PENYUSUNAN PANDUAN IDENTIFIKASI SPESIES CAPUNG BERDASARKAN PENELITIAN KEANEKARAGAMAN CAPUNG DI RAWA JOMBOR KLATEN.

(1)

i

PENYUSUNAN PANDUAN IDENTIFIKASI SPESIES CAPUNG BERDASARKAN PENELITIAN KEANEKARAGAMAN

CAPUNG DI RAWA JOMBOR KLATEN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Biologi

Oleh :

HENING TRIANDIKA RACHMAN NIM 12317244025

PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta 3 Maret 2017 Yang Menyatakan,

Hening Triandika Rachman NIM 12317244025


(5)

v MOTTO


(6)

vi

PERSEMBAHAN


(7)

vii

PENYUSUNAN PANDUAN IDENTIFIKASI SPESIES CAPUNG BERDASARKAN PENELITIAN KEANEKARAGAMAN CAPUNG DI

RAWA JOMBOR KLATEN Oleh:

Hening Triandika Rachman NIM. 12317244025

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyusunan aplikasi, kualitas dan kelayakan media Penyusunan Panduan Identifikasi Spesies Capung Berdasarkan Penelitian Keanekaragaman Capung di Rawa Jombor Klaten ditinjau dari aspek isi, tampilan, serta nilai fungsional sebagai alternatif sumber belajar menurut penilaian pakar dan tanggapan siswa.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian Research and Development (R & D) terbatas. Model yang digunakan dalam penelitian model ADD (Analysis, Design, Development).Model ADD disesuaikan dengan kebutuhan peneliti. penelitian dan pengembangan sumber belajar biologi yang menghasilkan produk akhir berupa prototype sumber belajar berupa Aplikasi Panduan Identifikasi Spesies Capung. Penyusunan media Aplikasi Panduan Pengamatan Capung menggunakan R & D model ADD mengacu pada tahapan penulisan bahan ajar yang diutarakan oleh Robert Maribe Branch 2009.

Hasil penelitian menunjukan proses dan produk penelitian berpotensi sebagai bahan ajar dalam bentuk aplikasi panduan identifikasi capung sebagai alternatif sumber belajar bagi peserta didik kelas X SMA. Kualitas aplikasi panduan identifikasi capung berdasarkan hasil validasi oleh ahli media, ahli materi dan Guru Biologi dikatakan berkualitas baik. Kelayakan aplikasi menurut ahli materi, ahli media Guru Biologi dan peserta didik termasuk dalam kategori sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi panduan identifikasi spesies capung ini layak digunakan dalam kegiatan pembelajaran.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segenap puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah

Subhanahuataa’la atas limpahan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat

menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Penyusunan Panduan Identifikasi Spesies Capung Berdasarkan Penelitian Keanekaragaman Capung Di Rawa Jombor Klaten” ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan agung, Nabi Muhammad Salawlahi Alayhi Wassalam, Sahabat, keluarga dan para penyeru ajarannya.

Tugas akhir skripsi ini disusun guna memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana di bidang Ilmu Kependidikan Biologi. Penyusun berharap karya ini dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber ilmu bagi pembaca. Proses penyusunan karya ini melibatkan berbagai pihak yang dengan rendah hatinya berkenan membantu penyusun, untuk itu pada kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Mama, Papa dan kakak tercinta yang tidak hentinya memberikan kepercayaan dan dukungan.

2. Prajawan Kusuma Wardhana dan Tria Septiani Subagyo, sahabat penggiat capung yang atas semangat tulus dan bimbingannya.

3. Abdu Rohman dan Ahmad Zulfikar Abdullah, Andi Joko Purnomo, Opik Prasetyo, Marbellisa Briliani, Rendra Darari Fakhrin Ikranagara ,Setyo Sulistyono, Dina Chaerunnisa, Tini Adiatma, Fauzan Rizky Pamungkas, Gana Yuriko Putra, Putri Wijayanti, Misbachun Aji Santosa, Heny Rahmawati, Failasuf Aulia Nugroho, Bima Gana Pradana, Ahmad Arifandy Hidayat, Ariani Anugrah Putri, M. Fajar Hariadi, M. Yatsrib Ramadhan, Jalu Prianggodo, Kurnia Cahyani, Wahyu Nuryadi Harsono, Irfan Aziz Nurhidayat, Nrangwesthi Widyaningrum, Arellea Revina Dewi, dan Nurrohman Eko Purnomo selaku sahabat-sahabat yang berkenan memberikan bantuan, semangat, dan nasihat ketika pengambilan data dan pengerjaan laporan penelitian ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

4. Pak Wahyu Sigit Rahardi dan rekan-rekan Indonesia Dragonfly Society yang dengan ramahnya berkenan berdialog mengenai capung secara luas. 5. Dr. Suyanta selaku Wakil Dekan I Fakultas MIPA UNY tahun 2015 yang

telah memberikan izin penelitian sehingga proses penelitian dapat dilaksanakan.

6. Dr. Paidi, M. Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas MIPA UNY yang telah mengabulkan pengajuan permohonan izin penelitian. 7. Dr. Tien Aminatun selaku Dosen Pembimbing Akademik selama

menempuh masa kuliah, yang telah memberikan arahan, dukungan, dan motivasi.

8. Sukarni Hidayati, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I dan Triatmanto, M. Si. selaku Dosen Pembimbing II yang selalu memberikan arahan yang membangun dalam penyusunan tugas akhir skripsi ini.


(9)

ix

9. Sukiya, M. Si selaku Dosen Penguji I dan Dr. Ir. Suhartini, M. S. selaku Dosen Penguji II.

10.Pihak Laboratorium, Kelompok Studi Odonata (KSO), BSO Arwana, dan BSO BSG Jurdik Biologi Fakultas MIPA UNY yang telah memberikan kemudahan dalam meminjamkan peralatan yang mendukung penelitian ini.

11.Keluarga Pendidikan Biologi Internasional 2012 UNY yang senantiasa memberikan dukungan.

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penelitian ini.

Penyusun menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna, banyak kekurangan dan keterbatasan penyusun, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangatlah penyusun harapkan. Akhir kata, semoga karya ini memberikan manfaat di dunia ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, 2 Maret 2017 Penyusun


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9


(11)

xi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Keilmuan ... 12

1. Capung (Odonata) ... 12

2. Rawa Jombor ... 27

3. Keanekaragaman Capung Rawa Jombor, Klaten ... 29

B. Kajian Kependidikan ... 92

1. Hakikat Pembelajaran Biologi ... 92

2. Sumber Belajar Biologi ... 93

3. Media Pembelajaran ... 93

4. Research and Development ... 96

5. Android ... 98

6. Mobile Learning ... 99

7. Android Studio ... 99

8. Potensi Android Sebagai Sumber Belajar ... 100

9. Potensi Capung Sebagai Sumber Belajar ... 101

C. Kerangka Berpikir ... 103

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 104

B. Langkah Penelitian ... 104

C. Metode Penelitian Pendidikan Biologi... 105

1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 105

2. Langkah - langkah Penelitian ... 105


(12)

xii

4. Teknik Pengumpulan Data ... 111

5. Intrumen Pengumpulan Data ... 111

6. Validasi Instrumen Penelitian ... 112

7. Tenknik Analisis Data ... 113

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Tahap Analisis ... 115

2. Tahap Desain ... 139

3. Tahap Development ... 145

B. Pembahasan 1. Tahap Analisis ... 165

2. Tahap Desain ... 171

3. Tahap Development ... 173

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 177

B. Saran ... 177

DAFTAR PUSTAKA ... 179


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Acisoma panorpoides ... 31 Tabel 2. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Aethriamanta aethra ... 32 Tabel 3. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Agriocnemis femina ... 34 Tabel 4. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Agriocnemis pygmaea ... 36 Tabel 5. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Agrionoptera insignis ... 38 Tabel 6. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Anax guttatus ... 40 Tabel 7. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Brachydiplax chalybea ... 42 Tabel 8. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Brachythemis contaminata ... 44 Tabel 9. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Copera marginipes ... 46 Tabel 10. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Crocothemis servilia ... 48 Tabel 11. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Diplacodes trivialis ... 50 Tabel 12. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Gynacantha subinterrupta ... 52 Tabel 13. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Ictinogomphus decoratus ... 54 Tabel 14. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,


(14)

xiv

Tabel 15. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Lathrecista asiatica ... 59 Tabel 16. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Libellago lineata ... 61 Tabel 17. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Neurothemis terminata ... 63 Tabel 18. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Orthetrum sabina ... 65 Tabel 19. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Orthetrum testaceum ... 67 Tabel 20. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Pantala flavescens ... 69 Tabel 21. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Potamarcha congener ... 71 Tabel 22. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Pseudagrion microcephalum ... 73 Tabel 23. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Pseudagrion rubriceps ... 75 Tabel 24. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Rhodothemis rufa ... 78 Tabel 25. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Tholymis tillarga ... 80 Tabel 26. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Urothemis signata ... 82 Tabel 27. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Zyxomma obtusum ... 84 Tabel 28. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Zyxomma petiolatum ... 86 Tabel 29. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,


(15)

xv

Tabel 30. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan,

Identifikasi, dan Klasifikasi Epophthalmia vittigera ... 90

Tabel 31. Data Spesies Capung Rawa Jombor ... 116

Tabel 32. Data Klimatik Rawa Jombor Selama Pengamatan ... 117

Tabel 33. Fakta dan konsep yang diperoleh dari hasil penelitian keanegaragaman capung di Rawa Jombor, Klaten ... 125

Tabel 34. Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator Pembelajaran ... 137

Tabel 35. Kerangka Aplikasi Panduan Pengamatan Capung ... 139

Tabel 36. Hasil penilaian kelayakan Aplikasi Panduan Pengamatan oleh ahli media ... 146

Tabel 37. Saran oleh Dosen Ahli Media ... 148

Tabel 38. Hasil penilaian kebenaran konsep Aplikasi Panduan Pengamatan oleh ahli materi ... 150

Tabel 39. Saran oleh Dosen Ahli Materi ... 151

Tabel 40. Tabel perubahan aplikasi sebelum dan setelah revisi I ... 154

Tabel 41. Hasil Penilaian Guru Terhadap Aplikasi ... 156

Tabel 42. Saran oleh Guru Biologi ... 158

Tabel 43. Hasil tanggapan peserta didik terhadap kelayakan aplikasi ... 159

Tabel 44. Saran dari peserta didik ... 162

Tabel 45. Tabel Perubahan Aplikasi Sebelum Revisi Dan Setelah Revisi Akhir ... 164


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Topografi Capung Dewasa ... 12

Gambar 2. Anal Appendages (Embelan) Jantan (a) Zygoptera dan (b) Anisoptera Tampak dari Atas ... 12

