Sedangkan dalam Rakhmat 1992, faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah:
a. Orang lain
Jika kita diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita.
Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, maka kita akan cenderung tidak menyenangi diri kita sendiri.
Tidak semua orang lain memiliki pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh significant others, biasanya mereka adalah
orang tua kita, saudara dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita, dan ada affective others yaitu orang-orang yang memiliki kedekatan emosional
dengan kita. Dari merekalah kita secara perlahan-lahan membentuk konsep diri kita.
b. Kelompok rujukan reference group
Dalam pergaulan bermasyarakat, kita pasti menjadi anggota berbagai kelompok: RT, Persatuan Bulutangkis, Ikatan Warga atau Ikatan Profesi.
Setiap kelompok memiliki norma-norma tertentu. Ada yang mengikat kita secara emosional dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Ini
disebut kelompok rujukan. Orang akan mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan diri sesuai dengan norma-norma yang ada dalam kelompok
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah pengalamannya dengan orang lain baik yang signifikan atau tidak, kelompok
atau masyarakat dan juga persepsi individu terhadap dirinya sendiri.
2.1.4 Pengaruh Konsep Diri pada Komunikasi Interpersonal
Walaupun lingkungan mempengaruhi pembentukan konsep diri, konsep diri juga mempengaruhi bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya. Beberapa
pengaruh konsep diri pada komunikasi interpersonal menurut Rakhmat 1992 :
1. Nubuat yang dipenuhi sendiri
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal, karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin
sesuai dengan konsep dirinya. Kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri desebut sebagai nubuat yang dipenuhi sendiri. Bila
seseorang berpikir dia bodoh, maka ia akan benar-benar menjadi orang bodoh. Seseorang akan berusaha hidup sesuai dengan label yang dia sendiri lekatkan
pada dirinya. Hubungan konsep diri dengan perilaku dapat disimpulkan nasihat atau anjuran untuk berpikiran positif : You don’t think what you are, you are
what you think. Sukses berkomunikasi dengan orang lain banyak bergantung pada kualitas
konsep diri seseorang, positif atau negatif. Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert Rakhmat, 1992 ada lima tanda orang yang memiliki konsep
diri negatif yaitu peka pada kritik, responsif terhadap pujian, tidak pandai atau tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan kelebihan orang
Universitas Sumatera Utara
lain atau disebut juga hiperkritis, cenderung merasa tidak disenangi orang lain dan yang terakhir bersikap pesimis terhadap kompetisi yang terungkap dalam
keenggenannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Sebaliknya orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal
yaitu yakin akan kemampuannya mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadarai bahwa setiap orang
mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, mampu memperbaiki dirinya karena sanggup
mengungkapkan aspek dari kepribadiannya yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya. Orang yang memiliki konsep diri positif akan
menjadi komunikan yang terbuka kepada orang lain tembus pandang. 2.
Membuka Diri Pengetahuan akan diri sendiri akan meningkatkan komunikasi dan pada saat
yang sama, komunikasi dengan orang lain akan meningkatkan pengetahuan akan diri kita sendiri. Hubungan antara konsep diri dengan membuka diri
dapat dijelaskan dengan Johari Window. Rakhmat menambahkan, istilah ini merupakan singkatan dari nama penemu konsep ini yaitu Josepf Luft dan
Harry Ingham 1969 . Jendela Johari ini terdiri dari empat bagian yaitu: Bagian diri kita yang:
Diketahui orang lain, diketahui diri kita
terbuka Bagian diri kita yang:
Diketahui orang lain, tidak diketahui diri kita
buta
Universitas Sumatera Utara
Bagian diri kita yang: Tidak diketahui orang
lain, diketahui diri kita tersembunyi
Bagian diri kita yang: Tidak diketahui orang
lain, tidak diketahui kita tidak dikenal
Gambar 2.2 Jendela Johari
Sumber : Rakhmat, 1992 Makin luas daerah bagian diri kita yang diketahui oleh orang lain, artinya
makin terbuka kita pada orang lain, makin akrab hubungan kita dengan orang lain. Demikian juga sebaliknya, makin baik kita mengetahui orang lain, makin
akrab hubungan kita dengannya dan makin lebar daerah terbuka jendela kita. 3.Percaya Diri Self-confidence
Keinginan menutup diri, selain karena konsep diri yang negatif timbul dari kurangnya kepercayaan kepada kemampuan sendiri. Orang yang kurang
percaya diri akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi. Hal ini disebut juga communication apprehension.
