Faktor-faktor yang Membentuk Konsep Diri ODHA

ODHA untuk bangkit dari keterpurukannya dan melanjutkan hidupnya walaupun sudah terinfeksi dengan HIV-AIDS. Berdasarkan temuan konsep diri dari para aktivis HIV-AIDS, ada beberapa pikiran dan perasaan serta perilaku yang dialami oleh Astri dan Handoko. Konsep diri yang dialami melalui pengalaman berinteraksi dengan masyarakat atau petugas LSM juga dialami oleh Astri dan Handoko. Konsep diri seorang yang terinfeksi HIV-AIDS berbeda-beda antara satu individu dengan yang lain, dan tidak dapat dilihat dari satu aspek saja yaitu terinfeksi HIV-AIDS melainkan keseluruhan ODHA memandang hidupnya.

5.2 Faktor-faktor yang Membentuk Konsep Diri ODHA

Astri memandang dirinya berbeda-beda sesuai dengan konteksnya masing- masing. Astri memiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Dengan anaknya, Astri memandang dirinya sebagai seorang ibu sekaligus orangtua tunggal yang harus memenuhi kebutuhan emosi dan fisik anaknya. Dengan keluarga suaminya, Astri memandang dirinya sebagai seorang menantu yang tinggal di tengah-tengah keluarga suku Karo yang memiliki adat dan budaya yang berbeda dengannya. Demikian juga konsep dirinya sebagai seorang ODHA, Astri memiliki pandangan tersendiri tentang dirinya ketika ia berinteraksi dengan masyarakat umum atau teman-teman di tempat pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Beebe et al 2008 bahwa konsep diri kita dapat dan pada Universitas Sumatera Utara kenyataannya memang berubah-ubah, tergantung dengan keadaan atau pengaruh terhadap dirinya. Pada saat Astri memandang dirinya sebagai seseorang yang terinfeksi HIV, Astri tetap melihat dirinya berharga untuk hidup dan berjuang untuk melakukan perilaku yang memperpanjang umurnya. Faktor yang berperan dalam konsep diri ini adalah anak sematawayangnya. Di sini anaknya berperan sebagai significant other dan sekaligus affective other sesuai dengan istilah dari Rakhmat 1992. Sebagai orang yang dianggap penting oleh Astri dan memiliki kedekatan emosional, Astri melihat anaknya membutuhkan Astri sebagai satu-satunya keluarga yang masih hidup, setelah kematian ayahnya. Hal ini menjelaskan mengapa Astri melakukan mekanisme koping terus-menerus supaya ia dapat bertahan hidup. Astri tinggal di suatu lingkungan keluarga mertuanya. Ia tinggal di dalam satu rumah dengan banyak keluarga. Hal ini mempengaruhi juga bagaimana Astri memandang dirinya. Sebagai seorang yang terinfeksi HIV-AIDS, keluarga mertua Astri menolongnya dalam hal emosional dengan menerima Astri dan tidak membeda- bedakan Astri. Dalam hubungan dengan mertua, Astri melihat dirinya sebagai menantu yang baik, karena menurut Astri, mertuanya lebih dekat dengannya dibanding kepada anak-anaknya yang lain. Hal ini terjadi karena Astri selalu berusaha merespon dengan cepat setiap kebutuhan mereka. Keluarga mertua Astri juga dalam istilah Rakhmat, merupakan significant others yaitu orang yang tinggal satu rumah dengan Astri. Interaksi Astri dengan mereka akan mempengaruhi bagaimana A memandang hidupnya. Universitas Sumatera Utara Hal lain yang mempengaruhi Astri dalam konsep dirinya adalah komunitas tempat ia bekerja. Bagi Astri di tempat ini ia menemukan orang-orang yang mendukungnya secara psikis. Astri menggambarkannya sebagai keluarga baru dimana ia diterima dan dibutuhkan. Menurut Rakhmat 1992 kelompok yang mempengaruhi konsep diri kita adalah reference group atau kelompok rujukan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Beebe et al 2008. Melalui LSM ini, Astri