Gambar 3. Topografi Kepala Capung Subordo Anisoptera (2C dan 2D) dan Subordo Zygoptera (2A dan 2B) ... 14

Gambar 4. Pangkal Sayap Depan (Atas) dan Sayap Belakang (Bawah) Diplacodes bipunctata Jantan ... 15

Gambar 5. Sayap Belakang Capung Subordo Zygoptera (Atas) dan Subordo Anisoptera (Bawah) ... 16

Gambar 6. Titik Perjumpaan Acisoma panorpoides ... 32

Gambar 7. Titik Perjumpaan Aethriamanta aethra ... 34

Gambar 8. Titik Perjumpaan Agriocnemis femina ... 36

Gambar 9. Titik Perjumpaan Agriocnemis pygmaea ... 38

Gambar 10. Titik Perjumpaan Agrionoptera insignis ... 40

Gambar 11. Titik Perjumpaan Anax guttatus ... 42

Gambar 12. Titik Perjumpaan Brachydiplax chalybea ... 44

Gambar 13. Titik Perjumpaan Brachythemis contaminata ... 46

Gambar 14. Titik Perjumpaan Copera marginipes ... 48

Gambar 15. Titik Perjumpaan Crocothemis servilia ... 50

Gambar 16. Titik Perjumpaan Diplacodes trivialis ... 52

Gambar 17. Titik Perjumpaan Gynacantha subinterrupta ... 54

Gambar 18. Titik Perjumpaan Ictinogomphus decoratus ... 56


(17)

xvii

Gambar 20. Titik Perjumpaan Lathrecista asiatica ... 61

Gambar 21. Titik Perjumpaan Libellago lineata ... 63

Gambar 22. Titik Perjumpaan Neurothemis terminata ... 65

Gambar 23. Titik Perjumpaan Orthetrum sabina ... 67

Gambar 24. Titik Perjumpaan Orthetrum testaceum ... 69

Gambar 25. Titik Perjumpaan Pantala flavescens ... 71

Gambar 26. Titik Perjumpaan Potamarcha congener ... 73

Gambar 27. Titik Perjumpaan Pseudagrion microcephalum ... 75

Gambar 28. Titik Perjumpaan Pseudagrion rubriceps ... 77

Gambar 29. Titik Perjumpaan Rhodothemis rufa ... 79

Gambar 30. Titik Perjumpaan Tholymis tillarga ... 81

Gambar 31. Titik Perjumpaan Urothemis signata ... 84

Gambar 32. Titik Perjumpaan Zyxomma obtusum ... 86

Gambar 33. Titik Perjumpaan Zyxomma petiolatum ... 88

Gambar 34. Titik Perjumpaan Ryothemis phyllis ... 90

Gambar 35. Titik Perjumpaan Epophthalmia vittigera ... 91

Gambar 36. Mekanisme kerangka berpikir ... 91

Gambar 37. Diagram Pie Hasil Penilaian Kelayakan oleh Ahli Media ... 148

Gambar 38. Diagram Pie Hasil Penilaian Aspek Kebenaran Konsep oleh Ahli Materi ... 151

Gambar 39. Diagram Pie Penilaian Kelayakan oleh Guru Biologi ... 158

Gambar 40. Diagram pie tanggapan peserta didik terhadap kelayakan aplikasi ... 162


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian ... 175

Lampiran 2. Desain Produk... 176

Lampiran 3 3.1 Rancangan Fungsi ... 182

3.2 Rancangan Skenario ... 184

3.3 Storyboard ... 186

Lampiran 4. Surat Surat 4.1 Permohonan Izin Penelitian dari FMIPA UNY... 192

4.2 Surat Ijin Penelitian dari Pemerintah Daerah DIY ... 194

4.3 Surat Ijin Rekomendasi dari Badan Persatuan Bangsa Dan Politik ... 195

4.4 Surat Ijin Penelitian dari Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ... 196

4.5 Surat Keputusan Dosen Pembimbing TAS ... 197

Lampiran 5. Format Instrumen Penilaian 5.1 Format Lembar validasi Ahli Media ... 198

5.2 Format Lembar validasi Ahli Materi ... 203

5.3 Format Lembar validasi Guru ... 214


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negeri Mega Biodiversitas yang memiliki tingkat keragaman sangat tinggi dibanding negara lainnya. Salah satu kemelimpahan biodiversitas Indonesia yakni memiliki 15% jumlah serangga yang ada di dunia. Serangga yang umum dijumpai di Indonesia adalah Capung / Odonata. Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 700 spesies capung, 142 spesies ditemukan di Pulau Jawa (Lieftinck. 1927). Jumlah ini diperkirakan sekitar 15% dari total 5680 jenis capung yang ada di dunia (Kalkman, V. J., et al., 2008: 351). Capung memiliki peranan penting bagi manusia karena merupakan salah satu bioindikator untuk memantau kualitas air. Nimfa capung tidak bisa hidup pada air yang tercemar atau yang tidak bervegetasi (Susanti, 1998: 24). Selain itu, capung juga berperan dalam bidang kesehatan maupun pertanian. Nimfa capung berperan sebagai pemangsa jentik-jentik nyamuk, sedangkan capung dewasa dikenal sebagai pengendali hama tanaman. Capung dewasa memangsa serangga lain seperti walang sangit dan ngengat (Mareyke Moningka, 2012: 91).

Kehidupan capung sangat bergantung pada kondisi suatu perairan, hal ini dikarenakan capung menghabiskan sebagian masa hidupnya dalam wujud nimfa yang hidup di dalam air. Nimfa capung memiliki sensitivitas yang beragam tiap – tiap spesiesnya, ada yang mampu hidup di sungai bersih, sungai kotor, kolam, sawah, genangan air, waduk, air terjun dan rawa


(20)

2

sehingga dapat digunakan sebagai bioindikator suatu perairan. Kondisi habitat perairan saat ini menemui banyak perubahan diakibatkan kegiatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Habitat perairan yang mengalami gangguan disebabkan manusia contohnya pada Rawa Jombor, Klaten. Rawa Jombor terletak di Desa Krakitan, Bayat, Klaten, Provinsi Jawa Tengah sekitar 45 Kilometer dari Yogyakarta (Monografi Desa Krakitan , 2007;44). Rawa Jombor merupakan kawasan air tawar yang memiliki aliran air tenang, dulunya merupakan resapan air alami yang berbentuk rawa. Rawa Jombor dimanfaatkan sebagai irigasi perkebunan tebu di sekitarnya, kemudian sebagian dari kawasan rawa tersebut dibangun tanggul yang bentuknya mengelilingi rawa hingga menjadi waduk seperti saat ini. Rawa Jombor terbentang seluas 18.900 m2, (Endri Priyanto, 2009: 1-2). Rawa Jombor mewakili beberapa tipe habitat dalam satu wilayah yakni rawa, waduk, sawah, sungai, genangan air dan parit. Beragamnya jenis habitat ini menjadi ekosistem yang potensial bagi perkembangbiakan capung dan nimfa. Waduk Jombor menjadi induk penampungan air yang menampung seluruh aliran air masuk sehingga mengandung berbagai jenis unsur cemaran air, ditambah dalam waduk itu sendiri digunakan sebagai tambak ikan sehingga terjadi eutrofikasi dan ledakan populasi enceng gondok yang hampir memenuhi permukaan waduk. Adanya pencemaran air dan kegiatan manusia di sekitar habitat perairan menjadi ancaman yang serius bagi nimfa capung dalam jangka panjang, oleh


(21)

3

karenanya perlu diperhatikan supaya pengelolaan habitat perairan tidak menyebabkan ancaman bagi organisme yang hidup di perairan.

Berdasarkan penelitian Keanekaragaman Capung di beberapa tipe habitat perairan Rawa Jombor yang dilakukan oleh Tria Septiani Subagyo pada bulan Februari sampai April 2016 dihasilkan terdapat 30 spesies capung yang terdapat di kawasan Rawa Jombor, 2 spesies di antaranya tidak tertangkap namun teridentifikasi keberadaanya. Tingginya keanekaragaman capung di kawasan yang terancam ini merupakan potensi untuk pelestarian capung, salah satunya dengan jalan edukasi. Dalam kehidupan siswa, capung adalah serangga yang dekat karena mudah dijumpai dan menarik bagi anak – anak. Potensi kedekatan dengan objek belajar dan peserta didik ini menjadikan capung layak digunakan sebagai alternatif sumber belajar. Melalui sumber belajar ini diharapkan siswa mengetahui bahwa Rawa Jombor mempunyai keanekaragaman capung yang cukup tinggi, kemudian menumbuhkan rasa memiliki dan peduli terhadap capung maupun makhluk lainnya. Diharapkan siswa lebih mendalami materi mata pelajaran Biologi khususnya berkaitan dengan keanekaragaman hayati melalui media belajar tersebut.

Penyelenggaraan Kurikulum 2013 KD 3.2, menuntut siswa untuk mampu menganalisis data hasil obervasi tentang berbagai tingkat keanekaragaman hayati (gen, jenis dan ekosistem) di Indonesia. Pelaksanaan kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan di kelas X MAN Yogyakarta III menunjukkan siswa kurang memahami keanekaragaman khususnya gen dan jenis ketika guru hanya menyampaikan contoh – contoh dari buku saja terlebih jika guru tidak


(22)

4

memberikan contoh lain yang dekat dan mudah dipahami siswa. Miskonsepsi peserta didik terbukti saat penilaian kognitif siswa cenderung salah ketika mendapati jenis soal analisis yang objeknya belum pernah digunakan sebagai contoh, sementara sejatinya soal tersebut memiliki konsep yang sama.

Dalam mengatasi masalah ketidakpahaman peserta didik dalam mendalami materi keanekaragaman hayati dapat memanfaatkan berbagai media belajar yang didesain secara khusus. Cara membuat sumber belajar dapat dilakukan dengan mengemas hasil penelitian yang telah diidentifikasi proses dan produknya, seleksi dan modifikasi hasil, serta penerapan dan pengembangan hasil penelitian sebagai sumber belajar (Suhardi. 2008: 3-17).

Umumnya guru sudah memberikan media dalam menunjang proses pembelajaran, namun hal ini terkendala oleh ruang dan waktu yang tersedia. Masalah ini dapat diatasi dengan menyusun suatu media pembelajaran yang fleksibel dan dapat digunakan oleh siswa di mana dan kapan saja. Media pembelajaran yang dibutuhkan adalah media yang menarik, padat dan mampu menjelaskan materi keanekaragaman hayati secara detail yaitu dengan menyusun Aplikasi Panduan Identifikasi Capung Rawa Jombor Klaten Sebagai Alternatif Sumber Belajar Materi Keanekaragaman Hayati Untuk Siswa SMA Kelas X .

