BUKU AJAR MATAKULIAH FARMAKOTERAPI 1.

(1)

FARMAKOTERAPI 1

FA 934220

Luh Putu Febryana Larasanty,S.Farm.,M.Sc.,Apt.

198402222008012008

Dewa Ayu Swastini, S.F.,M.Farm.,Apt.

197905162006042002

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ajar untuk matakuliah

Farmakoterapi 1 . Buku ajar ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa yang

mengambil matakuliah Farmakoterapi 1 dan dosen pengampu matakuliah Farmakoterapi 1.

Buku ajar ini terdiri atas 5 pokok bahasan yang masing – masing memiliki sub bab untuk masing

– masing materi pokok yang disusun sistematis dengan harapan memudahkan dalam

memahami pokok bahasan tersebut.

Buku ajar yang penulis susun masih jauh dari sempurna. Saran dan masukan dalam

penulisan buku ajar ini akan sangat membantu dalam proses perbaikan dan perkembangan

buku ajar sehingga dapat menunjang proses belajar mengajar, khususnya pada matakuliah

Farmakoterapi 1.

Jimbaran, Januari 2013


(3)

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……….

i

Daftar Isi……… ………

ii

BAB I FARMAKOTERAPI HIPERTENSI……….

1

A. Pendahuluan……… …..

2

B. Pengenalan Penyakit……….

4

C. Tatalaksana Terapi……… ……….

16

D. Penutup……… .

26

BAB II FARMAKOTERAPI DISLIPIDEMIA………

28

A. Pendahuluan……… …..

29

B. Pengenalan Penyakit……….

32

C. Tatalaksana Terapi Dislipidemia………

37

D. Penutup……… .

48

BAB III FARMAKOTERAPI GANGGUAN GINJAL KRONIK………

50

A. Pendahuluan……… …..

51

B. Pengenalan Penyakit……….

52

C. Tatalaksana Terapi Gangguan Ginjal Kronik………

62

D. Penutup……… .

72

BAB IV FARMAKOTERAPI STROKE ISKEMIK………..

74

A. Pendahuluan……… …..

75

B. Pengenalan Penyakit Stroke Iskemik……….

77

C. Tatalaksana Terapi Akut Stroke Iskemik……….

83

D. Tatalaksana Terapi Pencegahan Serangan Ulang Stroke Iskemik………

95

E. Penutup……… .

104

BAB V FARMAKOTERAPI STROKE PERDARAHAN………..

106

A. Pendahuluan……… …..

107

B. Pengenalan Penyakit Stroke Perdarahan Intraserebral………..

110

C. Tatalaksana Terapi Stroke Perdarahan Intraserebral………

114

D. Pengenalan Penyakit Stroke Perdarahan Subaraknoid………

121

E. Tatalaksana Terapi Stroke Perdarahan Subarakhnoid………..

126

F. Profil Obat Pasien Stroke Perdarahan………..

129


(4)

1

BAB I

FARMAKOTERAPI

HIPERTENSI

Oleh :

LUH PUTU FEBRYANA LARASANTY 198402222008012008

1. Indikator Pencapaian : Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan definisi hipertensi, klasifikasi hipertensi, etiologi dan patofisiologi penyakit hipertensi, faktor resiko serta tatalaksana terapi non farmakologi dan farmakologi hipertensi.

2. Materi Pokok : 2.1. Pendahuluan

2.2. Pengenalan Penyakit Hipertensi 2.3. Tatalaksana Terapi


(5)

2 A. PENDAHULUAN

Worlds Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang diperkirakan telah menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global. Prevalensi terjadinya hipertensi di negara berkembang dan di negara maju hampir setara (Muchid dkk, 2006). Diseluruh dunia prevalensi terjadinya hipertensi diperkirakan sebanyak 1 milyar orang, dan sekitar 7,1 juta kematian pertahun dapat disebabkan karena hipertensi (NHBPEP, 2004). Di Amerika Serikat hampir sekitar 72 juta masyarakatnya mengalami hipertensi, yang juga disebut sebagai tekanan darah tinggi. Diperkirakan hampir sekitar 30% orang dewasa di Amerika mengalami hipertensi, membuatnya menjadi kondisi medis kronis yang paling sering ditemukan. Hipertensi juga merupakan salah satu faktor resiko yang paling signifikan untuk mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskular yang terjadi karena kerusakan organ target pada pembuluh darah jantung, otak, ginjal dan mata. Komplikasi hipertensi dapat berwujud penyakit vaskular atherosklerosis atau bentuk lain dari penyakit kardiovaskular (Saseen, 2009). Laporan WHO menyebutkan bahwa tekanan darah sub optimal (tekanan darah sistolik > 115 mmHg) bertanggung jawab terhadap 62% penyakit serebrovaskular dan 49% penyakit jantung iskemik (NHBPEP, 2004).

Hipertensi merupakan isu medis dan kesehatan masyarakat yang penting dan terus mengalami peningkatan. Prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan peningkatan usia, dimana hampir separuh orang dengan usia 60 – 69 tahun mengalami hipertensi dan meningkat sampai dengan tiga per empat pada mereka yang berusia 70 tahun dan lebih tua. Peningkatan tekanan darah sistolik yang terkait usia merupakan penyebab utama pada peningkatan insidensi dan prevalensi hipertensi seiring peningkatan usia (NHBPEP, 2004).

Kewaspadaan, perawatan dan kontrol terhadap hipertensi belumlah optimal. Berdasarkan data terbaru dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada tahun 2003 – 2004, hanya sekitar 76% pasien yang benar – benar mengalami hipertensi terdiagnosa untuk kondisi medis ini, selebihnya masih belum


(6)

3 terdiagnosa. Hanya sekitar 65% pasien dengan hipertensi yang menerima sejumlah bentuk perawatan untuk penyakitnya tersebut. Dan akhirnya, statistik yang paling mengecewakan adalah bahwa hanya sekitar 37% pasien dengan hipertensi, termasuk mereka yang hipertensinya belum terdiagnosa, yang tekanan darahnya dapat terkontrol dengan baik (Saseen, 2009). Kepatuhan terhadap terapi merupakan isu lain yang perlu diperhatikan dalam terapi hipertensi. Hampir 50% pasien yang memperoleh obat antihipertensi tidak meminum obat sesuai yang dianjurkan. Untuk dapat mencapai target tekanan darah yang diinginkan, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ketaan pasien terhadap pengobatannya. Pendekatan yang paling efektif adalah dengan kombinasi strategi seperti edukasi, modifikasi sikap dan sistem yang mendukung. Praktek evidence-based medicine untuk hipertensi termasuk di dalamnya adalah memilihkan obat antihipertensi yang sesuai didasarkan pada data klinik pasien. Dengan pemilihan obat yang tepat dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan organ akibat hipertensi. Selain itu dengan membantu pasien memodifikasi pola hidupnya juga dapat membantu pasien mencapai tujuan terapi (Muchid, 2006). Adanya panduan tatalaksana terapi dapat mendukung managemen hipertensi pada pasien. Panduan ini dapat meningkatkan kewaspadaan, pencegahan, terapi dan kontrol terhadap hipertensi (NHBPEP, 2004).


(7)

4 B. PENGENALAN PENYAKIT

1. Definisi dan Klasifikasi

Diagnosa hipertensi didasarkan pada pengukuran yang berulang, reproduksibel dari peningkatan tekanan darah. Klasifikasi tekanan darah oleh Joint National Committee (JNC) 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis(Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cendrung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Pasien dengan prehipertensi, yang juga mengalami diabetes atau gangguan ginjal, harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk mendapatkan terapi obat yang sesuai apabila modifikasi gaya hidup gagal untuk menurunkan tekanan darah menjadi 130/80 mmHg atau kurang. Pasien hipertensi stage 2 harus mendapatkan terapi obat baik tunggal maupun dalam kombinasi (Katzung, 2003; NHBPEP, 2004).

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik (mmHg)

Tekanan Darah Diastolik (mmHg)

Normal < 120 dan < 80

Prehipertensi 120 – 139 atau 80 – 89

Hipertensi Stage 1 140 – 159 atau 90 – 99

Hipertensi Stage 2 ≥ 160 atau ≥ 100

Krisis hipertensi merupakan situasi klinis dimana tekanan darah sangat meningkat, utamanya lebih besar dari 180/120 mmHg, yang kemudian dikategorikan sebagai hipertensi gawat darurat atau hipertensi urgensi. Hipertensi gawat darurat merupakan peningkatan tekanan darah ekstrim yang diikuti dengan kerusakan organ target akut atau progresif. Hipertensi urgensi merupakan peningkatan tekanan darah yang tinggi tanpa kerusakan organ target akut atau progresif (Saseen & Maclaughlin, 2008).


(8)

5 2. Etiologi dan Patofisiologi

A. Etiologi (Saseen & Maclaughlin, 2008)

Hipertensi dapat merupakan hasil dari etiologi patofisiologi yang tidak diketahui (hipertensi primer atau essensial). Hipertensi jenis ini tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol. Sejumlah kecil pasien memiliki penyebab spesifik untuk kondisi hipertensinya (hipertensi sekunder). Terdapat banyak penyebab potensial hipertensi sekunder, baik berupa kondisi medis yang bersamaan atau induksi endogen. Apabila penyebabnya dapat diidentifikasi, jenis hipertensi ini potensial dapat disembuhkan.

a. Hipertensi essensial

Lebih dari 90% individu dengan hipertensi memiliki jenis hipertensi essensial. Banyak mekanisme telah diidentifikasikan dapat berkontribusi terhadap patogenesis hipertensi essensial, Sehingga tidak mungkin dapat mengetahui penyebab abnormalitas yang utama. Faktor genetik memiliki peran penting dalam perkembangan hipertensi essensial. Terdapat bentuk monogenik dan poligenik dari disregulasi tekanan darah yang bertanggung jawab terhadap hipertensi essensial. Banyak fitur sifat genetik ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, namun mutasi genetik akan mengubah ekskresi urinari kalikrein, pelepasan nitrit okside, dan ekskresi aldosteron, steroid adrenal lainnya, dan angiotensin. Di masa depan, identifikasi individu dengan sifat genetiknya dapat menjadi pendekatan alternatif untuk mencegah atau menterapi hipertensi, namun saat ini belum dapat direkomendasikan.

b. Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% pasien mengalami hipertensi sekunder yang mana penyakit komorbid atau obat dapat bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan darah (tabel 2). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal yang disebabkan penyakit ginjal kronik yang parah atau penyakit renovaskular merupakan penyebab sekunder yang paling sering. Beberapa obat, baik langsung maupun tidak langsung, dapat menyebabkan hipertensi atau memperburuk hipertensi dengan meningkatkan tekanan darah. Tabel 2 berisi daftar agen yang paling sering menyebabkan hipertensi, dimana beberapa diantaranya adalah produk herbal.


(9)

6 Walaupun secara teknis bukanlah obat, namun produk herbal ini juga telah diidentifikasi sebagai penyebab sekunder. Apabila penyebab sekunder telah teridentifikasi, menghilangkan agen penyebab (apabila memungkinkan) atau menterapi/mengkoreksi kondisi komorbid yang mendasari merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan (Saseen & Maclaughlin, 2008).

