Menurut Wadolowska et al. 2008 bahwa iklan telah menyangkal secara umum dan merupakan faktor yang penting dalam pemilihan makanan. Perhatian
pada iklan meningkat jika informasi tentang makanan yang diberikan terkait dengan kesehatan. Motif pemilihan makanan lebih besar tegantung pada jenis
kelamin dan umur, keterjangkauan informasi pada suatu daerah, kondisi ekonomi dan pendidikan. Ibu-ibu dan remaja wanita dalam memilih makanan lebih sering
ditunjukkan oleh karena perilaku dukungan kesehatan, motif mengonsumsi, kesukaan dan jumlah makanan yang dikonsumsi.
7. Pasar
Pasar adalah tempat untuk memperoleh makanan yang diproduksi maupun yang diinginkan oleh setiap individu. Turrell et al. 2007 menguji hubungan
antara social economic status SES dan perilaku pembelian makanan dengan metode survei yang ditunjukkan dengan proporsi rumah tangga pada masing-
masing penghasilan rendah. Penelitian ini diukur melalui pendidikan, pekerjaan dan pendapatan rumah tangga maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa perilaku
pembelian makanan dapat dibedakan berdasarkan ketersediaan makanan, kemudahan mengaksesnya, dan keterjangkauannya yang membuat tipe pada
beberapa pembelian makanan lebih sulit dalam daerah tertentu.
Berbeda dengan makanan cepat saji yang saat ini sedang menjamur hampir di semua negara yang dengan mudah mengusai pemasaran makanan yang ada.
Menurut Dunn et al. 2011 yang melakukan penelitian dengan variabel yang mempengaruhi konsumsi makanan cepat saji dalam contoh di Australia
menunjukkan bahwa konsumsi makanan cepat saji dipengaruhi oleh kelompok rujukan tertentu serta permintaan umum untuk makanan yang lezat,
memuaskan, dan nyaman. Selanjutnya Michaelidou dan Hassan 2010 melakukan penelitian tentang sikap konsumen dan niat membeli produk organik yang
menunjukkan bahwa sikap konsumen dijelaskan oleh karena keprihatinannya pada keamanan pangan, gaya hidup, etika dan harga.
Meskipun pemahaman gizi tampaknya berada pada tingkat yang baik, namun pengetahuan itu tidak cukup untuk menghalangi individu dari membeli
dan makan makanan cepat saji. Faktor-faktor yang menghambat konsumsi makanan cepat saji adalah perasaan yang lahir dari diri sendiri dan kepedulian
tentang isu-isu
sosial seperti
keluarga kehilangan waktu makan makanan
tradisional, anak-anak tidak belajar tentang makanan dan persiapan makanan, kebiasaan konsumsi membentuk sifat sering, dan terkait dengan gaya hidup
Dunn et al. 2011. Oleh karena itu menurut Pieniak et al. 2009 bahwa dibutuhkan pasar untuk makanan tradisional tersebut.
Makanan Tradisional
Makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002. Menurut Kittler dan Soucher 2008 makanan didefinisikan
sebagai zat yang menyediakan kebutuhan gizi untuk pemeliharaan dan pertumbuhan tubuh ketika dimakan. Sementara Menurut Almatsier 2003 bahwa
makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur- unsur kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh yang berguna bila
23 dimasukan dalam tubuh.
Makanan mempunyai berbagai fungsi di dalam tubuh baik untuk mencegah terjadinya berbagai penyakit, memelihara tubuh agar tetap sehat dan juga dapat
menyembuhkan berbagai penyakit. Menurut Hipocrates 460-359 SM bahwa biarkan makanan menjadi obat-mu dan obat menjadi makanan-mu Let food be
thy medicine and medicine be thy food
yang dapat difahami bahwa makanan itu
sendiri mempunyai berbagai fungsi yang dapat melawan berbagai penyakit sehingga dapat memberikan kesehatan pada tubuh atau meningkatkan kekebalan
tubuh sehingga tubuh tetap sehat Lucock 2004.
Konsep dan Definisi Makanan Tradisional
Menurut Achir dan Wirosuhardjo 1995 bahwa makanan tradisional adalah bagian dari budaya. Kata budaya tersebut berasal dari bahasa sangsekerta yaitu
buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal. Ada juga yang mengelompokkan kata budaya menjadi budi-daya yang dapat berarti daya
dari budi berupa cipta, karsa dan rasa. Menurut Jordana 2000 bahwa agar produk makanan dikatakan tradisional maka harus terkait dengan daerah, menjadi bagian
dari tradisi daerah tersebut serta telah dilakukan dalam waktu yang lama.