Belajar dengan mengahadapi permasalahan nyata yang ada di lingkungan sekitar akan lebih memberikan pengalaman belajar yang bernilai. Djohar (dalam Suratsih, 2010: 8) mengatakan, proses belajar biologi merupakan perwujudan dari interaksi subjek didik (siswa) dengan objek yang terdiri dari


(23)

5

benda dan kejadian, serta proses dan produk. Suhardi (2012: 4) menambahkan bahwa hal tersebut menjadi alasan untuk tidak mengesampingkan peranan sumber belajar dan media belajar dalam proses pembelajaran. Interaksi antara subjek didik dengan objek belajar mutlak diperlukan dalam belajar biologi.

Seorang guru adalah mediator antara siswa dan objek belajar, sehingga dituntut untuk bisa mengintegrasikan antara kegiatan belajar dengan fenomena yang ada di lingkungan sekitar. Siswa dalam mempelajari suatu objek dituntut untuk aktif belajar melalui informasi-informasi yang diperoleh dari lingkungan, sehingga siswa dapat memperoleh pemahaman yang utuh serta mengubah sikap siswa ke arah yang lebih baik dalam mehadapi objek dan fenomena di sekitarnya. Hanya saja keterbatasan pengetahuan seorang guru dan kurang pekanya siswa terhadap fenomena di alam menjadikan kurang optimalnya pemanfaatan fenomena alam dalam pembelajaran biologi.

Melalui Aplikasi Panduan Identifikasi Capung diharapkan siswa dapat terfasilitasi secara ruang dan waktu di kelas serta memanfaatkan waktu di luar jam belajar untuk mendalami materi keanekaragaman hayati seehingga pemahaman akan keanekaragaman hayati dapat lebih mudah tercapai. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis melakukan penelitian dengan

judul “Aplikasi Panduan Identifikasi Capung Rawa Jombor Klaten Sebagai

Alternatif Sumber Belajar Materi Keanekaragaman Hayati Untuk Siswa SMA Kelas X”.


(24)

6 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat ditarik beberapa fakta sebagai berikut :

1. Pelaksanaan pembelajaran materi keanekaragaman hayati di kelas X MAN Yogyakarta III kurang berjalan maksimal. Kurang maksimalnya pembelajaran diakibatkan keterbatasan waktu dan media yang kurang mendukung.

2. Objek kajian yang dibahas umumnya bersumber pada buku yang contoh kasus pada buku tersebut kurang relevan dengan kehidupan siswa serta kurang familiar dengan peserta didik, sehingga siswa sulit memahami materi. Sebaiknya media yang digunakan berisikan contoh kasus yang dekat dengan peserta didik dan berupa contoh – contoh kasus nyata yang dapat diamati oleh peserta didik, sehingga lebih mudah untuk di pahami. 3. Media utama yang digunakan guru adalah buku paket. Penggunaan buku

paket yang kurang menarik dari segi media, monoton dalam menberikan contoh kasus dan terlalu singkat menyebabkan siswa kurang mendalami penguasaan materi keanekaragaman hayati, hal ini dapat diatasi dengan menyusun media pembelajaran yang menarik dan tidak terbatas pada ruang dan waktu.

Berdasarkan fakta di atas, ditemukan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana menyajikan Keanekaragaman Spesies Capung di Rawa Jombor ke dalam pembelajaran biologi di SMA?


(25)

7

Jombor Klaten Sebagai Alternatif Sumber Belajar Materi Keanekaragaman Hayati Untuk Siswa SMA Kelas X?

3. Bagaimana kelayakan Aplikasi Panduan Identifikasi Capung Rawa Jombor Klaten Sebagai Alternatif Sumber Belajar Materi Keanekaragaman Hayati Untuk Siswa SMA Kelas X?

C. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi oleh Kompetensi dasar 3.2 menganalisis data hasil obervasi tentang berbagai tingkat keanekaragaman hayati (gen, jenis dan ekosistem) di Indonesia. Mengingat luasnya objek dan permasalahan pada berbagai tingkat keanekaragaman hayati, keterbatasan waktu serta kemampuan peneliti, maka penelitian ini dibatasi pada masalah:

1. Konsep yang dikaji berasal dari hasil penelitian Keanekaragaman Capung (Odonata) di Kawasan Rawa Jombor, Klaten, Jawa Tengah oleh Tria Septiani Subagyo.

2. Aplikasi yang disusun dibatasi pada tingkat keanekaragaman hayati dan ditekankan pada keanekaragaman spesies.

3. Aplikasi yang disusun dapat digunakan oleh pelajar, peneliti dan masyarakat pada umumnya, namun ditekankan pada siswa SMA/MA kelas X yang akan menempuh materi keanekaragaman hayati.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang disusun, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:


(26)

8

1. Bagaimanakah proses penyusunan Aplikasi Panduan Identifikasi Capung Rawa Jombor Klaten Sebagai Alternatif Sumber Belajar Materi Keanekaragaman Hayati Untuk Siswa SMA Kelas X ?

2. Apakah Aplikasi Panduan Identifikasi Capung Rawa Jombor Klaten Sebagai Alternatif Sumber Belajar Materi Keanekaragaman Hayati Untuk Siswa SMA Kelas X ditinjau dari aspek isi, tampilan, serta nilai fungsional sebagai alternatif sumber belajar menurut penilaian pakar dan tanggapan siswa berkualitas baik?

3. Apakah Aplikasi Panduan Identifikasi Capung Rawa Jombor Klaten Sebagai Alternatif Sumber Belajar Materi Keanekaragaman Hayati untuk Siswa SMA Kelas X ditinjau dari aspek isi, tampilan, serta nilai fungsional sebagai alternatif sumber belajar menurut penilaian pakar dan siswa layak digunakan?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Menghasilkan Aplikasi Penyusunan Panduan Identifikasi Spesies Capung Berdasarkan Penelitian Keanekaragaman Capung Di Rawa Jombor Klaten.

2. Mengetahui kualitas media Aplikasi Penyusunan Panduan Identifikasi Spesies Capung Berdasarkan Penelitian Keanekaragaman Capung Di Rawa Jombor Klaten ditinjau dari aspek isi, tampilan, serta nilai


(27)

9

fungsional sebagai alternatif sumber belajar menurut penilaian pakar dan tanggapan siswa.

3. Mengetahui kelayakan Penyusunan Panduan Identifikasi Spesies Capung Berdasarkan Penelitian Keanekaragaman Capung Di Rawa Jombor Klaten ditinjau dari aspek isi, tampilan, serta nilai fungsional sebagai alternatif sumber belajar menurut penilaian pakar dan tanggapan siswa

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Menambah kajian tentang alternatif media pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran materi struktur organisasi kehidupan di SMA dalam bentuk Aplikasi Android beserta proses penyusunannya.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru

1) Menjadi sarana bagi guru untuk memudahkan siswa dalam memahami materi keanekaragaman spesies

2) Memberikan motivasi munculnya bentuk media yang baru sesuai kreatifitas guru dan potensi sekolah.

3) Memberi referensi alternatif bahan ajar untuk alternatif sumber belajar yang menarik dan inovatif.

b. Bagi Siswa


(28)

10

pemahaman materi, menarik minat dan perhatian siswa dalam pembelajaran.

2) Memperkaya pemahaman siswa tentang materi keanekaragaman hayati dalam keanekaragaman spesies.

3) Memfasilitasi siswa untuk berinteraksi dengan objek biologi seperti kondisi sebenarnya di lapangan melalui media pembelajaran.

c. Bagi Peneliti

Memperoleh pengalaman dalam penelitian keilmuan dan penyusunan media pembelajaran biologi untuk alternatif sumber belajar siswa SMA.

G. Definisi Operasional

1. Panduan identifikasi yang dimaksud berupa aplikasi android berisi foto spesies Capung, ilustrasi, peta persebaran dan deskripsi yang disusun secara sistematis. Aplikasi ini diperuntukkan bagi peserta didik kelas SMA kelas X.

2. Spesies capung yang dimaksud adalah spesies capung dari subordo Anisoptera dan subordo Zygoptera yang ditemukan di Rawa Jombor Klaten dalam penelitian (Tria Septiani Subagyo, 2016)

3. Keanekaragaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keanekaragaman secara total yakni gen, spesies dan ekosistem, khususnya lebih ditekankan pada keanekaragaman spesies Capung di Rawa Jombor.


(29)

11

4. Rawa Jombor terletak di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Klaten, Provinsi Jawa Tengah


(30)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A.Kajian Keilmuan Biologi

1. Capung (Odonata) a. Morfologi Capung

Capung termasuk dalam kelompok insekta atau serangga yang memiliki ciri-ciri terdiri atas tiga bagian yaitu: kepala (caput), dada (toraks), dan perut (abdomen).

1

2

Gambar 1: Topografi Capung Dewasa: Kenampakan Lateral famili Gomphidae (Sumber: Michael. J. Samways, 2008: 24). Gambar 2: Anal


(31)

13

Appendages (Embelan) Jantan (a) Zygoptera dan (b) Anisoptera Tampak dari Atas (Terence de Fonseka,2000:27)

Kepala capung relatif besar dibanding tubuhnya, bentuknya membulat/memanjang ke samping dengan bagian belakang berlekuk ke dalam. Bagian yang sangat menyolok pada kepala adalah sepasang mata majemuk yang besar yang terdiri dari banyak mata kecil yang disebut ommatidium. Di antara kedua mata majemuk tersebut terdapat sepasang antena pendek, halus seperti benang (Aswari, 2003).

Mulut capung berkembang sesuai dengan fungsinya sebagai pemangsa, bagian depan terdapat labrum (bibir depan), di belakang labrum terdapat sepasang mandibula (rahang) yang kuat untuk merobek badan mangsanya. Di belakang mandibula terdapat sepasang maksila yang berguna untuk membantu pekerjaan mandibula, dan bagian mulut yang paling belakang adalah labium yang menjadi bibir belakang (Borror dan Dwight, 1995 dalam Aswari, 2003).


(32)

14

Gambar 3. Topografi Kepala Capung Subordo Anisoptera (2C dan 2D) dan Subordo Zygoptera (2A dan 2B) (Sumber: Michael. J. Samways, 2008: 25)

Bagian dada (toraks) terdiri dari tiga ruas adalah protoraks, mesotoraks, dan metatoraks, masing-masing mendukung satu pasang kaki. Menurut fungsinya kaki capung termasuk dalam tipe kaki raptorial yaitu kaki yang dipergunakan untuk berdiri dan menangkap mangsanya. Abdomen terdiri dari beberapa ruas, ramping dan memanjang seperti ekor atau agak melebar. Ujungnya dilengkapi tambahan seperti umbai


(33)

15

yang dapat digerakkan dengan variasi bentuk tergantung jenisnya (Watson et all., 1991).