4.Selektivitas Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri
mempengaruhi keterbukaan kita terhadap suatu pesan, bagaimana kita mempersepsi pesan itu dan apa yang kita ingat. Ini yang dinamakan terpaan
selektif yaitu kita hanya membuka diri kepada hal-hal yang berkaitan dengan konsep diri kita, persepsi selektif yaitu kita merespon terhadap hal-hal yang
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan konsep diri kita, dan ingatan selektif yaitu ingatan kita hanya terbatas untuk hal-hal yang berhubungan degnan konsep diri kita.
2.1.5Mengubah Konsep Diri
Menurut Calhoun dan Acocella 1995 konsep diri dapat diubah dengan cara:
1
Menetapkan tujuan Langkah pertama adalah menetapkan tujuan yakni tujuan yang bebas dari julukan
negatif, perfeksionisme, konvensionalitas berlebihan dan kekhawatiran berlebihan mengenai pengakuan orang lain.
2
Mendapatkan informasi yang baru Langkah selanjutnya dalam mengubah julukan diri yang negatif adalah dengan
mencari informasi baru tentang diri anda dengan cara mengumpulkan informasi dari orang lain tentang penampilan, kecerdasan, atau apapun yang berhubungan dengan
tiitik kelemahan anda, dan mengamati orang lain ketika bereaksi terhadap anda. Kesemua hal ini akan menolong untuk membentuk konsep diri yang lebih baik.
3
Restrukturisasi kognitif : wacana-diri baru Pengumpulan informasi baru tentang bagian-bagian diri anda yang tidak anda sukai
akan mempersiapkan anda untuk mengambil langkah akhir dalam mengubah konsep diri anda yaitu restrukturisasi kognisi atau merubah wacana diri anda. Konsep diri,
persepsi dan tindakan kita berada dalam satu sirkuler yang diperantarai oleh wacana diri kita. Wacana diri merupakan rangkaian kalimat yang telah kita internalisasikan
selama pengalaman masa lalu kita. Dengan mengucapkan kalimat-kalimat baru kepada diri kita sendiri, kita memulai suatu pengalaman baru. Prosedurnya sebagai
Universitas Sumatera Utara
berikut: Mendengarkan wacana diri – Wacana Balik menjawabnya – Beraksi terhadap wacana diri – Hasil.
2.2 Konsep HIV-AIDS 2.2.1 Definisi HIV-AIDS
HIV adalah singkatan dari Human Immnodefficiency Virus, sedangkan AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Menurut para ahli, ketika HIV
masuk ke dalam tubuh seseorang, maka virus ini akan merusak sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan tubuh penderita mudah diserang penyakit lain yang akan
berakibat fatal atau disebut juga infeksi opurtunistik. Kondisi inilah yang dimaksudkan sebagai AIDS. Dengan kata lain, AIDS adalah kumpulan gejala-gejala
akibat penurunan kekebalan tubuh yang didapat bukan diturunkan. Para ahli meneliti bahwa jangka waktu antara infeksi primer HIV dengan
penampakan gejala klinis yang pertama biasanya cukup lama pada orang dewasa, yaitu sekitar 10 tahun dan kematian biasanya terjadi 2 tahun kemudian Jawetz et al,
1995. Gejala dan tanda klinis dari infeksi HIV sangat banyak dan bervariasi. Menurut WHO 2005, perjalanan infeksi HIV dapat dibagi dalam empat stadium,
walaupun tidak semua stadium didapati di tiap orang yang terkena infeksi HIV.
Tabel 2.1 Stadium WHO untuk Penyakit HIV-AIDS pada Orang Dewasa dan Remaja
Stadium Klinis 1
Tanpa gejala asimtomatis Limfadenopati generalisata persisten
Universitas Sumatera Utara
Stadium Klinis 2
Kehilangan berat badan yang sedang tanpa alasan 10 berat badan diperkirakan atau diukur
Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang sinusitis, tonsilitis, ototis media dan faringitis
Herpes zoster Kheilitis angularis
Ulkus di mulut yang berulang Erupsi papular pruritis
Dermatitis seboroik Infeksi jamur di kuku
Stadium Klinis 3
Kehilangan berat badan yang parah tanpa alasan 10 berat badan diperkirakan atau diukur
Diare kronis tanpa alasan yang berlangsung lebih dari 1 bulan Demam berkepanjangan tanpa alasan di atas 37,5°C, sementara atau terus-
menerus, lebih dari 1 bulan Kandidiasis mulut berkepanjangan
Oral hairy leukoplakia Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri yang berat mis. pneumonia, empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis atau bakteremia