Menurut Montanari 2006 bahwa budaya itu telah mengambil tempat dimana antara tradisi misalnya konsumsi makanan yang merupakan kebiasaan
turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat dan inovasi yang saling berhubungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa tradisi konsumsi makanan ini
terdiri dari pengetahuan, teknik, nilai, yang secara turun temurun diturunkan kepada kita, sehingga pada keadaan selanjutnya terdapat pula inovasi yang
sedemikian rupa pengetahuan, teknik, nilai-nilai dan memodifikasinya dalam konteks lingkungan yang membuat manusia mengalami realitas baru.
Menurut Soerjodibroto 1995 bahwa makanan tradisional itu terbentuk sebagai akibat dari adanya hasil suatu evolusi pengalaman yang sudah turun
temurun selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad yang tersusun dalam hidangan sehari-hari. Kesanggupan menyusun hidangan ini tidaklah diturunkan
dalam pengertian herediter, tetapi merupakan kepandaian yang diajarkan dari leluhur melalui orang tua, terus ke generasi yang lebih muda Suhardjo 1989.
Kemungkinan hal ini yang menyebabkan bahwa karena berdasarkan pengalaman yang cukup panjang sehingga makanan yang dimasak oleh orang yang tua seperti
nenek-nenek saat ini terasa lebih enak dibandingkan dengan makanan yang dimasak oleh kita sendiri. Dari pengertian yang ada ini maka dapatlah dikatakan
bahwa makanan tradisional adalah makanan yang dibuat dengan menggunakan resep khas hasil ciptaan masyarakat daerah tertentu dan sudah ada dari generasi
sebelumnya.
Makanan tradisional mempunyai fungsi yang majemuk yaitu bukan saja biologis, tetapi juga mempunyai fungsi sosial, budaya dan agama Winarno 2004.
Menurut Muhilal 1995 bahwa ada empat kelompok makanan Indonesia beserta fungsinya yaitu pertama, makanan pokok sebagai sumber karbohidrat atau sumber
energi berupa beras, jagung, ubi, sagu, yang fungsinya membuat rasa kenyang dan diangap baik untuk kesehatan. Kedua, lauk sebagai sumber protein dan lemak
berupa daging, ikan, telur, tempe dan tahu yang membuat hidangan terasa lebih enak. Dilihat dari kombinasi asam amino, nilai biologi protein hewani lebih baik
dari protein nabati. Namun kombinasi antara beras yang rendah akan lisin, tetapi
tinggi asam amino yang mengandung sulfur, dengan kedelei yang rendah asam amino yang mengandung sulfur, tetapi tinggi lisin, maka kombinasi keduanya
akan menjadikan susunan asam aminonya saling melengkapi. Ketiga, sayur yang fungsinya dalam menu memperlancar pengunyahan dan makanan lebih mudah
ditelan. Sayuran merupakan sumber vitamin dan mineral, karena sebagian besar wilayah Indonesia umumnya sayuran dimasak lebih dahulu sebelum dimakan
maka vitamin C sebagian besar menjadi rusak. Keempat, buah yang fungsinya untuk menetralkan rasa dari berbagai hidangan dan sering disebut pula pencuci
mulut. Buah merupakan sumber vitamin dan mineral. Karena buah dimakan mentah maka vitamin yang dikandungnya terutama vitamin C tidak mengalami
kerusakan.
Proses pemasakan makanan tradisional umumnya dilakukan dengan menggunakan alat-alat tradisional yang banyak terbuat dari tanah, kayu, bambu,
tempurung, dan lain-lain. Pemasakan umumnya menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu, tempurung atau arang seperti merebus, menggoreng, menumis,
mengukus dan memasak dengan cara ditim. Ada proses pemasakan langsung di atas bara api seperti membakar, ada juga yang dimasak dalam oven yang disebut
dipanggang, ada juga yang dimasak dalam abu tungku yang panas yang biasanya dimasak adalah jenis umbi-umbian dan ada juga di masak dengan panas batu yang
sebelumnya telah dibakar bakar batu seperti di Papua. Seiring terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka sekarang pemasakan
makanan sebagian besar sudah dilakukan pada kompor yang terbuat dari baja dengan bahan bakar minyak tanah, gas atau dengan tenaga listrik Suhardjo 1989.
Konsumsi makanan tradisional juga dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan ritual diantaranya dihubungkan dengan kekuatan magis, pada haul orang yang
meninggal; hari-hari besar keagamaan seperti puasa; lebaran, maulid Nabi Muhammad; selamatan 7 bulan umur kehamilan, kelahiran anak atau pada ibu
menyusui, sunatan atau pada prosesi pernikahan, mau membangun rumah, menempati rumah baru, upacara penyambutan pemimpin suku dan lain-lain. Pada
upacara-upacara ini makanan tradisionalnya dari kuantitasnya disesuaikan dengan keadaan sosial ekonomi pembuat hajatan Suhardjo 1989.
