EFEKTIVITAS METODE ROLE PLAYING TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH PAKEM SLEMAN.
i
EFEKTIVITAS METODE ROLE PLAYING TERHADAP
KETERAMPILAN BERBICARA SISWA PADA
MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA
KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH
PAKEM SLEMAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Lia Ismiasih NIM: 11105241046
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
APRIL 2016
(2)
(3)
(4)
(5)
v
MOTTO
“Jagalah tutur katamu seperti kamu menjaga harga dirimu. Karena orang akan menghormatimu dengan melihat cara
bicaramu” (Penulis)
(6)
vi
PERSEMBAHAN
Dengan mengaharapkan ridho Allah SWT, Skripsi ini penulis mempersembahkan untuk :
1. Ibu dan Bapak tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi, perhatian serta semangat yang tiada hentinya.
2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta 3. Nusa dan Bangsa
(7)
vii
EFEKTIVITAS METODE ROLE PLAYING TERHADAP
KETERAMPILAN BERBICARA SISWA PADA MATA
PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMA
MUHAMMADIYAH PAKEM SLEMAN
Oleh Lia Ismiasih NIM 11105241046
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas metode role playing dalam mata pelajaran bahasa Indonesia terhadap keterampilan berbicara siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem Sleman.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi experiment, dengan variabel terikat keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa, serta variabel bebas adalah metode role playing tanpa dampingan guru. Desain penelitiannya yaitu pretest-posttest control group design. Subjek penelitian ini adalah 32 siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem Sleman, 17 siswa kelas IPS sebagai kelas eksprerimen dan 15 siswa kelas IPA sebagai kelas kontrol. Objek penelitian berupa keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa. Metode pengumpulan data menggunakan observasi dan penilaian unjuk kerja. Instrumen pengumpulan data menggunakan lembar observasi rating scale dan lembar penilaian unjuk kerja. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik uji-t (t-test).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode role playing tanpa dampingan guru lebih berpengaruh terhadap keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa dibandingkan metode role playing dengan dampingan guru. Hal tersebut berdasarkan hasil analisis uji-t gain score kedua kelompok, hasil uji t diperoleh t hitung yaitu 2,144 dan memperoleh signifikansi 0,40 lebih besar dari 0,05 sehingga Ha ditolak dan Ho diterima. Berdasarkan perbedaan rata-rata (mean) antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yaitu sebesar 4.00. Dapat disimpulkan bahwa metode role playing tanpa dampingan guru mempengaruhi peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas XI dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dibandingankan metode role palying dengan dampingan guru.
(8)
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, ridho dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: “EFEKTIVITAS METODE ROLE PLAYING TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH PAKEM, SLEMAN”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Program Studi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas negeri Yogyakarta yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
3. Ketua Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, bapak Dr. Sugeng Bayu Wahyono yang telah memberikan ijin penelitian dan penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Christina Ismaniati, M. Pd., selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar telah memberika pengarahan, bimbingan, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Ibu Suyantiningsih M.Ed., selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar telah memberika pengarahan, bimbingan, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
(9)
ix
6. Seluruh dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan.
7. Bapak Abdul Wachid, S.Sy., S.T.h.I, selaku kepala sekolah SMA Muhaammadiyah Pakem yang telah memberikan ijin untuk mengadakan penelitian.
8. Ibu Fitri Wulandari S. Pd, selaku guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Muhammadiyah Pakem yang telah membantu untuk kelancaran dalam penelitian ini.
9. Siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem yang telah bersedia menjadi subyek dalam penelitian ini.
10. Keluarga tercinta, ibu Mujiyatun, bapak Muji Hartono, Ari dan Supri yang telah memberikan kasih sayang, doa, dan motivasi yang tiada henti kepada penulis.
11. Yang tercinta Aidin Aries Bramantyo yang telah memberikan dukungan dan motivasi untuk selalu semangat dalam mengerjakan Tugas Akhir Skripsi ini.
12. Sahabat dan teman terkasih Eka, Ama, Aulia, Qori, Aprilia, Puji, Anjar, Rifki, Desy, Solekhah, Witri, Luluk, Senuk, Shela, Titik, Sopa, yang telah memberikan motivasi dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.
13. Teman-teman seperjuangan Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan angkatan 2011.
Semoga bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan bagi para pembaca pada khususnya.
Yogyakarta, 18 Januari 2016 Penulis
(10)
x
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PERNYATAAN... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
MOTTO... v
PERSEMBAHAN... vi
ABSTRAK... vii
KATA PENGANTAR... viii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi Masalah... 6
C. Pembatasan Masalah... 7
D. Rumusan Masalah... 7
E. Tujuan Penelitian... 8
F. Manfaat Penelitian... 9
G. Definisi Operasional... 9
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Metode Pembelajaran Role Playing... 11
1. Pengertian dan Macam-Macam Metode Pembelajaran... 11
2. Pengertian Metode Role Playing... 13
3. Tujuan dan Manfaat Metode Role Playing... 15
4. Kelebihan dan Kelemahan Metode Role Playing... 16
5. Landasan Teoretik Role Playing... 18
(11)
xi
a. Pembelajaran Role Playing Dengan Guru... 20
b. Pembelajaran Role Playing Tanpa Guru... 21
B. Hakikat Keterampilan Berbicara... 24
1. Pengertian dan Karakteristik Keterampilan Berbicara... 24
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara... 28
3. Faktor-Faktor Penunjang dan Penghambat Keefektifan Berbicara... 29
4. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Sekolah Menengah Atas... 35
5. Penilaian Keterampilan Berbicara di Sekolah Menengah Atas... 38
C. Karakteristik Materi Bahasa Indonesia... 41
D. Karakteristik Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas... 42
E. Kajian Penelitian yang Relevan... 44
F. Kerangka Berpikir... 45
G. Pengajuan Hipotesis... 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian... 48
B. Desain Peneleitian... 48
C. Tempat dan Waktu Penelitian... 50
D. Variabel Penelitian... 51
E. Subyek Penelitian... 52
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 53
G. Metode Pengumpulan Data... 58
H. Instrumen Pengumpulan data... 60
I. Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 63
J. Teknik Analisis Data... 64
BAB IV PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 68
B. Deskripsi Subjek Penelitian... 68
C. Pelaksanaan Penelitian... 69
1. Kelas Eksperimen... 69
2. Kelas Kontrol... 73
(12)
xii
D. Deskripsi Data Penelitian... 76
1. Data Penelitian Sebelum Perlakuan (pretest)... 76
2. Data Penelitian Setelah Perlakuan (posttest)... 79
3. Data Peningkatan Nilai rata-rata Keterampilan Berbicara Siswa... 83
4. Data Skor Gain Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol... 85
E. Persyaratan uji Analisis... 86
1. Uji Normalitas... 86
2. Uji Homogenitas... 88
F. Pengajuan Hipotesis... 89
1. Uji Hipotesis Pertama... 95
2. Uji Hipotesis Kedua... 90
G. Pembahasan... 98
H. Keterbatasan penelitian... 95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 96
B. Implikasi... 97
C. Saran... 97
(13)
xiii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. SKKD SMA kelas XI semester 2... 35
Tabel 2. Desain Penelitian Pretest – Posttest... 49
Tabel 3. Data Umur Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol... 55
Tabel 4. Kisi-kisi Lembar Observasi Ratting Scale Kegiatan Guru Selama Pembelajaran Role Playing... 60 Tabel 5. Format Penilaian Unjuk Kerja Keterampilan Berbicara Siswa... 61
Tabel 6. Rubrik Kriteria Penilaian Keterampilan Berbicara... 62
Tabel 7. Kategori Skor Penilian... 65
Tabel 8. Jadwal Kegiatan Penelitian... 75
Tabel 9. Nilai Rata-rata Pretest Keterampilan Berbicara Kelompok Eksperimen 76 Tabel 10. Kategori Hasil Interprestasi Nilai Pretest Kelompok Eksperimen... 77
Tabel 11. Nilai Pretest Keterampilan Berbicara Kelompok Kontrol... 78
Tabel 12. Kategori Hasil Interprestasi Nilai Pretest Kelompok Kontrol... 79
Tabel 13. Nilai Posstest Ketrampilan Berbicara Kelompok Eksperimen... 80
Tabel 14. Kategori Hasil Interprestasi Nilai Rata-rata Posstest Kelompok Eksperimen... 81
Tabel 15. Nilai Rata-rata Posttest Keterampilan Berbicara Kelompok Kotrol... 82
Tabel 16. Kategori Hasil Interprestasi Nilai Rata-rata Posttest Kelompok Kontrol. 82 Tabel 17. Peningkatan keterampilan Berbicara Siswa Kelompok Eksperimen... 83
Tabel 18. Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Kelompok Kontrol... 84
Tabel 19. Gain Skor Kelompok Eksperimen dan Kontrol... 85
Tabel 20. Hasil Uji Normalitas Pretest... 87
Tabel 21. Hasil Uji Normalitas Posttest... 87
Tabel 22. Hasil Uji Homogenitas Nilai Pretest... 88
Tabel 23. Hasil Uji Homogenitas Nilai Posttest... 88
Tabel 24. Hasil Uji Independent Sample T-test... 90
(14)
xiv
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 1. Diagram Batang Nilai Pretest Kelompok Eksperimen... 78
Gambar 2. Diagram Batang Nilai Pretest Kelompok Kontrol... 79
Gambar 3. Diagram Batang Nilai Posttest Kelompok Eksperimen... 81
Gambar 4. Diagram Batang Nilai Posttest Kelompok Kontrol... 83
Gambar 5. Diagram Batang Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Kelompok Eksperimen... 84 Gambar 6. Diagram Batang Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Kelompok Kontrol... 85
(15)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Hasil Penilaian Unjuk Kerja Siswa... 103
Lampiran 2. Hasil Observasi Kegiatan Guru... 111
Lampiran 3. Hasil Pengujian SPSS... 119
Lampiran 4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran... 122
Lampiran 5. Dialog/Skenario Role Playing... 124
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian... 155
Lampiran 7. Surat Ijin Permohonan Penelitian Dari Fakultas Ilmu Pendidikan... 158 Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian... 159
Lampiran 9. Surat Pelaksanaan Penelitian di SMA Muhammadiyah Pakem... 160
(16)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN No. 20 tahun 2003). Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan, dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan, pendidikan bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi untuk kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju ke tingkat kedewasaannya (Fuad Ihsan, 2008: 5).