Tabel 2. Penyebab sekunder hipertensi

Penyakit Obat yang terkait dengan hipertensi pada manusia Penyakit ginjal kronik

Sindrom Cushing’s

Coarctation of the aorta Obstructive sleep apnea

Penyakit Paratiroid Feokromositoma Aldosteronisme primer Penyakit Renovaskular Penyakit Tiroid

Obat keras (dengan resep)a

Steroid adrenal (misalnya prednison, fludrokortison, triamsinolon)

Amfetamin/anoreksian (misalnya fendimetrazine, fentermine, sibutramine)

Obat antivaskular endothelin growth factor

(bevacizumab, sorafenib, sunitinib), estrogen (biasanya kontrasepsi oral)

Inhibitor kalsineurin (siklosporin dan trakolimus) Dekongestan (fenilpropanolamin dan analognya)

Erythropoiesis stimulating agents (erithropoietin dan darbepoietin)

Obat antiinflamasi nonsteroid, inhibitor siklooksigenase-2

Lain – lain : venlafaksin, bromokriptin, bupraprion, buspirone, karbamazepine, klozapine, desulfrane, ketamin, metoklopramide

Situasi : beta bloker atau alfa agonis aksi sentral (apabila secara tiba – tiba dihentikan); beta bloker tanpa alfa bloker saat pertama kali digunakan untuk terapi feokromositoma

Narkotika dan obat – obat berbahaya Kokain dan penghentian kokain

Alkaloid efedrin (misalnya Ma-Huang), “ekstasi herbal”, analog fenilpropanolamin lainnya

Penghentian nikotin, steroid anabolik, penghentian narkotik, metilphenidate, fensiklidin, ketamin, ergotamin dan produk herbal yang mengandung ergot, St. John’s wort

Substansi makanan Natrium Etanol Licorice

Makanan yang mengandung tiramin apabila mendapatkan obat inhibitor monoamine oksidase a. Obat yang paling penting secara klinik


(10)

7 B. Patofisiologi (Saseen & Maclaughlin, 2008; Riaz, 2011)

Patogenesis dari hipertensi essensial sangat multifaktorial dan kompleks. Sejumlah faktor mengatur tekanan darah agar dapat menghasilkan perfusi jaringan yang adekuat, termasuk di dalamnya adalah mediator humoral, reaktivitas vaskular, sirkulasi volume darah, mutu pembuluh darah, viskositas darah, output jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis dari hipertensi esensial kemungkinan melibatkan beberapa faktor, termasuk perubahan genetik, intake diet garam yang berlebih dan kesesuaian hormon andrenergik dapat saling berinteraksi untuk menyebabkan terjadinya hipertensi. Walaupun genetika tampaknya berkontribusi terhadap munculnya hipertensi esensial, mekanisme yang tepat tentang bagaimana pengaruhnya, sampai saat ini belum dapat dipastikan (Riaz, 2011).

a. Tekanan darah arteri

Tekanan darah arteri adalah tekanan pada dinding arteri yang diukur dalam milimiter raksa (mmHg). Terdapat 2 tipe tekanan darah arteri yaitu tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Tekanan darah sistolik diperoleh selama kontraksi jantung dan mewakili nilai puncak tekanan darah. Tekanan darah diastolik dicapai setelah kontraksi pada saat ruang jantung terisi darah, dan mewakili nilai nadir. Perbedaan antara tekanan darah sistolik dan distolik disebut tekanan nadi dan merupakan ukuran tekanan dinding arteri. Tekanan darah arteri rata – rata merupakan tekanan rata – rata sepanjang siklus kontraksi jantung, kadang – kadang digunakan secara klinis untuk mewakili keseluruhan tekanan darah arteri, terutama dalam keadaan hipertensi darurat (Saseen & Maclaughlin, 2008).

Sepanjang siklus jantung, duapertiga waktu dihabiskan untuk diastole dan sepertiga untuk sistole. Konsekuensinya tekanan arteri rata – rata dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

Tekanan Arteri Rata – rata : (SBP . 1/3) + (DBP . 2/3)

Tekanan darah arteri secara hemodinamik dihasilkan oleh interaksi antara aliran darah dan tahanan terhadap aliran darah. Hal ini secara matematika didefinisikan sebagai hasil dari curah jantung dan tahanan perifer total menggunakan persamaan di bawah ini :


(11)

8 Tekanan Darah : Curah Jantung . Tahanan Perifer Total

(cardiac ouput) . (total peripheral resistance)

Tabel 3. Mekanisme potensial patogenesis hipertensi (Saseen & Maclaughlin, 2008) Tekanan darah secara matematis merupakan hasil dari curah jantung dan tahanan perifer.

Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan dari peningkatan curah jantung dan/atau peningkatan tahanan perifer total.

Peningkatan curah jantung Peningkatan preload jantung :

peningkatan volume cairan dari intake natrium yang berlebihan atau retensi natrium ginjal (karena penurunan jumlah nefron atau penurunan filtrasi

glomerulus Kontraksi vena

Stimulasi berlebih dari sistem renin-angiotensin-aldosteron

Overaktivitas sistem syaraf simpatik Peningkatan tahanan perifer Penyempitan pembuluh darah fungsional

Stimulasi berlebih dari sistem renin-angiotensin-aldosteron

Overaktivitas sistem syaraf simpatik Perubahan genetik membran sel

Endothelial-derived factors

Hipertrofi pembuluh darah struktural

Stimulasi berlebih dari sistem renin-angiotensin-aldosteron

Overaktivitas sistem syaraf simpatik Perubahan genetik membran sel

Endothelial-derived factors

Hiperinsulinemia disebabkan karena obesitas atau sindrom metabolik

Curah jantung merupakan penentu utama dari tekanan darah sistolik, sedangkan tahanan perifer total sangat menentukan tekanan darah diastolik. Pada gilirannya, curah jantung merupakan fungsi dari volume stroke, denyut jantung, dan kapasitas vena. Pada kondisi fisiologis normal, tekanan darah arteri berfluktuasi sepanjang hari. Fluktuasi ini mengikuti ritme sirkadian, yang mana turun ke nilai paling rendah setiap harinya selama tidur. Diikuti dengan kenaikan tajam mulai dari beberapa jam sebelum terbangun dan nilai tertinggi terjadi menjelang siang hari. Tekanan darah juga meningkat akut selama aktivitas fisik atau stress emosional. Tabel 3 memuat beberapa faktor yang dapat meningkatkan curah jantung dan tahanan perifer total yang kemudian dapat meningkatkan tekanan darah (Saseen & Maclaughlin, 2008).


(12)

9 Gambar 1. Mekanisme patofisiologi hipertensi

(http://www.ucla.edu.ve/dmedicin/magazine/fisiopatologia/fisiopatologia-temas-010_archivos/frame.htm) b. Mekanisme humoral

Sejumlah abnormalitas humoral ambil bagian dalam munculnya hipertensi essensial. Abnormalitas ini melingkupi sistem renin-angiotensin-aldosteron, hormon natriuretik dan hiperinsulinemia.

i. Sistem renin-angiotensin-aldosteron

Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) merupakan sistem endogen kompleks yang terlibat dengan sebagian besar komponen pengatur tekanan darah arteri. Aktivasi dan pengaturan sistem ini, utamanya diatur oleh ginjal (gambar 2). Sistem RAA mengatur natrium, kalium dan keseimbangan cairan. Karenanya sistem ini secara signifikan berpengaruh terhadap tonus vaskular dan aktivitas sistem syaraf simpatik dan merupakan kontributor yang paling berpengaruh terhadap pengaturan homeostatik dari tekanan darah.

Renin merupakan enzim yang tersimpan pada sel jukstaglomerular, yang lokasinya pada arteriola afferent ginjal. Pelepasan renin dimodulasi oleh beberapa faktor : faktor intrarenal (misalnya : tekanan perfusi ginjal, katekolamin, angiotensin II), dan faktor ekstrarenal (misalnya : natrium, klorida dan kalium). Sel jukstaglomerular berfungsi sebagai bagian baroreseptor. Penurunan tekanan


(13)

10 arteri ginjal dan aliran darah ginjal akan dirasakan oleh sel ini dan akan menstimulasi sekresi renin. Apparatus jukstaglomerular juga mencakup sekelompok sel tubulus distal khusus yang secara kolektif disebut sebagai macula densa. Penurunan kadar natrium dan klorida akan dikirim ke tubulus distal dan menstimulasi pelepasan renin. Katekolamin akan meningkatkan pelepasan renin kemungkinan secara langsung melalui stimulasi syaraf simpatik pada arteriola afferent yang pada gilirannya akan mengaktivasi sel jukstaglomerular. Penurunan serum kalium dan/atau kalsium intraseluler akan terdeteksi oleh sel jukstaglomerular menghasilkan sekresi renin.

Gambar 2. Sistem renin – angiotensin – aldosteron (Saseen & Maclaughlin, 2008) Renin mangkatalisasi konversi angiotensinogen menjadi angiotensin I pada darah. Angiotensin I kemudian akan dikonversi menjadi angiotensin II oleh angiotensin-converting enzyme (ACE). Setelah berikatan pada reseptor yang spesifik (diklasifikasikan sebagai sub tipe AT1 atau AT2), angiotensin II akan menimbulkan efek biologik pada beberapa jaringan. Reseptor AT1 berlokasi pada


(14)

11 otak, ginjal, miokardium, pembuluh darah perifer dan kelenjar adrenal, merupakan reseptor yang memediasi sebagian besar respon akut pada fungsi ginjal dan kardiovaskular, sehingga berperan dalam pengaturan tekanan darah.

Sirkulasi angiotensin II dapat meningkatkan tekanan darah melalui tekanan dan efek volume. Efek tekanan termasuk vasokontriksi langsung, stimulasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dan secara sentral akan memediasi peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatik. Angiotensin II juga menstimulasi sintesis aldosteron dari korteks adrenal. Hal ini akan memicu reabsorpsi natrium dan air yang akan meningkatkan volume plasma, tahanan perifer total, dan kemudian peningkatan tekanan darah. Secara jelas, setiap gangguan pada tubuh yang memicu aktivasi sistem RAA dapat memicu terjadinya hipertensi kronik. ii. Hormon natriuretik

Hormon natriuretik menghambat natrium dan kalium-adenosin trifosfat sehingga mengganggu transport natrium melintasi membran sel. Cacat bawaan pada kemampuan ginjal untuk mengeliminasi natrium dapat menyebabkan peningkatan volume darah. Kompensasinya adalah peningkatan konsentrasi hormon natriuretik tersirkulasi, yang secara teoritis dapat meningkatkan ekskresi urinari dari natrium dan air. Namun hormon yang sama ini juga dapat memblok transport aktif dari natrium keluar dari sel otot polos arteriolar. Peningkatan konsentrasi natrium intraseluler dapat meningkatkan tonus vaskular dan tekanan darah. iii. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia

Munculnya hipertensi dan hubungannya dengan abnormalitas metabolik disebut sebagai sindrom metabolik. Secara hipotesis, peningkatan konsentrasi insulin dapat memicu hipertensi karena peningkatan retensi natrium ginjal dan mengganggu aktivitas sistem syaraf simpatik. Lebih lagi, insulin memiliki aksi seperti hormon pertumbuhan yang mana dapat menginduksi terjadinya hipertrofi pada sel otot polos pembuluh darah. Insulin juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan kalsium intraseluler, yang mana dapat memicu peningkatan resistensi vaskular. Mekanisme pasti bagaimana resistensi insulin dan hiperinsulinemia dapat menimbulkan hipertensi masih belum diketahui. Namun