Stomatitis, ginggivitis atau periodontitis nekrotis berulkus yang akut Anemia 8gdl, neutropenia 0,5 × 109l danatau trombositopenia kronis 50
× 109l tanpa alasan
Stadium Klinis 4
Sindrom wasting HIV Pneumonia Pneumocystis
Pneumonia bakteri parah yang berulang Infeksi herpes simpleks kronis orolabial, kelamin, atau rektumanus lebih dari satu
bulan Kandidiasis esofagus atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru
Tuberkulosis di luar paru Sarkoma Kaposi KS
Infeksi sitomegalovirus retinitis atau infeksi organ lain Toksoplasmosis sistem saraf pusat
Tabel 2.1 Lanjutan
Ensefalopati HIV Kriptokokosis di luar paru termasuk meningitis
Infeksi mikobakteri non-TB diseminata Progressive multifocal leukoencephalopathy PML
Universitas Sumatera Utara
Kriptosporidiosis kronis Isosporiasis kronis
Mikosis diseminata histoplasmosis atau kokidiomikosis di luar paru Septikemia yang berulang termasuk Salmonela nontifoid
Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B Karsinoma leher rahim invasif
Leishmaniasis diseminata atipikal Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV
Sumber : INTERIM WHO Clinical Staging of HIV-AIDS and HIV-AIDS Case Definitions for Surveillance, 2005
2.2.2 Sejarah HIV-AIDS
HIV-AIDS memiliki perjalanan yang cukup panjang dalam sejarah peradaban manusia. Menurut Harahap 2000 dalam bukunya Pers Meliput AIDS, keberadaan
kondisi yang menunjukkan gejala HIV-AIDS, sejauh yang dapat ditelusuri, diperkirakan muncul sejak tahun 1959. Paling tidak, ada delapan kasus yang sangat
relevan sebagai indikasi adanya AIDS di tiga benua. Harahap menuliskan bahwa pada tahun 1959, seorang laki-laki Amerika Serikat
kelahiran Haiti berusia 45 tahun meninggal dunia dengan gejala mirip AIDS. Pada tahun yang sama tercatat pula seorang pelaut Inggris mengidap Sarcoma Kaposi dan
Penumocystis yang meninggal di Machester, Inggris. Tahun 1969 seorang bocah berkulit hitam berusia 15 tahun meninggal di St. Louis, Amerika Serikat juga karena
sarcoma kaposi dan infeksi opurtunistik. Tahun 1975 seorang bayi berkulit hitam berusia tujuh bulan di New York City, yang sebelumnya sehat kemudian diketahui
mengidap pneumocystis. Tahun 1979 seorang laki-laki homoseksual penduduk New York, Amerika Serikat, meninggal karena sarcoma kaposi.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya tambah Harahap, pada tahun 1977, ditemukan kasus pertama dari benua Afrika: seorang ahli bedah Denmark berusia 47 tahun yang bekerja di pedalaman
Zaire, Afrika, meninggal di Denmark dengan gejala AIDS. Pada tahun yang sama seorang perempuan asal Zaire yang berusia 34 tahun berobat ke Belgia dengan gejala
AIDS dan meninggal setahun setelahnya di Kinshasa. Pada tahun 1978 seorang ibu rumah tangga di Rwanda, Afrika yang berusia 27 tahun, didapati menderita
penurunan kekebalan tubuh. Delapan kasus ini menunjukkan cikal bakal epidemi yang melanda dunia saat ini.
Akhirnya pada tahun 1983 Luc Montagnier, seorang ilmuwan di Perancis, berhasil mengisolasi virus pada darah seorang penderita dengan gejala limfadenopati. Virus
itu kemudian disebut Montagnier sebagai Lymphadenopathy Associated Virus LAV. Robert Gallo, ilmuwan di National Institute of Health NIH di Bethesda, Amerika
Serikat, dan rekan-rekannya berhasil pula menemukan virus penyebab AIDS yang disebut Human T-cell Lymphotropic Virus type III HTLV-3. Levy dan kawan-
kawannya di San Fransisco, Amerika Serikat yang juga meneliti penderita-penderita menemukan AIDS related Virus ARV. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa
ketiga virus itu, yaitu LAV, HTLV-3 dan ARV adalah virus yang sama. Badan Kesehatan Sedunia WHO kemudian mengajukan nama HIV Human
Immunodeficiency Virus sebagai terminologi yang disepakati pada pertemuan International Commmitee on Taxonomy Viruses 1986. Harahap, 2000
Penyebaran HIV-AIDS secara cepat dan global, diperkirakan karena mobilitas penduduk dunia yang cepat pula. Perpindahan individu yang terinfeksi ke bagian
Universitas Sumatera Utara
dunia yang lain dan cara penularan virus yang luas, mengakibatkan HIV-AIDS menjadi epidemi di seluruh dunia.