Di Indonesia terdiri dari 3 macam pendidikan, yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Contoh pendidikan nonformal adalah kelompok bermain, pendidikan kesetaraan (program
(17)
2
paket A sampai C). Dan yang terahir pendidikan Informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak. Pendidikan dasar menjadi dasar bagi jenjang pendidikan menengah. Periode pendidikan dasar ini adalah selama 6 tahun. Di akhir masa pendidikan dasar, para siswa diharuskan mengikuti dan lulus dari Ujian Nasional (UN). Kelulusan UN menjadi syarat untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat selanjutnya (SMP/MTs). Pendidikan menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial budaya, dan alam sekitar. Pendidikan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelengarakan pendidikan tinggi dan dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas (Nur Anisa Noviana, 2014)
Kegiatan proses pembelajaran di sekolah-sekolah masih terbatas dan bertumpu dalam bentuk tatap muka di dalam kelas. Padahal untuk meningkatkan penciptaan dan pertumbuhan kemampuan anak didik dalam berbicara yang baik, dibutuhkan suatu keterpaduan yang sinergik antara guru dan anak didiknya dalam proses pembelajaran. Salah satu usaha atau peran serta pendidik (guru) dalam menciptakan kemampuan berbicara siswa yang baik, maka diperlukan pengembangan proses pembelajaran di kelas, melalui penekanan
(18)
3
pengajaran bahasa Indonesia oleh guru kepada anak didiknya. Penekanan pengajaran bahasa Indonesia, dalam hal ini adalah kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pengajaran bahasa Indonesia bertujuan membimbing anak didik agar mampu memfungsikan bahasa Indonesia dalam komunikasi. Salah satu aspek kemampuan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya adalah kemampuan berbicara.
Dewasa ini siswa dituntut aktif dan kreatif dalam pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang harus menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa (Asri Budiningsih, 2012: 59).
Berinteraksi dengan masyarakat memerlukan keterampilan berbicara supaya seseorang bisa menyampaikan pendapat dan berkomunikasi secara aktif. Dalam kehidupan sehari-hari orang lebih sering menggunakan bahasa lisan (berbicara) dalam berkomunikasi, baik itu di lingkungan keluarga, masyarakat maupun lingkungan sekolah.
(19)
4
Untuk itu, keterampilan berbicara ini perlu mendapat perhatian khusus pada mata pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas.
Keterampilan berbicara merupakan salah satu dari kecerdasan manusia yaitu kecerdasan verbal/bahasa (verbal linguistic intelligence). Menurut Gardner dalam Asri Budiningsih (2012:114) kecerdasan verbal bertanggung jawab terhadap semua hal tentang bahasa. Keterampilan berbicara merupakan salah satu aspek dari keterampilan berbahasa. Dalam keterampilan berbahasa mencakup 4 aspek, yaitu (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca dan (4) keterampilan menulis. Keempat-empatnya saling berkaitan. Keterkaitan antara keempat aspek keterampilan berbahasa itu dinyatakan dengan istilah catur tunggal. Ini berarti bahwa ada kaitan yang erat antara berbicara dengan menyimak, berbicara dengan menulis, dan berbicara dengan membaca (Djago Tarigan, 1998)
Dari hasil observasi yang peneliti lakukan pada tanggal 4 maret 2015 di SMU Muhammadiyah Pakem, keterampilan bicara siswa kelas VII masih rendah, hal itu dilihat dari 32 siswa yang terdiri dari 15 siswa kelas IPA dan 17 siswa kelas IPS , hanya 40% siswa yang terampil berbicara secara aktif, artinya 60% siswa masih belum aktif berbicara. Berbicara aktif disini adalah mampu mengemukan ide-ide, pandangan-pandangan serta pemikiran tantang pokok bahasan yang akan dibicarakan. Kurangnya keterampilan berbicara siswa dikarenakan siswa masih merasa minder dan malu saat berbicara, bertanya maupun menyampaikan pendapat. Untuk itu
(20)
5
perlunya sebuah metode pembelajaran yang bisa melatih keberanian siswa untuk melatih keterampilan bicara siswa khususnya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Dalam pembelajaran berbicara di SMA Muhammadiyah Pakem, guru sudah menggunakan metode bermain peran atau role playing. Namun peneliti ingin mengetahui apakah metode role playing efektif digunakan dalam melatih keterampilan berbicara siswa.
Keterampilan berbicara, menyatakan maksud dan perasaan secara lisan, sudah dipelajari dan mungkin sekali sudah dimiliki siswa sebelum mereka memasuki sekolah. Taraf kemampuan berbicara siswa ini bervariasi mulai dari taraf baik atau lancar, sedang, gagap atau kurang.Ada siswa yang lancar menyatakan keinginan, rasa senang, sedih, sakit, atau letih. Bahkan mungkin dapat menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu walau dalam taraf sederhana. Beberapa siswa lainnya masih takut-takut berdiri dihadapan teman sekelasnya. Bahkan tidak jarang kita lihat beberapa siswa berkeringat dingin, berdiri kaku, lupa segalanya bila ia berhadapan dengan sejumlah siswa lainnya. Kenyataan tersebut di atas hendaknya dijadikan sebagai landasan pengajaran berbicara di sekolah.
Berbicara memerlukan kebebasan untuk menyampaikan pikiran tanpa beban dan tekanan. Peran seseorang juga mempengaruhi kelancaran dan rasa kepercayaan diri dalam berbicara. Kepercayaan diri sangat diperlukan dalam keterampilan berbicara, karena bisa mempengaruhi cara siswa berbicara. Namun masalah yang ditemui dalam pembelajaran berbicara di SMA Muhammadiyah Pakem adalah kurangnya kepercayaan
(21)
6
diri dan siswa masih malu tampil di depan kelas atau umum. Kurang percaya diri dan rasa malu tampil di depan kelas mungkin saja dipengaruhi oleh faktor guru. Menurut Piaget dalam Asri Budiningsih (2012: 98) perkembangan kognitif akan terjadi dalam interaksi siswa dengan kelompok sebayanya dari pada dengan orang-orang yang lebih dewasa. Siswa akan lebih merasa bebas dalam belajar jika dengan teman sebayanya tanpa ada dampingan dari seorang guru.
Berdasarkan masalah di atas diharapkan guru mencari metode yang baru dalam pembelajaran berbicara. Jika biasanya dalam pembelajaran role playing, guru masih mendampingi siswa dalam pelaksanaan pembelajaran, maka peneliti memberikan alternatif pembelajaran role playing di sekolah, dengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar tanpa dampingan seorang guru, artinya guru hanya sebagai pengantar pembelajaran, selanjutnya siswa belajar mandiri. Dari latar belakang, peneliti bermaksud melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Metode Role Playing Terhadap Keterampilan Berbicara Siswa Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas XI di SMA Muhammadiyah Pakem, Sleman.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat di identifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
(22)
7
1. Upaya pelaksanaan pembelajaran role playing pada siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem masih kurang efektif.
2. Keterampilan berbicara siswa khususnya pada siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem masih rendah.
3. Belum diketahui pengaruh role playing terhadap keterampilan berbicara dalam mata pembelajaran bahasa Indonesia pada siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem.
C. PEMBATASAN MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, penelitian ini dibatasi pada pada Pengaruh Metode Role Playing dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Terhadap Keterampilan Berbicara pada Siswa Kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem.
D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan, permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah ada perbedaan kemampuan berbicara siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia antara kelas yang belajar menggunakan metode role playing dengan guru dan kelas yang belajar menggunakan metode role playing tanpa guru di kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem?
(23)
8
2. Bagaimana pengaruh metode role playing dengan dampingan guru dan kelas yang belajar menggunakan metode role playing tanpa dampingan guru dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terhadap kemampuan berbicara siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem?
E. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui perbedaan kemampuan berbicara siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia antara kelas yang belajar menggunakan metode role playing dengan guru dan kelas yang belajar menggunakan metode role playing tanpa guru di kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem, dan
2. Mengetahui pengaruh metode role playing dengan dampingan guru dan kelas yang belajar menggunakan metode role playing tanpa dampingan guru dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terhadap kemampuan berbicara siswa kelas XI SMA SMA Muhammadiyah Pakem.