(15)

12 demikian, hubungannya sangat kuat karena populasi yang mengalami obesitas abdominal, dislipidemia dan peningkatan glukosa puasa sangat sering ditemui pada pasien hipertensi (Saseen & Maclaughlin, 2008).

c. Regulasi neuronal

Sistem syaraf pusat dan autonomik secara intrinsik terlibat pada pengaturan tekanan darah arteri. Sejumlah reseptor baik yang meningkatkan atau menghambat pelepasan norefinefrin terletak pada permukaaan presinaptik dari terminal simpatik. Tujuan dari mekanisme neuronal ini adalah untuk mengatur tekanan darah dan mempertahankan homeostasis. Gangguan patologik pada salah satu dari 4 komponen utama yang meliputi serabut syaraf autonom, reseptor adrenergik, baroreseptor, atau sistem syaraf pusat dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah kronik. Sistem ini secara fisiologis saling berhubungan. Cacat pada satu komponen dapat menyebabkan gangguan pada fungsi normal komponen yang lain, dan hal tersebut akan menyebabkan terjadinya akumulasi abnormalitas yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya hipertensi esensial.

d. Komponen autoregulasi perifer

Abnormalitas pada ginjal atau sistem jaringan autoregulator dapat menyebabkan hipertensi. Kemungkinan besar yang terjadi pertama kali adalah gangguan pada ekskresi natrium ginjal, yang dapat menyebabkan perubahan setting pada proses autoregulator jaringan shingga menghasilkan tekanan darah arteri yang lebih besar. Ginjal biasanya mempertahankan tekanan darah normal melalui mekanisme adaptif volume-tekanan. Bilamana tekanan darah turun, ginjal akan memberikan respon dengan meningkatkan retensi terhadap natrium dan air. Perubahan ini akan memicu ekspansi volume plasma yang dapat meningkatkan tekanan darah. Sebaliknya, apabila tekanan darah meningkat diatas normal, ekskresi natrium dan air akan ditingkatkan untuk menurunkan volume plasma dan curah jantung. Mekanisme ini akan mempertahankan homeostatik kondisi tekanan darah. e. Mekanisme endothelial pembuluh darah

Endotel pembuluh darah dan otot polos memegang peran penting dalam pengaturan tonus pembuluh darah dan tekanan darah. Fungsi pengaturan ini dimediasi


(16)

13 melalui substansi vasoaktif yang disintesis oleh sel endothelial. Telah dipostulasikan bahwa defisiensi sintesis lokal pada substansi vasodilator (protasiklin dan bradikinin) atau berlebihnya substansi vasokontriktor (angiotensin II dan endothelin I) berkontribusi terhadap hipertensi essensial, atherosclerosis dan penyakit kardiovaskular lainnya.

Nitrit okside diproduksi di endothelium, merelaksasi epithelium pembuluh darah, dan merupakan vasodilator yang sangat potent. Sistem nitrit okside merupakan pengatur tekanan darah arteri yang sangat penting. Pasien dengan hipertensi dapat memiliki defisiensi intrinsik nitrit okside, menyebabkan vasodilatasi yang tidak adekuat.

f. Elektrolit dan senyawa kimia lainnya

Data epidemiologi dan klinis menunjukan adanya hubungan antara intake natrium yang berlebih terhadap terjadinya hipertensi. Penelitian pada populasi mengindikasikan diet tinggi garam berhubungan dengan kemungkinan terjadinya stroke dan hipertensi. Sebaliknya, diet rendah garam dihubungkan dengan prevalensi hipertensi yang rendah.

Perubahan homeostasis kalsium juga memegang peranan penting dlam patogenesis hipertensi. Kurangnya asupan kalsium dari makanan secara hipotetis dapat mengganggu keseimbangan antara kalsium intraseluler dan ekstraseluler, menghasilkan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Ketidakseimbangan ini dapat mengganggu fungsi otot polos vascular dengan terjadinya peningkatan tahanan vascular perifer. Peran fluktuasi kalium sampai saat ini belum dapat dipahami dengan baik (Saseen & Maclaughlin, 2008).

3. Manifestasi Klinik

Secara umum, pasien yang mengalami hipertensi dapat terlihat sangat sehat. Beberapa pasien dapat memiliki beberapa faktor resiko kardiovaskular tambahan, misalnya :

a. Usia (≥ 55 tahun untuk pria dan 65 tahun untuk wanita) b. Diabetes mellitus


(17)

14 c. Dislipidemia (peningkatan low-density lipoprotein-cholesterol, kolesterol total,

dan/atau trigliserid; penurunan high-density lipoprotein-cholesterol) d. Mikroalbuminuria

e. Riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dini f. Obesitas (indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2 g. Inaktif secara fisik

h. Merokok (Saseen & Maclaughlin, 2008).

Kebanyakan pasien tidak menunjukan gejala (asimptomatik), sehingga banyak pasien yang tidak waspada terhadap adanya hipertensi. Beberapa gejala yang dapat muncul pada pasien hipertensi antara lain :

a. Sakit kepala, merupakan gejala yang paling sering terjadi, namun sangat tidak spesifik. Sakit kepala berdenyut pada daerah suboccipitalis, yang biasanya muncul pada awal pagi hari dan mereda pada siang hari, dikatakan sebagai karakteristik hipertensi, namun berbagai jenis sakit kepala dapat muncul. b. Somnolence

c. Bingung

d. Gangguan visual

e. Mual dan muntah (hipertensi ensefalopati) (McPhee & Massie, 2006).

Selain melihat gejala hipertensi, pemeriksaan fisik diperlukan untuk mengetahui penyebab hipertensi, durasi dan keparahannya, serta tingkat pengaruhnya pada organ target. Tanda hipertensi yang dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik antara lain :

a. Tekanan darah : pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada kedua lengan, dan apabila denyut pada ekstremitas bawah diminished atau delayed, pada kaki untuk mengeksklusi koartasi dari aorta. Penurunan ortostatik biasanya muncul pada feokromositoma. Pada pasien usia lanjut dapat terjadi kesalahan pembacaan peningkatan tekanan darah pada sphygmomanometri dikarenakan pembuluh darah yang tidak kompresibel. Kadang kala, mungkin diperlukan pengukuran langsung pada tekanan intra-arterial, terutama pada pasien hipertensi berat yang tidak toleran terhadap terapi.


(18)

15 b. Retina : penyempitan diameter arteri sampai kurang dari 50% dari diameter vena, munculnya serat berwarna tembaga atau perak, eksudat, perdarahan atau papilledema dihubungkan dengan prognosis yang buruk.

c. Jantung dan arteri : pelebaran ventrikel kiri dengan ventrikel kiri yang menyembul mengindikasikan hipertrofi yang berat dan lama. Pasien yang lebih tua seringkali mengalami murmur ejeksi sistolik yang disebabkan kalsifikasi aorta sklerosis.

d. Denyut nadi : waktu nadi ekstremitas atas dan bawah harus dibandingkan untuk mengeksklusi koartasi dari aorta. Semua denyut nadi perifer utama harus dievaluasi untuk mengeksklusi diseksi aorta dan atherosklerosis perifer, yang mungkin berhubungan dengan keterlibatan arteri ginjal (McPhee & Massie, 2006).

Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan termasuk diantaranya adalah pemeriksaan hemoglobin, urinalisis dan fungsi ginjal untuk mendeteksi hematuria, proteinuria, dan warna tambahan (casts), untuk menandai adanya penyakit ginjal primer atau nefrosklerosis, penentuan konsentrasi serum K+, konsentrasi aldosteron plasma, dan aktivitas plasma renin dan perhitungan rasio plasma aldosteron/renin untuk mendeteksi kelebihan mineralokortikoid. Pemeriksaan level gula darah puasa, karena hiperglikemia berkaitan dengan diabetes dan feokromositoma, lipid plasma sebagai indikator resiko atherosklerosis dan sebagai tambahan target terapi. Pemeriksaan serum asam urat, yang mana bila meningkat merupakan kontraindikasi relatif penggunaan terapi diuretik (McPhee & Massie, 2006).


(19)

16 C. TATALAKSANA TERAPI

Tujuan utama terapi antihipertensi adalah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal. Biasanya, satu – satunya tanda dari hipertensi essensial hanyalah peningkatan tekanan darah. Hasil pemeriksaan fisik lainnya dapat saja normal. Evaluasi medis yang lengkap direkomendasikan setelah diagnosa untuk mengidentifikasi penyebab sekunder, mengidentifikasi faktor resiko kardiovaskular atau kondisi komorbid dan untuk menilai ada atau tidaknya kerusakan organ target terkait hipertensi. Data tersebut dapat digunakan untuk menetapkan prognosis dan/atau panduan terapi (Saseen & Maclaughlin, 2008).

Kebanyakan orang dengan hipertensi, khususnya mereka dengan usia > 50 tahun akan mencapai target tekanan darah diastolik pada saat target tekanan darah sistolik tercapai, fokus utama adalah untuk mecapai target tekanan darah sistolik. Target tekanan darah sistolik dan diastolik < 140/90 mmHg dihubungkan dengan penurunan komplikasi penyakit kardiovaskular. Pada pasien hipertensi dengan diabetes atau penyakit ginjal target tekanan darahnya adalah < 130/80 mmHg (tabel 4). Hasil penelitian klinis menunjukan bahwa pemberian terapi antihipertensi dapat menurunkan insidensi terjadinya stroke sebesar 35 – 40%, infark miokard sebesar 20 – 25% dan gagal jantung sebesar > 50% (NHBPEP, 2004).

Tabel 4. Target tekanan darah yang direkomendasikan oleh American Heart Association tahun 2007

Sebagian besar pasien sebagai pencegahan umum < 140/90 mmHg Pasien dengan diabetes (dijelaskan sebagai penyakit yang resikonya

ekuivalen dengan penyakit arteri koroner), gagal ginjal kronik signifikan, penyakit arteri koroner (infark miokard, angina stabil, angina unstabil), penyakit pembuluh darah atherosklerotik nonkoroner (stroke iskemik, transient iskemik attack, penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdomen [dimaksud resiko yang setara dengan penyakit jantung koroner]), atau nilai resiko Framingham 10% atau lebih.

< 130/80 mmHg


(20)

17 1. Terapi Non Farmakologi

Seluruh pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus diberikan modifikasi gaya hidup. Tabel 5 berisi daftar modifikasi gaya hidup yang dapat menurunkan tekanan darah. Pendekatan ini direkomendasikan oleh Joint National Committee 7 (JNC7) dan American Heart Association (AHA). Modifikasi gaya hidup ini dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik kecil sampai sedang. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan resiko perkembangan penyakit menjadi hipertensi pada pasien dengan prehipertensi (Saseen & Maclaughlin, 2008). Adopsi gaya hidup sehat oleh semua orang merupakan pencegahan penting peningkatan tekanan darah dan merupakan bagian yang sangat diperlukan dalam penanganan pasien dengan hipertensi (NHBPEP, 2004).