mendapatkan banyak informasi baik dari KDS dan pelatihan lokal dan nasional. Astri sendiri mengakui bahwa baru ketika ia bergabung dalam LSM ini, ia semakin mendalami tentang banyak hal seperti konseling, public speaking, pengobatan dan cara-cara perawatan. Astri sudah mengikuti lebih dari 10 pelatihan dengan topik-topik seperti pengobatan HIV-AIDS, peningkatan pemahaman HIV-AIDS, gender dan HIV-AIDS, seksualitas dan HAM Hak Azasi Manusia, kepemimpinan, public speaking, PDP berbasis rumah, analisis sosial dan advokasi, pembentukan KDS, pengembangan ekonomi ODHA, survei cepat perilaku, jurnalistik, community organizer dan masih banyak lagi. Astri juga sudah kerap menjadi fasilitator dan narasumber di berbagai kegiatan HIV-AIDS. Semua pengalaman dan pembelajaran ini mempengaruhi konsep diri Astri. Selain faktor di atas, konsep diri Astri terbentuk melalui kepribadian Astri yang terbuka, sederhana dan suka menolong. Kepribadian Astri membentuk konsep diri Astri sehingga dia memilih untuk bekerja di LSM dan menolong baik ODHA ataupun orang lain. Menurut Astri, sebanyak apapun yang dilakukan LSM kepada ODHA, masalah berdaya atau tidak, kembali kepada kepribadian dan kesiapan ODHA itu Universitas Sumatera Utara sendiri. Astri tidak memungkiri pentingnya peran LSM dalam mengkomunikasikan semua hal tersebut tetapi peran dari ODHA yang bersangkutan juga memegang faktor yang sangat penting. Selain kepribadiannya, hal lain yang berpengaruh terhadap konsep diri Astri adalah keluarga. Astri lahir di sebuah desa di salah satu kabupaten di Pulau Jawa. Keluarga Astri adalah keluarga besar yang hidup sederhana. Ayah Astri bekerja sebagai seorang penjaga sekolah dan ibu berjualan. Dari kecil Astri dan saudara-saudaranya sudah dididik untuk bekerja keras dan disiplin. “Kalo bisa dibilang masa kecil itu kurang bahagia juga. Masa kecil kami disiplin. Kalopun bapak kami bukan militer tapi tetap udah ada jadwalnya tiap hari. Tiap pagi kami bangun jam tengah 5, kalo di Jawa kan dah terang kali.. bantu bapak nyapu sekolah, kantor, habis itu baru mandi ke sungai, bantu mama jualan di sekolah, kalo dah bel, baru la masuk sekolah.. kalo pulang, bantu lagi di rumah, masak biasanya.. trus nyapu2 lagi.. mainnya sebentar, baru belajar.. di sana jam 6 harus udah masuk rumah semua, dah gelap.. jam 7 dah tidur la.. Ya gitu la.. Sampai SMP gitu-gitu aja..” Sesudah menyelesaikan sekolahnya di jenjang SMP, Astri pun melanjutkannya ke tingkat Sekolah Menengah Atas di kota P. Disana Astri tinggal dengan kakek dan neneknya, dan memiliki rutinitas yang hampir sama dengan rutinitas di kampungnya. “SMA ditaru lagi di tempat Nenek, kebetulan Mbah itu polisi, jadi lebih disiplin lagi.. Jadinya daripada pagi buru-buru, malam dah nyapu, ngepel.. pagi tinggal masak.. kesempatan jalan-jalan itu nyuri-nyuri waktu la.. Tapi resikonya kerjaan numpuk di rumah..” Setamat SMA, Astri pun mencari pekerjaan dan berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai dan menetap membuat Astri Universitas Sumatera Utara mensyukuri masa kecilnya yang dididik keras sehingga dapat menjalani hidupnya yang sekarang. “Tamat SMA dah pernah ke Jakarta… trus ke Kudus.. eh kok Kudus, Jepara, baru ke Kudus, Lampung baru ke Batam. Di Batam la lebih lama. Tapi yang lain cuma sebentar-sebentar kok, paling 6 bulan. Di Jakartapun cuma 4 bulan atau 3 bulan. Di Batam dan Medan la paling lama. Medan dah 7 tahun. Di Batam dari 2003 sampai 2005. Jadi 2 tahun. Kerja dah macam-macam..Pernah juga jadi pembantu rumah tangga sampai 