari (Hodge dan Osman, 1976 didalam Muchtadi et al., 1976). Pati d isimpan dalam tumbuhan sebagai cadangan makanan antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum, jewawut, sorghum), di dalam u mbi (ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Akhir-akh ir in i pati ganyong telah diperdagangkan secara Internasional sebagai Queensland Arrowroot Starch, namun pati ganyong di Indonesia masih dihasilkan dalam skala kecil dan ru mah tangga yang memiliki mutu rendah (Ropiq, 1988).

Zat pati terdiri dari butir-butiran kecil yang disebut granula. Pada umu mnya granula pati tidak terdapat dalam keadaan murni karena adanya zat antara misalnya protein dan lemak. Bentuk g ranula pati ganyong bervariasi dari bulat sampai oval, dengan ukuran 5 0 sampai 145 mikron (Ropiq, 1988) dan 50% granula pati ganyong varietas ciamis berukuran antara 15-29 μm (Damayanti, 2009). Sedangkan menurut Thitip raphunkul (2003) g ranula pati ganyong varietas Thai-purple, Thai-g reen, dan Japanese-green memiliki sebaran ukuran 10-100 μm. Granula pati memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda dan khas tergantung dari sumbernya (Rop iq, 1988).

Granula pati ganyong alami memiliki sifat birefringence yang tampak bila diamati dengan mikroskop polarisasi. Ciri birefringence pada pati ganyong ditunjukkan oleh garis gelap seperti huruf V dengan ujung runcing bertumpu pada garis yang melintang di ujung tiram, sedang letak hilum sebagai pusat titik pertu mbuhan asal granula terletak ditengah -tengah sentris dengan bentuk titik atau 1-4 helai rambut yang saling bertemu ujungnya (Damayanti, 2002).

Menurut Roisah (2009) umu mnya pati tersusun oleh komponen utama yaitu amilosa (15-30%), amilopektin (70-85%), dan komponen minor seperti lemak dan protein (5-10%). Lanjut Ro isah (2009) dengan adanya komponen minor protein dan komponen mayor pati berupa amilosa dan amilopekt in sebagai komponen karbohidrat yang dapat terhidrolisis, memunculkan adanya peluang terjadinya reaksi bro wning atau pencoklatan non-enzimatis.

Secara umu m pati ganyong termasuk pati yang memiliki kandungan amilosa besar 25-30% (Marchylo et al., 2004, dan Watcharatewinkul, 2009) namun berdasarkan penelit ian Thit ipraphunkul


(25)

et al., (2003) kadar amilosa pati ganyong (18-25%) masih lebih rendah dari pati kacang hijau (28%). Pada dasarnya amilosa akan leb ih berperan saat proses gelatinisasi dan lebih menentukan karakter dari pasta pati. Amilosa juga dapat mengkokohkan kekuatan gel karena daya tahan molekul d i dalam granula meningkat (Satin, 2001). Semakin t inggi kandungan amilo sa maka akan semakin mudah produk mengalami retrogradasi. Pati dengan kandungan amilosa yang tinggi sangat cocok untuk pembuatan mi pati (Herman, 1996 dalam Roisah, 2009).

Tabel 3. Ko mposisi kimia pati ganyong beberapa varietas di Indonesia Ko mposisi

kimia (%)

Kebumen1 Ciamis1 Karang gayam1 Leuwi dammar1 Ganyong merah2 Ganyong putih2

Air 10.86 11.26 11.34 11.75 13.76 9.21

Karbohidrat 88.22 87.45 87.72 87.29 96.83 97.63

Protein 0.39 0.48 0.39 0.39 0.05 0.05

Lemak 0.33 0.64 0.37 0.37 1.93 2.67

Abu 0.2 0.17 0.18 0.2 0.17 0.33

Serat kasar 0.26 0..2 0.24 0.36 1.02 0.44

Pati 84.14 79.57 75.89 75.84 89.65 81.89

Amilosa 35.74 35.61 35.43 33.81 33.22 30.28

Total gula 0.23 0.21 0.24 0.09 - -

Keterangan : 1 Damayanti (2002)

2 Roisah (2009)

Ko mposisi kimia pati ganyong berbeda-beda tergantung dari jenis dan varietas sumber pati ganyong tersebut. Komposisi kimia pati ganyong dari berbagai sumber dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Puncha-arnon (2007) kadar pati berbeda pada segmen yang berbeda. Kadar pati pada segmen immature (13,7%), premature (19,5%) mature (18,6%) dan induk (7,9%) berbeda-beda. Rata-rata 1 kg (956 g) pati d ihasilkan dari satu rhizo me yang berumur 7 bulan (5324 g). Selain kandungan nutrisi terdapat juga kandungan fosfor dalam pati ganyong sebesar 371-399 pp m dan ju mlah ini lebih t inggi dari singkong dan kacang hijau (Thitip raphunkul, 2003).

2.1.4.

Karakteristik Gelatinisasi Pati Ganyong

Ko mposisi kimia pati ganyong akan mempengaruhi karakteristik fisik pati tersebut. Salah satu karakteristik fisik yang penting pada pati adalah karakteristik profil gelat inisasi. Ketika pati dipanaskan bersama air, pati akan mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti dengan peningkatan viskositas yang kemudian akan membentuk pasta. Fenomena ini d isebut dengan gelatinisasi pati, sedangkan suhu pada saat awal gelatinisasi berlangsung yaitu saat mulai terjadinya peningkatan viskositas disebut suhu awal gelat inisasi (Muchtadi et al, 1987). Apabila pemanasan dilanjutkan dalam jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pendinginan maka perubahan viskositas pati akan membentuk pro fil yang berbeda-beda tergantung kepada jenis pati (Herawati, 2009).