Menurut Muhillal 1995 bahwa sudah terjadi pergeseran makanan pokok dari yang non beras menjadi beras. Bila dilihat dari pola menu berbagai daerah
tersebut maka sudah terpenuhi adanya 4 kelompok bahan makanan. Namun data- data survei mengungkapkan bahwa asupan gizi sebagian masyarakat terutama
yang berpenghasilan rendah adalah lebih rendah dari kecukupan gizi yang dianjurkan. Untuk menuntun masyarakat agar mengonsumsi kombinasi makanan
dan jumlah yang benar membutuhkan pedoman melalui proses pembelajaran yang disesuaikan dengan daerahnya masing-masing sehingga terjadi keseimbangan
antara jumlah asupan zat gizi dengan aktivitas yang dilakukan.
Zat gizi yang terdapat di dalam makanan secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu zat gizi makro dan mikro. Zat gizi makro terdiri dari
karbohidrat, protein, dan lemak. Sementara zat gizi mikro terdiri dari vitamin dan mineral. Vitamin secara gari besar terdiri dari vitamin yang larut air dan vitamin
larut lemak. Selanjutnya untuk mineral terbagi dalam mineral makro dan mineral mikro. Menurut Almatsier 2003 bahwa sekarang sudah diketahui sekitar empat
puluh lima zat gizi yang harus tersedia di dalam makanan sehari-hari dan masih diteliti kemungkinan mikromineral dan unsur-unsur vitamin baru. Adapapun
25 jenis-jenis zat gizi seperti pada Tabel 1.
Konsumsi makanan yang baik mempunyai proporsinya masing-masing. Menurut Hardinsyah dan Tambunan 2004 bahwa secara umum pola makan yang
baik adalah bila perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan lemak adalah 50-65; 10-20; dan 20-30. Selanjutnya, bahwa komposisi ini
tentunya dapat bervariasi tergantung umur, ukuran tubuh, keadaan fisiologis, dan mutu asupan protein.
Tabel 1 Penggolongan zat gizi
Gizi Makro Gizi Mikro
Vitamin Mineral
Karbohidrat Protein
Lemak Ada juga yang menggolongkan
bahwa air termasuk zat gizi. Larut lemak: A, D, E, K.
Larut air: B dan C Makro : Natrium Na, Klor Cr, Kalium K,
Kalsium Ca, Fosfor P, Magnesium Mg, Sulfur S.
Mikro : Besi Fe, Seng Zn, Iodium I, Tembaga Cu, Mangan Mn, Krom Cr,
Selenium Se, Molibden Mo, Fluor F, Kobal Co, dan mineral mikro lainnya yang
kebutuhannya belum ditetapkan.
Sumber : Almatsier 2003
Aneka Ragam Bahan Makanan Tradisional
Tidak ada satu jenis bahan makanan di dunia ini yang dapat memenuhi kebutuhan gizi seseorang, kecuali hanya Air Susu Ibu ASI yang lengkap zat-zat
gizinya untuk bayi yang berumur 0-6 bulan Anonim 2007. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas hidup, setiap orang
membutuhkan 5 kelompok zat gizi yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan, dan tidak juga kekurangan
Soekirman et al. 2003. Selain itu manusia memerlukan air dan serat untuk memperlancar berbagai proses faali dalam tubuh.
Secara alami, komposisi zat gizi setiap jenis makanan memiliki keunggulan dan kelemahan tertentu. Beberapa makanan mengandung tinggi karbohidrat tetapi
kurang vitamin dan mineral, sementara bahan makanan yang lain kaya vitamin C tetapi kurang vitamin A. Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang beraneka
ragam, maka akan timbul ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Dengan mengonsumsi
makanan yang beraneka ragam setiap hari, maka kekurangan zat gizi pada jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi makanan
lain sehingga diperoleh masukan zat gizi yang seimbang. Menurut Soekirman et al. 2010 bahwa gizi seimbang itu merupakan susunan makanan sehari-hari yang
mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas
fisik, kebersihan dan berat badan ideal.
Jadi keanekaragaman bahan makanan dapat menjamin masukan zat gizi yang seimbang yang tidak hanya dapat dipenuhi oleh satu jenis bahan makanan
saja. Di sini terlihat adanya saling ketergantungan selain bahan itu sendiri, juga ketergantungan antara zat gizi. Misalnya penyerapan yang optimum dari masukan
vitamin A memerlukan kehadiran lemak sebagai pelarut dan mengangkut vitamin A ke seluruh bagian tubuh. Selain itu apabila cadangan mangan Mn di dalam
tubuh kurang, maka vitamin A juga tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara
optimal. Contoh lainnya, diperlukan vitamin C yang cukup dalam makanan untuk meningkatkan penyerapan zat besi Fe Soekirman et al. 2003.
