Mereka melihat ketika mereka didiganosa akan hal itu, masih terlihat down, bahkan lebih down daripada kalau mereka mngkin
didiagnosa cancer..Kenapa ini bisa terjadi, karena ini selalu kaitannya dengan moral. Dan keluarga juga ga siap.“
Dampak dari stigma tersebut, bukan hanya berdampak terhadap psikologis ODHA, tetapi juga berpengaruh pada seluruh kehidupan ODHA, karena akan mempengaruhi
keluarga, pekerjaan, masa depan ODHA. Seperti yang diceritakan oleh Gita Kencana, ketika ada aktivis LSM yang menangani waria dan gay didiagnosa terkena HIV-
AIDS, maka mereka sangat sedih dan mengalami banyak ketakutan. Beberapa di antaranya, Gita menjelaskan:
“HIV, AIDS dan kematian ada dalam pikiran mereka. Bagaimana dengan keluarga ketika mereka meninggal keduanya belum
menikah, tapi mereka punya ibu dan saudara-saudara kandung itu mereka sampaikan, begitu juga dengan apa yang mereka hadapi
berkaitan ketika mereka jatuh sakit, butuh uang, ga bisa kerja, dan sebagainya”
b.Marah
Respon orang yang terinfeksi HIV-AIDS pada awalnya adalah rasa marah sebelum akhirnya dapat menerima kenyataan. Hal ini dapat terjadi baik kepada orang yang
berperilaku risiko ataupun yang tidak. Pada dasarnya kemarahan muncul karena merasa putus asa atas kondisi yang tidak dapat diubah lagi. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Linda:
“Jadi artinya apa, biasanya orang dengan kondisi ini, mengalami keputusasaan, ini bicara psikologis, kalo kita bicara psikologis,
mau ga mau bicara spiritual. Orang kalo susah larinya kemana, pasti ke Tuhan. Pertama ketika kita mndapat sesuatu, kita marah,
sebelum menerima, kita marah, mengapa begini, setelah itu kita menolak, setelah kita capek, kita bilang napa Tuhan, kenapa aku
yang kena,kenapa ga si A, si B, si C.. selama ini aku orang baik-
Universitas Sumatera Utara
baik.. Ini masih dalam proses marah.. Setelah kita dah capek seperti ini berkeluh kesah, kita sampai ke bagaimana kita
memandang diri kita, masihkan diri kita berharga, masihkan kita kuat? Kalo tidak,kita akan tenggelam.. Tapi kalo kita masih
memandang diri kita psoitif, barulah kita bilang, Tuhan tolonglah aku.. larinya kan ke Tuhan.. karena kita tau Kau yang kasi pasti
Kau ada jalan.. pasti ada maksudMu kasih ini samaku..”
c.Memandang diri negatif
Gita, yang saat ini bekerja di Family Health International FHI berpendapat bahwa masyarakat pada umumnya menyamaratakan ODHA dan mengaitkannya dengan
‘penyakit kotor’, tak bermoral, kutukan Tuhan, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan ODHA menjadi terbebani tidak hanya dengan HIV yang ada di tubuhnya, tetapi juga
dengan stigma, yang tidak hanya dihadapi dari masyarakat, bahkan bisa jadi dalam diri ODHA itu sendiri, dalam bentuk stigmatisasi diri.
Selanjutnya, menurut Gita, stigmatisasi diri adalah memandang negatif terhadap dirinya sendiri, misalnya berupa perasaan ‘Yah saya memang pantas kena HIV
karena saya orang berdosa, saya pantas dikutuk’, dan lain sebagainya. Hal ini yang membuat sebagian teman-teman ODHA mempunyai sikap pesimis dengan
penyakitnya dan akhirnya tidak mau mengakses layanan atau tidak mau patuh dengan pengobatan atau perubahan perilaku yang dianjurkan.
Stigmatisasi diri yang menyebabkan tidak berubahnya perilaku juga dialami di kalangan waria. Hal ini disampaikan Benny, ketika berhadapan dengan para ODHA
dari kalangan waria. Benny, menceritakan bahwa pada kenyataannya, walaupun sudah didiagnosa HIV, ada waria yang tetap melakukan pekerjaanya seperti biasa.
Bahkan pada waria yang sudah aktif dan menjadi petugas lapanganpun, perilaku ini
Universitas Sumatera Utara
tetap ada, dan kemungkinan tidak memakai kondom juga besar. Hal ini menurut Benny, terjadi karena banyak faktor. Salah satunya adalah stigma yang mereka buat
terhadap diri mereka sendiri, bahwa jalan hidup yang mereka harus jalani adalah sebagai waria. Hal lain yang mempengaruhi perilaku mereka itu adalah pendidikan,
keinginan secara biologis untuk memuaskan hasrat seksual, dan juga keinginan pasangan.
“Misalnya teman-teman waria..Mereka ternyata tetap masih aktif mejeng.. walaupun katanya bukan untuk cari makan tapi untuk
eksis.. yah gimana gitu.. Mereka tetap terima tamu.. Apa bisa dipastikan mereka tetap pake kondom.. Mau berapa banyak
kondom sih mereka bawa dari rumah? Nanti bawa berapa ternyata yang dilayanin berapa.. susah kan.. Padahal mereka itu sudah
dapat banyak informasi, sudah aktif di kelompok-kelompok sebaya, dijadikan role model juga, bahkan petugas lapangan di sebuah
lsm.. Tapi ternyata perilakunya ga bisa berubah. Banyak faktor yang membuat mereka tetap berperilaku seperti itu.. misalnya
waria itu pendidikan nya ga tinggi.. Mereka sudah menstigma diri mereka sendiri kalo harus mejeng karena mereka waria. Yang
kedua waria itu tetap harus jual diri, karena kalo ga gimana dia dapat menyalurkan kebutuhan seksualnya.. Dia maunya dapat laki-
laki seutuhnya. Ya jadinya harus seperti itu dilakukan.. trus belum lagi permintaan pasangan. Kalo misalnya yang bukan
pasangannya mungkin bisa la dia paksa tetap harus pakai kondom.. tapi kalo dah berondongnya yang minta.. nah.. susah
kan.. emang karakteristiknya dah seperti itu..”
Demikian juga stigmatisasi yang dibuat oleh Pekerja Seks Komersil untuk
mendapatkan pembenaran dalam pengertian mereka terhadap ketidakmampuan mereka mengubah perilaku. Kesulitan hidup dan absennya solusi yang menurut
mereka dapat menolong mereka hidup lebih baik, membuat mereka tidak rela meninggalkan pekerjaan mereka, walaupun mereka sudah terkena HIV-AIDS.
Berikut penjelasan Benny:
Universitas Sumatera Utara
“Jadi masalahnya ga sesederhana itu.. Belum lagi yang latar belakangnya PSK, nah.. pernah aku jumpa dengan perkataan, ‘jadi
mau kau larang aku ga layani tamu.. G pake kondom.. Mau bayar berapa?’ Gimana soalnya itu dah penghasilan mereka kan.. ga
pake kondom aja bisa dalam 1 minggu Cuma 300.000, apalagi kalo pake kondom.. Padahal mereka punya anak yang harus dikasi
makan, belum lagi suaminya yang nuntut harus ada uang dibawa.. Ah macemlah.. Nah, kalo dah gitu gimana lagi”
d.Pribadi yang mendiskriminasi dirinya sendiri