Terbuka Astri sebagai Orang Dengan HIV-AIDS ODHA

normal lakukan bahkan melebihi dari yang dilakukan orang normal. Astri berharap dapat membantu lebih banyak orang lagi sampai ia meninggal nanti.

c.Terbuka

Astri juga melihat dirinya sebagai pribadi yang terbuka terhadap orang lain. Arti terbuka dalam hal ini, adalah kemampuan Astri untuk memahami dan menerima perbedaan orang lain. Astri terbuka terhadap perbedaan agama, suku dan juga status ekonomi ataupun pendidikan dari orang-orang lain. Astri tidak melihat itu suatu penghalang baginya untuk bergaul dengan mereka. “Kalo aku berteman ga liat dia dari kalangan mana, asal usulnya gmana, ga jadi soal. Jadi aku penasaran gimana ya dengan orang gini gitu jadi coba ikut dia.. tapi kalo dah tau ya udah.. ga usah diikutin.. Bahkan dari orang-orang yang kecilpun kita bisa belajar banyak.. malah, maaf bukannya apa, kadang orang-orang yang dibilang berpendidikan pun, orang besar juga tidak bisa menghargai orang lain..” Astri juga menyadari bahwa sifat ini dimilikinya sejak dahulu, bahkan karena ia terbuka untuk bergaul dengan siapa saja, Astri bertemu dengan suaminya yang adalah bekas pecandu narkoba suntik. Astri juga mengakui bahwa sifat ini tidak berubah sampai sekarang. Pribadi Astri yang terbuka untuk belajar membuat dia dikenal sebagai orang yang suka mendengarkan pendapat orang lain. Astri juga akhirnya dipercayakan peran yang berbeda-beda di tempat pekerjaannya. Astri sendiri menikmati peran-peran tersebut karena ia menyenangi hal-hal baru yang dapat menambah ilmunya. Astri ingin menggunakan itu semua agar dapat membantu lebih banyak orang. Universitas Sumatera Utara Dimensi internal dari Astri adalah pribadi yang sederhana, suka menolong orang lain dan terbuka. Dimensi ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 4.1 Dimensi Internal Konsep Diri ODHA: Studi Kasus Astri 4.2.2 Dimensi Eksternal Konsep Diri Astri

a.Astri sebagai Orang Dengan HIV-AIDS ODHA

Menerima status HIV bukanlah hal yang mudah bagi seseorang. Sebagai orang yang terinfeksi HIV-AIDS, Astri termasuk orang yang mampu menerima dirinya sendiri dan tidak mempersalahkan Tuhan atas status HIV-nya. Astri juga menyadari bahwa ia sebenarnya sama seperti manusia lain namun memiliki virus HIV dalam tubuhya. Astri berkata bahwa hal ini mungkin adalah cara Tuhan untuk menunjukkan rasa sayang kepada A. “…mungkin ini cara Tuhan untuk menunjukkan sayangnya, jadinya aku teringat terus ama Dia. “Trus apa bedanya ada virus atau ga, toh yang ga ada virus juga bakalan mati, malah bisa mati lebih cepat.. Semua orang kan bakalan mati juga..” Universitas Sumatera Utara Sikap penerimaan Astri terhadap statusnya pada saat itu, sebenarnya bukan berasal dari pemahaman yang benar dan keterbukaan akan segala hal di depan yang mungkin terjadi, tetapi lebih kepada suatu mekanisme yang dibentuk secara otomatis oleh diri Astri agar dia bisa menghadapi permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam satu periode waktu sekaligus. Astri sendiri mengakui bahwa sebenarnya ia mengalami rasa terkejut dan sakit hati pada saat ia mengetahui ia terkena HIV tetapi dia berusaha menyembunyikannya. Hal ini didapat dari perkataan Astri yang menyatakan: “Aku pikir kalo aku lemah juga, siapa yang bakalan nolongin yang sakit ini.. Sebenarnya siapa yang ga terkejut, ga sakit juga, kan dengar itu terinfeksi HIV, tapi, ya memang perempuan lebih pandai menyembunyikan