Penurunan berat badan minimal 4,5 kg dapat menurunkan tekanan darah dan/atau mencegah terjadinya hipertensi pada sejumlah besar pasien dengan bobot tubuh berlebih, walaupun idealnya adalah bagaimana mempertahankan berat badan normal. Adopsi Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) juga bermanfaat untuk tekanan darah. DASH tersusun atas diet kaya buah, sayuran dan produk susu rendah lemak dengan reduksi lemak total dan lemak jenuh (modifikasi seluruh diet). DASH kaya akan kandungan potassium dan kalsium. Asupan sodium dari makanan harus diturunkan tidak lebih dari 100 mmol perhari (2,4 gram sodium). Setiap orang harus bisa melakukan aktivitas fisik aerobik secara reguler misalnya dengan melakukan jalan cepat paling tidak selama 30 menit per hari pada sebagian besar hari sepanjang minggu. Intake alkohol harus dibatasi tidak lebih dari 1 oz (30 mL) etanol, setara dengan dua kali minum per hari pada pria dan tidak lebih dari 0,5 oz etanol (satu kali minum) perhari pada wanita dan orang yang kurus. Satu kali minum adalah 12 oz bir atau 5 oz wine atau 1,5 oz liquor 80%. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, mencegah atau memperlambat insidensi hipertensi, meningkatkan efikasi obat antihipertensi dan menurunkan resiko kardiovaskular (NHBPEP, 2004).


(21)

18 Tabel 5. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan penanganan hipertensi (NHBPEP, 2004).

Modifikasi Rekomendasi Perkiraan penurunan

tekanan darah sistolik (rentang) Penurunan berat

badan

Mempertahankan berat badan normal (indeks massa tubuh 18,5 –

24,9 kg/m2)

5 – 20 mmHg/10 kg

Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH)

Konsumsi makanan kaya buah, sayuran, dan produk susu rendah lemak dengan menurunkan kadar

lemak total dan lemak jenuh

8 – 14 mmHg

Penurunan intake sodium makanan

Penurunan intake sodium dari makanan menjadi tidak lebih dari 100 mmol perhari (2,4 g sodium atau

6 g sodium klorida

2 – 8 mmHg

Aktivitas fisik Melaksanakan aktivitas fisik aerobik reguler seperti jalan cepat (paling

tidak 30 menit per hari pada sebagian besar hari dalam seminggu)

4 – 9 mmHg

Konsumsi alkohol secukupnya

Batasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali minum (misalnya 24 oz bir,

10 oz wine, atau 3 0z wiski 80%) perhari pada sebagian besar pria,

dan tidak lebih dari 1 kali minum perhari pada wanita dan orang yang

lebih ringan

2 – 4 mmHg

Untuk keseluruhan penurunan resiko kardiovaskular, hentikan merokok

2. Terapi Farmakologi

Sejumlah besar obat telah tersedia untuk menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Terdapat 9 kelompok obat antihipertensi yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan hipertensi yaitu golongan diuretik, golongan antagonis aldosteron, golongan pemblok kanal kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB), golongan beta blocker (BB), golongan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), golongan angiotensin II reseptor blocker (ARB), golongan alpha – 1 blocker, golongan central alpha – 2 agonist and other centrally acting drugs dan golongan vasodilator langsung. Golongan diuretik, beta blocker, ACEI, ARB dan CCB dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat – obat ini baik sendiri atau kombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena berdasarkan hasil


(22)

19 penelitian klinis menunjukan keuntungan dan adanya penurunan resiko terjadinya komplikasi hipertensi dengan penggunaan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan CCB) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Golongan alpha – 1 blocker, golongan central alpha – 2 agonist and other centrally acting drugs dan golongan vasodilator langsung digunakan sebagai obat alternatif pada pasien – pasien tertentu disamping obat utama (Muchid, dkk, 2006; NHBPEP, 2004; Saseen & Maclaughlin, 2008)

Gambar 3. Alur penatalaksanaan terapi obat pada pasien hipertensi tanpa komplikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008)

Dua per tiga pasien hipertensi tidak dapat dikontrol tekanan darahnya dengan hanya menggunakan 1 macam obat dan membutuhkan 2 atau lebih obat antihipertensi yang dipilihkan dari golongan obat yang berbeda. Sebagai contohnya, penelitian ALLHAT menunjukan bahwa sebanyak 60% pasien yang tekanan darahnya terkontrol < 140/90 mmHg mendapatkan 2 atau lebih obat antihipertensi dan hanya 30% yang tekanan darahnya dapat terkontrol dengan 1 obat antihipertensi. Pada pasien dengan target tekanan darah lebih rendah atau mengalami peningkatan tekanan darah substansial, penggunaan 3 atau lebih obat antihipertensi mungkin

Pemilihan terapi obat awal

Dengan komplikasi (gambar 4) Tanpa

komplikasi

Hipertensi stage 1 TDS 140 – 159 mmHg atau TDD 90 -99 mmHg

Hipertensi stage 2 TDS ≥160 mmHg atau

TDD ≥ 100 mmHg

Diuretik tiazid (A-1)

ACEI, ARB, CCB atau kombinasi (A-2) Kombinasi 2 obat antihipertensi untuk sebagian besar pasien (A-3) Biasanya diuretik tiazid dengan ACEI


(23)

20 dibutuhkan (NHBPEP, 2004). Alur penatalaksanaan terapi obat pada pasien hipertensi dapat dilihat pada gambar 3. Huruf A, B dan C menunjukan kekuatan rekomendasi, secara berurutan menunjukan bukti yang baik, sedang dan buruk untuk mendukung rekomendasi. Angka 1, 2 dan 3 menunjukan kualitas dari bukti yang ada. Angka 1 menunjukan bukti dari lebih dari 1 penelitian randomisasi yang terkontrol dengan baik. Angka 2 menunjukan bukti dari paling tidak 1 penelitian klinis dengan desain yang baik dengan randomisasi; dari penelitian kohort atau penelitian analitik kasus kontrol; atau hasil yang dramatis dari penelitian tanpa kelompok kontrol atau analisis subgroup. Angka 3 menunjukan bukti diambil dari opini ahli yang dipercaya, berdasarkan pengalaman klinis, penelitian deskriptif atau laporan dari kelompok ahli (Saseen & Maclaughlin, 2008).

Gambar 4. Alur penatalaksanaan terapi obat pada pasien hipertensi dengan komplikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008).

Penyakit komplikasi Left Ventricular Function Pasca Infark Miokard Penyakit Koroner Diabetes mellitus Gagal Ginjal Kronik Pencegahan Stroke Ulang Farmakoterapi Standar Diuretik dengan ACEI (A-1); kemudian tambahkan BB (A-1) BB (A-1); kemudian tambahkan ACEI (A-1) atau ARB (A-2) BB (A-1); kemudian tambahkan ACEI (A-1) atau ARB

(A-2) ACEI (A-1); atau ARB (A-2) Diuretik dengan ACEI (A-2) atau ARB (A-2) ACEI (A-1); atau ARB (A-1) ARB (A-2) atau Antagonis aldosteron (A-2) Antagonis aldosteron (A-2) CCB (B-2), diuretik (B-2) Diuretik (B-2) Farmakoterapi Tambahan BB (B-2), CCB (B-2)


(24)

21 1. Diuretik

Diuretik tiazid secara tradisional digunakan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien. Panduan JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid apabila memungkinkan sebagai terapi lini pertama pada sebagian besar pasien, yang mana merupakan farmakoterapi tradisional untuk hipertensi. Panduan dari AHA tidak merekomendasikan pemilihan diuretik tiazid melebihi penggunaan ACEI, ARB atau CCB sebagai terapi lini pertama. Rekomendasi penggunaan diuretik tiazid sebagai terapi lini pertama oleh JNC 7 berdasarkan hasil penelitian dari the Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart attack Trial (ALLHAT) yang menunjukan bahwa penggunaan klorthalidone (diuretik tiazid) menunjukan penurunan resiko kardiovaskular melebihi obat – obat antihipertensi yang lebih baru (lisinopril atau amlodipine). Secara keseluruhan, diuretik tiazid masih tidak tertandingi dalam kemampuannya untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular pada sebagian besar pasien. Karena sebagian besar pasien membutuhkan dua atau lebih obat untuk mengontrol tekanan darah, salah satunya haruslah diuretik tiazid, kecuali ada kontraindikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008). 2. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)

Walaupun diuretik tiazid masih merupakan farmakoterapi konvensional sebagai terapi lini pertama pada pasien hipertensi, namun banyak bukti klinik yang juga menunjukan bahwa penggunaan ACEI, CCB atau ARB dapat digunakan sebagai terapi lini pertama pada pasien hipertensi. Panduan terapi yang diterbitkan The United Kingdom Guidelines mengelompokan pasien berdasarkan usia dan ras, panduan ini merekomendasikan penggunaan ACEI sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan usia kurang dari 55 tahun (Saseen & Maclaughlin, 2008).

3. Penyekat Kanal Kalsium (Calcium Channels Blockers / CCB)

Penyekat kanal kalsium dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan perbedaan strukturnya yaitu kelompok dihidropiridin dan non-dihipropiridin. CCB dihidropiridin berikatan dengan kanal kalsium tipe L pada otot polos vaskular, yang mana menghasilkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Penggunaanya efektif sebagai monoterapi pada pasien kulit hitam dan pasien usia lanjut. CCB


(25)

22 nondihidropiridin berikatan dengan kanal kalsium tipe L pada nodus sinoatrial nodus atrioventrikular, dan dapat meningkatkan kerja miokardium dan pembuluh darah. Obat – obat kelompok ini lebih bagus efeknya pada pasien kulit hitam (Riaz, 2011). Tabel 6. Obat antihipertensi golongan diuretik

Sub kelas Dosis lazim (mg/hari) Frekuensi harian Catatan Tiazid - Klorthalidon - Hidroklorotaizid - Indapamid - Metolazon

12,5 – 25 12,5 – 25 1,25 – 2,5 2,5 – 5

1 1 1 1

Berikan obat pada pagi hari untuk mencegah diuresis noktural; tiazid merupakan antihipertensi yang lebih efektif dibandingkan dengan loop diuretik pada kebanyakan pasien; gunakan dosis lazim untuk meminimalkan efek samping metabolik; idealnya pertahankan konsentrasi potassium antara 4,0 – 5,0 mEq/L untuk meminimalkan efek metabolik; hidroklorotiazid dan klorthalidon umumnya dipilih, dengan dosis 25 mg/hari sebagai dosis efektif maksimum; klorthalidon setidaknya 2 kali lebih pten dibandingkan hidroklorotiazid; memiliki tambahan keuntungan pada pasien osteoporosis, membutuhkan tambahan pengawasan pada pasien dengan sejarah gout atau hiperglikemia.

Loop - Bumetanide - Furosemide - Torsemide

0,5 – 4 20 – 80 5 – 10

2 2 1

Obat diberikan pada pagi atau sore hari untuk mencegah diuresis nokturnal. Dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk pasien dengan penurunan filtrasi glomerulus yang parah atau disfungsi ventrikel kiri.