(24)
9
F. MANFAAT PENELITIAN
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Manfaat Teoretis
a. Secara teoretis, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi metode yang inovatif, yaitu penggunaan metode role playing dalam pembelajaran berbicara.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran dan membantu para siswa dalam meningkatkan kemampuan berbicara.
b. Bagi Pengajar
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi guru dalam penggunaan metode role playing pada pembelajaran berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
c. Bagi Peneliti
Mengetahui efektivitas metode role playing dalam pelajaran bahasa Indonesia dalam meningkatkan kemampuan berbicara.
G. DEFINISI OPERASIONAL
Untuk menghindari kemungkinan meluasnya penafsiran terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka perlu
(25)
10
disampaikan batasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Keterampilan Berbicara
Kemampuan seseorang dalam mengungkapkan ide atau gagasan kepada orang lain melalui kata-kata maupun kalimat-kalimat dengan menggunakan intonasi dan lafal yang baik, kelancaran berbicara, kejelasan isi pembicaraan serta ekspresi yang tepat saat berbicara.
2. Metode Role Playing
Metode role playing adalah metode pembelajaran yang menekankan imajinasi dan kemampuan penghayatan untuk memerankan suatu tokoh dalam kehidupan sehari-hari.
(26)
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Metode Pembelajaran Role Playing
1. Pengertian dan Macam-Macam Metode Pembelajaran
Metode dalam rangkaian sistem pembelajaran memegang peran yang sangat penting. Keberhasilan implementasi strategi pembelajaran sangat tergantung pada cara guru menggunakan metode pembelajaran karena suatu strategi pembelajaran hanya mungkin dapat diimplementasikan melalui penggunaan metode pembelajaran.
Menurut Zainal Aqib (2013: 70) metode pembelajaran didefinisikan sebagai cara yang digunakan guru, yang dalam menjalankan fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Selanjutnya Abdul Majid (2014: 150) Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun tercapai secara optimal.
Jadi metode pembelajaran adalah cara yang diterapkan oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Adapun macam-macam metode pembelajaran yang bisa diterapkan untuk pembelajaran menurut Menurut Wina Sanjaya (2007: 145-159) yaitu: (a) metode ceramah, dapat dirtikan sebagai cara menyajikan pelajaran melalui penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada sekelompok siswa. Metode ceramah sendiri masih banyak digunakan oleh guru dalam mengajar, biasanya metode
(27)
12
ceramah digunakan untuk pembelajaran ekspositori, (b) metode demonstrasi, adalah metode penyajian pelajaran dengan memperagakan dan mempertunjukan kepada siswa tentang suatu proses, situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekedar tiruan, (c) metode diskusi, adalah metode pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu permasalahan. Diskusi dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu (1) diskusi kelas, (2) diskusi kelompok kecil, (3) simposium, (4) diskusi panel, (d) metode simulasi, merupakan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu. Simulasi terdiri dari beberapa jenis, yaitu : (1) sosiodrama, (2) psikodrama, (3) role playing.
Macam-macam metode pembalajaran di atas bisa dijadikan acuan dalam pembelajaran. Namun tidak semua metode baik digunakan dalam semua mata pelajaran, untuk itu guru harus bisa memilih metode yang paling tepat untuk di terapkan dalam pembelajaran sesuai dengan kriteria dan tujuan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode role playing. Metode role playing merupakan salah satu dari strategi pembelajaran simulasi.
2. Pengertian Metode Role Playing
Role Playing merupakan salah satu jenis dari metode simulasi. Menurut Abdul Majid (2013: 205-206) terdapat 5 jenis simulasi diantaranya sebagai berikut:
(28)
13 a. Sosiodrama
Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga yang otoriter, dan lain sebagainya.
b. Psikodrama
Psikodrama adalah metode pembelajaran dengan bermain peran yang bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan psikologis. c. Role Playing
Role Playing atau bermain peran adalah metode pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa sejarah, mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang. d. Peer Teaching
Peer Teaching merupakan latihan mengajar yang dilakukan oleh siswa kepada teman-teman calon guru.
e. Simulasi Game
Simulasi game merupakan bermain peranan, para siswa berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu melalui permainan dengan mematuhi peraturan yang ditentukan.
(29)
14
Dari lima jenis metode simulasi menurut Abdul Majid di atas, peneliti menggunakan metode role playing sebagai metode yang digunakan dalam melatih keterampilan berbicara siswa, selain itu dengan metode role playing siswa diharapkan bisa berkreasi sesuai dengan tokoh yang diperankan dan mendalami karakter mereka masing-masing dengan peran masa lalu maupun masa yang akan datang.
Menurut Sudjana (2005: 134) teknik bermain peran adalah teknik kegiatan pembelajaran yang menekankan pada kemampuan penampilan peserta didik untuk memerankan status dan fungsi pihak-pihak lain yang terdapat pada kehidupan nyata. Artinya, siswa memainkan peran sesuai dengan kejadian-kejadian nyata yang pernah terjadi masa sekarang ataupun masa lampau.
Selanjutnya Miftahul Huda (2014: 209) memaparkan bahwa metode role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Siswa dalam pembelajaran role playing berperan sebagai subjek pembelajaran yang aktif. Pembelajaran dilakukan dengan memerankan suatu tokoh dalam drama dengan menitikberatkan kepada keterlibatan emosional dan kemampuan menghayati peran.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode role playing adalah metode pembelajaran yang menekankan imajinasi dan kemampuan penghayatan untuk memerankan suatu tokoh dalam
(30)
15
kehidupan sehari-hari. Role Playing dalam penelitian ini adalah mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama dengan menggunakan gerak-gerik, mimik dan intonasi sesuai dengan watak tokoh drama.
3. Tujuan dan Manfaat Metode Role Playing
Sebuah metode pembelajaran harus memiliki tujuan dan manfaat yang jelas sebelum digunakan. Adapun tujuan metode role playing menurut Sudjana (2005: 134) adalah untuk mengenalkan peran-peran dalam dunia nyata kepada peserta didik. Peserta didik dilatih untuk bermain peran sesuai dengan tokoh yang ada guna memberikan pengalaman kepada siswa untuk memahami tokoh dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Hamzah B. Uno (2007: 26) bermain peran sebagai suatu model pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna jati diri di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Selain tujuan role playing juga mempunyai manfaat. Menurut Hamzah B. Uno (2007: 28) melalui bermain peran, siswa dapat meningkatkan kemampuan untuk mengenal perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Mereka memperoleh cara berperilaku baru untuk mengatasi masalah seperti dalam dalam permainan perannya dan dapat meningkatkan keterampilan memecahkan masalah. Menurut Sudjana (2005: 134) role playing dapat merangsang pendapat peserta didik dan menemukan kesepakatan bersama tentang
(31)
16
ketepatan, kekurangan, dan pengembangan peran-peran yang dialami dan diamatinya. Selain untuk mengenalkan peran kepada peserta didik, metode role playing juga dirasa efektif untuk mengembangkan potensi siswa dalam mengembangkan bakat siswa dalam penghayatan dan penguasaan peran.
Menurut Hamzah B. Uno (2007: 26) proses bermain peran ini dapat memberikan contoh kehidupan perilaku manusia yang berguna sebagai sarana bagi siswa untuk: (1) menggali perasaannya, (2) memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai, dan persepsinya, (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan (4) mendalami mata pelajaran dengan berbagai macam cara.
4. Kelebihan dan Kelemahan Metode Role Playing
Sebuah metode pembelajaran tidak semuanya bagus, baik buruknya sebuah metode tergantung pada tujuan, siapa dan kapan pelaksaan metode itu diterapkan. Adapun kelebihan dan kelemahan metode role playing menurut Miftahul Huda (2014: 210-211) sebagai berikut:
a. Kelebihan
1) Dapat memberikan kesan pembelajaran yang kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa.
2) Bisa menjadi pengalam belajar menyenangkan yang sulit untuk dilupakan.
(32)
17
3) Membuat suasana kelas menjadi lebih dinamis dan antusiastis. 4) Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri
siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan.
5) Memungkinkan siswa untuk terjun langsung memerankan sesuatu yang akan dibahas dalam proses belajar.
b. Kelemahan
1) Banyaknya waktu yang dibutuhkan.
2) Kesulitan menugaskan peran tertentu kepada siswa jika tidak dilatih dengan baik.
3) Ketidakmungkinan menerapkan RPP jika suasana kelas tidak kondusif.
4) Membutuhkan persiapan yang benar-benar matang yang akan menghabiskan waktu dan tenaga.
5) Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui strategi ini.
Dari kelebihan di atas pembelajaran role playing dapat memberikan kesan pembelajaran yang kuat dan menyenangkan yang sulit untuk dilupakan, artinya siswa lebih berkesan dalam pembelajaran karena siswa perperan langsung memainkan tokoh dalam drama sehingga siswa lebih mudah mengingatnya. Selain itu juga bisa menumbuhkan rasa kebersamaan dan antusiasme yang tinggi karena dalam suatu pementasan drama dibutuhkan latihan dan kerjasama yang baik untuk menciptakan kekompakan suatu kelompok.
(33)
18
Selain mempunyai kelebihan, metode role playing juga mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan banyak waktu dalam pementasan drama karena dibutuhkan latihan yang cukup sampai siswa benar benar memahami isi, jika waktu dibatasi hal tersebut akan berpengaruh pada hasil, misalnya siswa kurang memahami isi materi serta belum hafal dengan naskah drama. Suasana kelas yang tidak kondusif juga ikut berpengaruh terhadap proses pembelajaran.