Keanekaragaman makanan terdapat pada makanan tradisional di seluruh Indonesia. Sebagai contoh gado-gado dari Jawa yang merupakan jenis makanan
tradisional yang menggunakan beraneka ragam bahan makanan mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang memadai. Sama halnya
dengan tinutuan bubur Manado dari Minahasa yang menggunakan beraneka ragam bahan makanan yang hampir sama dengan gado-gado tetapi yang berbeda
adalah penambahan beberapa bahan makanan lainnya, cara pengolahan dan penyajiannya Weichart 2004. Contoh lainnya seperti di Gorontalo binthe
biluhuta yang juga terdiri dari beragam bahan makanan dengan bahan dasarnya jagung sumber karbohidrat, ikan sumber protein, kelapa sumber lemak, sayur
sebagai sumber vitamin dan mineral serta sumber serat Napu et al. 2008 yang tidak dapat diserap dan tidak mempunyai nilai gizi, tetapi mempunyai dampak
positif terhadap peningkatan derajat kesehatan diantaranya mencegah terjadinya berbagai penyakit degeneratif.
Konsumsi makanan tradisional mendukung penggunaan bahan makanan yang beraneka ragam sebagai salah satu upaya mengatasi ketergantungan
penduduk pada bahan pokok beras. Salah satu ciri khas makanan tradisional adalah penggunaan bahan makanan lokal yang beragam seperti penggunaan umbi-
umbian, jagung, pisang, dan sagu, termasuk jenis sayur-sayuran dan buah-buahan yang beragam. Penggunaan bahan yang sederhana dan alami pada makanan
tradisional mendukung ketersedian bahan makanan di tingkat rumah tangga. Ini mendukung terciptanya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang
dibutuhkan perhatian terutama pada kelompok miskin Atmarita 2005.
Tabel 2 Klasifikasi kebutuhan dan contoh kebutuhan atas aneka ragam makanan
Klasifikasi kebutuhan Contoh kebutuhan atas aneka ragam makanan
Self actualization
Kebutuhan pengetahuan gizi; untuk mengambil keputusan tentang pangan dan gizi yang baik.
Kebutuhan pengetahuan makanan; untuk menyesuaikannya dengan gaya hidup dan kepuasannya
Esteem
Kebutuhan atas makanan dan tatacara makan untuk citra yang diidamkan Kebutuhan atas makanan dan tata cara makan yang dapat memberikan gengsi,
reputasi, dan status sosial dirinya
Belonging and love
Kebutuhan atas kenikmatan makanan Kebutuhan atas makanan untuk menggambarkan keterterimaannya dalam suatu
kelompok tertentu.
Safety and convenience
Kebutuhan makanan yang memberikan perlindungan tubuh Kebutuhan makanan yang tidak akan membahayakan tubuh
Kebutuhan kemudahan mempersiapkan dan menyajikan makanan.
Physiological
Kebutuhan makanan sebagai sumber kalori Kebutuhan makanan untuk mempertahankan kondisi tubuh
Kebutuhan makanan untuk memerangi kelaparan. Sumber: modifikasi dari Earle, 1997 dalam Dewanti et al. 2003
Menurut Dewanti et al. 2003 bahwa kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi iptek bahan makanan pokok bersama dengan kebijakan makro lainnya
pada masa lalu telah menyebabkan terjadinya perubahan dan pergeseran kebiasaan makan food habit sebagian besar penduduk Indonesia yang cenderung
tergantung pada beras. Hal ini telah menyebabkan memudarnya atau bahkan hilangnya pluralisme dalam food habit dan pluralisme dalam diversifikasi pangan
pokok. Sebagai akibat lanjutannya; produksi, mutu dan prestise makanan lokal
27 non beras secara bertahap terus menurun. Suatu saat, kondisi yang demikian ini
bukannya tidak mungkin akan menyebabkan hilangnya budaya makan dan makanan tradisional daerah.
Kebutuhan makanan setiap individu berbeda-beda, hal ini dapat ditinjau berdasarkan stratifikasi konsumen dan kebutuhan aneka ragam makanan
berdasarkan Teori Maslow modifikasi dari Earle, 1997 dalam Dewanti et al. 2003 seperti pada Tabel 2.
Muatan Lokal Ilmu Gizi Berbasis Makanan Tradisional dalam Kurikulum
Pelestarian Makanan Tradisional Upaya pelestarian makanan tradisional di Indonesia sudah saatnya harus
dilakukan secara berkesinambungan. Kegiatan tersebut dapat melalui penelusuran kandungan spesifik yang terdapat dalam makanan tradisional, juga manfaat atau
fungsi dari makanan itu sendiri. Selain itu makanan tradisional mempunyai nilai- nilai tertentu yang biasanya ditampilkan pada upacara-upacara adat daerah dan
keagamaan di Indonesia. Menurut Weichart 2004 bahwa makanan merupakan bagian ranah pribadi dan kehidupan sosial, yang dengan demikian memiliki arti
sosial, ekonomis dan politis.
