baik dan mau diarahkan hanya saja masih bermasalah dengan adiksinya, tapi bagi Ozy itu adalah proses yang harus dilewati oleh Handoko.
BAB 5 PEMBAHASAN
Dalam bab sebelumnya, telah dibahas konsep diri ODHA baik dari perspektif dan pengalaman para ahli dalam bidang HIV-AIDS dan melalui ODHA sendiri, yaitu
Astri dan Handoko. Pada bab ini, akan dibahas perbandingan temuan akan konsep diri dari ODHA sendiri dengan para aktivis HIV-AIDS, faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan konsep diri dari ODHA, pengaruh konsep diri ODHA terhadap komunikasi interpersonal mereka dan peran konsep diri ODHA dalam
sistem penanggulangan HIV-AIDS. 5.1 Perbandingan Temuan Konsep Diri ODHA dengan Pengalaman Para Ahli
Bidang HIV-AIDS
Para informan ahli bidang HIV-AIDS melihat konsep diri ODHA melalui satu aspek
saja yaitu status mereka sebagai seorang yang terinfeksi HIV-AIDS. Oleh sebab itu, konsep diri Astri dan Handoko yang dipakai dalam perbandingan ini adalah konsep
diri Astri dan Handoko sebagai seorang ODHA.
a.Konsep Diri Astri sebagai ODHA
Universitas Sumatera Utara
Astri dan Handoko memiliki konsep diri yang berbeda sebagai seorang ODHA. Hal ini disebabkan pengenalan mereka akan diri mereka sendiri berbeda dan juga
pengalaman interaksi mereka dengan lingkungan mereka menghasilkan konsep diri yang berbeda.
Tidak seperti kebanyakan orang pada umumnya, reaksi pertama Astri ketika ia mengetahui dirinya terinfeksi HIV-AIDS adalah bukan merasa ketakutan. Hal ini
tidak seperti yang dialami oleh beberapa informan ahli ketika menceritakan reaksi orang yang didiagnosa HIV-AIDS yaitu ketakutan, marah, memandang diri negatif
atau mendiskriminasi dirinya sendiri. Ketika Astri mengetahui bahwa ia terinfeksi HIV-AIDS, ia merasa lebih siap karena sebelumnya ia mengetahui bahwa suaminya
positif terkena AIDS. Dalam diri Astri, terdapat tarik-menarik yaitu rasa terkejut dan sedih mengetahui ia terinfeksi HIV, tetapi juga keinginan untuk menolong suaminya
yang sedang berada dalam kondisi kritis. Astri memilih untuk menyembunyikan perasaannya dan menolong suaminya.
Disini Astri menggunakan mekanisme koping yang berfokus kepada emosi emotion- based coping. Emotion-based coping adalah suatu usaha mengatasi stres dengan cara
mengarahkan atau mengatur emosi yang terkait stres, yang meliputi pikiran seperti mencoba melihat sisi positif dari masalah, atau perilaku seperti mencari dukungan
emosional atau menggunakan obat untuk menenangkan. Lutzman dalam Kilburn dan Whitlock, 2008
Dalam kasus ini, Astri mencoba menyembunyikan segala perasaannya terkejut, takut, sedih, dan memperlihatkan ketegaran supaya ia dapat merawat dan menolong
136
Universitas Sumatera Utara
suaminya yang sedang sakit dan mengurus anaknya yang masih berumur 1 tahun 4 bulan. Cara ini membuat Astri dapat merawat sang suami sampai akhirnya suaminya
meninggal. Bagi Astri, mekanisme koping ini membuat dia mampu mengatasi stres pada saat itu dan menyelesaikan masalah. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Astri:
“Aku pikir kalo aku lemah juga, siapa yang bakalan nolongin yang sakit ini.. Sebenarnya siapa yang ga terkejut, ga sakit juga, kan
dengar itu terinfeksi HIV, tapi, ya memang perempuan lebih pandai menyembunyikan perasaan daripada laki-laki, untuk
menguatkan yang sakit..”