5. Landasan Teoretik Role Playing
Proses belajar kontruktivistik secara konseptual dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar kelas. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut ( Asri Budiningsih, 2012: 58).
Dalam role playing siswa merupakan subjek pembelajaran yang aktif, bertujuan untuk menjadikan pembelajaran bermakna serta
(34)
19
menyenangkan agar sulit untuk dilupakan. Elizabeth B. Hurlock (Umi khoirotun, 2012: 12) mengemukakan bahwa bermain aktif adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dalam rangka memperoleh kesenangan dan kepuasan dari aktivitas yang dilakukannya sendiri. Dalam kegiatan ini banyak melibatkan aktivitas tubuh atau gerakan-gerakan tubuh. Selanjutnya Reardon dan Singer (Darmansyah, 2010: 22) menjelaskan bahwa pembelajaran menyenangkan itu adalah kemampuan untuk mengubah komunitas belajar menjadi tempat yang meningkatkan kesadaran, daya dengar, partisipasi, umpan balik, dan pertumbuhan, dimana emosi dihargai.
Berdasarkan teori di atas, pembelajaran role playing merupakan metode pembelajaran aktif yang memberikan pengalaman dan makna kepada siswa dalam kegiatan pembelajaran, karena siswa berperan langsung dalam pembelajaran, sehingga dapat membuat siswa lebih berkesan dan menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan.
6. Pelaksanaan Pembelajaran Role Playing
a. Pembelajaran Role Playing Dengan Guru
Pada konsep zona perkembangan proksimal menurut Vigotsky dalam Asri Budiningsih (2012: 101) sebelum terjadi internalisasi dalam diri anak, atau sebelum kemampuan instramental terbentuk, maka anak perlu dibantu dalam proses belajarnya. Orang dewasa atau dalam pembelajaran disebut dengan
(35)
20
guru perlu membantu dalam proses belajarnya. Peran guru selain sebagai fasilitator juga berperan membantu kegiatan siswa dalam pembelajaran role playing. Dalam penelitian ini guru berperan mendampingi siswa dalam proses belajar bermain peran. Jika ada siswa yang salah atau kurang menghayati peran, guru bisa memberikan contoh yang benar kepada siswa.
Langkah pembelajaran role playing dengan dampingan guru :
1) Guru masuk kelas memberikan sambutan dan instruksi kepada siswa tentang pembelajaran role playing yang akan dilaksanakan.
2) Siswa dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok memainkan drama tradisional dan kelompok lain memainkan drama modern.
3) Guru memberikan contoh peran yang dimainkan dalam naskah drama kepada siswa.
4) Siswa berlatih drama di dalam kelas, guru mendampingi serta memberikan arahan-arahan.
5) Setelah selesai berlatih masing-masing kelompok maju menampilkan drama secara bergantian.
6) Berdiskusi, kelompok yang sedang tidak tampil bertugas mengamati dan memberikan komentar kepada kelompok yang tampil di depan.
(36)
21
b. Pembelajaran Role Playing Tanpa Guru
Kebebasan merupakan suatu yang tidak mengandung unsur mengekang. Dalam role playing kebebasan harus diutamakan agar siswa bisa bebas mengespresikan emosialnya tanpa tekanan. Semua prosedur ketat yang sangat mengekang dan membelenggu anak harus dihilangkan apabila kita menginginkan suatu kesempatan baik bagi pertumbuhan pribadi dalam seluruh sumber intelektual dari kebebasan dan yang tanpanya tidak ada jaminan apapun bagi pertumbuhan normal yang sejati dan yang terus berkelanjutan (Jhon Dewey: 58-59).
Dalam proses belajar menurut teori konstruktivistik guru dan siswa memiliki peran yang sangat penting. Peranan Siswa (si-belajar) menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
(37)
22
Peranan Guru dalam belajar konstruktivistik membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentranferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru dalam pembelajaaran role playing berperan sebagai fasilitator, bertugas untuk menyajikan dan memfasilitasi pemahaman tentang aturan dalam role playing. Sedangkan peran siswa dalam pembelajaran role playing adalah mengkonstruksi serta menghayati peran yang dijalankan dengan mengekspresikan dan melatih emosional. Sedangkan peran guru dalam pembelajaran role playing adalah membantu dan mendampingi siswa dalam pembelajaran.
Dalam penelitian ini guru hanya mendampingi siswa dan memberikan instruksi di awal pembelajaran tanpa membantu siswa dalam pembelajaran, artinya tugas guru disini adalah mendampingi dan mengawasi siswa dalam bermain peran agar suasana tetap kondusif. Sedangkan peran siswa adalah mengekspresikan dan menghayati sesuai dengan tokoh dalam peran yang dimainkan, selanjutnya siswa dibebaskan untuk berekspresi dan memerankan peran sesuai dengan imajinasi mereka sendiri. Jadi dalam pembelajaran role playing di sini, guru tidak campur tangan dalam pembelajaran bermain peran siswa. Setelah memberikan instruksi,
(38)
23
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih memainkan peran sesuai dengan tema yang sudah di bagikan kepada setiap kelompok.
Langkah pembelajaran role playing tanpa dampingan guru adalah sebagai berikut :
1) Guru masuk kelas mamberikan sambutan serta memberikan instruksi kepada siswa tentang pembelajaran role playing yang akan dilaksanakan.
2) Siswa dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok memainkan drama tradisional dan kelompok lain memainkan drama modern.
3) Siswa dengan kelompoknya membaca naskah dialog dan memahami peran yang akan diperankan secara mandiri.
4) Guru mengawasi proses pembelajaran agar tetap kondusif, namun tidak ikut membantu siswa berlatih.
5) Siswa berlatih drama dengan bebas memilih tempat yang dirasa nyaman untuk berlatih (masih dalam lingkungan sekolah). Setelah selesai berlatih masing-masing kelompok maju menampilkan drama secara bergantian.
6) Berdiskusi, kelompok yang sedang tidak tampil bertugas mengamati dan memberikan komentar kepada kelompok yang tampil di depan.
(39)
24
B. Hakikat Keterampilan Berbicara
1. Pengertian dan Karakteristik Keterampilan Berbicara a. Pengertian Keterampilan berbicara
Keterampilan berasal dari kata terampil yang artinya cakap dalam menyelesaikan tugas, mampu dan cekatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Keterampilan adalah kecakapan dalam melaksanakan tugas, dalam arti bahasa keterampilan merupakan kecakapan seseorang untuk memakai bahasa dalam menulis, membaca, menyimak, atau berbicara. Sedangan dalam arti tematis merupakan kesanggupan pemakai bahasa untuk menanggapi secara betul stimulus lisan atau tulisan menggunakan pola gramatikal dan kosakata secara tepat, menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, dan sebagainya. Selanjutnya menurut Yudha dan Rudyanto dalam (Yani Zuhriyah, 12: 2012) keterampilan adalah kemampuan anak dalam melakukan berbagai aktivitas seperti motorik, berbahasa, sosial-emosional, kognitif, dan efektif (nilai- nilai moral).
Menurut Djago Tarigan (1997: 34) berbicara merupakan keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Dalam penyampaian pesan kepada pendengar, perlu adanya media yang digunakan agar maksud dapat disampaikan dengan baik. Media yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu, pikiran atau pendapat adalah bahasa lisan (berbicara).
(40)
25
Selanjutnya Henry Guntur Tarigan (2008: 16) menyampaikan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Berbicara tidak hanya sekedar pengucapan bunyi-bunyi atau kata-kata, namun suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pendengar atau penyimak.
Dilanjutkan dengan pendapat Soenardi Djiwandono (2011: 118-119) bahwa berbicara berarti mengungkapkan pikiran secara lisan. Dengan menggunakan apa yang dipikirkan, seseorang dapat membuat orang lain yang diajak bicara mengerti apa yang ada dalam pikiranya. Agar pesan, masalah, atau topik yang ingin di ungkapkan dapat mencapai orang yang mendengarkan dan dapat memahaminya, maka isi pesan, masalah, atau topik itu perlu diatur susunannya sedemikian rupa sehingga memudahkan pemahaman oleh orang yang mendengarkan. Disamping itu perlu juga isi pesan itu diungkapkan secara jelas berdasarkan pemilihan kata-kata yang tepat, disusun menurut susunan dan kaidah gramatika, serta dilafalkan dengan ucapan yang jelas dan intonasi yang sesuai.
Menurut Shaleh Abbas (2006: 83) berbicara merupakan suatu proses berkomunikasi dengan mempergunakan suara yang
(41)
26
dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalamnya terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat yang lain.
Menurut Henry Guntur Tarigan ( Ria: 2014) Keterampilan Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, mengatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka ditambah lagi dengan gerak tangan dan air muka (mimik) pembicara.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Keterampilan berbicara adalah pengucapan bunyi-bunyi artikulasi melalui bahasa lisan dengan mengungkapkan apa yang dipikirkan untuk menyampaikan pesan, topik, dan permasalahan dengan jelas menggunakan bahasa lisan kepada orang lain. Penyampaian pikiran harus secara jelas agar apa yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh pendengar atau orang yang diajak berbicara. Keterampilan berbicara dalam penelitian ini adalah penyampaian pesan, topik, dan permasalahan dengan lafal, intonasi dan artikulasi yang jelas.
b. Karakteristik Keterampilan Berbicara
Kegiatan berbicara dapat berlangsung jika setidak-tidaknya ada dua orang yang berinteraksi, atau seorang pembicara
(42)
27
menghadapi seorang lawan bicara. Kegiatan berbicara yang bermakna juga dapat terjadi jika salah satu pembicara memerlukan informasi baru atau ingin menyampaikan informasi penting kepada orang lain.