Hemat Kalium - Amiloride - Triamteren

5 – 10 50 – 100

1 atau 2 1 atau 2

Obat diberikan pada pagi atau sore untuk mencegah diuresis noktural; merupakan diuretik lemah yang biasanya digunakan dalam kombinasi dengan diuretik tiazid untuk meminimalkan efek hipokalemia; hindari penggunaannya pada pasien dengan gagal ginjal kronik (perkiraan kecepatan filtrasi glomerulus <30 mL/menit/1,73m2); dapat menyebabkan hiperkalemia, utamanya bila digunakan dalam kombinasi dengan ACEI, ARB, inhibitor renin langsung atau suplemen kalium. Antagonis

Aldosteron - Eplerenone - Spironolakton

50 – 100 25 – 50

1 atau 2 1 atau 2

Obat diberikan pada pagi atau sore untuk mencegah diuresis noktural; eplerenone dikontraindikasikan pada pasien dengan perkiraan klirens kreatinin <50 mL/menit, peningkatan kreatinin serum (>1,8 mg/dL pada wanita, >2mg/dL pada pria), dan diabetes tipe 2 dengan mikroalbuminuria; hindari penggunaan spironolaton pada pasien dengan gagal ginjal kronik (perkiraan kecepatan filtrasi glomerulus <30 mL/menit/1,73 m2); dapat menyebabkan hiperkalemia, utamanya bila digunakan dalam kombinasi dengan ACEI, ARB, inhibitor renin langsung atau suplemen kalium.


(26)

23 4.Angiotensin II Receptor Blockers (ARB)

The Blood Pressure Lowering Treatment Trialists Collaboration yang meneliti penggunaan diuretik, CCB, ACEI dan ARB dalam terapi mencegah kejadian kardiovaskular tertentu menunjukan tidak ada perbedaan pada jumlah total kejadian kardiovaskular antara ACEI, CCB , ARB dan diuretik pada saat dibandingkan satu dengan lainnya. Pada penelitian yang mengevaluasi terapi ARB terhadap kontrol, insidensi kejadian kardiovaskular utama lebih rendah pada regimen yang berdasar pada ARB. Kontrol yang digunakan dalam perbandingan ini meliputi terapi obat antihipertensi aktif dan plasebo. ARB biasanya diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi penggunaan obat ACEI (Saseen & Maclaughlin, 2008; Riaz, 2011).

Tabel 7. Obat antihipertensi golongan angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI)

Golongan Dosis lazim (mg/hari) Frekuensi harian Catatan ACE inhibitors - Benazepril - Captopril - Enalapril - Fosinopril - Lisinopril - Moexipril - Perindopril - Quinapril - Ramipril - Trandolapril

10 – 40 25 – 150

5 – 40 10 – 40 10 – 40 7,5 – 30 4 – 16 10 – 80 2,5 – 10 1 – 4

1 atau 2 2 atau 3 1 atau 2

1 1 1 atau 2

1 1 atau 2 1 atau 2

1

Dosis awal dapat diturunkan 50% pada pasien yang juga mendapatkan diuretik, mengalami deplesi volume, atau pada pasien dengan usia sangat lanjut karena adanya resiko hipotensi; dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau mereka yang mendapatkan diuretik hemat kalium, antagonis aldosteron, ARB atau inhibitor renin langsung; dapat menyebabkan gagal ginjal akut pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral atau stenosis parah pada arteri salah satu ginjal; jangan digunakan pada kehamilan atau pasien dengan sejarah angioedema.

5. Beta Blockers (BB)

Kumpulan data hasil penelitian klinis menyebutkan bahwa penggunaan beta blockers tidak dapat menurunkan resiko kejadian kardiovaskular melebihi ACEI, CCB ataupun ARB. Data – data ini bersumber dari hasil meta analisis penelitian klinis yang mengevaluasi terapi BB untuk hipertensi. Sebagian besar analisa ini menunjukan bahwa penurunan kejadian kardiovaskular lebih rendah pada penggunaan terapi BB dibandingkan dengan penggunaan terapi ACEI dan CCB. Terapi beta blockers pada pasien hipertensi tanpa komplikasi / kondisi darurat masih merupakan terapi unggulan. Penggunaan BB sebagai antihipertensi primer dapat optimal bilamana diuretik tiazid, ACEI, ARB atau CCB tidak bisa digunakan sebagai obat primer. Beta blockers juga memegang peranan penting sebagai terapi tambahan alternatif untuk


(27)

24 menurunkan tekanan darah pada pasien tanpa komplikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008).

Tabel 8. Obat antihipertensi golongan penyekat kanal kalsium

Sub Kelas Dosis lazim (mg/hari) Frekuensi harian Catatan Dihidropiridin - Amlodipin - Felodipin - Isradipine - Isradipine SR - Nicardipin SR - Nifedipin aksi panjang - Nisoldipine

2,5 – 10 5 – 20 5 – 10 5 – 20 60 – 120

30 – 90 10 – 40

1 1 2 1 2 1 1

Dihiropiridin aksi pendek (short acting) harus dihindari penggunaannya, terutama nifedipin immediate-release dan nikardipin; dihidropiridin merupakan vasodilator perifer yang lebih poten dibandingkan nondihidropiridin dan dapat dapat menyebabkan refleks simpatetik pada penghentiannya (takikardi), pusing, sakit kepala, flushing dan udem perifer; memiliki keuntungan tambahan pada sindrom Raynaud’s.

Nondihidropiridin - Diltiazem SR - Diltiazem ER - Verapamil SR - Verapamil ER - Verapamil absorpsi obat oral sistem ER

180 – 360 120 – 540 180 – 480 180 – 420 100 – 400

2 1 (pagi /

malam) 1 atau 2 1 (pagi) 1 (pagi)

Sediaan extended-release dan sustained-release lebih dipilih untuk hipertensi; obat ini memblokade kanal lambat pada jantung dan menurunkan denyut jantung; dapat menyebabkan hambatan jantung, terutama apabila dikombinasi dengan beta bloker; apabila pemberian dosis pada malam hari dapat memberikan penghantaran obat kronoterapetik yang dimulai sesaat sebelum pasien bangun tidur; memiliki efek tambahan pada pasien dengan takiaritmia atrial.

Tabel 9. Obat antihipertensi golongan angiotensin II receptors blockers (ARB)

Golongan Dosis lazim (mg/hari) Frekuensi harian Catatan Angiotensin II Receptors Blockers - Candesartan - Eprosartan - Irbesartan - Losartan - Olmesartan - Telmisartan - Valsartan

8 – 32 600 – 800 150 – 300 50 – 100

20 – 40 20 – 80 80 – 320

1 atau 2 1 atau 2

1 1 atau 2

1 1 1

Dosis awal dapat diturunkan 50% pada pasien yang juga mendapatkan diuretik, mengalami deplesi volume atau pada pasien lansia karena adanya resiko hipotensi; dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau mereka yang mendapatkan diuretik hemat kalium, antagonis aldosteron, ACEI atau inhibitor renin langsung; dapat menyebabkan gagal ginjal akut pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral atau stenosis parah pada arteri salah satu ginjal; tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI; jangan digunakan pada kehamilan.


(28)

25 Tabel 10. Obat antihipertensi golongan beta blockers (BB)

Sub kelas Dosis lazim (mg/hari) Frekuensi harian Catatan Kardioseletif - Atenolol - Betaxolol - Bisoprolol - Metoprolol tartrate - Metoprolol suksinat

25 – 100 5 – 20 2,5 – 10 100 – 400

50 – 200

1 1 1 2 1

Penghentian tiba – tiba dapat menyebabkan hipertensi kembali; menghambat reseptor β1 pada dosis rendah – sedang, pada dosis yang lebih tinggi juga menghambat reseptor β2; dapat memperparah asma apabila selektivitasnya hilang; memiliki manfaat tambahan pada pasien dengan takiaritmia atrial atau hipertensi preoperasi.

Nonselektif - Nadolol - Propanolol - Propanolol long acting

- Timolol

40 – 120 160 – 480

80 – 320 10 – 40

1 2 1 1

Penghentian tiba – tiba dapat menyebabkan hipertensi kembali; menghambat reseptor β1 dan β2 pada semua dosis; dapat memperburuk asma; memiliki manfaat tambahan pada pasien tremor essensial, sakir kepala migrain, tiroroksikosis. Aktivitas simpatomimetik intrinsik - Acebutolol - Carteolol - Penbutolol - Pindolol

200 – 800 2,5 – 10

10 – 40 10 – 60

2 1 1 2

Penghentian tiba – tiba dapat menyebabkan hipertensi kembali; Secara parsial menstimulasi reseptor β pada saat memblok stimulasi tambahan; tidak ada keuntungan yang jelas terhadap penggunaan obat ini; dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau post-infark miokard.

Mixed α and β blockers

- Carvedilol - Carvedilol fosfat - Labetalol

12,5 – 50 20 – 80 200 – 800

2 1 2

Penghentian tiba – tiba dapat menyebabkan hipertensi kembali; Tambahan blokade pada reseptor α menyebabkan kemungkinan hipotensi ortostatik lebih besar


(29)

26 D. PENUTUP

Hipertensi merupakan kondisi medis kronis yang paling sering ditemukan. Hipertensi juga merupakan salah satu faktor resiko yang paling signifikan untuk mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskular yang terjadi karena kerusakan organ target pada pembuluh darah jantung, otak, ginjal dan mata. Penatalaksanaan hipertensi dapat berupa terapi nonfarmakologi dengan perubahan gaya hidup dan terapi farmakologi dengan menggunakan obat – obat antihipertensi. Diuretik, angiotensin converting enzyme inhibitors, penyekat kanal kalsium, angiotensin II receptors blocker dan beta blockers adalah golongan obat antihipertensi primer yang digunakan sebagai terapi lini pertama pada pasien hipertensi tanpa komplikasi. Panduan tatalaksana terapi ini dapat mendukung penanganan hipertensi pada pasien. Panduan ini dapat meningkatkan kewaspadaan, pencegahan, terapi dan kontrol terhadap hipertensi.


(30)

27 DAFTAR PUSTAKA

Katzung, B.G. [ed.] (2003) Basic And Clinical Pharmacology, 9th Edition. [ebook]. McGraw Hill. New York.

McPhee, S.J., Massie, B.M., 2006, Systemic Hypertension, in Tierney, L.M., McPhee, S.J., Papadakis, M.A., Current Medical Diagnosis & Treatment, 45th Edition, McGraw-Hill, New York.

Muchid,A., Umar,F.,Budiarti,L.E.,Satifa,O.,Brata,C.,Bakhtiar,L., 2006, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan, Jakarta. National High Blood Pressure Educational Program, 2004, The Seventh Report of the

Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, National Institute of Health, USA.

Riaz, K., 2011, Hypertension, sumber http://emedicine.medscape.com/article/241381-overview [online] download 04 September 2011.

Saseen, J.J., Maclaughlin, E.J., 2008, Hypertension, in Dipiro, J.T., Talbert,R.L., Yee,G.C., Matzke, G.R.,Wells,B.G.,Posey,L.M. (eds), Pharmacotherapy : a Pathophysiologic Approach, McGraw Hills, New York.

Saseen, J.J., 2009, Essential Hypertension, in Koda-Kimble,M.A., Young,L.Y., Alldredge,B.K., Corelli,R.L., Guglielmo,B.J., Kradjan,W.A. (eds), Applied Therapeutics : The Clinical Use of Drugs, Lippincott Williams & Wilkins, Philadhelpia.