perasaan daripada laki-laki, untuk menguatkan yang sakit..” Rasa takut dan cemas yang tidak muncul pada saat Astri pertama kali mengetahui bahwa ia terinfeksi HIV jsutru belakangan muncul karena ia melihat teman-teman ODHA yang kondisinya merosot dan akhirnya meninggal. Hal ini tidak juga ia temukan pada saat ia melihat suaminya meninggal. Astri menduga mungkin karena rasa kelelahan yang luar biasa pada saat itu sehingga ia tidak dapat merasa takut akan kematian akibat AIDS yang pasti akan dialaminya suatu saat nanti. “Tapi sekarang kalo liat teman-teman dekat meninggal atau ngedrop, gampang nangisnya.. entah wajar entah ga ya, kalo liat teman meninggal ada rasa takutnya, mikir aku bakalan kayak gini.. Antara siap dan tidak.. Tapi sebenarnya kan ga boleh juga gitu.. Kadang kita bawa ketawa aja.. Kita tinggal tunggu giliran aja.. Untuk menghibur diri sendiri..” Astri mengalami rasa takut akan kematian ketika ia melihat kematian teman ODHAnya dan akhirnya ada kebimbangan antara siap dan tidak menghadapi kematian. Walaupun ia sudah terlihat lebih siap, tetapi jauh di dalam hati tetap ada Universitas Sumatera Utara rasa takut yang dialihkannya dengan candaan, bahwa semua orang tinggal menunggu giliran akan kematian seperti yang dikatakannya di kutipan di atas. Hal ini dilakukan Astri agar ia merasa tenang dan tidak merasa takut. Dalam kejadian ini, Astri dan teman-temannya berusaha membuat kematian akibat AIDS itu bukan sesuatu yang menyeramkan tetapi harus dihadapi oleh semua ODHA. Mereka juga menggunakan istilah “tinggal tunggu giliran” untuk menunjukkan tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan terhadap hal itu, untuk menutupi rasa takut akan kemungkinan mengalami hal yang sama walaupun sebenarnya mereka sudah berusaha menjaga kesehatan. Setelah suami Astri meninggal, Astri lebih memiliki banyak waktu untuk merenungkan tentang hal ini. Ia mengakui ada saat-saat dimana ia juga menyalahkan suaminya untuk virus HIV yang ada dalam tubuhnya saat ini, tetapi di sisi lain ia juga berpikir bahwa hal itu tidak ada gunanya karena suaminya sudah meninggal, dan ia juga menyadari bahwa ia juga memiliki kesalahan yang sama karena menerimanya untuk menikah. Ketika Astri meninjau kembali mengenai suaminya, maka ia menemukan bahwa ia juga memiliki andil dalam hal ini dan mulai mengambil sikap untuk turut bertanggungjawab terhadap permasalahan ini. Menerima masa lalu tidak serta merta merubah keadaan di luar Astri. Hal tersebut tidak membuat Astri memperoleh kembali suaminya yang adalah tulang punggung keluarga. Astri tetap harus menyelesaikan permasalahan finansial di keluarganya. Pada akhirnya, Astri memilih untuk lebih memikirkan masa depan dia dan anaknya daripada terus bertanya dan tidak keluar dari permasalahan itu. Universitas Sumatera Utara “Kadang ada naik turunnya, pernah mikir coba aku ga menikah ama dia.. Tapi ya gimana lagi, udah terjadi.. Lagian kalo nyalahin dia, ya dipikir-pikir lagi sebenarnya salah kita juga. Kita dah tau dia pecandu, tapi kenapa kita juga masih mau, berarti salah kita ya kan.. Yang namanya manusia, kalo dibilang ikhlas, sebenarnya ga sepenuhnya kita benar-benar ikhlas.. Kalo aku terus terpuruk dengan kenapa mesti aku kenapa mesti aku atau kok bisa kok bisa, gimana kita ke depannya.. Mana ada anak lagi kan..” Anak menjadi prioritas utama Astri saat ini. Rika selaku sahabat Astri juga menyatakan hal yang sama ketika berbicara tentang