Berikut disajikan sejumlah karakteristik yang harus ada dalam kegiatan pembelajaran berbicara menurut Mudini & Salamat Purba (2009: 19-20) antara lain, hal di bawah ini:
a. Harus ada lawan bicara.
b. Penguasaan lafal, struktur, dan kosa kata. c. Ada tema/ topik yang dibicarakan.
d.Ada informasi yang ingin disampaikan atau sebaliknya ditanyakan.
e. Memperhatikan situasi dan kontek.
Sebelum seseorang berbicara, terlebih dahulu harus ada lawan bicara untuk menerima informasi atau menanggapi pembicaraan, selanjutnya juga harus menguasai lafal, struktur dan kosa kata, baru orang bisa lancar dalam berbicara. Setelah itu harus ada topik yang akan disampaikan atau ditanyakan, yang terakhir adalah memperhatikan situasi dan kontek pembicaraan agar tidak keluar jalur dari topik yang dibicarakan.
Selanjutnya karakteristik menurut Tarigan (Isnainar, 2013: 9) meliputi: Pertama, kemampuan berbahasa bersifat mekanistis, sehingga memerlukan latihan atau praktik secara terus menerus.
(43)
28
Kedua, pengalaman berbahasa. Ketiga, pemberian-pemberian pertanyaan yang bersifat aplikasi sangat cocok dalam mengembangkan kemampuan berbahasa. Seseorang bisa mahir dalam berbicara yaitu dengan latihan dan praktik secara terus menerus. Latihan yang tepat akan memungkinkan siswa mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara
Pada dasarnya kesempatan berbicara itu merupakan suatu giliran. Kesempatan dalam berbicara mempengaruhi seseorang untuk bisa mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Jelas hal tersebut akan mempengaruhi cara berbicara mereka, misalnya kecepatan, kejelasan dan ketepatan dalam penyampaian materi, karena mungkin waktu yang diberikan dirasa kurang. Untuk itu kesempatan bicara sangatlah penting seperti yang dipaparkan oleh Syamsuddin (1997: 111) salah satu aspek analisis wacana dialog yang penting adalah kesempatan berbicara atau dalam bahasa inggris disebut turn-talking atau dialog couplet. Istilah ini diartikan dengan hal-hal yang berkenaan dengan siapa, kapan, dan berapa lama seseorang atau suatu pihak memperoleh giliran berbicara di dalam seluruh rangkaian percakapan. Kesempatan ini sangat banyak ragamnya karena berkaitan erat dengan aspek-aspek penting lain, seperti: (a) Topik pembicaraan, (b) Arah pembicaraan, (c) Maksud percakapan, (d) Tanggapan
(44)
29
peserta, (e) Jumlah peserta dalam percakapan, (f) Interprestasi isi dan arah percakapan, (g) Inisiatif memotong/mengambil peran.
Berbicara adalah keterampilan penyampaian pesan melalui bahasa lisan kepada orang lain. Berbicara identik dengan penggunaan bahasa secara lisan. Penggunaan bahasa secara lisan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi berbicara secara langsung menurut Djago Tarigan (1997: 13) adalah : (a) Pelafalan, (b) Intonasi, (c) Pemilihan kata, (d) Struktur kata dan kalimat, (e) Sistematika pembicaraan, (f) Isi pembicaraan, (g) Cara memulai dan mengakhiri pembicaraan, serta, (h) Penampilan (gerak-gerik, penguasaan diri, dan lain lain)
3. Faktor-Faktor Penunjang dan Penghambat Keefektifan Berbicara
Citra suara merupakan faktor yang berpengaruh pada kegiatan berbicara. Menurut John W.Osborne (2004: 65) ada beberapa faktor penunjang keefektifan berbicara :
a. Kualitas suara
Yang dimaksud dengan citra atau kesan suara adalah apa yang biasanya lebih dikenal denga sebutan warna suara. Warna suara atau kualitas suara merupakan bunyi atau karakteristik khas dari suara setiap orang. Warna suara ditentukan oleh bunyi getaran didalam ruang gema dari tenggorokan, mulut, hidung, tulang pipi dan kepala.
b. Nada suara
Pertimbangan tentang kualitas suara tidak hanya menyangkut warna suara saja. Mempelajari cara yang efektif untuk menguasai dan menggunakan unsur-unsur nada suara (perubahan pada suara) dapat berpengaruh besar sekali terhadap cara anda mengutarakan dan menekankan pembicaraan dimuka umum. Perubahan nada suara khusus mengacu pada bagaimana suara Anda bervariasi. Faktor tidak
(45)
30
tetap (variabel) ini mencakup kecepatan, intonasi, volume dan jeda.
c. Kecepatan suara
Kata-kata yang diucapkan secara cepat mengandung kesamaan dan cenderung menjadi kabur bersama-sama. Melakukan variasi terhadap kecepatan kata-kata dan cara mengutarakannya menambah pengertian lebih dan menarik perhatian para pendengar. Kecepatan berbicara yang normal adalah antara 140 dan 185 kata per menit. Otak manusia dapat menyerap informasi sampai dengan 800 kata permenit. Dengan demikian para pendengar masih punya kesempatan untuk berfikir tentang apa yang Anda kemukakan. Anda perlu mengubah-ubah kecepatan bicara untuk mengumpulkn kata-kata dalam kelompok-kelompok yang mengandung arti penuh, yang memberikan penekanan pada kata-kata kunci dan pengertian-pengertian tertentu. Ini berarti bahwa Anda harus mendorong bersama-sama kelompok-kelompok kata yang relatif kurang penting dan memperlambat suara pada waktu mengucapkan kata-kata kunci yang penting, yang Anda inginkan agar dipikirkan oleh pendengar. Dalam hal-hal tertentu, berbicara cepat sesungguhnya dapat meningkatkan pemahaman dengan cara mengikatkan pemikiran-pemikiran secara bersama-sama, tetapi harus berbicara dengan jelas agar dapat dimengerti.
d. Intonasi Suara
Suara yang monoton dan membosankan merupakan pembunuh nomer satu dalam suatu penyajian. Sebagian besar dari arti yang ingin dikatakan akan hilang apabila anda tidak memiliki suara yang menyenangkan. Jelas bahwa naik dan turunnya intonasi suara merupakan satu unsur penting dalam pembicaraan yang efektif. Dalam banyak hal, intonasi suara yang rendah dianggap sebagai suatu aset untuk keberhasilan suatu penyampaian. Untuk seorang pembicara laki-laki, agar bunyi suaranya dapat dipercaya dan meyakinkan, ia harus menampilkan intonasi yang lebih rendah. Untuk seorang pembicara perempuan, agar berhasil dalam bisnis, ia perlu menggunakan intonasi suara yang lebih rendah, yang akan membuat suaranya kedengaran jelas dan tegas.
e. Volume Suara
Selalu berbicara dengan tingkat volume suara yang sama, akan membosankan pendengar dan tidak menarik perhatian mereka. Anda seyogianya berbicara cukup keras agar dapat didengar oleh semua orang, tetapi ganti-gantilah volumenya untuk menambah variasi.
(46)
31 f. Jeda
Para pembicara yang belum berpengalaman biasanya takut mengambil jeda saat berbicara, bahkan hanya untuk sekejap sekalipun. Bagi orang-orang seperti ini, suatu jeda selama tiga detik aja tampaknya seperti berhenti untuk selamanya. Mereka percaya bahwa selama jeda tidak akan terjadi komunikasi. Ketakutan seperti ini sesungguhnya tidak benar. Jeda adalah unsur penting dari komunikasi non-verbal dan sangat penting untuk suatu penyampaian yang baik dan kuat. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh seorang pembicara apabila ia mengambil jeda selama berbicara:
(1) Mengandung suatu pesan non-verbal dengan membuat pembicara kelihatan rileks, bijaksana dan penuh percaya diri.
(2) Membantu pemahaman verbal dengan memberikan kesempatan kepada pendengar untuk menyerap informasi dan berfikir tentang suatu alat peraga yang ditampilkan. (3) Menandakan adanya peralihan dengan memberitahukan
kepada pendengar bahwa suatu unsur berfikir telah selesai dan segera akan muncul point berikutnya.
(4) Jika jeda ditempatkan ditengah suatu frase atau kalimat, hal itu akan menciptakan penekanan dan menyerukan perhatian pada apa yang akan diucapkan setelah itu. g. Cara Pengucapan dan Penekanan – Tanda Baca Lisan
Dalam komunikasi lisan, kita tidak memiliki alat dan tanda baca yang menyenangkan untuk membantu menunjukan arti dari kata-kata yang diucapkan. Penekanan dapat digunakan untuk mendorong isi penyajian Anda dengan menggunakan salah satu metode perubahan nada suara seperti dibawah ini: (1) Mengubah kecepatan suara memberikan tekanan pada
hal-hal penting dengan menurunkan frase-frase atau kelompok-kelompok pikiran tertentu. Ini akan lebih efektif apabila dikombinasi dengan perubahan volume suara dan intonasi.