Pengukuran profil gelatinisasi pasta pati dapat menggunakan instrument Brabender Amilograph ataupun Rapid Visco Analayzer (RVA). Pengukuran menggunakan alat tersebut dapat memberikan informasi tentang suhu awal gelatinisasi (SAG), viskositas puncak (VP), viskositas break down (VB) yaitu perubahan viskositas selama pemanasan, viskositas setback (VS) yaitu perubahan viskositas selama pendinginan dan viskositas akhir (VA) (Herawat i, 2009).

Soni et al (1990) melaporkan bahwa viskositas dari suspensi pati ganyong lebih tinggi tiga kali dari pada pati jagung dan menunjukkan t idak adanya penurunan , dan lebih tinggi juga dari pati singkong dengan konsentrasi yang sama (Perez et al, 1998) jika dilihat menggunakan Brabender Amilograph. Profil gelatinisasi pati ganyong yang telah diteliti oleh Chansri (2003) memperlihatkan viskositas yang tinggi, tidak ada viskositas breakdown (VB), relatif stabil selama holding 95oC, dan memiliki viskositas setback (VS) yang tinggi.

Suhu awal gelatinisasi pati ganyong berkisar antara 74 -75oC leb ih rendah dari pati kacang hijau ko mersial (80oC). Namun menurut Thitipraphunkul (2003) dengan susp ense pati 6% (b/b), suhu gelatinisasi dari pati ganyong berkisar antara 71-72oC yang lebih t inggi dari pati singkong (68oC). Sedangkan menurut Damayanti (2002) suhu awal gelatinisasi pati ganyong berkisar antara 69-72oC. Adanya perbedaan SAG ini d iperkirakan oleh Damayanti (2002) karena perbedaan ukuran dan sebaran granula pati ganyong, juga kandungan amilosa.


(26)

Beberapa varietas pati ganyong ada yang memiliki v iskositas puncak pasta pati (Ciamis dan Kebumen) ada pula yang tidak (Karang Gayam dan Leu wi Damma r). Dengan tidak adanya viskositas puncak pati maka tidak ada juga viskositas break down seperti yang diungkapkan oleh Chansri (2003). Menurut Gunaratne dan Corke (2007) viskositas breakdown dapat memperlihatkan kestabilan suspensi pati selama pemanasan dan pengadukan. Semakin kecil nilai viskositas breakdown maka semakin stabil pasta pati terhadap proses pemanasan dan pengadukan.

Seperti yang diungkapkan oleh Chansri (2003) dan Damayanti (2009), pati ganyong memiliki nilai viskositas setback yang tinggi. Nilai viskositas balik (VS) mencerminkan kemampuan asosiasi atau retrogradasi mo leku l pati pada proses pendinginan. Semakin t inggi nilai VS berarti semakin tinggi kemampuan pati untuk mengalami retrogradasi. Begitu pula dengan kandungan amilosa. Semakin tinggi kandungan amilosa maka d iharapkan semakin tinggi n ilai VS. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pati dalam retrogradasi, diantaranya adalah kandungan lemak, protein, serat dan amilosa (Damayanti, 2002).

Menurut Schoch dan Maywald (1968) yang dikutip oleh Purwani et al. (2006) penggolongan pasta pati atau profil gelatinisasi pati dibagi menjad i 4 yaitu tipe A, tipe B, t ipe C, dan tipe D. tipe A adalah tipe pasta yang mengalami pembengkakan yang tinggi deng an memperhatikan viskositas puncak yang tinggi kemudian mengalami pengenceran dengan cepat selama pemanasan. Tipe B adalah pasta pati yang memiliki karakter pembengkakan yang sedang dengan memperlihatkan viskositas puncak yang lebih rendah. Tipe C adalah p asta yang memiliki sifat dengan pembengkakan terbatas, tidak memperlihatkan puncak pada viskositas maksimu m namun viskositasnya yang cenderung tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Tipe D adalah tipe pati yang pastanya sulit membengkak dan sulit mengental pada konsentrasi yang sama dengan pati tipe lainnya. Pati ganyong tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe B (moderate swelling) atau C (swelling terbatas) menurut klasifikasi pola viskositas pati Schoch, tapi profil pasta pati gany ong berada diantara B dan C (Scoch dan Maywald 1968). Hal tersebut tergambarkan dalam profil gelatin isasi pati ganyong varietas Karang Gayam dan Leu wi Damar yang tidak memiliki puncak dan viskositasnya stabil atau terus meningkat setelah pendinginan yang dapat diklasifikasikan profil gelatin isasi tipe C.

Lanjut Chansri et al (2003) pati ganyong menunjukkan shear yang bagus dan ketahanan terhadap panas yang sama dengan sifat pasta dari pati cross-link ed dan pati kacang hijau. Pati ganyong juga menunjukkan setback yang signifikan, dan pastanya sangat bening dan elastis. Hasil ini menunjukkan bahwa pati canna memiliki karakter spesisfik yang baik yang dibutuhkan untuk pembuatan clear noodle.

2.1.5.

Swelling Power

atau Pembengkakan Pati Ganyong

Pengukuran swelling power dapat menentukan kemampuan granula pati untuk mengembang. Swelling power adalah perbandingan antara berat sedimen pasta pati dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta (Schoch 1964 dalam Wattanachant et al.,2002). Secara umu m swelling power pati umb i-u mb ian meningkat dengan cepat pada kisaran suhu 50-90oC (Hung, 2005).