2.2.3 Aspek Penularan HIV-AIDS
Setelah melalui berbagai penelitian, diketahui bahwa HIV ditularkan melalui kontak seksual, pemaparan darah atau produk darah yang terinfeksi, dan dari ibu ke anak
selama masa kehamilan. Tidak semua orang yang berhubungan seksual dapat terkena HIV-AIDS. Dalam
Jurnal kesehatan Sexual Transmission of HIV ditemukan bahwa penularan HIV melalui kontak seksual dapat terjadi karena dipengaruhi tiga faktor yaitu faktor host
kerentanan dan daya tular dari orang tersebut, faktor lingkungan termasuk sosial, budaya, kebijakan politis setempat, dan faktor agen yaitu tipe virus HIV Royce et al,
1997. Selanjutnya dijelaskannya, faktor biologis yang meningkatkan kerentanan seseorang
terinfeksi HIV melalui hubungan seksual adalah bila pada orang yang bersangkutan terdapat infeksi menular di alat kelamin, berhubungan intim dalam kondisi
menstruasi atau hamil, terdapat trauma saluran kelamin, serta pemakaian kontrasepsi dalam rahim IUD=Intra Uterine Device. Sedangkan faktor biologis yang
meningkatkan daya tular ODHA melalui hubungan seksual adalah kondisi ODHA berada pada stadium lanjut infeksi HIV, infeksi primer HIV, terdapat infeksi menular
seksual pada alat kelamin, ODHA berada dalam kondisi menstruasi, dan trauma saluran kelamin. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penularan melalui
Universitas Sumatera Utara
hubungan seksual adalah norma-norma sosial yang mempengaruhi praktek seksual secara anal, vaginal, oral, pola pasangan seksual berganti-ganti atau tetap, dan
pilihan metode kontrasepsi. Keberadaan lokasi yang menunjang terjadinya pergantian pasangan seksual seperti lokasi pelacuran, tempat pijat, hotel-hotel juga
mempengaruhi aspek penularan HIV-AIDS melalui hubungan seksual. Transfusi darah atau produk darah yang terinfeksi merupakan jalur yang efektif untuk
penularan HIV-AIDS. Orang yang membutuhkan trasnfusi darah rutin seperti pada pasien kelainan darah hemofilia, orang yang menggunakan jarum suntik bergantian,
para pekerja kesehatan yang berhubungan dengan jarum suntik yang terkontaminasi, memiliki risiko tinggi tertular penyakit ini Jawetz et al, 1995, Baggaley et al, 2005.
HIV dapat ditularkan ke anak selama masa kehamilan, proses persalinan, dan saat menyusui. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi risiko infeksi, khususnya
jumlah virus dari ibu pada saat mengandung bayi Thea et al, 1997. Semakin tinggi jumlah virus dalam tubuh ibu, semakin tinggi pula risiko penularannya. Faktor risiko
penularan dari ibu ke anak juga terdapat pada metode persalinan pervaginam dan pemberian air susu ibu Purnaningtyas dan Dewantiningrum, 2011. Pada metode
persalinan pervaginam, risiko menularkan virus dari ibu ke anak lebih besar daripada metode persalinan operasi caesar. Penularan dari ibu ke anak melalui pemberian air
susu ibu, dapat dipengaruhi oleh jumlah virus yang ada di tubuh ibu, pemakaian ART, dan kondisi payudara si ibu mastitis, abses dan luka di mulut bayi Thea et al,
1997, Purnaningtyas dan Dewantiningrum, 2011.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Aspek Pencegahan HIV-AIDS
Pencegahan terhadap epidemi ini berkaitan erat dengan perubahan perilaku berisiko terhadap penularan HIV-AIDS. Jawetz 1995 menyimpulkan anjuran dari para ahli
kesehatan masyarakat agar ODHA diberi pengetahuan berikut, sehingga penularan
HIV-AIDS dapat dikendalikan:
a.Bahwa semua orang yang terkena HIV-AIDS akan menderita penyakit ini seumur hidup dan akan timbul berbagai macam penyakit di kemudian hari
b.Walaupun tanpa gejala, ODHA dapat menularkan virus kepada orang lain. c.ODHA jangan mendonorkan darah, plasma, organ tubuh, jaringan lain atau
spermanya d.Terdapat risiko menginfeksi orang lain melalui hubungan seksual anal, oral
atau vagina atau dengan menggunakan jarum suntik bergantian. Penggunaan kondom dapat mengurangi risiko penularan virus walaupun tidak absolut
e.Sikat gigi, alat pencukur dan alat-alat lain yang memiliki kemungkinan terkontaminasi dengan darah sebaiknya tidak digunakan bersama
f.Wanita yang positif terkena HIV atau wanita dengan pasangan yang positif HIV memiliki risiko tinggi mendapatkan AIDS. Demikian juga janin yang
dikandungnya, jika ia hamil g.Alat yang menusuk kulit, misalnya jarum akupuntur, harus disterilisasi uap