(31)

28

BAB II

FARMAKOTERAPI

DISLIPIDEMIA

Oleh :

LUH PUTU FEBRYANA LARASANTY 198402222008012008

1. Indikator Pencapaian : Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang lipid, metabolisme dan transport lipid, definisi dislipidemia, etiologi dan patofisiologi dislipidemia, manifestasi klinik, tatalaksana terapi non farmakologi dan farmakologi pada dislipidemia.

2. Materi Pokok : 2.1. Pendahuluan

2.2. Pengenalan Penyakit Dislipidemia 2.3. Tatalaksana Terapi


(32)

29 A.PENDAHULUAN

1. Lipid

Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak bebas, berasal dari eksogen (diet) dan dari sintesis endogen. Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipid yang relatif mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan proses aterogenesis. Karena lipid tidak larut dalam plasma, lipid akan terikat pada protein sebagai mekanisme transpor dalam serum. Asam lemak bebas ditransport dalam bentuk berikatan dengan albumin. Trigliserida, kolesterol dan fosfolipid berikatan dengan protein, dimana ikatan ini akan menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu :

1. Kilomikron

2. Lipoprotein densitas sangat rendah / very low density lipoprotein (VLDL) 3. Lipoprotein densitas rendah / low density lipoprotein (LDL)

4. Lipoprotein densitas tinggi / high density lipoprotein (HDL)

Dari keempat kelas lipoprotein yang ada, LDL memiliki kadar kolesterol yang paling tinggi, kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL (Carleton & Boldt, 1995).

Gambar 1. Struktur lipoprotein (http://www.medscape.org/viewarticle/550620_2)

2. Proses Metabolisme dan Transport Lipoprotein

Kolesterol dari makanan dan empedu masuk ke lumen usus dan teremulsifikasikan oleh asam empedu menjadi micelles. Micelles akan terikat pada


(33)

30 enterosit intestinal, kemudian kolesterol dan sterol lainnya akan berpindah dari micelles menuju enterosit melalui sterol transporter. Trigliserida yang disintesis dari asam lemak yang diserap bersama dengan kolesterol dan apolipoprotein B-48 tergabung menjadi kilomikron. Kilomikron kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi limfatik dan akan dikonversi menjadi kilomikron remnant (melalui hilangnya trigliserida), dan kemudian akan di ambil oleh reseptor LDL hepatik-terkait protein / hepatic LDL receptor-related protein (LRP). Partikel remnat ini akan mensuplai kebutuhan kolesterol hepatik yang bersumber dari diet. Fungsi lain dari kilomikron adalah juga sebagai penghantar trigliserida dari diet menuju otot skelet dan jaringan adipose (Talbert, 2008).

Gambar 2. Absorpsi kolesterol intestinal dan transport (http://www.els.net/WileyCDA/ElsArticle/refId-a0000720.html)

Hati memenuhi kebutuhan kolesterolnya sebagian besar (60%) melalui sintesis de novo dari Asetilkoenzim A. Kecepatan sintesis ditentukan pada langkah awal yaitu sintesis asam mevalonic dari hidroksimetilglutaril CoA (HMG CoA) dengan HMG CoA reduktase sebagai rate-limiting enzyme (gambar 3).


(34)

31 Gambar 3. Biosintesis kolesterol (http://adc.bmj.com/content/78/2/185.full)

Pada sistem endogen, VLDL yang kaya akan trigliserida disekresi oleh hati dan dikonversi menjadi IDL dan kemudian menjadi LDL yang kaya akan ester kolesterol. Sejumlah LDL akan masuk ke ruang subendothelial arteri akan teroksidasi dan kemudian akan dimakan oleh makrofag, yang akan menjadi sel gabus (foam cells). Kilomikron, kilomikron remnant, VLDL, IDL dan LDL dapat diidentifikasi melalui apoprotein primer (ApoB, ApoC, ApoE) yang ditemukan pada mereka (Talbert, 2008).

Gambar 4. Skema sederhana sistem lipoprotein dalam transpor lipid pada manusia (Talbert, 2008)

LPL : lipoprotein lipase LDLR : low density lipoprotein receptors


(35)

32 B. PENGENALAN PENYAKIT

1. Definisi Dislipidemia

Hasil penelitian menunjukan bahwa resiko munculnya penyakit kardiovaskular berhubungan dengan meningkatnya kadar kolesterol total dan LDL, dimana resiko penyakit kardiovaskular akan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar kolesterol total dan LDL. Nilai LDL dapat menjadi salah satu prediktor morbiditas dan mortalitas untuk beberapa penyakit kardiovaskular. Peningkatan kadar kolesterol total, LDL-C atau kadar trigliserida, penurunan konsentrasi HDL-C, atau beberapa kombinasi dari abnormalitas tersebut didefinisikan sebagai dislipidemia. Hiperlipoproteinemia merupakan suatu kelainan metabolik yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi abnormal dari partikel lipoprotein spesifik pada plasma, sedangkan hiperlipidemia sendiri didefinisikan sebagai peningkatan kadar plasma kolesterol atau trigliserida atau keduanya (Roy, 2011; Talbert, 2008). Sehingga jika ingin membahas penyakit yang berhubungan dengan abnormalitas lipid, lebih tepat jika menggunakan istilah dislipidemia.

2. Etiologi dan Patofisiologi

Faktor resiko terjadinya dislipidemia termasuk diantaranya adalah diet, stress, tidak aktif secara fisik dan merokok. Dislipidemia dapat bersifat primer atau genetik dan bersifat sekunder yang merupakan pengaruh dari suatu kondisi tertentu atau pengaruh dari penggunaan suatu obat yang dapat meningkatkan kadar lipid plasma (tabel 1) (Talbert, 2008).

Gangguan abnormalitas lipid apabila tidak terkontrol dapat menyebabkan mortalitas pada pasien, dimana mortalitas tertinggi muncul dari penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular (Roy, 2011). Hipotesis “response-to-injury” menyatakan bahwa faktor resiko seperti LDL teroksidasi, cedera mekanik pada endotelium, homosistein yang berlebih, serangan imunologik dan induksi infeksi dapat menyebabkan perubahan endotelial dan fungsi intimal, menyebabkan disfungsi


(36)

33 endotelial dan serangkaian interaksi seluler yang berujung pada atherosklerosis (Talbert, 2008).

Tabel 1. Penyebab sekunder dari abnormalitas lipoprotein Jenis Abnormalitas

Lipid

Penyebab Sekunder

Hiperkolesterolemia Kondisi : Hipotiroid, Penyakit Hati Obstruktif, Sindrom Nefrotik, Anoreksia Nervosa, Forfiria Akut Intermitten

Obat : Progestin, Diuretik Thiazid, Glukokortikoid, Beta Bloker, Isotretinoin, Inhibitor Protease, Siklosforin, Mirtazapine, Sirolimus

Hipertrigliseridemia Kondisi : Obesitas, DM, Lipodistrofi, Glycogen storage disease, Operasi bypass Ileal, Sepsis, Kehamilan, Hepatitis akut, SLE, Monoclonal gammopathy (multiple myeloma, lymphoma)

Obat : Alkohol, Estrogen, Isotretinoin, Beta bloker, Glukokortikoid, Resin asam empedu, Thiazides, Asparaginase, Interferon, Antijamur Azole, Mirtazapine, Steroid Anabolik, Sirolimus, Bexarotene.

Hipokolesterolemia Kondisi : Malnutrisi, Malabsorpsi, Penyakit Mieloproliferative, Penyakit Infeksi Kronis (AIDS, TBC) Monoklonal gammopathy, Penyakit Hati Kronis

HDL rendah Kondisi : Malnutrisi, Obesitas

Obat : non-intrinsic sympathomimic activity beta bloker, steroid anabolik, probucol, isotretinoin, progestins Lesi atherosklerosis diperkirakan muncul dari transport dan retensi dari LDL-C plasma melalui lapisan sel endotelial menuju matriks ekstraselular pada ruang subendothelial. Sekali berada pada dinding arteri, LDL akan termodifikasi secara kimia melalui oksidasi dan glikasi nonenzimatik. LDL teroksidasi akan menyebabkan penarikan monosit ke dinding arteri, dimana monosit akan berubah menjadi makrofag. Makrofag memiliki potensi untuk mempercepat oksidasi LDL dan akumulasi ApoB dan merubah uptake LDL yang dimediasi reseptor pada dinding arteri dari yang mula-mula reseptor LDL biasa menjadi “reseptor scavenger” yang tidak bergantung pada kadar kolesterol dalam sel. LDL teroksidasi akan meningkatkan level inhibitor plasminogen (promosi koagulasi), menginduksi ekspresi endotelin (substansi vasokontriksi), menghambat ekspresi nitrit okside (vasodilator dan inhibitor platelet) dan bersifat toksik bagi makrofag bila sangat teroksidasi. LDL teroksidasi akan memprovokasi


(37)

34 respon inflamasi yang dimediasi oleh berbagai kemoatraktan dan sitokin, yang mana kemudian dapat menyebabkan akumulasi masif dari kolesterol. Sel yang sarat kolesterol disebut sel busa (foam cells) yang merupakan komponen yang menyebabkan endapan lemak pada dinding arteri (Talbert, 2008). Abnormalitas yang muncul pada sistem vaskular akibat adanya atherosklerosis antara lain adalah penyakit jantung iskemik.

Gambar 5. Proses atherosklerosis (http://users-phys.au.dk/jvn/Research-CABRA.htm)

3. Manifestasi Klinik dan Klasifikasi a. Manifestasi klinik

Manifestasi klinik dari hiperlipoproteinemia muncul karena adanya endapan lipid pada sistem vaskular dan mata. Secara umum kebanyakan pasien tidak akan menunjukan gejala tertentu untuk jangka waktu yang panjang sebelum muncul bukti klinis. Pasien dengan sindrom metabolik dapat memiliki tiga atau lebih presentasi klinik berikut : obesitas abdominal, dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, resistensi insulin dengan atau tanpa intoleransi glukosa, keadaan protrombotik, atau keadaan proinflamatori.

1) Gejala : tanpa sampai dengan nyeri dada yang parah, palpitasi, berkeringat, anxietas, nafas pendek, kehilangan kesadaran atau kesulitan dalam berbicara atau bergerak, nyeri abdomen, kematian yang tiba-tiba.

2) Tanda : tanpa sampai dengan nyeri abdomen yang parah, pankreatitis, xanthomas eruptif, polineuropati perifer, tekanan darah tinggi, indeks massa tubuh > 30


(38)

35 kg/m2 atau ukuran pinggang > 40 inci (101,6 cm) pada pria atau 35 inci (88,9 cm) pada wanita.

3) Tes laboratorium : Peningkatan kolesterol total, LDL, trigliserida, apolipoprotein B, C-reactive protein serta penurunan level HDL. Klasifikasi kadar lipid dan kolesterol dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3.

4) Tes diagnostik lainnya : Lipoprotein(a), homosistein, serum amiloid A, small dense LDL (pola B), subklasifikasi HDL, isoform apolipoprotein E, apolipoprotein A-1, fibrinogen, folate, titer Chlamydia pneumoniae, lipoprotein terkait fosfolipase A2,

omega-3 indeks. Tes diagnostik lain termasuk tes skrining manifestasi penyakit vaskular (ankle-brachial index, exercise testing, magnetic resonance imaging) dan diabetes (glukosa puasa, tes toleransi glukosa oral) (Talbert, 2008).