Gagasan untuk kembali ke makanan tradisional Indonesia baru mendapat perhatian yang serius sejak peringatan hari pangan sedunia ke XIII pada tanggal
12 oktober 1993 yang mana telah diadakan seminar pengembangan makanan tradisional yang diikuti dengan suatu gerakan masyarakat yang dicanangkan oleh
Ibu Tien Soeharto melalui penanda tanganan prasasti ”Aku Cinta Makanan Indonesia” ACMI tanggal 16 Oktober 1993. Makna ACMI tersebut bukan hanya
sekedar mau membeli dan mengonsumsi makanan tradisional, hendaknya pula dapat memberikan pola dan kesadaran untuk menumbuhkan rasa menilai,
mencintai dan bangga terhadap kebudayaan sendiri Departemen P dan K 1999. Kemudian pada tahun 1996 di tingkat perguruan tinggi telah didirikan Pusat
Kajian Makanan Tradisional PKMT bertempat di Institut Pertanian Bogor di Bogor, Universitas Brawijaya di Malang, dan Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1998 didirikan pula PKMT di enam perguruan tinggi lainnya yaitu di Institut Teknologi Bandung di Bandung,
Universitas Udayana di Bali, Universitas Airlangga di Surabaya, Universitas Tanjung Pura di Pontianak, Universitas Hasanudin di Ujung Pandang dan
Universitas Sriwijaya di Palembang. Tujuan PKMT ini adalah untuk menggali budaya yang terperinci dalam makanan tradisional di suatu daerah untuk
menguraikan khasiat dan makna spritualnya dan pengembangan dari segi teknologi sehingga memiliki daya simpan dan memiliki nilai tambah yang cukup
tinggi; Ini telah dibuktikan dengan adanya inventarisasi makanan tradisional Indonesia dengan rincian kandungan gizi yang terhimpun dalam buku Kumpulan
Makanan Tradisional Departemen P dan K 1999. Tetapi kegiatan PKMT berupa pelestarian dan pengembangan ini sudah tidak terdengar lagi dan bahkan ada
lembaga yang terbentuk sudah tidak berjalan dengan baik.
Pertanyaan sederhana yang dapat disampaikan adalah bagaimana makanan tradisional ini menjadi lestari dan dikembangkan? Hal ini selain bermanfaat untuk
individu juga membuat makanan tersebut dapat bersaing di tingkat internasional,
berkembang di restoran-restoran nasional dan internasional, dan memberikan kesempatan pada investor untuk mengembangkannya. Agar masyarakat Indonesia
merasa memiliki makanan tradisional tersebut maka dibutuhkan upaya-upaya dalam pelestarian dan pengembangannya, dan akan menjadi kebiasaan yang baik
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu menurut Wijaya dan Astawan 2001 bahwa tidak melupakan pula upaya pengembangan dari sisi sosialnya yaitu
menumbuhkan rasa percaya dan cinta masyarakat kita karena ini merupakan keberhasilan dari pencapaian akhir.
Dalam pelestarian dan pengembangan makanan tradisional dapat ditempuh dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal sesuai dengan kondisi
agroekosistem masing-masing wilayah, meningkatkan produksi bahan makanan lokal dan pengembangan konsumsi makanan yang mengarah pada bahan makanan
lokal non beras Suryana 2001. Secara garis besarnya upaya pengembangan makanan tradisional dapat dilakukan dengan melaksanakan beberapa kegiatan
yang bersifat strategis diantaranya melakukan inventarisasi, identifikasi dan pemetaan potensi; sosialisasi promosi dan publikasi tentang pelestarian makanan
tradisional serta pengembangannya; meningkatkan peran Pemerintah Daerah Pemda dalam mempromosikan produk makanan tradisional guna menarik
investor; pendidikan dan penyuluhan bagi tenaga yang berkecimpung dalam bidang makanan tradisional untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan
dalam berbagai segi pengembangannya. Hal penting lainnya adalah tentang keberlanjutan ketersediaan pangan yang saat ini sedang dihadapkan pada beberapa
masalah dan tantangan salah satunya adalah kapasitas produksi pangan yang semakin terbatas karena adanya peningkatan jumlah penduduk beserta aktivitas
ekonominya Tanziha 2010.