Seperti yang diungkapkan pula o leh Damayanti (2002) adanya peningkatan pembengkakan pati secara tajam pada suhu 60-70oC. Pembengkakan 3-4 kali lipat, diduga pada kisaran suhu tersebut ikatan antar molekul pati sudah melemah dan pati sudah tergelatinisasi, sehingga terjadi penyerapan air pada granula. Pada suhu diatas 70oC pembengkakan hanya bertambah sedikit karena pati sudah sangat mengembang, sehingga kemampuan pati untuk menyerap air t inggal sedikit. Namun pembengkakan akan terus terjadi sampai suhu 90oC karena pati akan terus tergelatinisasi dan membengkak sampai suhu maksimu m, yaitu 95.25oC.

Menurut Hung (2005) swelling power pati ganyong masih lebih rendah dibandingkan pati kentang, ubi dan singkong. Hal ini menggambarkan bahwa pati ganyong memiliki kapasitas daya ikat air yang rendah selama pemanasan dikarenakan kadar amilosanya. Hal ini juga yang mempengaruhi kualitas baik dari mi pati dengan bahan baku yang berasal dari pati yang memiliki sifat yang sama (Hung, 2005). Swelling power pati umbi-u mbian berkorelasi negatif dengan kadar amilosa dan suhu gelatinisasi, namun ukuran rata-rata pati menunjukkan korelasi positif terhadap swelling power pada suhu 75oC (Li, 2001). Pat i dengan swelling power yang terbatas akan memberikan sifat mi yang tidak terlalu mengembang (Ah mad, 2009). Pat i yang terlalu mengembang akan mudah hancur.


(27)

2.1.6.

Kekuatan Gel Pati Ganyong

Gel adalah bentukan yang dihasilkan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Menurut Ahmad (2009) gel pati merupakan sistem padat-cair yang memiliki jaringan yang saling berhubungan dimana fase cair terjebak dalam fase padatan. Saat pendinginan berlangsung, rantai amilosa yang telah keluar dari granula membentuk matriks dan dibantu dengan amilopekt in membentuk gel (Eliasson 2000). Molekul amilosa bebas dapat membentuk ikatan hidrogen tidak hanya dengan molekul amilosa lainnya tetapi juga dengan rantai cabang amilopektin dari granula yang mengembang sehingga men jadi bagian jaringan padat yang saling berhubungan.

Keberadaan amilosa dalam fase in i menyebabkan gel menjadi kuat (Collado dan Corke, 1999, diacu oleh Ahmad, 2009). Menurut Hoover dan Vasanthan (1994 ), peningkatan rekristalisasi ko mponen molekul amilosa yang mengalami leaching akan meningkatkan kekuatan gel.

Pembentukan gel juga diakibatkan oleh terjad inya retrogradasi (Roisah, 2009). Menurut Richana dan Titi (2004) dalam Ah mad (2009) retrogradasi me rupakan kecenderungan amilosa-amilosa pada pasta pati untuk berikatan kembali satu sama lain melalui ikatan hidrogen diantara gugus hidroksilnya men jadi kristal yang tidak larut.

2.2.

KACANG TUNGGAK

Kacang tunggak (Vigna unguiculata) adalah tanaman herba, merambat, memanjat, atau semusim tegak, tumbuh setinggi 15-80 cm. Daun berselang, dan panjang daun 5-25 cm. Tanaman ini memiliki bunga dengan warna yang beragam mu lai dari ptuih, krem, kuning, ungu kemerahan hingga ungu. Buah berupa polong dengan panjang 10-23cm dengan 10-15 biji polong. Biji kacang tunggak juga memiliki keragaman bentuk mulai dari kotak hingga bulat dengan warna yang beragam termasuk putih, coklat, marun, krem dan hijau. Biji tanaman ini u mu mnya 5000 -12000 b iji/kg. Ga mbar tanaman kacang tunggak dapat dilihat pada Gambar 3.

Kacang tunggak (Vigna unguiculata) termasuk dalam famili leguminoceae. Kacang tunggak dikenal juga dengan nama cowpea, southern pea, black -eye pea, crowder pea, lubia, niebe, coupea, frijole (Davis et al, 2003) dan kacang tolo (Biogen, 2010). Kacang tunggak berasal dari Afrika, yang umu m tersebar luas di seluruh wilayah tropik (30oLU-10oLS) dan subtropik terutama d i Afrika, juga tumbuh di Asia terutama di India, Australia, Karibia, A merika Serikat bagian selatan dan daerah dataran rendah dan pesisir Amerika selatan serta Amerika Tengah. Tanaman ini telah lama dibudidayakan di Indonesia dikenal dengan nama kacang tolo. Menurut Kasno et al (1991), areal penanaman potensial kacang tunggak berada di daerah Jawa Tengah, Jawa Timu r, Bali, NTB, sebagian Kalimantan, Su matera, Malu ku, dan Papua.

Kacang tunggak biasanya tumbuh pada area equatorial dan subtropical pada ketinggian 1300 m walaupun kacang tungak biasa ditanam pada ketinggian 1600 m di Kenya dan pada dataran tinggi di Kamerun (Ehlers, 1997). Kacang tunggak mampu tu mbuh pada lahan marjinal seperti tanah sulfat masam,tahan terhadap kekeringan dan serangan hama penyakit (Kasno et al., 1991). Disamping toleran terhadap kekeringan kacang tunggak juga mampu mengikat nitrogen dari udara (Saifudin, 1998). Tanaman ini dapat menghasilkan 1000 kg biji kering per hektar di lingkungan Sahelian yang hanya dengan curah hujan 181 mm.