Sayap capung bentuknya khas yaitu lonjong/memanjang dan tembus pandang, kadang-kadang berwarna menarik seperti coklat kekuningan, hijau, biru, atau merah. Lembaran sayap ditopang oleh venasi (Aswari, 2003). Para ahli mengidentifikasi dan membedakan capung dengan melihat susunan venasi pada sayap (Susanti, 1998).

Gambar 4. Pangkal Sayap Depan (Atas) dan Sayap Belakang (Bawah) Diplacodes bipunctata Jantan (Sumber: Theischinger, G., 2009: 15)


(34)

16

Gambar 5. Sayap Belakang Capung Subordo Zygoptera (Atas) dan Subordo Anisoptera (Bawah) (Sumber: Theischinger, G., 2009: 15)

b. Distribusi Capung

Serangga atau insekta adalah kelompok hewan yang paling tinggi jumlah dan keanekaragaman jenisnya, mereka hampir ditemukan di semua lingkungan. Pada daerah tropis seperti Indonesia, keanekaragaman jenis serangga sangat tinggi karena didukung oleh kemampuannya untuk beradaptasi pada keanekaragaman habitat yang tinggi (Amir & Intari dalam Dharma, 2000).

Saat ini diperkirakan ada 5000-6000 jenis capung dan diperkirakan jumlah ini akan bertambah bila ditemukan jenis baru. Capung tersebar di seluruh dunia jumlah yang sangat berlimpah terutama terdapat di kawasan tropis. Di Indonesia terdapat sekitar 750 jenis (Susanti, 1998). Capung mampu berbiak di hampir segala macam air tawar yang tidak


(35)

17

terlampau panas, asam, atau asin. Mulai dari perairan di dataran tinggi sampai sungai-sungai yang tenang di dataran renah. Ada juga di antaranya yang telah menyesuaikan diri untuk berkembang biak di kolam batu-batuan dan air terjun (Ensiklopedi Serangga, 1992).

Capung menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai nimfa (sepasin) yang sangat tergantung pada habitat perairan seperti sawah, sungai, danau, rawa, atau kolam. Tidak ada satu jenis capung pun yang hidup di laut. Namun ada beberapa jenis yang tahan terhadap kadar garam (Susanti, 1998).

Capung dewasa sering terlihat di tempat-tempat terbuka, terutama di perairan tempat mereka berkembang biak dan berburu makanan. Sebagian besar capung senang hinggap di pucuk rumput, perdu, dan lain-lain yang tumbuh di sekitar kolam, sungai, parit, atau genangan-genangan air (Suharni, 1991).

Capung melakukan kegiatan pada siang hari saat matahari bersinar, oleh karena itu pada hari panas capung akan terbang sangat aktif dan sulit untuk didekati. Pada senja hari saat matahari tenggelam capung kadang-kadang lebih mudah didekati (Suharni, 1991).

c. Siklus Hidup Capung

Dalam daur hidupnya, capung melalui tiga tahap perubahan bentuk (metamorfosis), yaitu telur, nimfa, dan dewasa. Perubahan bentuk seperti ini dinamakan metamorfosis tidak sempurna (Hemimetabola). Ketika


(36)

18

baru menetas nimfa terlindung oleh selaput tipis, tingkatan ini disebut pronimfa. Setelah bersentuhan dengan air selaput tipis terbelah dan muncul nimfa instar. Dalam perkembangan nimfa capung mengalami pergantian kulit, tergantung jenis dan adaptasinya dengan lingkungan. Pergantian kulit berkisar antara 6-15 kali. (Miller, 1995). Proses penggantian kulit (ecdysis) diawali dengan gerakan memompa mengalirkan cairan tubuh menuju toraks dan menyebabkan toraks mengembung dan akhirnya terjadi sobekan pada permukaan dorsal yang meluas sampai di belakang mata dan berbentuk gambaran menyerupai huruf Y. Melalui sobekan tersebut secara spontan nimfa terdorong keluar.

Capung yang baru muncul berwarna pucat, lunak, dan sayap mengkilap. Pada waktu terbang pertama memisahkan diri dari air dan memerlukan waktu beberapa hari mencari makanan. Saat itu capung mengembangkan warna yang sebenarnya dan secara seksual menjadi masak. Jika masa kematangannya sudah selesai lalu mencari lingkungan air untuk masa pembiakan (Ensiklopedi Serangga, 1992).

d. Perilaku Capung

Pada beberapa jenis capung, capung jantan yang siap kawin memiliki suatu kebiasaan untuk menguasai suatu ‘areal’. Capung jantan umumnya berwarna cerah atau mencolok daripada betina. Warna yang mencolok pada capung jantan ini membantu menunjukkan areal


(37)

19

toritorialnya pada jantan lain. Perkelahian antara capung-capung jantan sering terjadi dalam memperebutkan areal masing- masing. Bila ada satu ekor capung betina terbang mendekati salah satu wilayah, maka jantan penghuni akan mencoba mengawininya (Susanti, 1998).

Capung melakukan perkawinan sambil terbang di sekitar perairan dengan menggunakan umbai ekornya. Capung jantan akan mencengkram bagian belakang kepala capung betina. Kemudian capung betina akan membengkokkan ujung perutnya menuju alat kelamin jantan yang sebelumnya sudah terisi sel-sel sperma.Keadaan ini membentuk posisi yang menarik seperti lingkaran yang disebut “roda perkawinan” (Nanao, 1996).

Segera setelah kawin, capung betina siap untuk meletakkan telur-telurnya dengan berbagai cara sesuai dengan jenisnya, ada yang menyimpannya di sela- sela batang tanaman, ada pula yang menyelam ke dalam air untuk bertelur. Oleh sebab itu, capung selalu terikat dengan air untuk meletakkan telur-telurnya maupun untuk kehidupan nimfanya (Kubo, 1997).

Capung jantan menempatkan diri pada tempat tertentu dimana dia berperilaku sedemikian rupa sehingga membuat para pengganggu menghindar dan melarikan diri. Pada jenis capung yang memperlihatkan teritorialnya, capung jantan menduduki suatu daerah lebih dari beberapa hari yang berurutan, walaupun demikian individu yang agresif dapat


(38)

20

tetap di daerahnya tanpa gangguan mulai 1 sampai 3 minggu (Corbet, 1980 dalam Kartini, 2002).

e. Manfaat Capung Bagi Manusia

Capung bermanfaat langsung bagi manusia, karena nimfa capung memakan berbagai jenis binatang air termasuk jentik-jentik nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit malaria dan demam berdarah. Di beberapa negara Asia Timur, baru-baru ini telah terungkap bahwa capung dapat digunakan sebagai pembasmi yang efektif terhadap nyamuk-nyamuk yang menyebabkan penyakit demam berdarah (Yahya, 2005).

Capung juga dapat disebut sebagai indikator air bersih. Artinya, capung dapat dimanfaatkan untuk memantau kualitas air di sekitar lingkungan hidup kita, karena nimfa capung tidak akan dapat hidup di air yang sudah tercemar atau di perairan yang tidak ada tumbuhannya. Jadi, kehadiran capung dapat menandakan bahwa perairan sekitar kita masih bersih (Susanti, 1998).

Perubahan populasi capung juga dapat menandai tahap awal adanya pencemaran air, disamping tanda lainnya berupa kekeruhan air. Namun untuk memastikan apakah suatu sungai atau badan air tercemar atau tidak harus disertai dengan penelitian fisik dan kimia secara akurat (Susanti, 1998).


(39)

21 f. Klasifikasi Capung

Capung digolongkan ke dalam kelas insekta, subkelas Pterygota, infra kelas Paleoptera dan ordo Odonata. Capung diberi nama Odonata oleh Fabricius pada tahun 1793. Nama tersebut diambil dari bahasa Yunani :odonta-gnata yang berarti rahang bergigi. Berikut taksonomi capung:

Kindom : Animalia Filum : Arthropoda Subfilum : Mandibulata Kelas : Insecta/Heksapoda Subkelas : Pterygota

Infrakelas : Palaeoptera Ordo : Odonata

Subordo : 1) Anisozygoptera 2) Anisoptera 3) Zygoptera

1) Sub Ordo Anisozygoptera

Anisozygoptera memiliki karakter yang menggabungkan dua sub ordo. Sayap depan dan belakang hampir serupa dan menyempit pada bagian dasarnya, seperti Zygoptera. Pada saat istirahat sayap tersebut dibentangkan pada posisi horisontal seperti pada Anisoptera. Matanya terpisah seperti pada Zygoptera dan pada bagian depan kepalanya lebih


(40)

22

menonjol keluar seperti Anisoptera. Beranggotakan satu famili yaitu: Epiophlebiidae yang terdiri dari dua species yaitu Epiophlebia supertes Selys ditemukan di Jepang dan E. laidlawi Tillyard di India.

2) Sub Ordo Anisoptera

Sub ordo Anisoptera adalah jenis capung yang sering sekali dijumpai dan mudah untuk diamati. Bentuk tubuh besar, tubuh panjang silinder dan agak pipih. Panjang sayap sama namun sayap belakang lebih lebar daripada sayap depan. Pada waktu hinggap posisi sayap terentang. Capung ini umumnya merupakan penerbang ulung dan senang melayang-layang (Susanti, 1998). Anisoptera terdiri dari tujuh famili, yaitu: Aeschnidae, Gomphidae, Petaluridae, Corduliidae, Marcomiidae, dan Libellulidae (Borror et all., 1996).

a) Famili Aeschnidae

Famili ini mencakup capung-capung yang terbesar dan terkuat. Capung dewasa pada jenis ini memiliki panjang 75 mm dan berwarna hijau atau biru. Kelompok ini umumnya terdapat di berbagai macam habitat akuatik termasuk kolam, rawa, dan saluran-saluran air. Famili ini kira-kira ada sekitar 250 jenis, tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak ditemukan di daerah tropis. Beberapa genus yang penting antara lain: Anas Leach, Aeschna Illiger, Gynacantha Rambur, Basiaeschana Selys, Austrophlebia Tillyard. Jenis yang cukup umum dan tersebar di seluruh kepulauan Indonesia terutama di dalam hutan adalah genus Gynachantha. Dapat ditemukan sampai ketinggian 1500 m di atas


(41)

23

permukaan laut. Capung ini memiliki kebiasaan terbang saat menjelang petang atau saat matahari terbenam (Borror at all., 1996).

b) Famili Cordulegastridae

Anggota famili ini memiliki tubuh yang besar, berwarna hitam kecoklatan dengan tanda-tanda kuning. Mereka biasanya menempati sungai kecil di hutan dengan terbang mematroli tempat di atas permukaan air. Cordulegastridae adalahkelompok yang kecil, dan semua jenis di Amerika Serikat termasuk dalam genus Cordulegaster (Susanti, 1998).

c) Famili Gomphidae

Anggota Famili Gomphidae lebih kurang terdiri dari 350 jenis serta terdapat di seluruh dunia. Jenis ini mudah dikenal dari ruas abdomen kedelapannya yang membengkak, bersifat serakah dan suka berkelahi, memangsa semua jenis serangga bahkan mengejar capung yang lebih besar. Capung berekor ganda ini memiliki panjang 50-75 mm. Kebanyakan jenis ini memiliki warna gelap dengan tanda hijau atau kuning dan cenderung hinggap di permukaan yang datar seperti batu atau bebatuan. Genus-genus yang penting antara lain: Gomphus Leach, Ophiogomphus Selys, Erpetogamphus Selys, Lintenda de Haan, Ictinus Rambur, Austrogomphus Selys (Borror at all., 1996).

d) Famili Petaluridae

Capung berukuran besar berwarna coklat keabu-abuan atau kehitaman. Mata majemuk tidak bertemu pada bagian dorsal kepala.