Rasa takut Astri justru muncul pada saat ia melihat teman sesama ODHA yang meninggal. Rasa takut yang muncul bukan karena sitgma moral dari masyarakat
melainkan karena ketakutan mengalami kondisi kritis dan meninggal. Kematian akibat AIDS biasanya disebabkan oleh komplikasi penyakit yang timbul akibat
infeksi opurtunistik. Penyakit yang timbul akibat infeksi-infeksi opurtunistik lebih membuat ODHA menderita sampai akhirnya ia meninggal. Sama seperti yang
dikemukakan oleh Benny Iskandar, pengalaman melihat kematian dari temang ODHA lain akan menimbulkan suatu perasaan tersendiri dalam diri ODHA, yang
dapat menghasilkan perubahan cara pandang terhadap dirinya atau kehidupan. Untuk mengatasi rasa takut ini, Astri melakukan rasionalisasi pembenaran bahwa
semua orang tinggal menunggu giliran akan kematian. Pada prinsipnya rasionalisasi sebagai salah satu bentuk pertahanan diri dengan cara menipu diri sendiri dalam
menghadapi kenyataan yang ada dengan mempermainkan kata-kata atau menafsir keadaan yang bisa menguntungkan dirinya, dan seakan-akan tidak mempedulikan
Universitas Sumatera Utara
kenyataan yang sesungguhnya terutama kegagalan-kegagalan yang sedang dialami. Hal ini dilihat dari perkataan Astri berikut:
“Tapi sekarang kalo liat teman-teman dekat meninggal atau ngedrop, gampang nangisnya.. entah wajar entah ga ya, kalo liat
teman meninggal ada rasa takutnya, mikir aku bakalan kayak gini.. Antara siap dan tidak.. Tapi sebenarnya kan ga boleh juga gitu..
Kadang kita bawa ketawa aja.. Kita tinggal tunggu giliran aja.. Untuk menghibur diri sendiri..”
Dalam kasus ini, Astri berusaha membuat kematian akibat AIDS itu bukan sesuatu
yang menyeramkan tetapi rasional harus dihadapi oleh semua ODHA. Mereka juga menggunakan istilah “tinggal tunggu giliran” untuk menunjukkan tidak ada lagi yang
dapat mereka lakukan terhadap hal itu, untuk menutupi rasa takut akan kemungkinan mengalami hal yang sama walaupun sebaliknya mereka sudah berusaha menjaga
kesehatan. Bagi wanita yang terkena infeksi HIV bukan karena perbuatannya sendiri, salah satu
informan menyatakan adanya kecenderungan untuk marah dan balas dendam. Tetapi di kasus Astri, hal ini tidak kelihatan terjadi. Astri memang mengakui ada saat-saat
dimana ia juga menyalahkan suaminya untuk virus HIV yang ada dalam tubuhnya saat ini, tetapi di sisi lain ia juga berpikir bahwa hal itu tidak ada gunanya karena
suaminya sudah meninggal, dan ia juga menyadari bahwa ia juga memiliki kesalahan yang sama karena menerimanya untuk menikah.
Hal ini yang dinamakan oleh para ahli dengan reappraisal yaitu menilai atau meninjau kembali Wade Tarvis, 2007. Ketika Astri meninjau kembali mengenai
suaminya, maka ia menemukan bahwa ia juga memiliki andil dalam hal ini dan mulai
Universitas Sumatera Utara
mengambil sikap untuk turut bertanggungjawab terhadap permasalahan ini. Hal ini dinamakan accepting responsibility menurut Folkman Lazarus Lazarus, 1993.
Koping accepting responsibility menurut mereka adalah strategi mengatasi masalah atau stress dengan mengkritisi diri sendiri bahwa masalah muncul akibat
perbuatannya sendiri dan membuat janji bahwa tidak akan mengulang kesalahan yang sama di waktu yang akan datang.
