2.3.2.1 Teori Kognitif
Pengkajian teori belajar kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal
dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berpikir, yakni proses
pengolahan informasi Achmad Rifai dan Catharina, 2009: 128. Teori
belajar kognisi
menekankan pada
cara-cara seseorang
menggunakan pikirannya untuk belajar, mengingat, dan menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disimpan di dalam pikirannya secara
efektif. Pada hakekatnya, belajar mendasari pada pengamatan yang melibatkan seluruh indera, menyimpan kesan lebih lama, dan menimbulkan sensasi yang
membekas pada siswa. Adapun proses belajar terdiri atas 3 tahapan, yaitu 1 asimilasi adalah proses memasukan informasi ke dalam skema, 2 akomodasi
adalah proses mengubah skema yang telah dimiliki dengan informasi baru, dan 3 equilibrasi adalah percobaan memperoleh keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi Jean Piaget dalam Achmad Rifai dan Catharina, 2009: 26. Piaget 1963 dalam Miftahul Huda 2013: 42 menekankan teorinya
pada kedewasaan dan perkembangan kognitif berdasarkan tahapan usia. Prinsip dasar teorinya adalah anak-anak mengkonstruksi pemahamannya sendiri. Seorang
anak akan mencari keseimbangan antara struktur pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan pengetahuan baru yang diperolehnya melalui asimilasi dan
akomodasi. Dengan demikian, pembelajaran baru hanya terjadi ketika seseorang
bisa mengembangkan pola pikirnya dengan mengadaptasi sesuatu yang baru dan menyesuaikan sesuatu yang lama.
2.3.2.2 Teori Konstruktivisme
Belajar adalah lebih dari sekedar mengingat. Peserta didik yang memahami dan mampu menerapkan pengetahuan yang telah dipelajari, mampu
memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya sendiri, dan berkutat dengan berbagai gagasan. Inti dari teori konstruktivisme adalah peserta didik
harus menemukan dan mentransformasikan informasi kompleks ke dalam dirinya sendiri serta mampu mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri melalui interaksi
dengan lingkungannya Achmad Rifai dan Catharina, 2009: 138. Teori konstruktivisme menetapkan empat asumsi tentang belajar, yaitu:
1 pengetahuan secara fisik dikonstruksikan oleh peserta didik yang terlibat
dalam belajar aktif; 2
pengetahuan secara simbolik dikonstruksikan oleh peserta didik yang membuat representasi atas kegiatannya sendiri;
3 pengetahuan secara sosial dikonstruksikan oleh peserta didik yang
menyampaikan maknanya kepada orang lain; 4
pengetahuan secara teoritik dikonstruksikan oleh peserta didik yang mencoba menjelaskan objek yang tidak benar-benar dipahaminya.
Salah satu tokoh teori konstruktivisme adalah Vygotsky. Ia menekankan pentingnya aspek sosial dalam belajar. Vygotsky 1978 dalam Achmad Rifai dan
Catharina 2009: 34 percaya bahwa kemampuan kognitif berasal dari hubungan sosial dan kebudayaan. Dimana interaksi sosial dengan orang lain dapat memacu
pengkonstruksian ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual peserta didik.
Berdasarkan kedua teori belajar di atas, penelitian ini lebih mengacu pada pendekatan konstruktif oleh pemikiran Vygotsky yang memperhatikan aspek
sosial dalam pengkonstruksian ide dan perkembangan intelektual siswa. Adapun implementasi dalam pembelajaran dengan model blended learning lebih
menitikberatkan pada pendekatan konstruktif berupa pembelajaran berbasis masalah problem based learning.
Pembelajaran dengan model blended learning dalam penelitian ini mengacu langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah. Adapun langkah-
langkah pembelajaran tersebut menurut Arend 2008: 57, meliputi: orientasi, organisasi, investigasi, presentasi, serta analisis dan evaluasi.
2.3.3 Komponen Blended learning