(2) Mengubah intonasi menimbulkan daya tarik dengan memberikan penekanan pada kelompok-kelompok pikiran dengan perubahan intonasi meninggi atau menurun. Jagalah agar pembicaraan tidak terlalu monoton.
(3) Mengubah volume suara membuat penenkanan secara kontras, meningkatkan volume suara dan menurunkannya secara bergantian merupakan cara yang efektif.
(4) Jeda membuat penekanan dan memberikan antisipasi atau penyerapan informasi sebelum an sesudah kata-kata penting, frase, pikiran atau alat peraga.
(47)
32 h. Artikulasi dan Pengucapan
Cara anda mengucapkan kata-kata dapat menjadi satu faktor besar dalam mempengaruhi orang. Orang yang salah mengucapkan kata-kata biasannya dianggap kurang berpendidikan atau tidak terlalu pintar. Reputasi ini tidak akan dapat ditemukan seluruhnya, karena banyak persoalan salah pengucapan disebabkan oleh kebiasaan salah artikulasi yang buruk, atau faktor-faktor lingkungan dimasa lalu. Kebanyakan persoalan menyangkut pengucapan dan artikulasi dapat diperbaiki dengan mempraktikan kebiasaan artikulasi yang baik, atau menerima intruksi dari instruktur pidato yang berpengalaman.
i. Kosa Kata dan Tata Bahasa yang Tepat
Para pembicara yang belum berpengalaman sering merasa takut karena tidak memiliki pengetahuan tata bahasa yang baik atau kosa kata yang memadai. Hal ini ditambah dengan kurangnya percaya diri menyebabkan penampilan sesorang menjadi buruk sekali. Menggunakan tata bahasa yang tidak benar pasti akan membuat Anda tidak akan berkembang dalam profesi, dan juga dalam lingkungan sosial. Kebanyakan orang menganggap mereka yang dapat menggunakan tata bahasa secara tepat adalah orang yang lebih pintar dan lebih berhasil dari pada orang-orang yang tidak menguasai tata bahasa dengan baik. Setiap orang dapat belajar untuk menggunakan tata bahasa yang benar dengan mempelajari buku pelajaran bahasa disekolah menengah. Untuk menjadi pembicara yang memiliki kosa kata yang baik, orang tidak perlu harus menyelesaikan pendidikan universitas atau akademi. Anda dapat memperkaya kosa kata dengan cara mencari sendiri kata-kata baru dan menggunakannya dalam praktek. Sebagai contoh, Anda dapat memanfaatkan waktu berangkat dan pulang kantor untuk merekam kosa kata baru ke dalam tape mobil. Anda dapat mempelajari begitu banyak kata hanya dengan periode lebih dari dua belas bulan.
j. Masalah Suara
Suara merupakan suatu persoalan apabila suara itu meminta perhatian terhadapnya sendiri. Masalah yang umum menyangkut suara adalah sebagai berikut:
(1) Kekerasan, kecuali kalau hal ini merupakan keadaan suara alamiah secara fisik, hal ini memperlihatkan ketegangan dan stres yang dialami si pembicara. Hal-hal ini dapat dihindari dengan cara menggunakan teknik-teknik pengrilekan dan meningkatkan rasa percaya diri anda.
(48)
33
(2) Kesengauan, dalam banyak hal, ini disebabkan oleh kebijaksanaaan membuka mulut tidak cukup lebar ketika berbicara. Persoalan ini dapat diatasai dengan cara membuka mulut lebih lebar dan menggunakan gerak lidah lebih kuat.
(3) Kesulitan Bernafas, suara yang lemah dan bergelombang disebabkan oleh Anda tidak bernanfas secukupnya waktu berbicara. Hal ini dapat diatasi dengan menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskan udara berlahan-lahan.
(4) Kata-kata Pendek, kata-kata pendek yang membingungkan seperti “ah”, “oh”, “um”, “dan” sering merupakan pengganti jeda alamiah. Untuk menghentikan kebiasaan buruk itu, seorang pembicra harus menarik napas selama satu detik, menahanya dan kemudian mulai berbicara lagi.
(5) Mengubah Citra Suara Anda, tujuan akhir dari upaya memperbaiki cara berbicara/mengeluarkan suara bukanlah agar suuara Anda sama seperti suara orang lain, melainkan untuk membantu mengembangkan citra bunyi suara Anda yang terbaik. Hal yang pertama-tama harus dilakukan adalah dengan hati-hati memperhatikan dan mendengarkan suara Anda sendiri. Anda harus secara jujur dan obyektif melihat dan mendengar diri Anda berbicara, cara para pendengar menilai Anda. Untuk mengevaluasi dan memperbaiki citra suara, Anda mutlak memerlukan sebuah kamera video dan alat perekaman. Dengan alat ini Anda tidak saja mengamati diri, tetapi juga mencatat kemajuan yang telah dicapai. Pada setiap acara praktik, tingkatkanlah variasi suara dengan cara mengikuti petunjuk-petunjuk berikut:
(a) Variasi intonasi untuk memberikan penekanan. (b) Perlahan-lahan ketika membicarakan hal-hal penting. (c) Berhentilah sejenak setelah satu frase atau poin
penting.
(d) Kadang-kadang berbicaralah perlahan-lahan, dalam nada penuh percaya diri untuk memberikan penekanan.
(e) Jagalah agar frase-frase tetap pendek sehingga anda dapat menyampaikannya dalam satu napas saja.
(f) Perhatikan untuk merasa dan mengungkapkan emosi-emosi dasar berikut ini: kebahagiaan, marah, kesedihan, terkejut, cemas, kejijihan, cinta, simpati, keheranan, ragu.
(49)
34
Selain beberapa faktor penunjang di atas, dalam berbicara dikenal dengan adanya gangguan berbicara, hal itu terjadi karena beberapa hal. Menurut Djago Tarigan (1997: 80-81) salah satu penghambat keefektifan berbicara adalah kecemasan berbicara. Kecemasan berbicara merupakan keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan seseorang yang telah dipengaruhi oleh rasa cemas.
Menurut Saleh Abbas (2006: 84) terdapat dua faktor hambatan berbicara, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah hambatan yang datang dari diri pembicara itu sendiri, seperti: (a) alat ucap, (b) penggunaan bahasa, (c) kelelahan, (d) fisiologi, dan (e) psikologis. Hambatan yang kedua adalah faktor eksternal atau yang datang dari luar pembicara, seperti: (a) suara atau bunyi (kebisingan), (b) penglihatan, (c) kondisi ruang, (d) gerak yang aktraktif, (e) media, dan (f) cuaca atau kondisi saat pembicaraan itu berlangsung.
4. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Sekolah Menengah Atas
Setelah menentukan metode yang tepat untuk pembelajaran berbicara, selanjutnya guru harus menentukan langkah-langkah pembelajaran terlebih dahulu. Adapun kriteria untuk menentukan langkah-langkah pembelajaran menurut Saleh Abbas (2006: 85) yaitu, di bawah ini:
a. Materi relevan dengan Kompetensi Dasar, Hasil Belajar dan Indikator.
(50)
35
c. Mengembangkan butir-butir keterampilan proses.
d. Dapat mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang. e. Merangsang siswa untuk belajar.
f. Mengembangkan penampilan dan kreativitas siswa.
g. Tidak menuntut peralatan yang rumit dan mudah dilaksanakan. h. Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan.
Pembelajaran keterampilan berbicara dengan metode role playing disesuaikan dengan SKKD SMA Kelas XI Semester 2 (Main Sufanti, 2010: 150-152).
Tabel 1. SKKD SMA Kelas XI Semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Mendengarkan
1. Memahami pendapat dan informasi dari berbagai sumber dalam diskusi atau seminar.
1.1 merangkum isi pembicaraan dalam suatu diskusi atau seminar
1.2 mengomentari pendapat seseorang dalam suatu diskusi atau seminar
Berbicara
2. menyampaikan laporan hasil penelitian dalam diskusi atau seminar
2.1 mempresentasikan hasil penelitian secara runtut dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
2.2 mengomentari tanggapan orang lain terhadap presentasi hasil penelitian.
Membaca
3. Memahami ragam wacana tulis dengan membaca cepat dan membaca intensif.
3.1 mengungkapkan pokok-pokok isi teks dengan membaca cepat 300 kata per menit
3.2 membedakan fakta dan opini pada editorial dengan membaca intensif
Menulis
4. Mengungkapkan informasi dalam bentuk
rangkuman/ringkasa
4.1 menulis rangkuman/ringkasan isi buku
4.2 menulis notulen rapat sesuai dengan pola penulisanya
(51)
36 n, notulen rapat, dan karya ilmiah.
hasil pengamatan, dan penelitian Mendengarkan
5. Memahami
pembacaan cerpen
5.1 mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan
5.2 menemukan nilai-nilai dalam cerpen yang dibacakan
Berbicara
6. Mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk pementasan drama
6.1 mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama 6.2 menggunakan gerak-gerik,
mimik, dan intonasi, sesuai dengan watak tokoh drama dalam pementasan drama. Membaca
7. Memahami buku biografi, novel, dan hikayat
7.1 mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh
7.2 membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel indonesia /terjemahan dengan hikayat Menulis
8. Menulis naskah drama
8.1 mendreskripsikan perilaku manusia melalui dialog naskah drama
8.2 menarasikan pengalaman manusia dalam bentuk adegan dan latar pada naskah drama.