Menerima masa lalu tidak serta merta merubah keadaan di luar Astri. Hal tersebut tidak membuat Astri memperoleh kembali suaminya yang adalah tulang punggung
keluarga. Astri tetap harus menyelesaikan permasalahan finansial di keluarganya. Pada akhirnya, Astri memilih untuk lebih memikirkan masa depan dia dan anaknya
daripada terus bertanya dan tidak keluar dari permasalahan itu. Jika menilik strategi koping milik Lazarus Folkman, maka disini Astri memakai strategi koping
problem-focused coping yaitu mekanisme mengatasi masalah yang berpusat kepada masalahnya Lazarus, 1993. Astri menyadari bahwa jika ia terus menerus merenung
dan meratapi diri maka ia dan anaknya tidak dapat melanjutkan hidupnya. Astri harus mencari pekerjaan agar mereka dapat bertahan. Astri melihat situasinya dengan lebih
realistis dan berusah menemukan jalan keluar untuk permasalahannya. Hal ini yang disebut oleh salah satu informan sebagai sifat optimisme yang muncul dari
penerimaan akan situasi hidupnya. Astri juga mengaku salah satu faktor yang membuat ia bertahan adalah dengan cara
melihat nasib orang-orang yang lebih menderita dibandingkan dirinya. Hal ini membuat Astri tidak mau mengeluh dan berjuang untuk bisa hidup lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
Menurut para ahli, ini adalah salah satu mekanisme koping yang menggunakan pikiran kognitif yaitu membuat perbandingan sosial. Perbandingan dapat dilakukan
kepada orang lain yang mereka pikir kurang beruntung dibandingkan mereka Taylor Lobel dalam Wade Tarvis, 2007 atau orang yang mampu menghadapi
masalah dengan lebih baik dibanding dengan mereka Collins dalam Wade Tarvis, 2007. Bagi para ahli, perbandingan ini termasuk menguntungkan karena berdampak
positif bagi orang yang mengalami stres tersebut. Bagi Astri, cara ini membuat Astri lebih mensyukuri hidup dan menjalaninya dengan lebih baik.
Konsep diri Astri yang mau menerima kondisinya bukan merupakan konsep diri yang pasif tetapi dinamis dalam menghadapi setiap permasalahan yang muncul dengan
menggunakan berbagai macam strategi koping untuk menolongnya menghadapi masalah. Hal ini sesuai dengan penelitian Paputungan 2013 yang menemukan
bahwa masing-masing subyek pada penelitiannya memiliki kecenderungan penggunaan coping. Secara umum, kedua subyek dalam peneltian tersebut cenderung
menggunakan Emotional Focused Coping. Secara khusus, kedua subyek memiliki perbedaan kecenderungan penggunaan coping. Subyek pertama cenderung
menggunakan positive reappraisal, sedangkan subyek kedua cenderung
menggunakan seeking social emotional support. Astri adalah pribadi yang mau menerima dirinya sendiri sebagai seseorang yang
terinfeksi HIV dari suaminya. Menurut pengalaman dari para informan, orang yang mau menerima dirinya akan lebih cepat mengalami pemulihan. Pemulihan ini
didapatkan melalui perilaku memanfaatkan layanan kesehatan, mengubah perilaku
Universitas Sumatera Utara
berisiko dan teratur meminum obat. Hal ini juga dialami oleh Astri. Astri menerima kenyataan ini sebagai suatu nasib yang tidak dapat diubah lagi. Dan hal ini diberikan
Tuhan kepadanya agar ia semakin dekat kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari perkataaan Astri:
“Wajar ya namanya juga manusia, pasti pernah ngalamin kayak gitu.. Kadang-kadang pernah juga berpikir kenapa mesti aku yang
kena ya.. Kok sial kali rasanya.. Ya, setiap orang normal kan pasti ada saat-saat down gitu kan.. Tapi balik lagi la pikiran positif”
Menerima kondisinya membuat Astri dapat melanjutkan hidupnya dan terbuka terhadap informasi, menggunakan layanan kesehatan dan meminum obat setiap hari.