Astri. Menurut Rika, perjuangan Astri saat ini adalah untuk membesarkan anaknya. Untuk itulah Astri berusaha mencari pekerjaan, hidup lebih sehat dan berusaha mendidik anaknya agar mandiri. Berikut penuturan Rika: “Perjuangan dia saat ini bukan untuk dia sih tapi untuk anaknya.” Astri memutuskan untuk bekerja di LSM setelah kepergian suaminya dan melanjutkan hidup sebagai seseorang yang terinfeksi HIV. Sebagai seorang ODHA, Astri harus meminum obat ARV setiap hari. Astri merasakan kejenuhan ketika melakukan rutinitas ini. Hal ini pernah membuat Astri merasa sangat tertekan. Astri mengakui biasanya ia kembali lagi ke pertanyaan-pertanyaan yang selama ini belum ia temukan jawabannya, ketika ia merasa jenuh meminum obat. Astri pernah menceritakan isi pikirannya ketika ia jenuh meminum obat: “Wajar ya namanya juga manusia, pasti pernah ngalamin kayak gitu.. Kadang-kadang pernah juga berpikir kenapa mesti aku yang kena ya.. Kok sial kali rasanya.. Ya, setiap orang normal kan pasti ada saat-saat down gitu kan.. Tapi balik lagi la pikiran positif” Ada saat-saat tertentu dimana Astri melihat kondisinya terkena infeksi HIV sebagai suatu ‘nasib sial’. Yang dimaksudkan oleh Astri adalah sesuatu yang sudah Universitas Sumatera Utara ditentukan oleh Yang Maha Kuasa dan tidak dapat diubah lagi. Oleh karena itu, apabila Astri mengalami hal ini, ia kembali berpikiran positif dengan melakukan suatu rasionalisasi bahwa mungkin ini adalah cara Yang Maha Kuasa untuk membuat Astri dekat kepada-Nya. Selain hal itu, Astri juga mengaku salah satu faktor yang membuat ia bertahan adalah dengan cara melihat nasib orang-orang yang lebih menderita dibandingkan dirinya. Hal ini membuat Astri tidak mau mengeluh dan berjuang untuk bisa hidup lebih baik. Bagi Astri, cara ini membuat Astri lebih mensyukuri hidup dan menjalaninya dengan lebih baik. “Kalo aku ya, yang bisa buat bertahan itu.. pasti Tuhan ya nomer satu, tapi selain itu melihat sekeliling.. Kalo kita lihat gimana orang-orang yang lebih menderita dibanding kita, gimana ya.. Kita belajar bersyukur jadinya..” Astri berusaha menjalani hidupnya dengan teratur minum obat dan menjaga kesehatannya. Astri berusaha untuk tidak terlalu lelah dan juga makan dengan terartur, walaupun hal ini baginya termasuk hal yang sulit ia lakukan karena dari dulu ia tidak suka makan. Menurut Rika, dalam hal menjaga kesehatan memagn belum dilakukan Astri dengan maksimal, tetapi Astri sudah berusaha melakukannya. “Untuk kesehatan masih bandel sih.. makan susah.. minum obat kadang lupa.. Pernah juga kehujanan.. Aku marah-marah ama dia.. Terus pikiran kan.. Kalo kita terlalu banyak berpikir kan ga baik juga.. Virus itu kan soalnya menyerang otak juga.. Apa namanya… hmmmm.. yang bulu kucing itu.. Toxo ya toxo..Penderita HIV ini kan lebih gampang menerima infeksi daripada menularkan virus..” Dalam hal membuka status HIV, setiap orang yang terinfeksi HIV memiliki kesulitan untuk membukakan statusnya kepada orang lain. Selain faktor penghambat dari Universitas Sumatera Utara ODHA sendiri, juga terdapat dari luar ODHA yaitu stigma yang ada di masyarakat. Hal ini mempengaruhi ODHA untuk menyatakan diri apa adanya. Idealnya, seseorang yang memiliki konsep diri yang positif sanggup membukakan aspek-aspek dalam kepribadiannya yang tidak disukainya kepada orang lain. Dalam konteks, orang yang terinfeksi HIV-AIDS, hal ini jelas tidak mudah. Dalam hal ini, Astri