Biasanya pembudidayaan kacang tunggak dilaku kan untuk dimanfaatkan bijinya dalam bentuk biji segar (utara US dan Senegal) atau biji kering (Sebagian besar timur Afrika), polongnya yang masih muda cukup nikmat bila dikonsumsi sebagai sayuran (daerah lembab Asia dan Kepulauan


(28)

Karibia), daunnya (pada sebagian besar timur Afrika) dikonsumsi sebagai lalapan atau sebagai pakan hijauan, pakan kering atau pupuk hijauan (Biogen 2010, Hms 2009, Eh lers 1997). Menurut Eh lers (1997) biji kacang tunggak kering dapat dimasak dengan cepat, yang merupakan pertimbangan penting bagi Negara berkembang yang memiliki keterbatasan bahan bakar.

Di Afrika kacang ini merupakan polong-polongan pangan yang disenangi dan dikonsumsi dalam tiga bentuk dasar yaitu dimasak dalam bentuk sayur berbumbu ditambah minyak goreng (sop kacang) sebagai pengiring pangan pokok, dikupas dan ditumbuk men jadi tepung dicampur dengan irisan bawang merah serta bumbu dijadikan adonan yang kemudian digoreng (bola akara), dan dikukus menjadi mo in-mo in (Maesen dan Somaatmad ja, 1993). Bentuk salah satu jenis kacang tunggak dapat dilihat pada Gambar 4.

Kacang tunggak merupakan salah satu jenis kacang -kacangan yang bermutu tinggi dan merupakan sayuran yang memiliki ko mponen gizi yang baik bagi diet manusia. Kacang tunggak tidak populer dibandingkan kacang kedelai dalam pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia, akan tetapi kandungan gizi kacang tunggak lengkap dan tidak jauh berbeda dengan kacang kedelai (Kay 1979, dan Kasno et al. 1991). Menurut Ehlers (1997) kacang tunggak memiliki nilai asam fo lat yang lebih tinggi, zat antinutrisi dan faktor produksi flatulensi yang lebih rendah.

Ko mposisi biji kacang tunggak terutama kandungan protein, pati dan vitamin B, sangat bervariasi tergantung pada kultivar dan asal bijinya (Kay, 1979). Menurut Balai Penelit ian Kacang-kacangan dan Umb i-u mb ian (2008), varietas unggul kacang tunggak di Indonesia memiliki kandungan protein 20,5 - 22,11%. Ko mponen kimia dalam tepung kacang tunggak dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Ko mposisi zat g izi kacang tunggak (Departemen Kesehatan RI, 1990)

Menurut Sa’adah (2009) jika dibandingkan dengan protein jagung kuning, protein kacang

tunggak kaya akan asam amino lisin. Namun, jika dibandingkan dengan protein telur, protein kacang tunggak defisien dalam asam amino metionin dan sistin, sehingga kacang t unggak lebih bernilai sebagai suplemen nutritional untuk serealia dan extender untuk protein hewani. Kacang tunggak memiliki kadar protein yang cukup tinggi dan bila ditepungkan dapat menjad i sumber protein tambahan sebagai dampak positif dalam pembuatan mi (Saifudin, 1998).

Kadar karbohidrat yang cukup tinggi memungkinkan adanya kandungan pati yang tinggi sehingga kacang tunggak dapat diekstraksi men jadi tepung pati. Berdasarkan penelitian Saifudin

Ko mponen satuan Jumlah

Air g 11.00

Protein g 22.9

Lemak g 1.40

Karbohidrat g 61.6 Kalsiu m mg 77 Fosfor mg 449 Besi mg 6.5 Vitamin a RE 4 Vitamin c mg 2 Vitamin B1 mg 0.92


(29)

(1998) pati kacang tunggak memiliki n ilai kadar pati antara 84.34-92.9 % dengan nilai rata-rata adalah 87.22%. Nilai rata-rata serat kasar kacang ini adalah sebesar 5.50 persen. Bahan pangan dengan serat kasar yang tinggi sangat cocok dikonsumsi oleh mereka yang mempunyai masalah dengan berat badan. Karena serat tidak akan dikonversi menjadi timbunan lemak jika terjadi kelebihan dalam tubuh. Karakteristik pati kacang tunggak adalah memiliki suhu awal gelatin isasi 74.7oC, suhu gelatinisasi maksimu m sebesar 83.7-84.75oC, dan viskositas maksimu m sebesar 1610-1680BU, dengan tipe gelatinisasi tipe A.

Selain itu, ditin jau dari sifat kimia dan ko mponen kimia, kacang tunggak dapat diolah seperti kedelai yaitu berpotensi sebagai bahan baku pembuatan tempe, kecap, tauco, tahu, tepung komposit, isolate dan konsentrat protein. Menurut Saifudin (1998) sohun yang dibuat dari pati kacang tunggak telah memenuhi syarat yang ditetapkan SII 1982.

Faktor yang perlu diperhatikan dalam pengolahan kacang tunggak adalah terdapatnya senyawa anti nutrisi yang dapat mempengaruhi produk olahan kacang tunggak. Pengupasan kulit biji kacang tunggak merupakan tahap kritis dalam proses pengolahan kacang tunggak lebih lanjut. Proses pengupasan dapat menurunkan senyawa anti nutrisi yang terdapat pada kacang tunggak. Kandungan tripsin inhibitor, tannin, asam fitat dapat turun lebih dari 50 %. Selain itu pengupasan dapat memberikan warna dan aro ma yang lebih baik untuk produk olahan yang dihasilkan.

2.3.

KARAKTERISTIK PATI UNTUK PRODUK MI

Sifat fungsional pati akan sangat menentukan kualitas mi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena sifat fungsional ini berkaitan erat dengan pembentukan adonan (reologi) dan kualitas tekstur mi.