Hal ini seperti yang dinyatakan oleh beberapa informan ahli bahwa perilaku yang mungkin terjadi pada ODHA ketika menerima dirinya adalah memanfaatkan layanan
kesehatan, mengubah perilaku berisiko dan teratur minum obat. Salah satu perilaku ODHA yang muncul dari pandangan para ahli adalah tentang
menutupi status. Menurut Benny, kebanyakan ODHA menutupi statusnya kepada orang lain. ODHA biasanya membuka statusnya dalam hubungannya dengan
pekerjaan atau advokasi dan hal itu dilakukan jauh dari lingkungan tempat tinggalnya.
Dalam hal membuka status, Astri menutupi status kepada keluarganya di Jawa selama beberapa tahun. Astri bergumul tentang penerimaan keluarga terhadap dirinya. Tapi
setelah menetapkan hati, Astri akhirnya membukakan statusnya dan tidak mengalami penolakan seperti yang ia bayangkan. Hal ini memang dialami hampir oleh semua
ODHA ketika ingin membuka statusnya. Menurut beberapa informan ahli, hal ini
Universitas Sumatera Utara
terjadi berhubungan dengan stigma dan diskriminasi yang akan didapatkan ODHA ketika memberitahu status HIV-nya.
Dalam kasus Astri, ia memang tidak membukakan statusnya kepada semua orang, tetapi bukan karena ia merasa takut akan stigma dan diskriminasi karena ia tahu ia
tidak melakukan hal yang salah secara moral. Astri membukakan statusnya hanya kepada orang-orang yang ia lihat siap menerima kondisinya. Tetapi jikalau memang
pada akhirnya ia terpaksa harus menceritakan statusnya, Astri siap dengan konsekuensinya.
“Sama juga kayak penelitian, jadi ada kriteria tertentu ama sapa kita bukakan status kita.. tapi kalo pun aku mau ga mau harus
kasih tau ama merekaorang yangtidak siap, ya aku ga peduli amat komentar orang seperti apa.. aku dah ngomong, terserah
mereka mau terima aku atau ga.. kalo responnya seperti yang sering dibilang distigma ato gmana.. Yang penting aku udah
bilang ama mereka..Bukan berarti aku dendam bukan.. Tapi aku dah siap untuk respon mereka.. apapun itu..”
Dalam hal tanggapan lingkungan sosial Astri terhadap status ODHA-nya tidak terlalu
mengganggu Astri. Hal ini karena Astri tidak membukakan statusnya kepada sembarangan orang. Tanggapan orang yang mengetahui status ODHA Astri adalah
positif. Astri tidak pernah mengalami diskriminasi dari keluarga dan orang-orang yang mengetahui statusnya.
Menurut Astri, yang dibutuhkan oleh para ODHA adalah informasi. Astri sendiri menyadari bahwa ia sangat tertolong karena informasi yang ia dapat mengenai
penyakitnya sehingga ia tahu ada harapan untuk dirinya hidup seperti orang tanpa HIV. Hal ini sama seperti pendapat dari beberapa informan ahli yang menyatakan
Universitas Sumatera Utara
bahwa ODHA adalah orang yang membutuhkan informasi dan informasi ini yang menolong ODHA semakin pulih.
Pikiran, perasaan dan perilaku yang dialami Astri tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh para ahli. Perbedaan yang dialami Asti adalah dalam menanggapi
diagnosa HIV-nya pertama kali menggunakan mekanisme koping emotion-focused coping untuk menolongnya menutupi perasaannya dan fokus merawat suaminya
sampai suaminya meninggal. Selain itu, Astri juga tidak mendapat perlakuan atau stigma dari orang-orang yang mengetahui tentang statusnya.
b.Konsep diri Handoko sebagai ODHA