dengan autoklaf sebelum digunakan kembali atau harus dibuang dengan aman. Alat kedokteran gigi juga harus disterilisasi, dan bila memungkinkan,
sebaiknya menggunakan jarum dan peralatan sekali pakai saja
Universitas Sumatera Utara
h.Bila melakukan pemeriksaan kesehatan atau perawatan gigi, ODHA harus memberitahu pemeriksanya bahwa mereka terkena HIV-AIDS sehingga
penangannya akan lebih hati-hati agar tidak menularkan kepada yang lain i.Uji untuk antibodi HIV harus dilakukan kepada orang-orang yang terinfeksi
akibat berkontak dengan individu yang positif, misalnya pasangan, bayi, keluarga
j.ODHA tidak perlu berhenti dari pekerjaannya selama pekerjaannya tidak berpotensi memaparkan darah atau cairan tubuhnya kepada orang lain. Tidak
ada bukti penularan virus ini melalui makanan k.ODHA yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan, harus sangat berhati-hati
ketika menangani prosedur yang invasif agar tidak menularkan kepada orang lain
l.Anak-anak dengan tes positif tidak perlu berhenti sekolah tetapi yang perlu diperhatikan adalah kebiasaan anak-anak yang menimbulkan luka atau lecet
seperti menggigit temannya atau terjatuh sampai memiliki luka berdarah
2.2.5 Aspek Pengobatan HIV-AIDS
Pengobatan untuk AIDS dilakukan dengan mengendalikan jumlah virus pada darah dan mengatasi infeksi oportunistik yang muncul akibat virus ini. Untuk
mengendalikan jumlah virus di darah maka dipakai kombinasi 3 obat yang sering
disebut dengan ART Anti Retroviral Therapy. ART lini pertama bagi ODHA
dewasa adalah ZDV + 3TC + NVP. Konsumsi obat dalam jangka waktu yang lama
Universitas Sumatera Utara
akan berisiko toksik. Jika resisten terjadi, maka ART lini kedua dapat diberikan. ART lini kedua adalah TDF atau ABC + ddl + LPVr atau SQVr. A Jawetz et al, 1995.
Pemberian ART juga bermanfaat dalam mencegah penularan HIV dari ODHA kepada yang lain. Konsumsi ART yang teratur memperlihatkan kenaikan kadar CD4
dan penurunan jumlah virus dalam tubuh seseorang. Hal ini berarti menurunkan risiko penularan virus kepada yang lain. Royce et al, 1997, Thea et al, 1997.
2.2.6 Dampak HIV-AIDS
HIV-AIDS memunculkan berbagai dampak pribadi pada psikologis ODHA seperti ketakutan, keputusasaan yang disertai dengan prasangka buruk dan diskriminasi dari
orang lain, yang kemudian dapat menimbulkan tekanan psikologis Green Setyowati, 2004.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tsevat et al Arriza dkk, 2011, ODHA juga sebenarnya memiliki keinginan yang besar untuk terus hidup, dan memiliki harapan
bahwa kehidupan mereka lebih baik daripada kehidupan mereka sebelumnya. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa setelah lima minggu beradaptasi dengan
kabar tersebut, mereka memiliki perasaan berduka yang lebih rendah daripada yang dikiranya dan menjadi bahagia.
Dampak lain dari HIV-AIDS adalah reaksi sosial yang timbul di masyarakat. Walaupun masyarakat dunia sudah lama berhadapan dengan epidemi HIV-AIDS,
reaksi emosional histeria masyarakat kepada penyakit ini juga masih sering muncul kepermukaan. Stigma dan diskriminasi adalah bentuk reaksi sosial masyarakat yang
muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat tentang cara-cara penularan
Universitas Sumatera Utara
penyakit ini dan ketakutan berlebihan terhadap akibatnya. Stigma dan diskriminasi ini berbeda-beda sesuai dengan konteks daerah yang terkena HIV-AIDS.
2.2.7 Stigma dan Diskriminasi 2.2.7.1 Definisi Stigma dan Diskriminasi
Kata stigma berasal dari bahasa Yunani στιγμα: tanda atau bercak; majemuk:
stigmata, στιγματα. Pada zaman dulu, istilah ini dipakai untuk menunjukkan tanda- tanda yang dimiliki seseorang pada tubuhnya bekas bakaran atau torehan yang
menandakan bahwa orang itu adalah budak, penjahat, atau pengkhianat. Ia adalah orang yang cacat moralnya dan karena itu harus dihindari, khususnya di tempat
umum. Saat ini istilah stigma dipakai bukan hanya sebagai tanda secara fisik, tetapi juga
secara sosial. Hal ini dapat kita lihat dari definisi Goffman Holzemer dan Uys, 2004 tentang stigma yaitu sebagai atribut yang mendiskreditkan seseorang dari interaksi
sosial, karena atribut tersebut berbeda dengan atribut yang dianggap normal dan dapat diterima masyarakat. Tambahnya, sebagai contoh kelompok yang mendapat stigma di
Amerika Serikat adalah kaum homoseksual, orang-orang dengan kulit berwarna, para pengguna obat terlarang, dan orang-orang dengan gangguan mental.