(42)

24

Stigma berukuran lebih kurang 8 mm. Ovipositornya berkembang dengan baik. Dua jenis dari famili ini terdapat di Amerika Utara: Trachopteryx thoreyi di Amerika Serikat bagian timur dan Tanipteryx hageni di bagian barat laut California dan Nevada sampai bagian selatan British Columbia (Susanti, 1998).

e) Famili Cordullidae

Anggota famili ini kebanyakan berwarna hitam atau metalik tapi tidak begitu mengkilap. Memiliki mata yang berwarna hijau terang pada waktu hidup. Anggota famili ini kebanyakan terdapat di Amerika Serikat bagian utara dan Kanada. Genus terbesar yang terdapat pada famili ini adalah Somatochlora. Kebanyakan capung ini berwarna metalik dan panjangnya lebih dari 50 mm dan biasanya jenis ini terdapat di sepanjang aliran sungai atau daerah perairan di hutan (Borror at all., 1996).

f) Famili Macromiidae

Anggota kelompok ini dipisahkan dari Famili Corduliidae karena memiliki anal loop (simpul anal) yang membulat dan tidak mempunyai bisektor. Dua genus terdapat di Amerika Serikat (Didymops sp. dan Makromina sp.). Didymops sp. berwarna kecoklatan dengan sedikit tanda keputihan pada toraks. Mereka sering terdapat di sepanjang kolam air payau di daerah pesisir. Makromina sp. berwarna kehitaman dengan tanda kuning pada toraks dan abdomennya. Mereka merupakan


(43)

25

penerbang-penerbang yang sangat cepat dan dapat ditemukan di sepanjang aliran sungai besar serta danau (Borror at all., 1996).

g) Famili Libellulidae

Anggota kelompok ini sangat besar jumlahnya, banyak terdapat di sekitar kolam dan rawa-rawa. Jenis ini memiliki kebiasaan terbang yang tidak teratur. Libellulidae terkecil adalah Nannothemis bella (Uhler) yang memiliki panjang sekitar 19 mm. Jenis ini terdapat di sepanjang aliran sungai negara-negara bagian timur Amerika Serikat (Susanti, 1998).

3) Sub Ordo Zygoptera

Tubuh capung ini berbentuk silinder dan sangat ramping menyerupai jarum. Bentuk dan ukuran sayap depan dan sayap belakang sama. Pada waktu hinggap, umumnya sayap terlipat (menutup) ke atas. Capung ini umumnya kurang kuat terbang, sehingga jarang terlihat melayang-layang di suatu tempat. (Susanti, 1998). Zygoptera terdiri dari tiga famili yaitu: Calopterygidae, Coenagrionidae dan Lestidae (Romoser & Stoffolano dalam Dharma 2000).

a) Famili Calopterygidae

Kelompok capung jarum yang berukuran relatif besar, sayapnya memiliki dasar yang makin menyempit tetapi tidak bertangkai seperti sayap famili lainnya. Seringkali terdapat di sepanjang aliran sungai yang bersih dan deras. Tersebar luas khususnya di daerah


(44)

26

tropis. Genus-genus yang penting antara lain: Agrion Fabricus, Calopteryx Fabricius, Hetaerina Hagen, Pentaphlebia Forster, Sapho Selys, Vestalis Selys dan Neorobasis Selys (Esssig, 1942 dalam Dharma, 2000).

b) Famili Lestidae

Famili ini saat hinggap atau istirahat, menahan sayap-sayapnya sedikit melebar di atas tubuh dengan posisi tubuh yang hampir tegak lurus (terutama saat hinggap pada vegetasi). Betina famili ini seringkali meletakkan telurnya pada tumbuhan di dekat permukaan air. Beberapa genus yang penting antara lain: Lestes Leach, Sympycna Chanpentier, Arcilestes Selys, dan Ausrolestes Tillyard. (Essig, 1942 dalam Dharma 2000).

c) Famili Coenagrionidae

Kelompok capung jarum yang selalu menahan sayap-sayapnya rapat di atas tubuhnya saat istirahat. Anggota famili ini merupakan penerbang yang lemah. Mereka secara luas terdapat di habitat tertentu seperti rawa-rawa, kolam, dan aliran-aliran air tetapi tidak pada sungai beraliran deras. Famili ini tersebar luas di seluruh dunia. Genus-genus yang penting antara lain: Coenagrion Kirby, Ischura Charpentier, Enallagma Charpentier, Agrier Gambur, Nehalenia Selys (Essig, 1942 dalam Dharma 2000).


(45)

27 2. Rawa Jombor

Rawa Jombor terletak di Desa Krakitan, Bayat, Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Rawa Jombor berjarak sekitar 45 Kilometer dari Yogyakarta. Pada tahun 1990 rawa jombor merupakan suatu tanah seperti kedung yang lebar dikelilingi tanah pegunungan, karena tempatnya yang rendah di saat musim kemaraupun air hujan yang tertampung tidak menghilang. Disebelah barat daerah ini terdapat Sungai Ujung yang mengalirkan air ke sungai Denkeng. Dahulu sungai ujung sering kelebihan air di musim penghujan, maka air tersebut menggenangi pekarangan dan sawah – sawah rakyat yang berada di sekitar sungai tersebut. Air yang menggenangi daerah tersebut. Air yang menggenangi derah tersebut menjadi daerah rawa yang luas dan lebar, sehingga banyak rakyat penghuni daerah tersebut yang dipindahkan ke tempat yang aman di tepi rawa atau tanah tegalan (Monografi Desa Krakitan , 2007;44)

Rawa Jombor merupakan rawa yang dibendung, kawasannya merupakan daerah resapan air yang memiliki aliran air tenang dan air menggenang, terletak sekitar 8 km dari pusat Kota Klaten, tepatnya di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Rawa Jombor memiliki luas permukaan kurang lebih sekitar 18.900 m2. (Endri Priyanto, 2009: 1), waduk tersebut dikelilingi oleh bukit yang banyak ditumbuhi pohon-pohon. Kawasan Rawa Jombor merupakan kawasan resapan air yang mendukung fungsi ekologis wilayah sekitarnya (Endri Priyanto, 2009: 1-2).


(46)

28

Menurut Winarsih (2004), Rawa Jombor merupakan ekosistem perairan tawar yang dikelilingi bukit, utamanya difungsikan untuk irigasi, selain itu juga memiliki peranan penting dalam beberapa sektor, yakni pertanian, perikanan, dan wisata perairan (Staf Desa Krakitan, 2013: 1-3).

Pada tahun 1901 Raja Keraton Surakarta yaitu Sri Paduka Paku Buwono ke X bersama- sama dengan Pemerintah Belanda mendirikan pabrik gula di manisharjo Pedan Klaten. Areal tanah untuk Perkebunan tebu ini adalah distrik bejin atau kawedanan Bejin. Melihat Air yang Begitu melimpah di Rawa Jombor dan adanya perkebunan tebu yang memerlukan air makla Raja dan Pemerintah Belanda membangun saluran irigasi guna memberikan pengairan tebu di wilayahnya. (Monografi Desa Krakitan , 2007;44-45)

Pada tahun 1917 dimulailah pekerjaan pembangunan salura irigasi dengan cara menerobos gunung atau membuat pekerjaan pembangunan saluran irigasi dengan cara membuat terowongan air sepanjang satu kilometer dan membuat jolontoro (talang diatas sungai dengkeng). Pekerjaan tersebut selesai pada tahun 1921 dan hasilnya dapat mengairi tanaman tebu di daerah kecamatan pedan, kecamatan Karangdowo bagian selatan .

Seteleh pekerjaan pembangunan saluran irigasi selesai pada tahun berikutnya rawa jombor selalu di datangi oleh sri paduka pakubuwono ke X, beluiau datang sekedar naik prahu yang tebuat dari bambu. Pada tahun 1941 – 1942 pecah perang Dunia II. Belanda pergi dari Indonesia dan diganti pemerintah jepang yang berkuasa. Setelah pergantian dari Belanda ke Jepang, pabrik gula manisharjo terpaksa bengkrut dan gulung tikar. Pada tahun 1943


(47)

29

– 1944 pemerintah jepang menjadika rawa jombor sebagai waduk dengan cara ditinggikan tanggulnya. Dengan mempergunakan tenaga paksa atau Romusha. Sebelum dibangun tanggul, dahulu luas Rawa Jombor 500 ha. Pemerintah Jepang membangun tanggul mengelilingi rawa Jombor dengan lebar lima meter dan luas berkurang menjadi 180 ha. (Monografi Desa Krakitan , 2007; 46-47)

Pada tahun 1967 sesudah adanya pemerintahan Orde Baru pemerintah Dati II Klaten memanfaatkan para tahanan politik yang sangat banyak di Klaten untuk memperbaiki keadaan rawa jombor, yakni dengan memperbaiki atau memperlebar tanggul yang awalnya lima meter menjadi 12 meter. Pekerjaan tersebut selersai dalam waktu 7 bulan dengan menyerap tahanan politik lebih dari 1700 orang. (Monografi Desa Krakitan , 2007; 47-48)

3. Keanekaragaman Capung Rawa Jombor, Klaten

Berdasarkan penelitian keanekaragaman capung yang telah dilakukan di Rawa Jombor, Klaten pada bulan Februari – April 2016 oleh Tria Septiani Subagyo teridentifikasi 30 spesies capung. Jenis-jenis capung di kawasan Rawa Jombor dari enam lokasi pengamatan ada 28 jenis tertangkap dan 2 spesies tidak tertangkap namun teridentifikasi keberadaanya, antara lain capung jarum dari Famili Chlorocyphidae 1 jenis, Famili Coenagrionidae 5 jenis, dan Famili Platycnemididae 1 jenis; capung biasa dari Famili Corduliidae 1 jenis, Famili Aeshnidae 2 jenis, Famili Gomphidae 1 jenis, dan Famili Libellulidae 19 jenis. Jumlah jenis


(48)

30

dan individu terbanyak dari Famili Coenagrionidae serta Libellulidae. mlah jenis dan individu yang paling sedikit dari Famili Gomphidae dan Corduliidae.