3 bulan gitu. Di Batam paling lama, kerja di LSM juga.” “Sekarang baru terasa.. Setidaknya ada bekal untuk sekarang. Karena dah dididik keras, ketemu kehidupan yang keras, udah ga kaget lagi.. kalo dulu jadi anak manja, dah ga tau lagi la sekarang gimana..” Astri mengingat masalah-masalah yang ia hadapi pada waktu ia belum menikah, Astri melihat itu semua adalah latihan baginya untuk menghadapi masalah-masalah lain dalam hidupnya. Pembelajaran dan pengalaman Astri hidup susah dahulu membentuk Astri menjadi pribadi yang sederhana dan terbuka untuk bergaul dengan siapa saja, tidak memandang remeh orang lain dan dapat merasakan kesusahan orang lain sehingga Astri tidak sungkan untuk menolong orang yang membutuhkan. Para ahi banyak berdebat mengenai apakah kepribadian itu dibawa seseorang secara genetik dan membedakan yang satu dengan yang lain, atau dibentuk berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan lingkungannya sehingga terbentuk kepribadian yang unik. Pandangan pertama tergolong ke dalam communibiological approach yang menyatakan bahwa bagaimana kita berkomunikasi dengan orang lain ditentukan oleh sifat bawaan kita secara genetik. Tetapi yang lain menyatakan bahwa walaupun Universitas Sumatera Utara dipengaruhi oleh sifat alamiah kita, manusia juga dilengkapi dengan kemampuan beradapatasi dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Beebe et al, 2008. Dalam hal pembentukan konsep diri Astri, peneliti memiliki keterbatasan untuk mendapatkan informasi detail tentang diri Astri pada waktu ia kecil dan juga keterbatasan dari informan untuk mengingat masa kecilnya. Walaupun demikian, berdasarkan cerita dari Astri,didapatkan bahwa konsep diri Astri dan cara Astri berkomunikasi dengan orang lain dipengaruhi baik sifat alamiah kita dan juga proses belajar melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Menurut pengakuan Astri, dia terbiasa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Jika dibandingkan sikap orangtuanya kepada saudaranya yang lain, orangtuanya cukup mempercayai Astri. Waktu kecil Astri terbiasa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, sedangkan adik dan kakaknya kerap kali meminta bantuan dari orangtuanya. “Aku lebih dilepas.. Jadi kondisi menghadapi masalah itu beda.. Kalo mereka dikit-dikit tanya ortu, kalo aku cari-cari sendiri..” Astri juga tinggal di keluarga yang multi-etnis dan berbeda agama. Hal ini karena saudara-saudara Astri menikah dengan suku yang berbeda dan agama yang berbeda. Dari 7 bersaudara, ada 3 orang saudara Astri yang menjadi agama Kristen dan menikah dengan suku yang berbeda. Orangtua Astri termasuk tipe orangtua yang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Keberagaman ini membuat Astri belajar terbuka menerima perbedaan dan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan suku dan agamanya. Dari dua contoh di atas, dapat dilihat bahwa terdapat peran orangtua Astri dalam membentuk konsep diri Astri yang mandiri, dapat menyelesaikan masalahnya sendiri Universitas Sumatera Utara serta terbuka dengan perbedaan. Penerimaan orangtua Astri terhadapnya ketika ia memberitahu status HIV-nya juga menolong Astri untuk dapat merasa diterima. Pada saat ini, orangtua Astri berperan sebagai “orang lain” dalam bahasa Calhoun dan Acocella 1990. Faktor lain yang membentuk konsep diri Astri adalah lingkungan sosial secara umum. Astri tinggal di kota Medan yang terdiri dari multi etnis dan religi dimana segala sesuatu dikaitkan dengan moral ataupun agama. Dalam menghadapi