Stigma merupakan suatu sikap yang timbul dalam diri seseorang tetapi jika sikap itu dinyatakan dalam tindakan membedakan, maka hal itu dinamakan diskriminasi.
Menurut Gerungan 2004, tindakan diskriminasi adalah tindakan yang bercorak menghambat, merugikan perkembangan, bahkan mengancam kehidupan pribadi
Universitas Sumatera Utara
orang-orang yang termasuk golongan orang yang diprasangkai itu. Tindakan diskriminatif ini dapat terjadi tanpa ada alasan yang objektif.
2.2.7.2 Stigma dan Diskriminasi terhadap ODHA
Berdasarkan definisi di atas maka stigma terhadap ODHA adalah atribut atau label yang diberikan masyarakat kepada individu atau kelompok yang berhubungan dengan
HIV-AIDS yang sifatnya negatif atau melemahkan mereka dalam interaksi sosial. Herek et al Holzemer dan Uys, 2004 memiliki definisi tentang hal ini yaitu
‘prejudice, discounting, discrediting, and discrimination that are directed at people perceived as having HIV or AIDS, and at individuals, groups, and communities with
which they are associated’. UNAIDS 2007 mendefinisikan stigma terkait HIV-AIDS adalah proses
menghilangkan nilai dari seseorang yang terkena atau yang hidup dengan HIV-AIDS dan diskriminasi adalah perlakuan tidak adil dan buruk kepada individu berdasarkan
status HIV-nya. Dari penelitian yang dilakukan UNAIDS pada saat itu di Indonesia, didapati 40 dari Penasun tidak mau mengikuti tes HIV karena takut mendapat
stigma. Banyak ahli mencoba membuat konseptualisasi dari stigma terkait HIV-AIDS. Salah
satunya, De Bruyn Holzemer dan Uys, 2004 mencoba mengidentifikasikan faktor- faktor yang berperan dalam stigma ODHA. Yang termasuk faktor-faktor ini adalah
fakta bahwa AIDS adalah penyakit yang mengancam jiwa dan banyak orang takut terkena penyakit ini, tertularnya penyakit ini juga berhubungan erat dengan perilaku
yang sudah dicap jelek di masyarakat seperti Penasun, homoseksual, sehingga
Universitas Sumatera Utara
masyarakat melihat mereka sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap penyakit ini dan terhadap penularannya. Hal ini digambarkan dalam kerangka berikut:
Gambar 2.2 Faktor-faktor Determinan Stigma terkait HIV-AIDS
Sumber : De Bruyn Mawat et al, 2005
Dampak stigma terhadap ODHA dapat digolongkan ke dalam stigma yang dirasakan dan stigma yang dialami Mawar et al, 2005; Holzemer dan Uys, 2004. Stigma yang
dirasakan berkaitan dengan perasaan malu dan rasa takut yang menekan terhadap perilaku stigma. Sedangkan stigma yang dialami adalah sanksi yang diberikan kepada
individu atau kelompok dengan HIV-AIDS. Kedua stigma ini berakibat terhadap terganggunya hak ODHA, kebebasan, identitas
diri dan interaksi sosial yang berpengaruh pada keputusan mereka mencari tes HIV
Universitas Sumatera Utara
dan akses layanan kesehatan Mawar et al, 2005. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Gilbert Walker 2010 yang menemukan bahwa rasa takut akan stigma
berperan penting dalam pengalaman ODHA mulai dari tes awal sampai komitmen terhadap pengobatan ART. Hal ini juga berdampak terhadap hubungan mereka
dengan keluarga dan pengalaman seksual mereka. Dampak sosial yang disebabkan HIV-AIDS, yaitu stigma dan diskriminasi,
merupakan masalah yang kompleks. Faktor-faktor yang berkaitan dengan reaksi sosial ini di masyarakat merupakan hal yang bevariasi sesuai dengan konteks
masyarakat di komunitas atau negara tersebut. 2.3 Upaya Penanggulangan HIV-AIDS terkait Stigma dan Diskriminasi HIV-
AIDS 2.3.1 Pemberdayaan ODHA dalam Prinsip GIPA
Secara global, para ahli beserta praktisi kesehatan dan sosial berusaha menemukan cara untuk menanggulangi epidemi ini dengan memperkenalkan suatu
paradigma yaitu GIPA Greater Involvement of People Living with HIV-AIDS.