Tabel 2. Klasifikasi total kolesterol, LDL, HDL kolesterol dan trigliserida

Jenis Klasifikasi

Kolesterol total <200 200 – 239 ≥240

Desirable Borderline high

High LDL Kolesterol

<100 100 – 129 130 – 159 160 – 189 ≥190

Optimal Near or above optimal

Borderline high High Very high HDL Kolesterol

<40 ≥60

Low High Trigliserida

<150 150 – 199 200 – 499 ≥500

Normal Borderline high

High Very high semua nilai dalam besaran mg/dL


(39)

36 Tabel 3. Klasifikasi level lipid pada anak dan remaja (usia < 20 tahun)

Jenis Nilai yang

diharapankan (mg/dL)

Nilai batas (mg/dL)

Nilai yang tidak diinginkan

(mg/dL)

Kolesterol total < 170 170 – 199 ≥ 200

LDL kolesterol < 110 110 – 129 ≥ 130

HDL kolesterol > 45 25 – 45 < 35

Trigliserida < 125 not appicable ≥ 125

b. Klasifikasi

Hiperlipidemia dapat diklasifikasikan menjadi hiperlipidemia primer (familial) yang disebabkan abnormalitas genetik spesifik dan hiperlipidemia sekunder (dapatan) yang disebabkan oleh kondisi lain yang dapat menyebabkan perubahan lipid plasma dan metabolisme protein (Tabel 1). Hiperlipidemia juga dapat bersifat idiopatik, dimana penyebabkan tidak diketahui secara pasti. Klasifikasi hiperlipoproteinemia berdasarkan klasifikasi dari Fredrickson-Levy-Lees dapat dilihat pada tabel 4. Klasifikasi ini didasarkan pada deskripsi fenotipe dari dislipidemia (Fredrickson & Lees, 1965; Talbert, 2008).

Tabel 4. Klasifikasi Fredrickson-Levy-Lees dari hiperlipoproteinemia

Tipe Peningkatan Lipoprotein Perubahan Profil Lipid

I Kilomikron Peningkatan trigliserida

IIa LDL Peningkatan kolesterol

IIb LDL + VLDL Peningkatan trigliserida,

Peningkatan kolesterol

III IDL (LDL1) Peningkatan trigliserida,

Peningkatan kolesterol

IV VLDL Peningkatan trigliserida

V VLDL + kilomikron Peningkatan trigliserida,


(40)

37 C. TATALAKSANA TERAPI DISLIPIDEMIA

Tatalaksana terapi pada pasien hiperlipidemia harus disesuaikan dengan kondisi spesifik pasien. Faktor resiko tertentu (tabel 5 dan tabel 6) pada pasien akan mempengaruhi terapi dan target terapi pada pasien tersebut. Penurunan LDL merupakan target dalam terapi pasien hiperlipidemia, namun tujuan utama melakukan perubahan gaya hidup terapetik dan terapi obat adalah untuk menurunkan resiko terjadinya atau serangan ulang dari infark miokard. Angina, gagal jantung, stroke iskemik,dan bentuk lain dari penyakit arteri perifer, misalnya stenosis karotid dan aneurisma aortik abdominal (Talbert, 2008).

Tabel 5. Faktor resiko utama (khusus LDL kolesterol) yang mempengaruhi target LDLa Usia

Pria ≥ 45 tahun

Wanita ≥ 55 tahun atau menopause prematur tanpa terapi penggantian estrogen Riwayat keluarga penyakit jantung koroner prematur (didefinisikan sebagai infark

miokard atau kematian tiba-tiba sebelum umur 55 tahun pada ayah atau hubungan kekeluargaan pria pada tingkat pertama, atau sebelum usia 65 tahun pada ibu atau hubungan kekeluargaan wanita pada tingkat pertama)

Riwayat merokok

Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang menkonsumsi obat antihipertensi) HDL kolesterol rendah (<40 mg/dL)b

a. Diabetes dianggap memiliki resiko yang setara dengan penyakit jantung koroner b. HDL kolesterol ≥60 mg/dL dihitung sebagai faktor resiko “negatif”; munculnya

faktor resiko ini akan menghilangkan satu faktor resiko dari total hitungan. 1. Tatalaksana Terapi Non Farmakologi

Tatalaksana terapi non farmakologi pada pasien hiperlipidemia perubahan gaya hidup terapetik. Perubahan gaya hidup harus dilakukan oleh seluruh pasien prior to considering drug therapy. Komponen perubahan gaya hidup termasuk di dalamnya adalah :

a. Penurunan intake lemak jenuh dan kolesterol

b. Pilihan diet untuk menurunkan LDL, misalnya peningkatan konsumsi stanol / sterol tumbuhan dan asupan serat


(41)

38 d. Meningkatkan aktivitas fisik : secara umum, aktivitas fisik intensitas sedang

selama 30 menit perhari setiap hari dalam seminggu harus digiatkan

Tabel 6. Target LDL kolesterol dan titik potong untuk terapi dengan perubahan gaya hidup dan terapi obat pada kategori faktor resiko yang berbeda

Kategori resiko Target LDL (mg/dL)

Level LDL dimana memulai perubahan gaya

hidup (mg/dL)

Level LDL yang dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi obat

(mg/dL)

Resiko tinggi : PJK atau resiko yg setara dengan PJK (resiko 10 tahun >20%)

< 100 (optional goal <70)

≥ 100 ≥ 100

(<100mg/dL : boleh dipertimbangkan pemberian obat)a

Resiko moderat – tinggi : 2+ faktor resiko

(resiko 10 tahun > 10% - 20%)

< 130 ≥ 130 ≥ 130

(100 – 129 : boleh

dipertimbangkan terapi obat) Resiko moderat : 2+ faktor

resiko

(resiko 10 tahun < 10%)

< 130 ≥ 130 ≥ 160

Resiko rendah : 0 – 1b faktor resiko

< 160 ≥ 160 ≥ 190

(160 – 189 : boleh

dipertimbangkan pemberian obat penurun LDL)

a. Beberapa pihak berwenang merekomendasikan penggunaan obat penurun LDL pada kategori ini bila LDL kolesterol < 100 mg/dL tidak bisa dicapai dengan terapi perubahan gaya hidup. Pilihan yang lain adalah menggunakan obat yang utamanya dapat memodifikasi trigliserida dan HDL, contohnya : golongan asam nikotinat atau fibrat. Penilaian klinik diperlukan untuk menunda pemberian obat pada subkategori ini.

b. Kebanyakan orang dengan faktor resiko 0 – 1 memiliki resiko 10 tahun < 10%, dengan demikian penilaian resiko 10 tahun untuk orang dengan faktor resiko 0 – 1 tidak diperlukan.

Pasien dengan penyakit jantung koroner atau mereka yang memiliki resiko tinggi harus dievaluasi sebelum melakukan latihan yang berat. Berat badan dan indeks massa tubuh harus diukur pada tiap pertemuan dengan dokter, dan pola gaya hidup untuk menginduksi penurunan berat badan sebesar 10% harus didiskusikan dengan pasien obesitas. Seluruh pasien harus dikonseling untuk berhenti merokok dan untuk pasien yang mengalami hipertensi harus diterapi sesuai dengan panduan dari Joint National Committee VII. Banyak pasien harus diberikan percobaan selama 3 bulan (2 kali pertemuan dengan jarak tiap 6 bulan) untuk terapi diet dan perubahan gaya hidup terapetik sebelum mulai mendapatkan terapi obat kecuali pasien termasuk pasien dengan resiko sangat tinggi (hiperkolesterolemia berat, penyakit jantung koroner yang diketahui, resiko yang ekuivalen dengan penyakit jantung koroner, faktor resiko ganda, sejarah keluarga yang kuat) (Talbert, 2008).


(42)

39 Tabel 7. Komponen esensial dari perubahan gaya hidup terapetik (Therapeutic Lifestyle

Changes / TLC)

Komponen Rekomendasi

Nutrisi yang meningkatkan LDL Lemak jenuh

Kolesterol diet

Range total lemak harus berkisar antara 25 – 35% untuk kebanyakan kasus

Kurang dari 7% dari kalori total dan menurunkan intake dari asam lemak trans Kurang dari 200 mg/hari

Pilihan terapetik untuk penurunan LDL Stanol/sterol tumbuhan

Meningkatkan serat viscous (soluble)

2 gram per hari 10 – 25 gram per hari

Kalori total Perhitungkan intake kalori untuk

mempertahankan berat badan yang diharapkan dan mencegah peningkatan berat badan

Aktivitas fisik Termasuk latihan sedang yang cukup

untuk menghilangkan paling tidak 200 kcal perhari

2. Tatalaksana Terapi Farmakologi

Terapi obat diindikasikan setelah dilakukan perubahan gaya hidup terapetik yang adekuat. Walaupun telah banyak obat penurun lipid yang efikasius, tidak satupun yang yang efektif untuk semua gangguan lipoprotein dan setiap obat memiliki efek samping. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat penurun lipid secara umum dapat dibedakan menjadi obat yang dapat menurunkan sintesis VLDL dan LDL, obat yang dapat meningkatkan klirens VLDL, obat yang meningkatkan katabolisme LDL, obat yang dapat menurunkan absorpsi kolesterol, obat yang dapat meningkatkan HDL dan kombinasinya (Talbert, 2008).

a. Niacin (Nicotinic acid)

Niacin merupakan obat penurun lipid pertama yang dihubungkan dengan penurunan mortalitas total. Niacin menurunkan produksi partikel VLDL, menurunkan level LDL dan meningkatkan level HDL kolesterol. Efek rata – rata dari dosis penuh 3 – 4,5 g/hari terapi niasin adalah penurunan LDL kolesterol sebesar 15 – 25% dan peningkatan HDL kolesterol sebesar 25 – 35%. Dosis penuh dibutuhkan untuk mendapatkan efek LDL, namun efek HDL telah ditunjukan pada dosis yang lebih rendah yaitu pada dosis 1g/hari. Niacin juga dapat menurunkan


(43)

40 trigliserida dan lipoprotein A dan akan meningkatkan level homosistein. Intoleransi terhadap niacin sering terjadi, hanya sekitar 50 – 60% pasien yang dapat menerima dosis penuh. Niacin dapat menyebabkan flushing yang dimediasi prostaglandin yang dideskripsikan pasien sebagai ”hot flashes” atau pruritus dan dapat diturunkan dengan pemberian pretreatment dengan aspirin (81 – 325 mg/hari) atau obat NSAID lainnya. Flushing juga dapat diturunkan dengan memulai terapi niacin dengan dosis yang sangat kecil misalnya 100 mg pada waktu makan malam. Dosis kemudian dapat digandakan setiap minggunya sampai dosis 1,5 g/hari ditoleransi. Setelah cek ulang lipid darah, dosis kemudian dapat dibagi dan ditingkatkan sampai target 3 – 4,5 g/hari tercapai. Niacin extended release juga tersedia dan lebih ditoleransi dengan baik pada kebanyakan pasien. Niacin juga dapat menyebabkan eksaserbasi gout dan penyakit peptik ulcer. Walaupun niacin mungkin dapat meningkatkan gula darah pada beberapa pasien, percobaan klinik menunjukan bahwa niacin aman digunakan pada pasien diabetik (Baron , 2006).

b. Bile acid-binding resin

Golongan resin pengikat asam empedu termasuk di dalamnya adalah kolestiramin, kolesevelam dan kolestipol. Terapi dengan obat ini dapat menurunkan insidensi dari kejadian koroner pada pria usia pertengahan sebanyak 20%, tanpa perbedaan signifikan pada efek mortalitas total. Resin bekerja dengan cara mengikat asam empedu pada intestin. Mekanisme yang bersamaan adalah penurunan sirkulasi enterohepatik yang kemudian menyebabkan hati meningkatkan produksi asam empedunya, menggunakan kolesterol hepatik. Aktivitas reseptor hepatik LDL akan meningkat, menyebabkan terjadinya penurunan level LDL plasma. Level trigliserida dapat meningkat sedikit pada beberapa pasien yang diterapi dengan resin pengikat asam empedu, sehingga penggunaan obat ini harus dengan peringatan pada pasien yang mengalami peningkatan trigliserida dan tidak diberikan pada semua pasien dengan kadar trigliserida diatas 500 mg/dL. Klinisi dapat mengharapkan penurunan sebanyak 15-25% pada level LDL kolesterol, dengan efek yang signifikan pada level HDL.