kondisinya sebagai ODHA, Astri mengaitkannya dengan hal spiritualitas. Astri melihat kondisi ini adalah cara Tuhan untuk menunjukkan kasih sayang-Nya kepada Astri agar ia dapat hidup lebih baik lagi. Astri mengaku ia bukanlah orang yang agamawi tetapi ia percaya pada Allah yang mengatur segala sesuatu, termasuk kehidupan dan kematiannya. Dalam kasus Handoko, faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep dirinya adalah keluarga, lingkungan sosial, kelompok geng, peran komunitas LSM dan hubungan dengan Tuhan. Peran keluarga adalah dalam pembentukan konsep diri Handoko yang terutup. Handoko tidak terbiasa mengungkapkan isi hatinya karena tidak memiliki orang yang mau mendengarkan di keluarga, terutama saat masa remaja. Hal ini yang menyebabkan Handoko terjerumus dalam pergaulan yang salah. Handoko terjerumus ke dalam dunia narkoba pada saat berada di Sekolah Menengah Atas. Pada saat itu, Handoko bergabung dengan kelompok geng yang memakai narkoba. Pada awalnya, Handoko memilih untuk mencoba karena diajak temannya, dan kemudian menjadi tergantung. Hal ini sesuai dengan pendapat Santrock 2003 Universitas Sumatera Utara yang menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi. Handoko pun menjadi bagian dari suatu kelompok geng junkies. Masyarakt umum mengenal Handoko sebagai bagian dari kelompok ini. Kelompok ini mempengaruhi Handoko dalam melihat dirinya. Ketika masyarakat memandang dirinya jahat, Handoko malah benar-benar ingin menjadi orang jahat untuk membuktikan apa yang dikatakan orang tersebut. Oleh Bandura Dacey Kenny, 1997, hal ini reciprocal determinism yaitu proses saling mempengaruhi antara keyakinan kita, perilaku dan apa yang dikatakan atau dilakukan oleh lingkungan terhadap kita. Peran dukungan sebaya dalam hal ini komunitas LSM tempat Handoko bekerja, memiliki peran yang penting dalam membentuk konsep diri Handoko lebih terbuka dan mengenali dirinya sendiri. Hal ini akan membuat Handoko lebih merasa berharga. Harapan yang diberikan oleh komunitas akan memberikan Handoko motivasi yang lebih besar untuk hidup sehat dan produktif. Seperti Astri, Handoko melihat LSM adalah keluarga dan ia memiliki keinginan untuk hidup lebih positif seperti orang-orang yang ada dalam lingkungan LSM tersebut. Hal ini sama seperti yang dikatakan Rakhmat 1992 bahwa seseorang cenderung mengikuti norma-norma yang ada dalam suatu kelompok rujukan yang akan mempengaruhi konsep dirinya. Handoko bercerita bahwa di komunitas ini ia belajar bagaimana mengungkapkan apa yang ia pikirkan dan rasakan. Hal ini dilakukan tiap pagi dan malam sambil Universitas Sumatera Utara menaikkan doa serenity prayer. Selain itu, sepanjang hari Handoko mengikuti sesi dengan berbagai macam topik, dan juga konseling. Melalui LSM juga Handoko mendapat kesempatan untuk ikut bertanding futsal ke kejuaraan nasional yang membuat Handoko lebih percaya diri. Di LSM ini juga terdapat banyak kegiatan olahraga atau kegiatan lainnya yang melibatkan banyak orang dan mengharuskan Handoko berinteraksi dengan orang lain. Konsep diri Handoko terbangun dengan pengalaman-pengalamannya selama di LSM. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri Astri adalah anak, keluarga mertua, pengalaman semasa kecil, orangtua, kepribadian, lingkungan sosial Astri. Dalam kasus Handoko, faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep dirinya adalah keluarga, lingkungan sosial, kelompok geng, peran komunitas LSM dan hubungan dengan Tuhan.

5.3 Konsep Diri ODHA dan Komunikasi Interpersonal ODHA