2.3.1.1 Definisi
Menurut UNAIDS, GIPA bukanlah suatu proyek atau program. GIPA adalah prinsip yang menfasilitasi kesuksesan yang lebih baik dari respon lokal, nasional atau
global terhadap HIV-AIDS. Prinsip GIPA berarti melibatkan ODHA di tiap level respon terhadap HIV-AIDS Van Roey, 1999. Keterlibatan ODHA dalam sistem
penanggulangan HIVAIDS bervariasi untuk setiap ODHA. Seperti yang dapat dilihat dari piramida berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Piramida Keterlibatan ODHA
Sumber: UNAIDS, 1999 2.3.1.2 Tujuan GIPA dalam Penanggulangan HIV-AIDS
Menurut UNAIDS, ada banyak alasan mengapa GIPA sangat penting bagi penanggulangan epidemi HIV-AIDS. Pada tingkat sosial, keterlibatan ODHA
membantu mengurangi stigma dan diskriminasi, serta memberi tanda bagi masyarakat tentang penerimaan dan pengenalan pentingnya ODHA. Di dalam organisasi,
Universitas Sumatera Utara
keterlibatan dapat menjadi alat yang ampuh dalam merobohkan batasan-batasan, baik subjektif maupun objektif.
Selain mengurangi diskriminasi, GIPA dapat memperkuat sebuah organisasi atau kegiatan dengan memaparkannya pada sudut pandang yang diberikan secara
khas oleh pengalaman ODHA. Penguatan ini dapat terjadi pada tingkat pembentukan tim dan peningkatan semangat, atau dapat juga mencakup perkembangan bermakna
pada cara kerja organisasi yang bersangkutan. ODHA dapat memberikan fungsi dukungan yang berharga dalam organisasi atau kegiatan yang telah menggunakan
“petugas AIDS” sebagai pendidik kesehatan masyarakat, dokter, psikolog dan pekerja sosial. Walaupun para pekerja biasanya menerima sedikit dukungan praktek dan
emosional dalam kegiatan pencegahan dan pendidikan AIDS, ODHA dapat memberi mereka wawasan, membantu meningkatkan rasa percaya diri dan juga meyakinkan
betapa berharganya sumbangan mereka. Akhirnya, GIPA juga mempunyai manfaat yang penting bagi ODHA secara individu.
Pengalaman menunjukkan bahwa keterlibatan jenis ini terutama jika dilakukan setelah merasa putus asa dan depresi dapat membangun semangat seseorang. ODHA
seperti orang pada umumnya perlu merasa berharga atas apa yang mereka berikan. Keterlibatan dapat mendukung dan memberdayakan orang HIV-positif dengan cara
yang meningkatkan nilai sumbangannya pada suatu organisasi atau kegiatan.
2.3.2 Positive Prevention Pencegahan Positif
Pengetahuan yang diberikan kepada ODHA diharapkan dapat mengubah perilaku ODHA dan memutus rantai penularan kepada orang lain dan hal ini membutuhkan
Universitas Sumatera Utara
usaha promosi kesehatan. Strategi promosi untuk pencegahan HIV-AIDS biasanya sebagian besar terfokus kepada orang-orang yang tidak terinfeksi supaya mereka
tidak terkena infeksi. Hanya sedikit usaha promosi pencegahan HIV-AIDS kepada orang-orang yang terinfeksi ODHA. Beberapa tahun belakangan, terjadi perubahan
dalam hal ini di kalangan organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, dimana strategi pencegahan penularan HIV-AIDS difokuskan kepada
orang-orang yang terinfeksi. Hal ini dikenal dengan Pencegahan Positif Positive Prevention.
Pencegahan positif bertujuan untuk meningkatkan harga diri, kepercayaan diri dan kemampuan seseorang yang positif HIV-AIDS untuk melindungi kesehatan diri
mereka dan menghindari penularan infeksi kepada orang lain International HIVAIDS Alliance, 2007. Menurut para praktisi kesehatan, Pencegahan Positif
didasarkan pada realitas dan sudut pandang ODHA itu sendiri. ODHA adalah individu yang memiliki kebutuhan dan keinginan yang bervariasi. Mereka memiliki
hak pribadi untuk memilih, misalnya berhubungan seks atau tidak, oleh karena itu mereka membutuhkan informasi yang jelas dan dukungan yang praktis untuk
memastikan bahwa pilihan mereka aman untuk mereka dan pasangan mereka. Dari penjelasan di atas dapat dilihat, melalui Pencegahan Positif, ODHA diharapkan
bukan hanya sekedar tahu dan dapat mengajar orang lain aktif di LSM tetapi juga menjadi role model dalam perilaku pencegahan penularan HIV-AIDS kepada orang
lain seperti perilaku memakai kondom secara konsisten, tidak melakukan seks berisiko atau menggunakan jarum suntik bergantian.