Perjumpaan spesies pada setiap lokasi sampling antara lain : Aliran Sungai Keluar : 16 Spesies, Waduk : 15 Spesies, Aliran Sungai Masuk : 14 Spesies, Rawa : 12 Spesies, Kolam : 11 Spesies, Sawah : 10 Spesies.

Tingkat keanekaragaman jenis capung di kawasan Rawa Jombor 2,57 termasuk dalam kategori sedang. Nilai keanekaragaman jenis capung di enam lokasi pengamatan masing-masing, yakni kawasan waduk 1,64 (terendah) dengan 15 jenis capung, kawasan sungai aliran masuk menuju waduk 1,77 dengan 14 jenis capung, kawasan rawa 2,23 (tertinggi) dengan 12 jenis capung, kawasan kolam 2,00 dengan 11 jenis capung, kawasan sungai aliran keluar dari waduk 2,09 dengan 16 jenis capung, dan kawasan sawah 1,73 dengan 10 jenis capung.

Jumlah spesies aliran sungai keluar paling banyak menandakan habitat tersebut sesuai dengan banyak jenis capung sehingga cukup mendukung kebutuhan capung. Banyaknya jumlah spesies bukan berarti banyak dalam segi jumlah karena berdasarkan analisis indeks keanekaragaman tertinggi adalah pada rawa dengan nilai 2,23. Nilai indeks ini menandakan tingginya keanekaragaman spesies juga di didukung banyaknya jumlah setiap spesies, sehingga kemungkinan kecil terjadi dominasi spesies, selain itu juga menandakan tingginya daya dukung rawa sebagai habitat serta rendahnya cekaman dari luar, misalnya


(49)

31

aktifitas manusia. Sebaliknya indeks keanekaragaman terendah yakni kawasan waduk 1,64 dimana waduk menjadi pusat aktifitas manusia, sehingga berdampak pada daya dukung habitat dan cekaman.

Berikut ini merupakan data 30 jenis capung yang dijumpai dalam penelitian Tria Septiani Subagyo. Spesies tersebut antara lain :

1. Acisoma panorpoides

Tabel 1. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Acisoma panorpoides

Gambar Spesimen

♂ © Tria Septiani Subagyo

Lokasi: Sungai Aliran Keluar dari Waduk

Ciri Morfologi

Abdomen berwarna biru muda kekuningan dengan bercak hitam, berbentuk seperti terompet melebar pada segmen 1-5 ke arah dorso-ventral dan lateral, di bagian dorso-ventral apendix saling bertaut berwarna hitam, segmen 8-10 berwarna hitam penuh, embelan putih dengan pinggiran hitam;

Jantan dengan panjang tubuh 20 mm, sayap depan 21 mm, sayap belakang 13 mm;

Betina berwarna kuning dengan panjang tubuh 24 mm, sayap depan 20 mm, sayap belakang 19 mm; Sayap transparan dengan venasi hitam, stigma (pterostigma) kuning pucat, distal antenodal komplit. Lokasi Perjumpaan

1. Waduk 2. Rawa

3. Sungai aliran keluar

*tempat terbuka tanpa naungan Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Terence de Fonseka (2000: 157), Odonata dengan uraian di atas adalah Acisoma panorpoides (Burmeister, 1839)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata Famili : Libellulidae


(50)

32

Genus : Acisoma

Spesies : Acisoma panorpoides Acisoma panorpoides merupakan capung biasa yang termasuk dalam Famili Libellulidae dengan ukuran tubuh tergolong kecil, disebut juga capung perut-terompet karena bagian abdomennya menggembung dan berlekuk menyerupai terompet. Capung ini biasa dijumpai terbang rendah dan dengan jarak terbang yang dekat, hinggap pada daun tumbuhan eceng gondok dan rumput-rumput. Di kawasan Rawa Jombor, A. panorpoides banyak dijumpai di lokasi dengan air tergenang seperti di kawasan waduk dan rawa, sedikit dijumpai di sekitar kawasan sungai aliran keluar. Kawasan waduk dan rawa merupakan habitat terbuka tanpa naungan, didominasi tumbuhan eceng gondok, sedangkan di sungai aliran keluar terdapat naungan pohon-pohon besar di tepi sungai. Capung ini aktif ketika berawan hingga cerah.


(51)

33

Gambar 6. Titik Perjumpaan Acisoma panorpoides

2. Aethriamanta aethra

Tabel 2. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Aethriamanta aethra

Gambar Spesimen

♂ © Tria Septiani Subagyo

Lokasi: Sungai Aliran Keluar dari Waduk

Ciri Morfologi

Jantan dewasa dengan panjang tubuh 30,5 mm, sayap depan 25 mm, sayap belakang 23,5 mm, tubuh dominan tertutup pruinescent berwarna biru di toraks dan abdomen, abdomen segmen 7-10 berwarna hitam, pangkal sayap belakang berwarna cokelat kehitaman; Betina dengan panjang tubuh 27 mm, sayap depan 23 mm, dan sayap belakang 22 mm, mata majemuk bagian atas berwarna cokelat kemerahan, bagian bawah abu-abu kecokelatan, warna tubuh kuning kecokelatan, pada toraks terdapat garis-garis hitam di sisi dorsal dan lateral, di abdomen sisi dorsal terdapat pola hitam berbentuk segitiga di segmen 2-4, bentuk jam pasir di segmen 5-8, segmen 9-10 berwarna hitam penuh, pangkal sayap belakang cokelat;

Sayap transparan dengan venasi hitam dan stigma cokelat.

Lokasi Perjumpaan Sungai aliran keluar

*tempat terbuka tanpa naungan Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Tang, H. B., Wang, L.K., & Hämäläinen, M. (2010: 133), Odonata dengan uraian di atas adalah Aethriamanta aethra (Ris, 1912)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata Famili : Libellulidae Genus : Aethriamanta

Spesies : Aethriamanta aethra

Aethriamanta aethra merupakan capung biasa yang termasuk dalam Famili Libellulidae dengan ukuran tubuh tergolong kecil. Capung ini dijumpai di sekitar


(52)

34

lokasi sungai aliran keluar, hinggap pada ujung-ujung ranting mati di tepi aliran sungai yang terbuka tanpa naungan. Jenis capung ini senang berjemur di terik matahari, dapat dijumpai ketika berawan hingga cerah. Ketika terbang capung jenis ini dapat terbang dengan cepat dengan jarak yang jauh dan tinggi.

Gambar 7. Titik Perjumpaan Aethriamanta aethra

3. Agriocnemis femina

Tabel 3. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Agriocnemis femina

Gambar Spesimen Ciri Morfologi

Ukuran tubuh kecil;

Toraks jantan berwarna hijau atau hijau pucat, hitam di sisi dorsal dan antero-lateral, saat dewasa tertutup pruinescent berwarna putih;

Abdomen 1-6 hijau, hijau pucat, hingga kebiruan di sisi ventral, sisi dorsal hitam, abdomen 7-10 kuning hingga jingga;


(53)

35 ♂ © Hening Triandika Rachman

Lokasi: Sungai Aliran Masuk menuju Waduk

Embelan inferior jantan lebih panjang dibandingkan embelan superior;

Betina pradewasa berwarna merah, dewasa berwarna kehijauan, protoraks memiliki tonjolan cuping dengan bentuk curam yang dalam di bagian tengahnya;

Sayap transparan dengan stigma hitam, venasi cokelat kehitaman.

Lokasi Perjumpaan 1. Waduk

2. Sungai aliran masuk 3. Rawa

4. Kolam 5. Sawah

*tempat terbuka tanpa naungan dan dengan naungan Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Terence de Fonseka (2000: 80-81) dan Wahyu Sigit Rhd, dkk. (2013: 110), Odonata dengan uraian di atas adalah Agriocnemis femina (Baruer, 1868)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata

Famili : Coenagrionidae Genus : Agriocnemis

Spesies : Agriocnemis femina

Agriocnemis femina disebut juga capung-jarum centil (Wahyu Sigit Rhd., dkk., 2013: 109), anggota dari Famili Coenagrionidae. Jenis ini memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil. Pada jantan yang sudah tua akan muncul serbuk putih (pruinescent) yang menutupi bagian toraksnya, sedangkan betina dewasa akan memiliki warna dominan hijau pucat dan hitam. Agriocnemis femina dapat dijumpai di kawasan waduk, sungai aliran masuk, rawa, kolam, dan sawah, baik di tempat terbuka tanpa naungan maupun tempat dengan naungan, tetapi biasanya lebih banyak ditemukan di tempat dengan naungan, hinggap di rumput, semak,


(54)

36

dan padi, terbang rendah dengan jarak yang dekat dan termasuk penerbang lemah seperti capung jarum pada umumnya. Capung ini dijumpai ketika berawan hingga cerah.

Gambar 8. Titik Perjumpaan Agriocnemis femina

4. Agriocnemis pygmaea

Tabel 4. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Agriocnemis pygmaea

Gambar Spesimen

♂ © Hening Triandika Rachman

Ciri Morfologi

Toraks jantan berwarna hijau atau hijau pucat, hitam di sisi dorsal dan antero-lateral; abdomen 1-6 berwarna hijau, hijau pucat, hingga kebiruan di sisi ventral, sisi dorsal hitam, abdomen 7-10 kuning hingga jingga;

Embelan inferior pada jantan hampir sama atau lebih pendek dibandingkan superior, ujung embelan superior tidak berimpit,


(55)

37

Lokasi: Sungai Aliran Keluar dari Waduk permukaan atas embelan superior agak melengkung ke bawah;

Betina tidak memiliki tonjolan cuping di protoraks seperti A. femina betina, terdapat titik berwarna biru muda di dekat kedua mata majemuk dan protoraks, serta garis tipis berwarna biru muda di toraks membatasi warna hitam pada sisi dorsal dan warna cokelat pada sisi antero-lateral;

Sayap transparan dengan venasi cokelat, stigma kuning pucat pada sayap depan dan hitam pada sayap belakang.