Upaya pelestarian dan pengembangan makanan tradisional dapat dilihat pula di negeri Jepang yang merupakan salah satu negara yang mampu
mengantisipasi kemajuan zaman tanpa harus kehilangan nilai-nilai tradisionalnya. Hal ini nampak pada pengembangan produk-produk makanannya. Strategi
pengembangan makanan tradisional yang terpadu secara erat baik oleh pihak produsen, pemerintah, ilmuan dan masyarakat telah melahirkan keterandalannya
sekaligus produk-produk yang mampu bersaing di tengah maraknya produk- produk yang datang dari negara lain Wijaya dan Astawan 2001. Sejak tahun
2005 telah diberlakukan Undang-undang Shokuiku food and nutrition education, yang merupakan pendidikan gizi dan makanan kepada masyarakatnya
yang sesungguhnya konsep Shokuiku tersebut telah ada sejak zaman Meiji 1868- 1912 yang mengolah makanan-makanan tradisional Jepang Anonim 2006.
Menurut Watanabe 2006 bahwa Shokuiku menjadi dasar dalam kehidupan untuk pendidikan intelektual chiiku, moral tokuiku dan fisik taiiku. Shokuiku dapat
melatih kebiasaan makan yang sehat pada anak-anak, memberikan pengetahuan yang berkaitan dengan makanan, kemampuan untuk memilih makanan melalui
berbagai pengalaman. Akibatnya di Jepang Shokuiku ini dianggap penting bagi semua generasi. Sebagai ilustrasi sederhana bahwa Shokuiku pada anak-anak
memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan mental dan fisik, dan juga pada pembentukan karakter mereka yang membentuk pembinaan kesehatan mental dan
fisik, serta kemanusiaan sepanjang hidupnya. Pada saat anak-anak tersebut menjadi dewasa diharapkan akan merefleksikan kebiasaan diet pada keluarga dan
masyarakat. Sehingga dengan peningkatan yang pesat populasi lansia di Jepang
29 diharapkan pula yang akan memimpin dan memberi semangat tentang hidup sehat
termasuk praktik kebiasaan diet yang sehat pada generasi dibawahnya. Berbagai dampak yang dapat dilihat dari Shokuiku terjadi di Jepang termasuk pada perilaku
konsumsi makanan tradisional yang dibandingkan dengan cepat saji fast food. Penelitian yang dilakukan oleh Goto et al. 2009 untuk mengetahui persfektif
wanita Jepang tentang makanan cepat saji dan Shokuiku. Makanan cepat saji dengan rentetan proses pengolahan dianggap sebagai makanan tidak sehat,
sementara beberapa makanan tradisional cepat saji seperti soba mie soba dianggap relatif sehat. Selanjutnya sebagian besar contoh menyatakan bahwa
Shokuiku diperlukan mulai dari tingkat rumah tangga dan pada pelestarian makanan tradisional atau makanan lokal yang dinyatakan lebih bergizi.
Konsep Muatan Lokal
Konsep muatan lokal didasarkan pada surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0412U1987 yang menyatakan bahwa muatan lokal adalah
program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, sosial, budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari di
daerah itu. Ini merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan
daerah. Oleh karena materi muatan lokal terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Selanjutnya substansi pembelajaran muatan lokal
ditentukan oleh satuan pendidikan yang tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan saja. Materi muatan lokal terdiri atas 3 rumpun yaitu rumpun
budaya, rumpun keterampilan dan rumpun pendidikan lingkungan BSNP 2006.
Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada mata pelajaran
muatan lokal tersebut. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satu tahun satuan
pendidikan dapat menyelenggaran dua kali mata pelajaran muatan lokal BSNP 2006
Keberadaan mata
pelajaran muatan
lokal merupakan
bentuk penyelenggaraan yang tidak terpusat. Ini sebagai upaya agar penyelenggaraan
pendidikan di masing-masing daerah lebih meningkat relevansinya dengan keadaan dan kebutuhan daerah. Menurut Arikunto 1997 bahwa secara umum
tujuan pembelajaran muatan lokal adalah mempersiapkan peserta didik agar memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungannya dalam bentuk sikap dan
perilaku, serta bersedia melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional maupun
pembangunan
daerah setempat.
Sementara tujuan
khususnya adalah:
1. Mengenalkan dan mengakrabkan peserta didik dengan lingkungan alam, sosial dan budayanya; 2. Membekali peserta didik dengan kemampuan dan
keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya; 3. Melestarikan nilai-nilai luhur
budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional; 4. Menyadari lingkungan dan masalah-masalah yang ada di masyarakat serta membantu
mencari pemecahannya.
Selanjutnya bahwa proses pelaksanaan pembelajaran diatur dalam kurikulum. Menurut Peraturan Pemerintah PP Nomor 9 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan bahwa yang dimaksud dengan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Penyusunan kurikulum
ini disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan sekolah dasar SD, sekolah menengah pertama SMP dan sekolah menengah atas SMA atau bentuk lain
yang sederajat yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerahkarakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
Oleh karena itu lebih lanjut dalam PP tersebut dikatakan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum memuat tentang kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dilaksanakan diantaranya melalui muatan lokal yang relevan.