Universitas Sumatera Utara
Menurut International HIVAIDS Alliance 2007, Pencegahan Positif difokuskan pada komunikasi, informasi, dukungan dan perubahan kebijakan, tidak berdasarkan
penghakiman, stigma atau diskriminasi. Secara praktis, Family Health International FHI mengadopsi prinsip ini ke dalam kerangka Pencegahan Positif berikut ini:
Tabel 2.3 Pencegahan Positif Intervensi Generik
Dukungan dan Pendidikan
kesehatan Pelayanan dan
Komodita Mobilisasi
Komunitas Advokasi
dan
Perubahan Kebijakan
Strategi Strategi Komunikasi Menyeluruh
Intervensi tingkat individu dan
kelompok Upaya
pencegahan dan persediaan
komoditas Kelompok
dukungan sebaya Melibatkan
orang dengan
status HIV positif dalam
komponen program
yang berbeda-
beda
Tabel 2.3 Lanjutan
Proses konseling pasca tes dan
konseling berkesinambungan
Tes HIV dan konseling
Pembentukan rujukan jaringan
sosial Advokasi
untuk Pencegahan
HIV
Universitas Sumatera Utara
Konseling untuk pasangan dengan
status sero yang tidak sama
Perawatan dan Pengobatan
Melatih orang yang berstatus
HIV positif menjadi konselor
atau manajer kasus
Menciptakan lingkungan
yang mendukung
untuk pencegahan
positif
Penguatan pencegahan positif
melalui pengurangan
dampak buruk dan program
penggantian jarum suntik dan CoC
Continum of Care
Pengembangan sistem jaringan
rujukan
Diadaptasi dari Positive Prevention, prevention HIV with People Living with HIV: International HIVAIDS Alliance, Frontries Prevention Project, 2007
2.4 Kerangka Pikir
Universitas Sumatera Utara
Kerangka pikir peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.4 Kerangka Penelitian
KONSEP DIRI ODHA
DIMENSI INTERNAL : •Identity-self
•Behaviour-self •Judging-self
DIMENSI EKSTERNAL : •Physical-self
•Moral-ethical self •Personal-self
•Family-self •Social-self
FAKTOR PEMBENTUK KONSEP DIRI:
•Konsep Dasar •Belajar
•Orangtua •Teman Sebaya
•Masyarakat •Affective others
•Kelompok rujukan STIGMA DAN
DISKRIMINASI TERHADAP ODHA
KOMUNIKASI INTERPERSONAL:
•Nubuat yang dipenuhi sendiri
•Membuka diri •Percaya diri
• Selektivitas
SISTEM PENANGGULANGAN
HIV-AIDS
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODE PENELITIAN
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini dan mencapai tujuannya, maka diperlukan metode penelitiannya yang tepat. Dengan metode penelitian maka
diharapakan diperoleh data-data yang valid yang dapat menggambarkan konsep diri dari ODHA di tengah-tengah masyarakat dan keluarga. Dalam bab ini akan
dipaparkan jenis penelitian yang digunakan untuk penelitian ini, lokasi dan waktu penelitian, pemilihan informan, metode pengumpulan data, analisa data dan
pengecekan keabsahan penelitian.
3.1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan paradigma interpretif. Paradigma interpretif adalah melihat fenomena di kehidupan sebagai sesuatu yang
dibangun, diinterpretasikan dan dialami oleh manusia dalam interaksi mereka dengan orang lain dan dengan sistem sosial yang lebih luas Ulin, 1992. Selanjutnya
menurut Ulin, dalam paradigma ini, keputusan, aksi dan tindakan seseorang didasarkan kepada interpretasinya terhadap hal-hal yang berkaitan dengannya yang
diartikan secara subjektif sehingga memiliki makna. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus yaitu uraian dan
penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, organisasikomunitas, program atau situasi sosial Mulyana, 2002. Sesuai dengan
pendapat Ragin yang dikutip Mulyana 2002, metode berorientasi kasus bersifat
47
Universitas Sumatera Utara
holistik, menganggap bahwa kasus adalah entitas menyeluruh dan bukan kumpulan bagian-bagian yang terpisah.
Penelitian ini dilakukan dengan suatu asumsi bahwa sebagai pihak yang memperoleh stigma dan diskriminasi oleh lingkungan sosialnya, ODHA akan membangun dan
menginterpretasikan konsep dirinya dan berperilaku sesuai dengan konsep diri itu sesuai dengan interaksinya dengan orang-orang di sekitarnya.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian