Teori Belajar Van Hiele

kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali bahwa kubus adalah balok, dan bahwa balok adalah prisma. Anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok dari keistimewaannya, yaitu memiliki tiga pasang sisi yang berhadapan dan sejajar. Pola pikir anak dalam tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal bidang suatu kubus itu sama panjang. 4. Tahap 3: Deduksi Deduction Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif. Penarikan kesimpulan secara deduktif didefinisikan oleh Wardhani 2008 sebagai penarikan kesimpulan tentang hal khusus yang berpijak pada hal umum atau hal yang sebelumnya telah dibuktikan atau diasumsikan kebenarannya. Selain itu, dalam tahap ini anak juga telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur- unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu pada tahap ini anak sudah mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian. 5. Tahap 4: Keakuratan Rigor Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang mendasari suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui petingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pembelajaran geometri. Teori yang dikemukakan Van Hiele antara lain adalah sebagai berikut. Tiga unsur utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran, dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya. Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Sebagai contoh, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya membuktikan bahwa sebuah bidang tegak lurus dengan bidang lain pada sebuah kubus, misalnya anak itu berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap yang disebutkan, pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa kedua bidang tersebut tegak lurus. Contoh yang lain, seorang anak yang berada paling tinggi, pada tahap kedua atau tahap analisis, tidak mengerti apa yang dijelaskan gurunya bahwa kubus itu adalah balok. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang diberi penjelasan tersebut tidak memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tahap yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada tahap yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian Van Hiele, dalam Ismail: 1998. Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau disesuaikan dengan tahap berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya. Sesuai dengan tahap berpikir geometri yang telah dijelaskan sebelumnya, Van Hiele menciptakan 5 fase pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berfikir geometri siswa dari tingkat dasar ke tingkat berikutnya secara berurutan, yaitu informasi information, orientasi langsung directed orientation, eksplisitasi explicitation, orientasi bebas free orientation dan integrasi integration. Pembelajaran geometri model Van Hiele ini tentunya hanya dapat diterapkan dalam pembelajaran geometri Pierre H. Van Hiele: 1959, Clements Battista: 1992. Fase pembelajaran tersebut akan digunakan dalam penelitian ini dan selengkapnya akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

2.1.2. Pembelajaran dan Pembelajaran Matematika

Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pembelajaran merupakan sebuah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar. Pembelajaran juga merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Salah satu pembelajaran yang diajarkan di sekolah adalah pembelajaran matematika. Menurut Erman Suherman 2003 matematika adalah disiplin ilmu tentang tata cara berikir dan mengolah logika, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Pendapat lain mengatakan bahwa matematika bersifat abstrak dan berasal dari abstraksi dan generalisasi benda-benda khusus dan gejala-gejala umum Eves and Newsom dalam Suyitno, 2014. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses interaksi antara peserta didik dan pendidik yang melibatkan pengembangan pola berpikir dan mengolah logika pada suatu lingkungan belajar yang sengaja diciptakan oleh guru dengan berbagai metode agar program belajar matematika tumbuh dan berkembang secara optimal dan siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien. Pembelajaran matematika sendiri memiliki beberapa tujuan. Tujuan pembelajaran matematika yang dirumuskan oleh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Depdiknas: 2006 adalah agar peserta didik memiliki kemampan sebagai berikut. 6. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, serta luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 7. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika, dan membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan, dan pernyataan matematika. 8. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 9. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 10. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Sejalan dengan tujuan di atas, dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk menganalisis kemampuan komunikasi matematis siswa.

2.1.3. Pembelajaran Geometri

Geometri merupakan salah satu cabang matematika. Djati 2003 mengungkapkan bahwa geometri adalah ilmu mengenai bangun, bentuk, dan ukuran benda-benda. Dengan kata lain geometri bisa dikatakan sebagai ilmu pengukuran tentang bumi. Ada beberapa alasan geometri perlu diajarkan. Menurut Charles sedikitnya ada empat alasan mengapa geometri perlu diajarkan. Pertama, keindahan logis dan presisi geometri memiliki daya tarik sejak zaman Yunani kuno. Geometri adalah salah satu prestasi besar dari pikiran manusia, dan selama 2000 tahun orang percaya bahwa geometri dibuat oleh orang yang benar-benar terdidik. Geometri dirasa menjadi salah satu hal yang kebenarannya jelas, karena setiap pernyataan dapat ditunjukkan tanpa ragu. Setiap memberikan alasan dalam