(1)

137 a. Manitol

Manitol merupakan diuretik osmotik yang secara luas digunakan untuk terapi edema serebral. Manitol diketahui dapat menurunkan tekanan intrakranial melalui mekanisme penurunan kandungan air keseluruhan dan volume cairan serebrospinal dan melalui penurunan volume darah karena vasokontriksi. Manitol juga dapat meningkatkan perfusi serebral melalui penurunan viskositas atau dengan mengubah rheologi sel darah merah. Sebagai pengikat radikal bebas, manitol memiliki efek protektif terhadap kerusakan biokimia (Bereczki & Liu, 2000). Dosis yang direkomendasikan untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial adalah 0,25-1,0mg/kg melalui intravena bolus (Morgenstern & Hemphill, 2010).

b. Salin hipertonik

Salin hipertonik mulai digunakan dalam pengobatan peningkatan tekanan intrakranial. Salin hipertonik memiliki keistimewaan dimana natrium klorida yang memiliki koefisien refleksi 1,0 akan lebih baik dikeluarkan secara utuh melewati sawar darah otak dibandingkan dengan manitol yang memiliki koefisien refleksi 0,9. Salin hipertonik dapat berperan dalam penurunan tekanan intrakranial melalui 2 mekanisme yaitu melalui efek langsung pada edema dan melalui perbaikan mikrosirkulasi melalui pergeseran cairan dari sel yang membengkak menuju lumen kapiler. Kedua efek tersebut bergantung pada perbedaan osmogradient antara kompartemen intraselular dan intravaskular (Kempski, 2005). Salin hipertonik diberikan secara bolus dengan konsentrasi 23,4% sebanyak 30 mL (Morgenstern & Hemphill, 2010).


(2)

138 11. Vitamin K

Vitamin K merupakan vitamin larut lemak yang digunakan untuk mendukung pembentukan faktor pembekuan darah. Fitonadione dapat memblok secara kompetitif efek dari warfarin dan antikoagulan terkait. Efek klinis akan tertunda beberapa jam karena hati harus lebih dahulu mensintesis faktor – faktor pembekuan dan kadar plasma faktor – faktor pembekuan seperti faktor II, VII, IX dan X secara bertahap akan kembali. Penghitungan dosis bervariasi berdasarkan pada situasi klinis, termasuk dosis antikoagulan yang digunakan dan jenis dari antikoagulan apakah aksi pendek atau aksi panjang. Dosis untuk dewasa biasanya 10 mg secara intravena (Nasissi, 2010).


(3)

139 G. PENUTUP

Tatalaksana terapi pada pasien stroke perdarahan secara berkala dievaluasi. Penelitian – penelitian baru membawa masukan – masukan bagi tatalaksana terapi baru baik dalam bidang farmakologi maupun nonfarmakologi. Tatalaksana terapi baru akan dimasukkan ke dalam guidelines agar menjadi bahan masukan bagi para tenaga kesehatan yang menangani pasien stroke perdarahan. Dengan mengetahui tatalaksana terapi terutama terapi obat, para farmasis diharapkan dapat menilai luaran klinik pada penderita stroke peradarahan beserta monitoring kemungkinan terjadinya masalah yang terkait dengan penggunaan obat. Farmasis juga diharapkan dapat mengetahui pada tingkat mana penggunaan obat tersebut direkomendasikan digunakan untuk pasien. Dengan demikian dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya demi mendapatkan hasil yang optimal untuk pasien.


(4)

140 DAFTAR PUSTAKA

Andersen, K.K., Olsen, T.J., Dehlendorff, C., Peter, L. (2009) Hemorrhagic and Ischemic Strokes Compared. Stroke Severity, Mortality, and Risk Factors. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] 1 – 6. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 29 September 2010]. DOI: 10.1161/STROKEAHA.108.540112.

American Heart Association. (2009) Heart Disease and Stroke : Statistics. [Online]. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 08 September 2009].

American Stroke Association (2010) Hemorrhagic (Bleeds) [Online] Sumber : http://www.strokeassociation.org/ [Akses 22 September 2010].

American Pharmacists Association.(2009) Drug Information Handbook. Lexi-Comp. USA.

Bederson, J.B., Connolly, E.S., Batjer, H.H., Dacey, R.G., Dion, J.E., Diringer, M.N., et all. (2009) Guidelines for Management of Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] 1 – 32. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 07 September 2009]. DOI: 10.1161/STROKEAHA.108.191395.

Bereczki, D., Liu, M., do Prado, G.F., Fekete, I. (2000) Cochrane Report : A Systematic Review of Mannitol Therapy for Acute Ischemic Stroke and Cerebral Parenchymal Hemorrhage. Stroke 2000; 31; 2719-2711. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 28 Oktober 2010].

Broderick, J. (1996) Guidelines for Medical Care and Treatment of Blood Pressure in Patients with Acute Stroke. [Online] Sumber : http://www.ninds.nih.gov/ [Akses 31 Oktober 2010].

Broderick, J., Sander, C., Feldmann, E., Hanley, D., Kase, C., Krieger, D., et all. (2007) Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage in Adults : 2007 Update. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 08 September 2009]. DOI: 10.1161/STROKEAHA.107.183689.

Deryke,L., Janisse, J., Coplin, W.M., Parker, D., Norris, G., Rhoney, D.H., (2008) A Comparison of Nicardipine and Labetalol for Acute Hypertension Management Following Stroke. Neurocritical Care. 2008;9(2):167-76 [Online] Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ [Akses 31 Oktober 2010].

Fagan, S.C., Hess, D.C. (2008) Stroke. Dalam : Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (eds.) Pharmacotherapy. Seventh edition. New York. McGraw-Hill. p. 380.

Giraldo, E.A. (2007) Hemorrhagic Stroke. [Online]. Sumber : http://merck.html/ [Akses 08 September 2009].


(5)

141 Internet Stroke Center-Department of Neurology Washington University School of Medicine (2002) Subarachnoid Hemorrhage. [Online]. Sumber : http://www.strokecenter.org/ [Akses 22 Agustus 2010]

Internet Stroke Center-Department of Neurology Washington University School of Medicine (2010) Intracerebral Hemorrhage [Online] sumber : http://www.strokecenter.org/ [Akses 22 September 2010].

Katzung, B.G. [ed.] (2003) Basic And Clinical Pharmacology, 9th Edition. [ebook]. McGraw Hill. New York.

Kempski, O. (2005) Hypertonic Saline and Stroke. Critical Care Medicine 2005; 33;

1. Lippincott Williams & Wilkins. DOI:

10.1097/01.CCM.0000151046.70094.4C

Kirkpatrick,P.J. (2002) Subarachnoid Haemorrhage and Intracranial Aneurysms : What Neurologists Need to Know. J Neurol Neurosurg Phychiatry. [Online] 73 : 28 – 33. Sumber : http://jnnp.bmj.com/ [Akses 24 Agustus 2010]. Kronvall,E., PerUndren, Rommer,B., Saveland,H., Cronqvist,M., Nilsson,O.G.

(2009). Nimodipine in Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage : a Randomized Study of Intravenous or Peroral Administration. Journal of Neurosurgery 2009; 110. [Online] http://thejns.org/

Liebeskind, D.S. (2010) Intracranial Hemorrhage. [Online] Sumber : http://emedicine.medscape.com/[Akses 03 Oktober 2010].

Mayer, S.A., Brun, N.C., Broderick, J., Davis, S., Diringer, M.N., Skolnick, B.E., Steiner,T. (2005) Safety and Feasibility of Recombinant Factor VIIa for Acute Intracerebral Hemorrhage. Stroke 2005;36;74-79. [Online] Sumber : http://stroke.ahajournals.org/ [Akses 03 November 2010].

Morgenstern,L.B., Hemphill,J.C., Anderson,C., Becker,K., Broderick,J.P., Connolly,E.S., et all (2010) Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses tanggal 30 Juli 2010] DOI : 10.1161/STR.0b013e3181ec611b

Nassisi, D. (2010) Stroke Hemorrhagic : Treatment and Medication. [Online]. Sumber http://emedicine.medscape.com/ [Akses 27 Oktober 2010]. Oman, J.A., Lavine, S.D. (2010) Subarachnoid Hemorrhage. [Online]. Sumber :

http://emedicine.medscape.com/ [Akses 20 Agustus 2010].

Qureshi, A.I., Tuhrim, S., Broderick, J.P., Batjer, H.H., Hondo, H., Hanley, D.F. (2001) Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. The New England Journal of Medicine. [Online] N Engl J Med 2001; 344:1450-1460 Sumber : http://www.nejm.org/ [Akses 06 September 2009].

Suarez, J.I., Tarr, R.W., Selman, W.R. (2006) Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. The New England Journal of Medicine. [Online] 354, 387 – 396. Sumber : http://nejm.org/ [Akses 06 September 2009].

Sahni, R., Weinberger, J. (2007) Management of Intracerebral Hemorrhage. Vascular Health and Risk Management. [Online] 2007:3(5) 701 – 709 Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ [Akses 03 Oktober 2010].


(6)

142 The Toronto Brain Vascular Malformation Study Group. (n.d.) Brain Aneurysms. [Online] Sumber : http://brainavm.oci.utoronto.ca/ [Akses 22 Agustus 2010]

van Gijn, J., Rinkel, G.J. (2001) Subarachnoid Haemorrhage : Diagnosis, Cause and Management. Brain. [Online] 124, 249 – 278. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 08 September 2009].

Young-I.K., Seung-W.P., Taek-K.N., Yong-S. P., Byung-K.M., Sung-N.H., (2008). The Effect of Barbiturate Coma Therapy for the Patients with Severe Intracranial Hypertension : A 10-Year Experience. J Korean Neurosurg Soc 44 : 141-145, 2008. [Online] Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ [Akses 02 November 2010].

Zebian,R.C., Kazzi, A.A. (2010) Subarachnoid Hemorrhage. [Online] Sumber : http://emedicine.medscape.com/ [Akses 01 November 2010]