Menurut Lii dan Chang (1981) dalam Collado et al (2001), tipe pati yang ideal untuk pembuatan mi berbasis pati adalah pati yang memiliki kadar amilosa yang tinggi, swelling dan kelarutan yang terbatas, dan memiliki profil gelatinisasi tipe C. Karakter lain dari pati yang baik untuk mi adalah pati dengan viskositas yang rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta persen sineresis yang rendah (Chen et al 2003, Purwani et al 2006) dan viskositas yang tinggi pada suhu rendah juga cepat mengalami retrogradasi (Tam et al, 2004).

Selain itu juga pati yang cenderung cepat mengalami retrogradasi atau nilai v iskositas akhir yang tinggi juga sangat baik untuk kualitas akhir produk mi (Ahmad, 2009). Hal ini juga diperkuat dengan pendapat bahwa mi yang berbasis pati artinya adalah pati yang terretrogradasi. Retrogradasi yang cepat dibutuhkan dalam pembuatan mi karena dengan kemampuan retrogradasi yang tinggi akan dapat membentuk gel yang baik. Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan untuk pembentukan tekstur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan. Retrogradasi pun turut bertanggung jawab terhadap tingkat kekerasan dan penampakan starch noodle. Pati dengan viskositas setback yang tinggi mudah mengalami ret rogradasi sehingga lebih baik digunakan seb agai bahan baku pembuat mi atau bihun dibanding dengan viskositas setback yang rendah (Colado et al., 2001 dan Herawati, 2009).

Menurut kesimpulan Ah mad (2009) mi yang dihasilkan dari pati dengan karakter seperti di atas memiliki kualitas cooking loss yang rendah, untaian mi yang kuat dan kompak, elastis serta kelengketan yang rendah. Selain itu berkurangnya leaching amilosa akan mengurangi kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) pada produk mi (Ah mad, 2009).

Pati ganyong memiliki kandungan amilosa yan g tinggi, rentang suhu gelatinisasi yang luas, viskositas pasta yang rendah dan stabil dalam keadaan panas sedangkan viskositas pasta dinginnya tinggi, serta mudah terretrogradasi. Semua sifat-sifat ini sangat menguntungkan dalam pembuatan sohun (Hung dan Morita, 2005 dalam Roisah, 2009).


(30)

2.4.

MODIFIKASI PATI METODE

HEAT MOISTURE TREATMENT

(HMT)

Modifikasi pati metode heat moisture treatment merupakan salah satu modifikasi hid rotermal. Menurut Stute (1992) yang diacu dalam Co llado et al. (2001) modifikasi pati secara hidrotermal adalah modifikasi fisik pati yang mengko mb inasikan kadar air dan kondisi suhu yang mempengaruhi sifat pati tanpa merubah penampakan granula pati. Sedangkan HMT (Heat moisture treatment) itu sendiri adalah perlakuan pemanasan terhadap pati pada suhu yang lebih tinggi dari suhu gelatinisasi pati (80-120oC) dan pada kadar air yang sangat terbatas (<35%). Modifikasi fisik pati dipertimbangkan lebih aman dan alami dibandingkan dengan modifikasi pati secara kimia (Collado et al, 2001).

Metode HMT dapat merubah tipe profil gelatin isasi pati, seperti pada pati sagu (Purwani et al, 2006), ubi (Collado et al, 2001), dan jagung (Ahmad, 2009). HMT merubah profil gelatinisasi pati sagu dari tipe A menjadi tipe B setelah dimodifikasi dengan HMT. Perubahan ini kemungkinan dikarenakan terjad inya perubahan didalam granula. Hal yang sama juga terjad i pada SPS (sweet potato starch). SPS alami sebelum dimodifikasi HMT memiliki tipe profil gelatin isasi tipe A dan setelah dilakukan modifikasi, SPS termodifikasi HMT memperlihatkan profil gelatinisasi yang mendekat i tipe C (Collado et al, 2001).

Modifikasi pati dengan HMT menggunakan kadar air yang sangat terbatas. Menurut Herawati (2009), ju mlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan moleku l amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati didalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, lan jut Herawati (2009), keberadaan air yang terbatas s elama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belu m mampu membuat pati mengalami gelat inisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT. Pat i yang mengalami gelatin isasi akan keh ilangan seluruh bagian kristalny a (Zobel et al., 1988 dalam Herawati, 2009).

Perubahan fisik maupun kimia pati dapat terjadi setelah pati tersebut dimodifikasi dengan metode HMT. Salah satu perubahan fisik yang terjadi adalah perubahan karakteristik gelatinisasi pati. Seperti yang dilaporkan oleh Ah mad (2009) terjad i peningkatan su hu awal gelatinisasi pati jagung setelah mengalami modifikasi HM T dari pati alaminya. Terjad i peningkatan suhu gelatinisasi lebih dari 10% dari pati jagung tanpa HMT. Menurut Gunaratne dan Corke (2007) peningkatan suhu gelatinisasi ini disebabkan karena proses modifikasi HMT menyebabkan rekristalisasi ko mponen granula pati sehingga menyebabkan pati yang dimodifikasi HMT menjadi lebih tahan terhadap panas sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menggelatinisasi.

Viskositas puncak dari profil gelatinisasi pati yang telah mengalami mod ifikasi HMT akan mengalami penurunan dikarenakan pembengkakan granula yang terbatas (Hormdok, 2007). Menurut Hoover dan Gunaratne dalam Ah mad (2009) penurunan viskositas maksimu m disebabkan karena interaksi rantai amilosa-amilosa, dengan rantai amilosa-amilopekt in yang terjadi selama proses modifikasi, sehingga antara moleku l menjad i leb ih rapat dan air lebih sulit untuk berpenetrasi ke dalam granula. HMT juga dapat meningkatkan viskositas pati seperti yang terjadi pada pati gandum (Hoover dan Vasanthan 1994). Menurut Adebowale et al (2005), rig iditas dari granula akan men ingkat setelah dimodifikasi dengan HMT akibat dari tidak tercukupinya proses gelatinisasi. Granula yang rigid akan lebih tahan terhadap pengadukan dan mengakibatkan nilai viskositas yang lebih tinggi.