Lokasi Perjumpaan 1. Waduk

2. Sungai aliran masuk 3. Sungai aliran keluar

*tempat terbuka tanpa naungan dan dengan naungan Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Tang, H. B., Wang, L.K., & Hämäläinen, M. (2010: 54), Terence de Fonseka (2000: 80-81), dan Wahyu Sigit Rhd, dkk. (2013: 110), Odonata dengan uraian di atas adalah Agriocnemis pygmaea (Rambur, 1842)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata

Famili : Coenagrionidae Genus : Agriocnemis

Spesies : Agriocnemis pygmaea Agriocnemis pygmaea disebut juga capung-jarum kecil (Wahyu Sigit Rhd., dkk., 2013: 113), sesuai dengan namanya memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil, anggota dari Famili Coenagrionidae. Agriocnemis pygmaea jantan memiliki ciri yang mirip dengan A. femina jantan, ciri yang membedakan keduanya adalah bentuk embelan pada ujung abdomen, yakni A. pygmaea memiliki sepasang embelan superior yang lebih panjang dibandingkan dengan embelan inferior, berkebalikan dengan A. femina. Betina A. pygmaea juga memiliki ciri yang mirip dengan betina A. femina, namun keduanya dibedakan dari bentuk cuping yang menonjol di bagian protoraks. Jenis ini terbang rendah dengan jarak yang dekat,


(56)

38

termasuk penerbang lemah seperti capung jarum pada umumnya, dapat dijumpai di tempat terbuka tanpa naungan maupun dengan naungan, hinggap di rumput-rumput di sekitar lokasi dengan air tenang di sekitar waduk, sungai aliran masuk, dan sungai aliran keluar dalam kondisi berawan hingga cerah.

Gambar 9. Titik Perjumpaan Agriocnemis pygmaea 5. Agrionoptera insignis

Tabel 5. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Agrionoptera insignis

Gambar Spesimen

♂ © Tria Septiani Subagyo

Lokasi: Sungai Aliran Keluar dari Waduk

Ciri Morfologi

Toraks berwarna hitam-hijau metalik;

Abdomen sisi ventral hitam, sisi dorsal 3-7 berwarna kuning, jingga, merah, atau hitam, di segmen 8-10 berwarna hitam pekat, embelan hitam;

Jantan dengan panjang tubuh 42-44 mm, sayap depan 33-34 mm, sayap belakang 31,5-32 mm, abdomen jingga-kemerahan;


(57)

39

Betina dengan panjang tubuh 42,5-44 mm, sayap depan 35-35,5 mm, sayap belakang 33 mm, abdomen kuning sampai dengan hitam-kemerahan;

Sayap transparan atau bening kecokelatan dengan bercak cokelat pada ujung-ujung sayap, venasi dan stigma hitam.

Lokasi Perjumpaan 1. Kolam

2. Sungai aliran keluar *tempat dengan naungan Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Theischinger, G. (2009: 115), Odonata dengan uraian di atas adalah Agrionoptera insignis (Rambur, 1842)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata Famili : Libellulidae Genus : Agrionoptera

Spesies : Agrionoptera insignis

Agrionoptera insignis merupakan capung biasa yang termasuk dalam Famili Libellulidae dengan ukuran tubuh sedang. Ciri-ciri jenis ini adalah pada jantan terdapat occeli, vertex, dan frons yang berwarna biru metalik. Capung jenis ini ditemukan di lokasi yang tertutup naungan pohon dan sering ditemukan istirahat hinggap di ranting-ranting dan di balik daun-daun pohon yang tidak terpapar sinar matahari secara langsung dan hanya sesekali terbang dengan jarak terbang yang tinggi menuju ranting-ranting pohon ketika terusik. Capung ini dijumpai di kawasan lokasi pengamatan ketika berawan. Lokasi dijumpainya jenis ini adalah tempat dengan kanopi pohon yang rapat di sekitar kolam dan sungai aliran keluar.


(58)

40

Gambar 10. Titik Perjumpaan Agrionoptera insignis

6. Anax guttatus

Tabel 6. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Anax guttatus

Gambar Spesimen

-

Ciri Morfologi Ukuran tubuh besar;

Warna tubuh dominan hijau; Pangkal abdomen berwarna hijau-biru dan sedikit warna kuning di sepanjang abdomen;

Sayap transparan. Lokasi Perjumpaan

Rawa

*tempat terbuka tanpa naungan Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Tang, H. B., Wang, L.K., & Hämäläinen, M. (2010: 98) dan Wahyu Sigit Rhd, dkk. (2013: 44), Odonata dengan uraian di atas adalah Anax guttatus (Burmeister, 1839)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata Famili : Aeshnidae Genus : Anax


(59)

41

Anax guttatus merupakan capung biasa yang termasuk dalam Famili Aeshnidae atau disebut juga capung-barong bercak-biru (Wahyu Sigit Rhd., dkk., 2013: 43), yakni dengan ciri utama ukuran tubuh besar, mata majemuk luas berimpit, dan warna tubuh dominan hijau dengan bercak biru. Dijumpai terbang di tempat terbuka tanpa naungan, terbang rendah menyusuri sepanjang aliran air dengan gerak yang cepat dan mampu merubah arah seketika terbang tinggi dan dengan jarak yang sangat jauh. Capung ini dijumpai terbang aktif pada kondisi cerah. Capung ini dijumpai satu kali di kawasan rawa, terbang menyusuri aliran air.

Menurut Wahyu Sigit Rhd, dkk. (2013: 44), A. guttatus memiliki kebiasaan aktif pada pagi hari menjelang siang untuk berburu mangsa, dan spesies ini sangat suka terbang dengan kecepatan tinggi di atas permukaan air. Capung jenis ini biasa terbang terus-menerus dalam jangka panjang, jarang dijumpai hinggap, serta sensitif jika didekati. Hal ini sesuai dengan hasil perjumpaan ketika pengamatan, yakni terbang rendah menyusuri sepanjang aliran air dengan gerak yang cepat sehingga sulit untuk ditangkap dan didokumentasikan melalui foto.


(60)

42

Gambar 11. Titik Perjumpaan Anax guttatus

7. Brachydiplax chalybea

Tabel 7. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Brachydiplax chalybea

Gambar Spesimen

♂ © Tria Septiani Subagyo Lokasi: Kolam

Ciri Morfologi

Jantan dengan panjang tubuh 31,5-38 mm, sayap depan 25-30,5 mm, sayap belakang 24,5-29 mm, toraks sisi lateral dan abdomen sisi ventral berwarna cokelat, sisi dorsal toraks dan dorsal abdomen diselimuti serbuk pruinescent berwarna biru keputih-putihan, abdomen segmen 7-10 hitam;

Betina dengan toraks dan abdomen berwarna cokelat dengan corak hitam;

Sayap transparan dengan stigma cokelat, venasi hitam, pada pangkal kedua pasang sayap berwarna cokelat, antenodal di sayap depan kurang dari sembilan.


(61)

43 Lokasi Perjumpaan

1. Waduk 2. Kolam

3. Sungai aliran keluar

*tempat terbuka tanpa naungan dan dengan naungan Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Shanti Susanti (1998: 64), Tang, H. B., Wang, L.K., & Hämäläinen, M. (2010: 140), dan Theischinger, G. (2009: 114), Odonata dengan uraian di atas adalah Brachydiplax chalybea (Brauer, 1868)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata Famili : Libellulidae Genus : Brachydiplax

Spesies : Brachydiplax chalybea

Brachydiplax chalybea merupakan capung biasa yang termasuk dalam Famili Libellulidae dengan ukuran tubuh kecil. Jantan memiliki ciri mirip A. aethra, namun dapat dibedakan dari jumlah segmen yang berwarna hitam pada ujung abdomen, yakni pada B. chalybea pada segmen 7-10, sedangkan pada A. aethra pada segmen 9-10. Capung jenis ini sering dijumpai hinggap dan sesekali terbang dengan jarak yang dekat, sering dijumpai hinggap di daun-daun eceng gondok dan ujung ranting mati di tempat terbuka tanpa naungan seperti waduk maupun di tempat dengan naungan seperti di lokasi kolam dan sekitar sungai aliran keluar. Capung jenis ini dijumpai aktif ketika berawan hingga cerah.


(62)

44

Gambar 12. Titik Perjumpaan Brachydiplax chalybea

8. Brachythemis contaminata

Tabel 8. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Brachythemis contaminata

Gambar Spesimen

♂ © Tria Septiani Subagyo Lokasi: Waduk

Ciri Morfologi

Jantan dengan panjang tubuh 31 mm, sayap depan 24-25 mm, sayap belakang 23 mm, warna toraks hijau kecokelatan, abdomen berwarna jingga kecokelatan dengan garis cokelat di sisi dorsal, sayap berwarna jingga kecokelatan di bagian tengah dari pangkal hingga 2/3 sayap, stigma jingga, venasi cokelat kemerahan; Betina berwarna hijau kecokelatan di bagian toraks, cokelat pucat di bagian abdomen, sayap transparan dengan stigma kuning tua cerah.

Lokasi Perjumpaan 1. Waduk

2. Sungai aliran masuk 3. Rawa


(63)

45 *tempat terbuka tanpa naungan

Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Shanti Susanti (1998: 65) dan Terence de Fonseka (2000: 158-159), Odonata dengan uraian di atas adalah Brachythemis contaminata (Fabricius, 1793)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata Famili : Libellulidae Genus : Brachythemis

Spesies : Brachythemis contaminata

Brachythemis contaminata merupakan capung biasa yang termasuk dalam Famili Libellulidae, mudah dikenali melalui ukuran tubuhnya yang kecil dengan sayap berwarna jingga. Capung jenis ini senang hinggap di ujung-ujung ranting mati ataupun ujung batang tumbuhan yang masih hidup yang tak berdaun di dekat air yang menggenang maupun mengalir di tempat terbuka tanpa naungan pada siang hari, jika terbang hanya terbang rendah dan dengan jarak dekat untuk mencari tempat hinggap. Capung jenis ini dijumpai di kawasan waduk, sungai aliran masuk, dan rawa pada kondisi berawan hingga cerah. Capung ini sangat tahan berlama-lama berjemur pada kondisi cuaca cerah.


(64)

46

Gambar 13. Titik Perjumpaan Brachythemis contaminata

9. Copera marginipes

Tabel 9. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Copera marginipes

Gambar Spesimen

♂ © Hening Triandika Rachman Lokasi: Waduk

Ciri Morfologi

Tubuh pradewasa berwarna putih kecokelatan dengan tungkai putih pada betina, cokelat cerah pada jantan;

Jantan dewasa berwarna dominan hitam, toraks hitam dan kuning, ventral abdomen putih, tungkai kuning;

Betina dengan panjang tubuh 35-37 mm, sayap depan 20-21 mm, sayap belakang 19 mm, dewasa berwarna hitam pucat dengan tungkai cokelat; Sayap transparan dengan venasi dan stigma hitam.