Kebijakan dan Implementasi Muatan Lokal
Pendidikan formal, nonformal maupun informal selain dapat menjadi wadah untuk melakukan pelestarian dan pengembangan makanan tradisional juga untuk
menumbuhkan sikap mencintai terhadap bangsanya sendiri. Pendidikan non formal dapat dilakukan melalui penyuluhan tatap muka yang komunikatif dengan
berbagai unsur. Menurut Achir dan Wirosuhardjo 1995 bahwa perlu melakukan langkah studi awal tentang pengetahuan, sikap dan praktik mengenai makanan
tradisional yang dilihat dari gizi dan kesehatan sebelum melakukan penyuluhan tersebut. Dari data yang diperoleh maka menjadi dasar penyusunan bahan
penyuluhan tentang makanan tradisional dan gizi guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik keluarga pada makanan tradisional tersebut.
Upaya non formal ini dibutuhkan peran lintas sektor dan lintas program termasuk peran dari pers dalam pembentukan opini. Secara formal dapat dilakukan melalui
pendidikan formal di sekolah yang dapat berdampak pada aspek ekonomi, gizi dan kesehatan Achir dan Wirosuhardjo 1995.
Memang pendidikan merupakan upaya mendasar dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya dalam pelestarian dan pengembangan
makanan tradisional sebagai budaya bangsa. Selain itu juga melalui pendidikan tersebut memberikan kesadaran terjadinya perilaku gizi yang diharapkan. Sebagai
contoh konsumsi sayuran yang sekalipun sudah disediakan di dalam keluarga, tetapi karena tidak mempunyai pengetahuan tentang pentingnya konsumsi sayuran
tersebut maka tetap saja tidak dikonsumsinya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dweba dan Mearns 2011 yaitu bahwa meskipun sayuran tradisional
tersedia, tetap saja terjadi penurunan dalam penggunaan sayuran karena hilangnya pengetahuan lokal yang terkait dengan sayuran tradisional tersebut.
Di Gorontalo kebijakan pelestarian dan pengembangan makanan tradisional lebih dititikberatkan pada pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan
dalam bentuk mata pelajaran muatan lokal Dinkes Prov. Gorontalo 2007. Mata pelajaran muatan lokal ini bernama Ilmu Gizi Berbasis MTG yang diterapkan di
pendidikan dasar SD dan SMP atau sederajat dan menengah SMASMK atau sederajat sejak tahun 2008. Wilayah pembelajarannya mencakup seluruh
kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Gorontalo dan ini merupakan jenis muatan lokal yang pertama di Indonesia.
Berbagai keadaan yang mendasari dilaksanakannya mulok ilmu gizi berbasis MTG diantaranya adalah hasil evaluasi pasien yang dirujuk untuk
31 konsultasi gizi, pengamatan yang disimak melalui pemberitaan media cetak dan
elektronik tentang banyaknya masalah kesehatan yang sesungguhnya dimulai dari masalah konsumsi makanan yang dianggap sepele tetapi telah meluas menjadi
masalah kesehatan Napu 2007. Adapun keadaan yang dimaksud diantaranya: faham masyarakat tentang makanan yang baik, bergizi, dan sehat sangat terbatas;
meningkatnya kejadian penyakit degeneratif diabetes mellitus, hiperkoles- trolemia, hipertensi pada usia muda di bawah 40 tahun; meningkatnya penderita
gizi lebih obesitas baik pada anak-anak, remaja dan dewasa yang berpotensi dideritanya penyakit degeneratif; tingginya kasus gizi kurang dan gizi buruk di
seluruh Indonesia; tingginya anemia gizi baik pada remaja, ibu hamil dan ibu menyusui yang dapat menyebabkan kualitas dan produktivitas SDM rendah;
tingginya masalah pemberian air susu ibu ASI eksklusif karena pemahaman yang rendah dan juga terbuai oleh iklan atau persuasif produk tertentu; masih
terdapatnya kasus Kurang vitamin A yang menyebabkan gangguan penglihatan; adanya masalah gangguan akibat kekurangan iodium yang menyebabkan retardasi
mental dan kelainan fungsi tubuh lainnya; adanya ketergantungan masyarakat pada beras sementara daerah kita mempunyai beragam bahan makanan lokal baik
dari umbi-umbian, jagung, sagu, dan bahan makanan lainnya; besarnya potensi perairan Indonesia sebagai sumber bahan makanan berprotein yang sangat baik
dan aman; beragamnya ritual agama atau adat istiadat yang disertai dengan beragam makanan tradisional; menurunnya nilai gengsi makanan tradisional
dibandingkan dengan makanan produk luar negeri sehingga sudah mulai ditinggalkan; keberagaman bahan makanan tradisional yang digunakan untuk
pemeliharaan kesehatan tubuh atau untuk pengobatan; menjamurnya produk- produk makanan yang rendah kualitasnya dan bahkan merugikan kesehatan;
menjamurnya produk-produk luar negeri yang beredar di Indonesia yang terkesan baik sementara melalui berbagai penelitian telah dinyatakan kurang baik untuk
kesehatan; tidak terkontrolnya iklan-iklan tentang makanan dan minuman di media yang membuat masyarakat salah memilih makanan dan minuman yang baik
dikonsumsi; rendahnya perlindungan terhadap konsumen dalam mengonsumsi produk-produk makanan dan sering terabaikan misalnya pada kasus keracunan
makanan secara masal; dan lain-lain.