Dari tabel diatas menjelaskan bahwa pembelajaran berbicara disesuaikan dengan SKKD SMA kelas XI semester 2 dengan standar kompetensi yaitu siswa mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk pementasan drama dan kompetensi dasar yaitu siswa dapat mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama serta mengungkapkan gerak-gerik, mimik dan intonasi, sesuai dengan watak tokoh drama dalam pementasan.
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar dalam Sa’bani (2009: 39) menjelaskan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara memiliki beberapa tujuan, tergantung pada tingkatannya
(52)
masing-37
masing. Dalam hal ini ada tiga tingkatan yang digunakan yaitu tingkat pemula, menengah dan tingkat tinggi. Pembelajaran keterampilan berbicara pada tingkat pemula bertujuan agar peserta didik dapat: (1) melafalkan bunyi-bunyi bahasa; (2) menyampaikan informasi; (3) menyatakan setuju atau tidak setuju; (4) menjelaskan identitas diri; (5) menjelaskan kembali hasil simakan atau bacaan; (6) menyatakan ungkapan rasa hormat; dan (7) bermain peran. Untuk tingkat menengah tujuan keterampilan berbicara dapat dirumuskan bahwa peserta didik dapat: (1) menyampaikan informasi; (2) berpartisipasi dalam percakapan; (3) menjelaskan identitas diri; (4) menjelaskan kembali hasil simakan atau bacaan; (5) melakukan wawancara; (6) bermain peran; dan (7) menyampaikan gagasan dalam diskusi atau pidato. Adapun untuk tingkat yang paling tinggi, yaitu tingkat lanjut, tujuan keterampilan berbicara dapat dirumuskan bahwa peserta didik dapat: (1) menyampaikan informasi; (2) berpartisipasi dalam percakapan; (3) menjelaskan identitas diri; (4) menjelaskan kembali hasil simakan atau bacaan; (5) berpartisipasi dalam wawancara; (6) bermain peran; dan (7) menyampaikan gagasan dalam diskusi, pidato, atau debat.
5. Penilaian Keterampilan Berbicara di Sekolah Menengah Atas
Penilaian berbicara yang baik adalah penetapan titik berat sasaran tes dalam bentuk rincian kemampuan berbicara sebagai patokan dalam melakukan penilaian. Menurut Soenardi Djiwandono (2011: 119)
(53)
38
sasaran tes berbicara meliputi: (a) relevansi dan kejelasan isi pesan, masalah, atau topik, (b) kejelasan dan kerapian pengorganisasian isi, (c) penggunaan bahasa yang baik dan benar serta sesuai dengan isi, tujuan wacana, keadaan nyata termasuk pendengar.
Menurut Brooks dalam Henry Guntur Tarigan (2008: 28) terdapat lima faktor yang digunakan dalam mengevaluasi keterampilan berbicara seseorang yaitu, di antaranya adalah:
a) Apakah bunyi-bunyi tersendiri (vokal dan konsonan) diucapkan dengan tepat?
b) Apakah pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara, tekanan suku kata, memuaskan?
c) Apakah ketetapan dan ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi internal memahami bahasa yang digunakannya?
d) Apakah kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?
e) Sejauh manakah “kewajaran” atau “kelancaran” ataupun “ke-native-speaker-an” yang tercermin bila seseorang berbicara?
Menurut Arsyad dan Mukti dalam Isnaniar (2013: 23) faktor-faktor yang dinilai untuk keefektifan berbicara ada dua yaitu faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup pengucapan vokal, pengucapan nada/irama, pilihan kata, pilihan ungkapan, variasi kata, tata bentukan, struktur kalimat, dan ragam kalimat. Faktor nonkebahasaan mencakup keberanian dan semangat, kelancaran, kenyaringan suara, pandangan mata, gerak gerik dan mimik, keterbukaan, penalaran, dan penguasaan topik.
(54)
39
Selanjutnya menurut Burhan Nurgiyanto dalam Astri Setyawati (2014: 19-20 ) terdapat tiga tingkatan tes ketrampilan berbicara, yaitu sebaigai berikut:
a) Tes Berbicara Tingkat Ingatan
Tes berbicara tingkat ingatan ini umumnya bersifat teoritis, menyatakan hal-hal yang berkaitan dengan tugas berbicara, misalnya tentang pengertian, fakta dan sebagainya. Tes tingkatan ini dapat juga berupa tugas yang dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan ingatan siswa secara lisan. Tes ini dapat berupa permintaan untuk menyebutkan fakta atau kejadian, misalnya rumusan pancasila, nama-nama tokoh, acara televisi dan baris puisi.
b) Tes Keterampilan Berbicara Tingkat Pemahaman
Tes keterampilan berbicara pada tingkat pemahaman juga masih bersifat teoritis, menanyakan masalah-masalah yang berhubungan dengan berbagai tugas berbicara. Tes tingkat pemahaman dapat pula dimaksudkan untuk mengungkap pemahaman siswa secara lisan.
c) Tes Keterampilan Berbicara Tingkat Penerapan
Tes keterampilan berbicara pada tingkat penerapan tidak lagi bersifat teoritis, melainkan menghendaki siswa untuk praktik berbicara. Tes tingkat penerapan menuntut siswa untuk mampu
(55)
40
menerapkan keterampilan berbahasanya untuk berbicara dalam situasi dan masalah tertentu untuk keperluan berkomunikasi. Dalam mengukur tes kemampuan berbicara menggunakan metode role playing peneliti menggunakan tes keterampilan berbicara tingkat penerapan menurut Burhan Nurgiyantoro, tes yang digunakan adalah tes unjuk kerja/performance.
Menurut Astri Setyawati (2014: 23) terdapat lima aspek yang digunakan dalam menilai keterampilan berbicara siswa, diantaranya adalah: (1) intonasi, yaitu penempatan tekanan kata/suku kata pada saat berbicara; (2) lafal, yaitu pengucapan bunyi konsonan dan vokal pada saat berbicara; (3) kelancaran, yaitu pengucapan bunyi tanpa terputus-putus dan tanpa jeda; (4) ekspresi berbicara, yaitu mimik/pantomimik pada saat berbicara; (5) pemahaman isi yaitu pemahaman isi pembicaraan sesuai dengan topik dan tokoh yang diperankan.
Dalam penilaian berbicara ini, peneliti menggunakan penilaian keterampilan berbicara pada kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem, Sleman menurut Astri Setyawati, yang meliputi : (1) lafal yaitu kejelasan vokal/konsonan, (2) intonasi yaitu penempatan tekanan kata/suku kata, (3) kelancaran yaitu pengucapan bunyi tanpa terputus-putus, (4) ekspresi yaitu mimik pada saat berbicara dan (5) pemahaman isi yaitu pemahaman pembicaraan sesuai dengan topik dan tokoh yang diperankan.
(56)
41
C. Karakteristik Materi Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang diajarkan dari mulai SD sampai dengan perguruan tinggi. Menurut Mulyasa dalam Main Sufanti (2010: 11) Berdasarkan KTSP, mata pelajaran bahasa indonesia di SD mendapat alokasi waktu 5 jam pelajaran per minggu, di SMP mendapat alokasi waktu 4 jam perminggu, di SMA kelas X mendapat alokasi waktu waktu 4 jam per minggu, di SMA kelas XI dan XII IPA dan IPS mendapat alokasi waktu 4 jam pelajaran per minggu, dan di SMA kelas XI dan XII Bahasa mendapat alokasi waktu per minggu.
Materi Bahasa Indonesia memiliki beberapa aktivitas seperti mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dari beberapa aktivitas terdapat beberapa topik, diantaranya puisi, cerita pendek, novel, drama, cerita rakyat, dan cerita melayu klasik. Selain topik terdapat komponen kemampuan bersastra. Komponen tersebut dipaparkan dalam SKKD dalam Main Sufanti (2010: 15-16), yaitu di antaranya:
1. Mengidentifikasi peristiwa, pelaku dan perwatakannya, dialog, dan konflik pada pementasan drama (SK mendengarkan, kelas XI semester 1)
2. Mengekspresikan perilaku dan dialog tokoh pratagonis dan atau antagonis (SK berbicara, kelas XI semester 1)
3. Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel indonesia/terjemahan (SK membaca, kelas XI semester 1)
(57)
42
4. Menulis cerpen berdasarkan kehidupan orang-orang (pelaku, peristiwa, latar) (SK menullis, kelas X II semester 1).
Setiap pembelajaran memiliki tujuan. Tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai. Adapun tujuan pembelajaran bahasa Indonesia dalam Main Sufanti (2010: 13) yaitu: (1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, (2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan satra Indonesia sebagai Khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
D. Karakteristik Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas
Proses belajar seseorang mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya menurut Piaget dalam Asri Budiningsih (2012: 39-40) mengemukakan tahap perkembangan operasional formal (umur 11/12-18 tahun), dalam tahap ini anak sudah mampu berfikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola pikir
(58)
43
“kemungkinan”. Model berfikir ilmiah dengan tipe hipothetico-de-ductive dan inductive sudah mulai dimilki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Pada tahap ini kondisi berfikir anak sudah dapat:
a. Bekerja secara efektive dan sistematis.
b. Menganalisis secara kombinasi. Dengan demikian telah diberikan dua kemungkinan penyebabnya, misal C1 dan C2 menghasilkan R, anak dapat merumuskan beberapa kemungkinan.
c. Berfikir secara proposional, yakni menentukan macam-macam proposional tentang C1,C2, dan R misalnya.
d. Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi.