Pati hasil modifikasi HMT memiliki pasta yang lebih stabil dengan viskositas pasta yang tetap konstan dibandingkan dengan pasta pati yang tidak dimodifikasi (Ah mad, 2009, dan Hormdok, 2007). Kestabilan suspensi pati selama pemanasan dan pengadukan dapat dilihat dari n ilai break down pasta pati. Gunaratne dan Corke (2007) melaporkan bahwa viskositas break down pati HMT lebih rendah daripada viskositas breakdown pati tanpa HMT. Pati ganyong juga memiliki break down yang rendah. Beberapa varietas ganyong bahkan tidak memiliki break down (Damayanti, 2009). Modifikasi pati ganyong dengan HMT yang dilaku kan oleh Watcharatewinkul (2009) memperlihatkan nilai break down yang semakin kecil bahkan tidak ada dengan semakin t ingginya kadar air.

Setelah mengalami pemanasan pati kemudian d idinginkan untuk diketahui profil gelatinisasinya akibat pendinginan. Pada pendinginan pasta pati ini HMT biasanya men ingkatkan viskositas akhir dari pasta pati alaminya, seperti yang terjadi p ada HMT pati sagu (Herawati, 2009, Purwani, et al, 2006), millet (Adebowale et al. 2005), sorgun merah dan sorgum putih (Adebowale et


(31)

al. 2005 dan Olayin ka et al. 2008), dan new cocoyam (Lawal, 2005). Gunaratne dan Corke (2007) melaporkan terjadinya peningkatan nilai viskositas akhir dan viskositas setback pada pati jagung.

Modifikasi HMT meningkatkan kekerasan gel dari pati (Hormdok, 2007; Collado dan Corke, 1999; Adebowale et al, 2005). Gel pati adalah sistem padat cair yang memiliki jaringan kontinu yang memerangkap fase cairan didalamnya. Adanya amilosa dalam fase kontinus menyebabkan pembentukan gel yang kuat saat pendinginan (Collado dan Corke, 1999). Meningkatnya kekuatan pati juga terjadi karena adanya pengaturan dan penyusunan kembali bagian amilos a dan amilopektin yang men ingkatkan gaya ikat intragranular (Adebowale et al, 2005). Kekerasan gel semakin men ingkat dengan semakin meningkatnya suhu dan lama modifikasi (Ho rmdok, 2007).

Selain itu swelling power (SP) atau pembengkakan pati juga dipengaruh i oleh perlakuan modifikasi pati dengan HMT. Modifikasi pati dengan metode HMT menurunkan nilai swelling power sehingga nilai SP lebih rendah dari pati alaminya (Adebowale et al, 2005; Lawal dan Adebowale, 2005; Collado dan Corke, 1999; Olayinka et al, 2008, Lawal 2005; Herawat i, 2009; Ahmad, 2009). Hasil dari HMT dan annealing meningkatkan kekerasan gel dari pati beras.

Menurut Adebowale et al. (2005), menurunnya nilai swelling power dikarenakan men ingkatnya kristalin itas pati setelah modifikasi sehingga membatasi air yang masuk kedalam pati dan membuat pati menjad i leb ih terbatas saat membengkak. Pembentukan ko mpleks amilosa-lemak dalam granula pati mungkin menyebabkan penurunan kapasitas swelling pati karena telah ditunjukkan bahwa amilosa menghambat pengembangan granula dibawah kondisi terbentuknya ko mpleks amilosa -lemak (Tester & morison, 1990, dalam Olayinka et al., 2008)

Penggunaan pati sagu yang dimodifikasi HMT dalam pembuatan mi o leh Purwan i et al (2006) menghasilkan mi yang dapat diperbaiki sifat kekerasan dan elastisitasnya, serta mengurangi kelengletan mi dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP/ cooking loss). Collado et al. (2001) juga melaporkan bahwa pati HMT menghasilkan sifat fisik mi yang tidak lengket.

2.5.

MI KERING

Mi merupakan salah satu jenis produk pasta yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia dan telah dikenal oleh seluruh masyarakat indonesia. Menurut Suyanti (2008) dalam Ahmad (2009) produk mi terdiri dari empat jenis yaitu mi segar, mi basah, mi kering, dan mi instan. Mi segar adalah mi dari proses pemotongan lembaran adonan atau ekstrusi adonan dengan kadar air 35% dengan daya simpan 50-60 jam dalam re frigerator. Mi basah adalah mi yang mengalami proses perebusan setelah pemotongan atau ekstrusi adonan. Masa simpannya singkat, hanya 40 jam pada suhu 28-30oC, yang dikarenakan kadar air mi ini mencapai 52%. Mi kering adalah mi segar yang dikeringkan dengan kadar air sekitar 8-10% sedangkan mi instan adalah mi matang yang dikeringkan dengan cara digoreng maupun dengan aliran udara panas.

