harapan bisa menolong banyak orang dan memberdayakan para IRT di kemudian hari.
b. Astri sebagai seorang Janda
Astri menjadi seorang janda dengan satu orang anak ketika suaminya meninggal karena AIDS. Suaminya terkena infeksi HIV-AIDS melalui jarum suntik yang biasa
ia pakai pada saat dahulu ia menjadi seorang Penasun. Astri bertemu dengan suaminya di Batam dan setelah sang suami berhenti memakai narkoba, Astri pun
bersedia untuk menikah. Setelah mereka menikah, Astri dibawa ke Medan, tempat orangtua dari sang suami dan tinggal di rumah orangtua suamimya.
Ketika Astri mengetahui bahwa sang suami terkena AIDS, Astri tidak serta merta meninggalkan suaminya. Astri malah merawatnya sampai ia meninggal dunia.
Padahal pada saat yang bersamaan, Astri diperiksa dan diketahui juga mengidap virus yang sama. Walaupun demikian, Astri tidak menyalahkan suaminya atas segala
kondisi yang terjadi. Astri beranggapan bahwa ia juga memiliki bagian dalam kondisinya saat ini karena dialah yang memutuskan untuk menikah dengan suaminya.
“Kalo mau dibilang, ya ini kesalahanku.. Siapa suruh mau menikah ama mantan pecandu, ya kan.. Itu kan pilihan.. Dan kita yang
membuat pilihan.. Ya harus dijalanin..”
Ketika suami Astri meninggal, ia tidak dapat merasakan kesedihan lagi karena sudah
merasa siap dengan kematian suami. Menurut Astri, ia tidak dapat menangis lagi karena kelelahan emosi yang dia alami selama merawat suaminya. Sebagai seorang
wanita yang ditinggalkan oleh suaminya, Astri merasakan beban ganda. Di satu sisi
Universitas Sumatera Utara
kehilangan figur pelindung bagi dirinya dan di sisi lain harus menggantikan peran ayah bagi anaknya.
Bagi Astri, kehilangan suami berarti kehilangan penopang dalam rumah tangga secara finansial, kehilangan sosok yang dapat memenuhi kebutuhan emosional dan
juga fisik, serta sosok yang biasa menemaninya menghadapi keluarga besar. Dan bukan itu saja, kehilangan suami juga berarti Astri harus menanggung ekonomi
keluarga. Dalam menghadapi permasalahan ekonomi, Astri memutuskan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga intinya. Dalam hal dukungan sosial,
Astri mendapatkannya dari keluarga suami dan juga komunitas baru tempat ia bekerja. Dalam hal emosional, Astri membutuhkan sosok untuk mengasihi dan
memenuhi kebutuhan emosinya sebagai seorang wanita. Astri mengaku bahwa ia terbuka terhadap hubungan yang baru dengan pria. Dengan
usia yang relatif masih muda, Astri memiliki banyak kesempatan untuk dekat dengan pria. Hal ini alasan Rika sebagai sahabat Astri menangkap kesan bahwa Astri saat ini
mudah untuk jatuh cinta dan merasa simpati dengan pria yang memberi perhatian kepadanya. Bagi Rika, itu adalah suatu kelemahan dan sikap yang harus diwaspadai
agar tidak terjadi kesalahan dalam memilih pasangan hidup. “Kelemahannya adalah jantan.. cowok.. dia terlalu mudah jatuh
cinta.. trus ga bisa liat orang susah.. Gimana la wanita yang butuh perhatian, butuh kasih sayang..Tapi kalo aku bilang sifat buruk
dia, ibaratnya cakap kasarnya gini lo.. biar aku susah, orang lain jangan susah, itu yang aku paling ga suka.. itu kelemahan menurut
aku.. jadi menjurus ke pembodohan.”
Universitas Sumatera Utara
Astri mengakui bahwa ia adalah korban dari ketidaktahuannya di masa lalu. Hal ini yang sekarang mendorong Astri untuk tidak melakukan kesalahan yang sama
terkhusus untuk masalah HIV-AIDS. Hal ini dikatakan Astri ketika berbicara tentang pria-pria yang mendekati ia saat ini. Astri sendiri selalu membuka statusnya kepada
pria yang sedang mendekatinya. Astri juga menyarankan pria itu untuk melakukan KTS. Hal ini dilakukan Astri karena ke depannya, ia tidak mau disalahkan jika suatu
saat pria itu tertular padahal mungkin saja pria itu sebelumnya sudah menderita HIV- AIDS. Walaupun hal ini bagi teman-teman Astri kelihatan berlebihan, ia berkata
bahwa ia tidak mau mengulang masa lalunya saat ia tahu bahwa suaminya mantan pecandu tetapi tidak tahu harus melakukan KTS. Ungkapan Astri berikut
menunjukkan bahwa Astri melihat masa lalunya adalah suatu kebodohan ketika ia tidak melakukan pemeriksaan KTS sebelum mereka menikah.
“Kalo aku malah suruh pasangan KTS nanti.. kalo dia ga mau ya udah ga usah jalan.. tapi kalo mau ya jalan.. gini lo, bukan apa-
apa, kita ga mau yang dipersalahkan nanti.. kita kan ga tau gimana perilaku dia sebelum ama kita kan.. jangan-jangan udah
positif sebenarnya cuma dia ga tau.. nanti dibilangnya pula tiba- tiba positif karena ama kita.. ah enggaklah..
Teman-teman ada yang bilang gila kau ya… belum apa-apa udah suruh orang KTS.. yah aku bilang kok gila.. kalo hasilnya positif
ya tetap kita terima.. kalo hasilnya negatif syukur.. jangan kita mau jadi orang bodoh terus.. kalo dulu udah jadi orang bodoh ya
cukup sekali itu aja, jangan bodoh kedua ketiga keempat..”
Bagi Astri, ketidaktahuannya di masa yang lalu memang berakibat fatal. Walaupun
Astri pada akhirnya tidak mempersalahkan sang suami dan melihat hal ini sebagai suatu jalan hidupyang harus ia jalani, tetapi untuk ke depannya Astri memiliki
pengharapan untuk hidup lebih baik dan memilih pasangan yang tepat yang
Universitas Sumatera Utara
menerima dia dan anaknya. Astri tidak memiliki kesulitan untuk berinteraksi dengan mereka, walaupun status Astri adalah seorang janda. Hanya saja dalam memutuskan
menikah atau tidak, Astri terikat dengan anaknya dan keluarga mertuanya. Hal ini ditunjukkan Astri melalui perilakunya yang selalu memperkenalkan pria yang sedang
dekat dengannya kepada anaknya ataupun keluarga suaminya.
c.Astri sebagai seorang Ibu dan Orangtua tunggal