Siswa SMA disebut juga dengan periode remaja, periode remaja adalah transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Usia periode remaja antara 12-20 tahun. Menurut Jacqueline Lerner dkk (Syamsu Yusuf , 2011: 79) Pada periode remaja ini siswa memiliki 5 karakteristik positif, yaitu (a) Competence, remaja memilki persepsi positif terhadap aspek sosial, akademik, fisik, karier, dan sebagainya; (b) Confidence, remaja memiliki hubungan positif dengan orang lain, seperti memiliki self-worth dan self-efficacy;(c) Connection, remaja memiliki hubungan positif dengan orang lain, seperti dengan keluarga, teman sebaya, guru, dan yang lainnya dalam kehidupan masyarakat; (d) Character, remaja memiliki sikap respek terhadap peran-peran sosial, memahami benar-salah atau baik buruk, dan memiliki intergritas: dan (e) Caring/compassion, remaja menunjukan
(59)
44
perhatian emosional terhadap orang lain, terutama pada saat mereka sedang berada dalam keadaan duka cita (distress).
E. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Astri Setyawati pada tahun 2014 dengan judul penelitian “Pengaruh Metode Role Playing dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia Terhadap Keterampilan Berbicara Siswa Kelas V SD Negeri Panjatan Kulon Progo”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat peningkatn keterampilan berbicara bahasa indonesia dengan menggunakan metode role playing yang ditandai dengan peningkatan nilai rata-rata antara kelompok kontrol dan eksperimen sebesar 11,92.
Relevansi hasil penelitian yang dilakukan oleh Astri Setyawati dengan penelitian ini yaitu sama-sama menggunakan metode role playing atau bermain peran untuk pembelajaran keterampilan berbicara dan metode penelitian yang digunakan sama-sama menggunakan quasi eksperiment . Selain memiliki persamaan, penelitian ini memiliki perbedaan yaitu pada subjek yang diteliti, pada penelitian yang dilakukan Astri Setyawati subjeknya adalah siswa kelas V SD dengan jumlah 39 siswa, sedangkan dalam penelitian ini subjeknya adalah siswa kelas XI SMA dengan jumlah 32 siswa.
(60)
45
F. Kerangka Berfikir
Berbicara merupakan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial agar dapat berkomunikasi dengan sesama. Kemampuan berbicara sangat diperlukan individu guna mencapai keberhasilan berkomunikasi dalam berbagai situasi, misalnya lingkungan masyarakat, sekolah maupun lingkungan bermain. Tujuan pembelajaran berbicara di SMA diharapkan siswa mampu mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama serta menggunakan gerak-gerik, mimik, dan intonasi, sesuai dengan watak tokoh drama dalam pementasan drama. Untuk melatih keterampilan berbicara siswa, dibutuhkan kegiatan belajar yang memberikan pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan tanpa tekanan. Pengalaman belajar yang tepat dapat diwujudkan dengan memilih metode pembelajaran yang tepat untuk melatih kemampuan berbicara siswa.
Pembelajaran berbicara di SMA sudah menerapkan konsep role playing dalam melatih kemampuan berbicara siswa. Namun dalam pembelajaranya guru lebih sering melakukan pembelajaran di dalam kelas, guru juga masih terlibat secara aktif membimbing dan memberikan arahan kepada siswa dalam bermain peran tanpa memberikan kebebasan. Berdasarkan permasalahan di atas maka dibutuhkan alternatif yaitu pembelajaran role playing tanpa dampingan guru.
Metode role playing tanpa dampingan guru memberikan kesempatan siswa untuk mengeksplore kemampuan bermain peran sesuai dengan imajinasi dan kreativitas siswa tanpa campur tangan guru. Siswa
(61)
46
juga bebas memilih tempat yang dirasa nyaman untuk bermain peran, tidak harus didalam kelas. Dengan demikian siswa dapat bekerjasama dalam kelompok dalam bermain peran tanpa tekanan sehingga tercipta pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan. Metode pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa.
G. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berfikir di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Hipotesis Pertama
Ho : tidak terdapat perbedaan keterampilan berbicara siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia antara kelas yang belajar menggunakan metode role playing tanpa dampingan guru dengan kelas yang belajar menggunakan metode role playing dengan dampingan guru di kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem.
Ha : terdapat perbedaan keterampilan berbicara siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia antara kelas yang belajar menggunakan metode role playing tanpa dampingan guru dengan kelas yang belajar menggunakan metode role playing dengan dampingan guru di kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem.
2. Hipotesis Kedua
Ho : Metode role playing dengan dampingan guru lebih signifikan mempengaruhi peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas XI
(62)
47
dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dibandingkan metode role playing tanpa dampingan guru.
Ha : Metode role playing tanpa dampingan guru lebih signifikan mempengaruhi peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas XI dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dibandingkan metode role playing dengan dampingan guru.
(63)
48
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Pemilihan metode yang tepat dalam penelitian sangat penting guna memperoleh pemecahan masalah dari fokus yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode quasi experimen. Menurut Sugiyono (2011: 114) Quasi Ekperimen merupakan pengembangan dari true experimen design, yang sulit dilaksanakan. Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.
Penelitian ini menggunakan pendekatan quasi experimen, karena peneliti tidak dapat mengambil sampel secara random untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan jumlah responden yang dijadikan eksperimen tidak mencukupi dan jumlahnya tidak dapat diubah. Selain itu, peneliti tidak mengontrol seluruh variabel non eksperimen, untuk itu penelitian ini menggunakan penelitian populasi yaitu menggunakan seluruh subjek dalam kelompok belajar untuk diberikan treatment.
B. Desain Penelitian
Desain quasi ekperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nonequivalent Control Group Design. Desain ini hampir sama dengan
(64)
49
pretest-posttest control group design, hanya pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2011: 116). Desain ini dapat digunakan untuk mengukur perbedaan penerapan metode role playing dengan guru dan tanpa guru dalam pembelajaran berbicara Bahasa Indonesia. Dalam desain ini, untuk mengetahui adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, terlebih dahulu dilakukan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Pengukuran kemampuan subjek dilakukan sebelum dan sesudah dikenakan perlakuan dan pengaruh perlakuan diukur melalui perbedaan hasil pengukuran hasil awal O1 dan pengukuran akhir O2 untuk kelompok eksperimen. sedangkan kelompok kontrol melalui perbedaan hasil pengukuran O3 dan pengukuran O4.
Desain penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 2. Desain Penelitian Pretest – Posttest
Kel Pretest Treatment Posttest
KE O1 X1 O2
KK O3 X2 O4
Keterangan:
KE= Kelompok Eksperimen, yaitu kelompok siswa yang diberi perlakuan menggunakan metode role playing
KK= Kelompok Kontrol, yaitu kelompok siswa yang diberi perlakuan menggunakan metode role playing dengan guru.
(65)
50
O1= Pretest untuk mengetahui keterampilan awal sebelum diberi perlakuan menggunakan metode role playing tanpa guru.
O2= Posttest untuk mengetahui keterampilan akhir siswa (keterampilan berbicara) setelah diberi perlakuan metode role playing.
O3= Pretest untuk mengetahui keterampilan awal sebelum diberi perlakuan dengan metode role playing dengan guru.
O4= Posttest untuk mengetahui keterampilan akhir siswa (keterampilan berbicara) setelah diberi perlakuan metode role playing dengan guru.
X1= Pembelajaran menggunakan metode role palying tanpa guru. X2= Pembelajaran menggunnakan metode role palying dengan guru.
C. Tempat dan Waktu Peneitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Muhammadiyah Pakem yang beralamat di Jl. Kaliurang KM 17 Pakem Sleman Yogyakarta. Waktu penelitian dilaksanakan pada Tahun Ajaran 2014/2015 semester genap di kelas XI-A dan VI-B SMA Muhammadiyah Pakem. Jadwal pelaksanaan disesuaikan dengan jadwal mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Muhammadiyah Pakem.
(66)
51
D. Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (2011: 61) variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai orang, obyek dan kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.
Sugiyono (2006: 61-62) membedakan variabel menjadi empat variabel, yaitu variabel independen, variabel dependen, variabel moderator dan variabel intervening. Variabel independen, variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus, predikator, antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel dependen sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel Moderator adalah variabel yang mempengaruhi (memperkuat dan memperlemah) hubungan antara variabel independen dan dependen. Variabel intervening adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan dependen menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak diamati dan diukur.
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen atau variabel
(1)
155 Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Guru Memberikan Penjelasan Prosedur Kegiatan dan Tema Skenario Role Playing Kelas Eksperimen
(2)
156
Gambar 3. Guru dan Siswa Berdiskusi Tentang Penampilan Siswa Serta Memberikan Kritik dan Saran (Kelas Eksperimen)
(3)
157
Gambar 5. Siswa Berlatih Drama di dalam Ruangan ( Kelas Kontrol )
(4)
158
(5)
159
(6)
160