Berdasarkan bahan bakunya, mi dapat dibagi menjadi 2 jen is mi yaitu mi terigu dan mi non -terigu. Mi terigu yaitu mi yang bahan baku utamanya menggunakan terigu atau campuran dengan tepung yang lain. Mi non-terigu terkadang disebut juga dengan mi berbasis pati. Yang tergolong ke dalam mi non terigu antara lain bihun, soun, dan mi gleser (bogor). Bihun merupakan makanan yang terbuat dari beras, sedangkan sohun terbuat dari pati kacang hijau atau pati kentang dan terkadang juga terbuat dari pati ubi jalar (di Korea disebut dangmyun atau tangmyon).

Pembuatan mi terigu melibatkan bahan-bahan tepung terigu, air, garam, dan guargum atau cmc. Menurut Sunaryo (1985) dalam Muchtadi (1991), fungsi dari te rigu dalam pembuatan mie adalah sebagai bahan pembentuk struktur dan sumber karbohidrat serta protein. Pada mi non -terigu sumber karbohidrat didapat dari pati ataupun tepung selain terigu yang digunakan. Air berfungsi sebagai media reaksi antara g luten dengan karbohidrat, pelarut garam, dan pembentukan sifat kenyal gluten. Fungsi garam adalah memberi rasa, memperkuat tekstur, men gikat air, serta meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi.

Widowati dan Buckle (1991) men jelaskan proses pembuatan mi terd ir i dari beberapa tahapan yaitu pencampuran, pembentukan adonan, pembentukan mi, pengukusan atau penguapan dan pengeringan. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringa n gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Oh et al (1985) menerangkan bahwa u mu mnya air yang ditambahkan sekitar 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran, sedangkan bila lebih dari 38% adonan menjadi basah dan lengket. Namun pada pembuatan mi berbasis pati kadar air yang digunakan justru lebih banyak sekitar 66-70% (Chansri et al, 2005).


(32)

Proses pembuatan mi non-terigu biasanya berbeda pada tahap pencampuran dan pembentukan mi yang biasanya menggunakan cara ekstrusi (Vasanthan dan Li, 2003). Cara pencampuran dan pembentukan adonan yang dilakukan oleh Chansri et al (2005) adalah dengan penggunaan binder (adonan pengikat dari pati tergelatinisasi). Proses pembutan mi pati adalah dengan mencampurkan pati kering dan pati yang sudah tergelatinisasi sehingga membentuk adonan yang tebal kemudian adonan diekstrusikan kedalam air yang mendid ih, didinginkan kedalam air dingin, pembekuan pada freezer, thawing pada air dingin dan pengeringan (Chansri et al, 2005).

Proses pembuatan mi pati secara tradisional juga menggunakan pencampuran pati kering dan pati tergelatinisasi sebanyak 5 - 10% dengan 90-95% pati kering dilu mat kan sebagai adonan pasta dan memiliki kadar air 55%. Pembekuan pada freezer seperti yang dilakukan o leh Chansri dapat tidak diterapkan karena menurut Kusnandar et al (1998) pembekuan pada freezer menjadikan sohun bersifat porous dan berwarna opaque. Selain itu proses non-freezing lebih sederhana dan efektif dalam hal biaya produksi, serta lebih banyak untaian sohun yang lurus daripada menggunakan metode freezing (Ro isah, 2009).

Karakteristik mi yang diinginkan adalah mi yang memiliki derajat putih tinggi (Muchtadi, 1991), keh ilangan padatan akibat pemasakan atau KPAP rendah, kekerasan yang cukup, kelengketan yang rendah, elastisitas yang tinggi, berat rehidrasi terbatas, persen pemanjangan yang tinggi dan kekuatan tarik yang tinggi (Muchtadi, 1991; Purwani, 2006; Ah mad, 2009; Hormdok, 2006; Lorlowhakarn, 2006; Roisah 2009; Chansri et al, 2005). Namun nilai target dari parameter tersebut dapat diambil dengan membandingkan nilai parameter produk target (mi terigu 100%).


(1)

Lampiran 10. Hasil olah data kekuatan gel dengan SPSS

KEKUATAN GEL

Between-Subjects Factors

Value Label N

Suhu 1.00 100 18

2.00 110 18

Waktu 1.00 4 12

2.00 8 12

3.00 16 12

kadar_air 1.00 20% 12

2.00 25% 12

3.00 30% 12

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: gel_strength

Source

Type III S um of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 1088491.660(a) 17 64028.921 1.022 .480 Intercept 24155259.040 1 24155259.040 385.568 .000

Suhu 186105.960 1 186105.960 2.971 .102

waktu 176819.355 2 88409.677 1.411 .270

kadar_air 466775.447 2 233387.723 3.725 .044*

suhu * waktu 206.112 2 103.056 .002 .998

suhu * kadar_air 7490.907 2 3745.453 .060 .942 waktu * kadar_air 209238.338 4 52309.585 .835 .521 suhu * waktu * kadar_air 41855.542 4 10463.885 .167 .952

Error 1127673.200 18 62648.511

Total 26371423.900 36

Corrected Total 2216164.860 35

a R Squared = .491 (Adjusted R Squared = .011)

UJI LANJUT DUNCAN Perlakuan kadar air

Homogeneous Subsets Dunc an

kadar_air

N Subset

1 2 1

20% 12 679.3333

25% 12 819.8167 819.8167

30% 12 958.2500

Sig. .186 .192

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 62648.511. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b Alpha = .05.