Lokasi Perjumpaan 1. Waduk


(65)

47 3. Kolam

4. Sawah

*tempat dengan naungan Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Wahyu Sigit Rhd, dkk. (2013: 130-131), Odonata dengan uraian di atas adalah Copera marginipes (Rambur, 1842)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata

Famili : Platycnemididae Genus : Copera

Spesies : Copera marginipes

Copera marginipes merupakan capung jarum yang termasuk dalam Famili Platycnemididae atau disebut juga capung-hantu kaki-kuning (Wahyu Sigit Rhd., dkk., 2013: 130). Capung jarum ini memiliki ciri rambut-rambut halus yang panjang dan tipis pada tungkainya yang berwarna kuning. Pada fase pradewasa, tubuh capung jenis ini berwarna putih secara keseluruhan baik pada jantan maupun betina. Capung ini dijumpai aktif pada siang hari di tempat-tempat dengan naungan pada kondisi berawan hingga gerimis, merupakan penerbang lemah sehingga hanya mampu terbang pada kondisi angin tenang hingga sepoi-sepoi. Namun, ada beberapa capung yang baru keluar dari nimfa dijumpai di tempat terbuka dengan temperatur panas. Capung jenis ini dijumpai di kawasan waduk, sungai aliran masuk, kolam, dan sawah, sedang hinggap di daun-daun eceng gondok, semak, dan kangkung di dekat air di bawah naungan pepohonan, dan individu yang dijumpai seringnya pada fase pradewasa.


(66)

48

Gambar 14. Titik Perjumpaan Copera marginipes 10.Crocothemis servilia

Tabel 10. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Crocothemis servilia

Gambar Spesimen

♂ © Gana Yuriko Putra Lokasi: Waduk

Ciri Morfologi

Jantan dengan panjang tubuh 45-47 mm, sayap depan 33-34 mm, sayap belakang 32-33 mm, warna tubuh pradewasa kuning kehijauan dan dewasa merah dengan garis hitam di sepanjang bagian tengah dorsal abdomen;

Betina dengan panjang tubuh 41 mm, sayap depan 32 mm, sayap belakang 30 mm, warna tubuh kuning hingga kecokelatan dengan garis hitam di sepanjang bagian dorsal abdomen;

Sayap transparan dengan venasi cokelat (jantan) dan kuning (betina), stigma kuning pudar dengan warna hitam di sisi luarnya. Pangkal sayap belakang cokelat tua.


(67)

49 Lokasi Perjumpaan

1. Waduk

2. Sungai aliran masuk 3. Rawa

4. Sawah

*tempat terbuka tanpa naungan Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Wahyu Sigit Rhd, dkk. (2013: 49), Odonata dengan uraian di atas adalah Crocothemis servilia (Drury, 1770)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata Famili : Libellulidae Genus : Crocothemis

Spesies : Crocothemis servilia

Crocothemis servilia merupakan capung biasa yang termasuk dalam Famili Libellulidae dengan ukuran tubuh sedang, disebut juga capung-sambar garis-hitam (Wahyu Sigit Rhd., dkk., 2013: 49) karena ciri jenis ini terdapat garis garis-hitam tipis di sepanjang sisi dorsal abdomennya. Jantan berwarna merah dan betina berwarna kuning kecokelatan pada fase dewasa, pada fase pradewasa C. servilia memiliki warna yang sama baik jantan maupun betina, yakni berwarna kuning kehijauan. Capung jenis ini dijumpai aktif beraktivitas pada lokasi dengan tempat terbuka tanpa naungan, yakni di kawasan waduk, sungai aliran masuk, rawa, dan sawah, sedangkan di lokasi dengan kanopi pohon yang rapat seperti kolam tidak dijumpai kehadirannya. Jenis ini dijumpai pada keadaan berawan hingga cerah. Capung ini mampu terbang ketika keadaan angin kencang dan sering dijumpai pada keadaan temperatur udara yang panas, hinggap pada daun-daun eceng gondok, jagung, dan padi.


(68)

50

Gambar 15. Titik Perjumpaan Crocothemis servilia 11.Diplacodes trivialis

Tabel 11. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Diplacodes trivialis

Gambar Spesimen

♀ © Tria Septiani Subagyo Lokasi: Waduk

Ciri Morfologi

Tubuh jantan dewasa diselimuti pruinescent berwarna biru keabu-abuan;

Subtriangle pada sayap depan terbagi menjadi dua atau tiga sel; Abdomen capung pradewasa hitam-kuning dengan embelan putih; Betina dengan panjang tubuh 30,4 mm, sayap depan 23,6 mm, sayap belakang 22 mm, embelan berwarna putih;

Sayap transparan dengan venasi hitam, stigma berwarna abu-abu hingga kecokelatan. Pangkal sayap belakang berwarna kuning hingga


(69)

51

kecokelatan. Lokasi Perjumpaan

1. Waduk

2. Sungai aliran masuk

*tempat terbuka tanpa naungan Identifikasi

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan oleh Theischinger, G. (2009: 123), Odonata dengan uraian di atas adalah Diplacodes trivialis (Rambur, 1842)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Odonata Famili : Libellulidae Genus : Diplacodes

Spesies : Diplacodes trivialis

Diplacodes trivialis merupakan capung biasa yang termasuk dalam Famili Libellulidae dengan ukuran tubuh kecil. Capung ini sering dijumpai hinggap di seresah-seresah pada permukaan tanah yang terbuka tanpa naungan, sesekali dijumpai di dekat air pada fase pradewasa. Lokasi tempat dijumpainya capung jenis ini adalah tempat-tempat terbuka tanpa naungan di kawasan waduk dan sungai aliran masuk. Dijumpai ketika kondisi cerah, kebiasaan capung jenis ini adalah terbang dalam jarak pendek dan rendah.


(70)

52

Gambar 16. Titik Perjumpaan Diplacodes trivialis

12.Gynacantha subinterrupta

Tabel 12. Gambar Spesimen, Ciri Morfologi, Lokasi Perjumpaan, Identifikasi, dan Klasifikasi Gynacantha subinterrupta

Gambar Spesimen

♂ © Hening Triandika Rachman Lokasi: Kolam

Ciri Morfologi

Ukuran tubuh besar dengan warna didominasi cokelat dan hijau;

Jantan dengan panjang tubuh 61,8 mm (tanpa embelan), 68,7 mm (termasuk embelan), sayap depan 45 mm, sayap belakang 44,2 mm, toraks sisi dorsal berwarna hijau kebiruan, sisi lateral berwarna hijau tua, dan sisi ventral cokelat muda, abdomen segmen 1-2 menggembung ke arah dorso-ventral dan lateral berwarna hitam dengan corak hijau dan biru, segmen 3 menyempit di sisi anterior, segmen 4-10 berbentuk silinder berwarna cokelat dengan corak hijau kekuningan,


(1)

222 B. Aspek Kebahasaan

No. Sub Aspek Indikator Tanggapan Catatan

Y T

1. Penggunaan Bahasa Indonesia

30.Menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

31.Menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD)

32.Bahasa yang digunakan efektif. 33.Bahasa yang digunakan jelas. 34.Bahasa yang digunakan sederhana. 35.Bahasa yang digunakan komunikatif. 36.Kalimat yang digunakan tidak memiliki

makna ganda/ambigu.

37.Penggunaan tanda baca sesuai.

2. Penggunaan Istilah 38.Pemilihan diksi dengan konsep yang menjadi materi pembelajaran sesuai.

39.Menggunakan istilah-istilah yang sesuai dengan konsep yang menjadi pokok bahasan. 40.Istilah-istilah yang sulit atau tidak umum


(2)

223 C. Masukan Dan Saran

No. Aspek Penilaian Masukan/Saran

1. Media secara Keseluruhan

2. Desain Aplikasi

3. Penyajian Materi


(3)

224 D. Kesimpulan

Aplikasi yang telah disusun ini (mohon dilingkari pada nomor yang sesuai) : 1. Layak untuk uji coba lapangan tanpa revisi.

2. Layak untuk uji coba lapangan dengan revisi sesuai saran/masukan. 3. Tidak layak untuk uji coba lapangan.

Yogyakarta, Januari 2017 Penilai

___________________________ NIP.


(4)

225 Lampiran 5.4 Lembar Tanggapan Siswa

ANGKET TANGGAPAN SISWA TERHADAP PENYUSUNAN PANDUAN IDENTIFIKASI SPESIES CAPUNG SEBAGAI ALTERNATF SUMBER BELAJAR

BERDASARKAN PENELITIAN KEANEKARAGAMAN CAPUNG DI RAWA JOMBOR

Nama siswa :... NIS :... Asal sekolah :...

Petunjuk pengisian :

1. Berilah tanda cek (√) pada kolom tanggapan dengan ketentuan sebagai berikut : SS : jika sangat setuju KS : Jika kurang setuju S : Jika Setuju TS : Jika tidak setuju

2. Jika ada komentar, saran, atau kritikan mohon ditulis pada lembar yang telah disediakan. Terimakasih atas kesediaanya mengisi lembar angket ini. Angket mohon dikembalikan.

No. Pertanyaan Tanggapan

Aspek Penyajian SS S KS TS

1. Desain Aplikasi ini bagus, sehingga membuat saya tertarik untuk mempelajarinya.

2. Pemilihan jenis huruf (font) dan ukuran sudah tepat sehingga memudahkan saya dalam membacanya.

3. Penyajian tabel dan gambar dalam Aplikasi ini disertai dengan keterangan yang jelas dan dapat saya pahami.

4. Tata letak (lay out) dalam Aplikasi ini sangat menarik sehingga membuat saya nyaman dalam mempelajarinya.

Aspek Bahasa

5. Bahasa yang digunakan dalam Aplikasi ini sederhana, lugas, dan mudah saya pahami.

6. Bahasa yang digunakan dalam Aplikasi ini tidak bermakna ganda dan tidak membuat saya bingung dalam memaknai.


(5)

226

7. Istilah-istilah biologi dalam Aplikasi ini disertai penjelasan yang jelas di glosarium sehingga saya tidak kesulitan memahami. Aspek Pelaksanaan

8. Aplikasi ini memberikan saya kesan langsung belajar mengahadapi objek belajar di dalam kelas

9. Aplikasi ini fleksibel dari segi pelaksanaan dapat digunakan untuk belajar di dalam dan di luar kelas

Aspek kemandirian

10. Petunjuk penggunaan Aplikasi ini jelas sehingga saya mampu memahami penggunaan aplikasi.

11. Kegiatan-kegiatan dalam Aplikasi ini menuntut saya untuk mencari informasi secara mandiri tanpa bergantung pada guru. Aspek Manfaat

16. Aplikasi ini memberikan gambaran kepada saya bahwa belajar biolgi itu menyenangkan.

17. Aplikasi ini membuat saya mudah dalam belajar biologi khususnya materi keanekaragaman hayati

18.

Aplikasi ini menjadikan saya lebih mengenal dan mencintai lingkungan sekitar.

19. Aplikasi ini menambah kesadaran saya akan potensi dan ancaman keberadaan capung di sekitar kita.

20. Aplikasi ini memotivasi saya untuk ikut serta dalam melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia.


(6)

227 Komentar, kritik, dan saran

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

Yogyakarta, Januari 2017 Siswa,