termasuk orang yang terbuka kepada orang-orang tertentu, seperti keluarganya walaupun tidak semua, keluarga mertua, komunitas tempat ia bekerja dan juga orang-orang yang memiliki kepentingan dalam hidup Astri. Dasar Astri untuk membuka statusnya adalah orang-orang terdekatnya yang dianggap Astri siap menerimanya, orang-orang yang dipercayainya dan orang yang memiliki kepentingan seperti pria yang akan menjalin hubungan lebih lanjut atau peserta seminar. “Sama juga kayak penelitian, jadi ada kriteria tertentu ama sapa kita bukakan status kita.. tapi kalo pun aku mau ga mau harus kasih tau ama merekaorang yangtidak siap, ya aku ga peduli amat komntar orng seperti apa.. aku dah ngomong, terserah mereka mau terima aku atau ga.. kalo responnya seperti yang sering dibilang distigma ato gmana.. Yang penting aku udah bilang ama mereka..Bukan berarti aku dendam bukan.. Tapi aku dah siap untuk respon mereka.. apapun itu.. Kalo berhubungan dengan cowok, aku selalu open status di awal.. kalo mau diterima ya syukur, kalo ga diterima juga syukur.. aku ga mau di belakang ada masalah.. memang ada teman yang sampai nikahpun pasangannya ga tau statusnya.” Saat ini Astri bekerja sebagai staf di salah satu LSM HIV-AIDS di kota Medan. Sebagai seorang ODHA, Astri merasa dapat melakukan banyak hal untuk para ODHA lain karena memiliki pengalaman yang sama dengan mereka. Astri menyadari Universitas Sumatera Utara pemberdayaan ODHA dapat dilakukan dengan cara memberi mereka informasi dan juga menolong mereka berdaya secara ekonomi. Astri memiliki keinginan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi para ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya dan menjadi janda, dengan cara membuka café. Walaupun demikian, Astri menyadari keterbatasannya dan melihat hal ini belum memungkinkan untuk dilakukan karena ia sendiri masih sangat terbeban dengan pekerjaan yang ada di LSM tempat ia bekerja saat ini, terutama perannya sebagai community organizer. “Harapan ke depan belum ada gambaran sebenarnya, karena sekarang lagi fokus ke beberapa hal yang masih baru kayak CO community organizer. Tapi ada keinginan seperti ini, kan banyak IRT Ibu Rumah Tangga yang kena dari suaminya dan kehilangan suaminya karena HIV, jadi bisa buka usaha bareng- bareng misalnya café.. Tapi yang aku pikirkan keterbatasan aku juga.. Keinginan besar tapi ngerjain yang sekarang aja dah setengah mampus, pergi pagi pulang malam.. Kita kan juga harus jaga kesehatan.. Jangan kita yang jadi sakit.. Jadi ya, mungkin belum la kalo sekarang.. Tapi sebenarnya lihat teman-teman yang kita bantu bisa berdaya aja, aku udah merasa senang..” Konsep diri Astri sebagai seorang yang terinfeksi HIV-AIDS berubah-ubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan emosi dan psikologis yang dirasakan Astri hasil dari interaksi dengan orang lain atau pengalaman Astri dalam menjalani terapi HIV-AIDS. Astri pernah melihat dirinya sebagai orang yang bernasib buruk, orang yang tidak berbeda dengan orang lainnya, menerima konsekuensi, terbuka akan status HIV-nya kepada orang-orang tertentu tetapi di saat yang sama juga tertutup kepada orang yang menurutnya tidak siap menerima kondisinya, dan menggunakan berbagai macam strategi mengatasi stres yang dialaminya sebagai ODHA. Astri juga punya Universitas Sumatera Utara harapan bisa menolong banyak orang dan memberdayakan para IRT di kemudian hari.

b. Astri sebagai seorang Janda