(2)

Lampiran 11. Hasil analisis sidik ragam variabel respon waktu pemasakan dengan RSM

Response 1 Waktu Pemasakan ANOVA for Mixture Quadratic Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 10.7175 5 2.1435 22.4832 < 0.0001 significant Linear

Mixture 10.3430 2 5.1715 54.2442 < 0.0001

AB 0.0238 1 0.0238 0.2504 0.6276

AC 0.3467 1 0.3467 3.6369 0.0856

BC 0.0099 1 0.0099 0.1042 0.7535

Residual 0.9533 10 0.0953

Lack of Fit 0.5549 5 0.1109 1.3927 0.3625 not significant Pure Error 0.3984 5 0.0796

Cor Total 11.6709 15

Lampiran 12. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dengan RSM

Response 2 KPAP

ANOVA for Mixture Linear Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 24.3654 2 12.1827 4.5966 0.0309 significant Linear

Mixture 24.3654 2 12.1827 4.5966 0.0309 Residual 34.4547 13 2.6504

Lack of Fit 19.7882 8 2.4735 0.8433 0.6055 not significant Pure Error 14.6665 5 2.9333


(3)

Lampiran 13. Hasil analisis sidik ragam variabel respon berat rehidrasi dengan RSM

Response 3 Berat rehidrasi ANOVA for Mixture Quadratic Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 34693.30 5 6938.66 3.6613 0.0383 significant Linear Mixture 14227.28 2 7113.64 3.7537 0.0608

AB 2511.41 1 2511.41 1.3252 0.2764 AC 6126.85 1 6126.85 3.2330 0.1024 BC 18308.00 1 18308.00 9.6606 0.0111 Residual 18951.20 10 1895.12

Lack of Fit 10747.80 5 2149.56 1.3102 0.3871

not

significant Pure Error 8203.40 5 1640.68

Cor Total 53644.50 15

Lampiran 14. Hasil analisis sidik ragam variabel respon persentase pemanjangan dengan RSM

Response 4

Persen pemanjangan ANOVA for Mixture Quadratic Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 444.3995 5 88.8799 7.2428 0.0041 significant

Linear

Mixture 389.8100 2 194.9050 15.8827 0.0008

AB 0.9272 1 0.9272 0.0756 0.7890

AC 0.7781 1 0.7781 0.0634 0.8063

BC 41.9863 1 41.9863 3.4214 0.0941

Residual 122.7153 10 12.2715

Lack of Fit 81.0704 5 16.2141 1.9467 0.2411 not

significant

Pure Error 41.6449 5 8.3290


(4)

Lampiran 15. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kekuatan tarik dengan RSM

Response 5 Kekuatan tarik ANOVA for Mixture Quadratic Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 306.0356 5 61.2071 9.5667 0.0014 significant Linear

Mixture 285.2113 2 142.6057 22.2893 0.0002 AB 20.3041 1 20.3041 3.1735 0.1052 AC 2.9655 1 2.9655 0.4635 0.5114 BC 6.0280 1 6.0280 0.9422 0.3546 Residual 63.9793 10 6.3979

Lack of Fit 43.3046 5 8.6609 2.0946 0.2182 not significant Pure Error 20.6747 5 4.1349

Cor Total 370.0148 15

Lampiran 16. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kekerasan mi (Hardness) dengan RSM

Response 6 Kekerasan

ANOVA for Mixture Quadratic Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 321758.6 5 64351.7 4.3657 0.0228 significant Linear

Mixture 270816.5 2 135408.3 9.1863 0.0054

AB 23351.1 1 23351.1 1.5842 0.2367

AC 33113.8 1 33113.8 2.2465 0.1648

BC 34674.8 1 34674.8 2.3524 0.1561

Residual 147401.9 10 14740.2

Lack of Fit 117580.6 5 23516.1 3.9428 0.0792

not

significant

Pure Error 29821.3 5 5964.3


(5)

Lampiran 17. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kelengketan (Adhesiveness) dengan RSM

Response 7 Kelengketan

ANOVA for Mixture Quadratic Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 0.0087 5 0.0017 3.7841 0.0349 significant Linear Mixture 0.0002 2 0.0001 0.2145 0.8106

AB 0.0048 1 0.0048 10.3176 0.0093

AC 0.0069 1 0.0069 14.8386 0.0032

BC 0.0039 1 0.0039 8.3503 0.0161

Residual 0.0046 10 0.0005

Lack of Fit 0.0021 5 0.0004 0.8091 0.5891 not

significant Pure Error 0.0026 5 0.0005

Cor Total 0.0134 15

Lampiran 18. Hasil analisis sidik ragam variabel respon elastisitas dengan RSM

Response 8 elastisitas ANOVA for Mixture Quadratic Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 0.0090 5 0.0018 18.2187 < 0.0001 significant Linear

Mixture 0.0087 2 0.0044 44.1929 < 0.0001 AB 0.0000 1 0.0000 0.0002 0.9901 AC 0.0001 1 0.0001 1.1550 0.3077 BC 0.0001 1 0.0001 1.1918 0.3006 Residual 0.0010 10 0.0001

Lack of Fit 0.0003 5 0.0001 0.4122 0.8235

not

significant Pure Error 0.0007 5 0.0001


(6)

Lampiran 19. Data hasil analisis kekerasan gel

suhu hmt (oC) lama hmt kadar air

rata-rata kekerasan (gF)

100.00

4 jam 20% 541.00 ± 275.35 25% 787.95 ± 41.93 30% 748.70 ± 38.18 8 jam 20% 553.45 ± 113.91

25% 693.75 ± 368.05 30% 862.15 ± 63.43 16 jam 20% 789.05 ± 585.98

25% 731.55 ± 175.15 30% 1017.50 ± 359.35

110.00

4 jam 20% 545.75 ± 5.59 25% 1041.45 ± 207.11 30% 938.55 ± 148.42 8 jam 20% 726.75 ± 382.76 25% 741.15 ± 177.41 30% 1054.50 ± 337.15 16 jam 20% 920.00 ± 104.79

25% 923.05 ± 145.03 30% 1128.10 ± 66.19

pati alami 400.40 ± 0.00