Tujuan pelaksanaan Mulok Ilmu Gizi Berbasis MTG adalah: pertama,
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang MTG, gizi, dan kesehatan; kedua, upaya memutus mata rantai permasalahan gizi dan kesehatan; ketiga,
upaya pelestarian dan pengembangan budaya daerah yaitu MTG Dinkes Prov. Gorontalo 2007. Dalam pembelajarannya, materi muatan lokal mencakup ilmu
gizi dan kesehatan, dan MTG secara teori dan juga praktik memasak. Sebelum mulok diajarkan, para guru dilatih oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga Provinsi Gorontalo dengan materi tentang kesehatan dan gizi serta tentang kurikulum dan unsur perangkat pembelajaran. Saat ini telah ada
2 guru yang tersertifikasi dengan mata pelajaran mulok tersebut. Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo 2008.
Penelitian Terkait dengan Muatan Lokal
Menyadari tentang pendidikan gizi yang telah dilakukan melalui berbagai penelitian yang berkaitan dengan pendidikan gizi dan muatan lokal, tetapi
penelitian yang memfokuskan pada muatan lokal ilmu gizi berbasis makanan
tradisional sampai saat ini belum ada. Selanjutnya telaahan tentang penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 yang menunjukkan beberapa hasil penelitian
tentang pendidikan gizi dan muatan lokal.
Syarief et al. 1988 melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dasar dalam merancang model pendidikan gizi bagi murid
SD dan juga untuk mengetahui pengetahuan gizi murid SD, kebiasaan makan murid dan keluarga serta mengetahui pelaksanaan pendidikan gizi SD.
Pengumpulan data melalui wawancara dengan guru, orang tua murid dan melalui pengamatan langsung. Sementara pengujian secara tertulis pada siswa. Hasilnya
adalah bahwa pengetahuan gizi murid SD tentang aspek kegunaan makanan, aspek cara memilih dan mengolah makanan relatif lebih rendah dibanding aspek
pengetahuan tentang makanan sehat, aspek pengertian tentang gizi dan kegunaannya.
Tabel 3 Penelitian tentang pendidikan gizi dan muatan lokal
Referensi Metodologi
Cara evaluasi Kesimpulan
Syarief et al. 1988 Rancangan Model
Pendidikan Gizi Untuk Sekolah Dasar.
Laboratorium Gizi Masyrakat Pusat Antar
Universitas PAU Pangan dan Gizi IPB. Pebruari
Data yang dikumpulkan meliputi keadaan umum
sekolah, data keluarga murid dan pengetahuan gizi yang
berlokasi di 6 SD di Jawa Barat dan 6 SD di Sumatera
Barat. Melalui wawancara
dengan guru, orang tua murid dan melalui
pengamatan langsung. Pengujian secara tertulis
pada siswa. Pengetahuan gizi murid SD
tentang aspek kegunaan makanan dan aspek cara
memilih dan mengolah makanan relatif lebih rendah
dibanding aspek pengetahuan tentang makanan sehat, aspek
pengertian tentang gizi dan kegunaannya
Sutardi 1997. Pelaksanaan Kurikulum
Muatan Lokal SLTP di Provinsi Lampung.
Data yang
dikumpulkan adalah tentang informasi
pelaksanaan kurikulum
muatan lokal
SLTP Lampung.
Pengumpulan data dengan menyebarkan kuesioner
kepada perwakilan pemerintahan Tingkat I,
Kakanwil Dikbud Tingkat I, kabid Pendidikan
Menengah Umum, Kasi Kurikulum dan Pengawas
SLPT, Kanwil Dikbud Tingkat II Bandar
Lampung dan Metro, kepada 17 orang guru,
dan siswa kelas I, II, II kedua daerah berjumlah
66 orang. Ada guru mulok yang belum
mendapatkan penataran. Sebagian besar siswa
menyenangi pelajaran mulok, sementara sarana dan
prasarana yang mendukung pelaksanaan kurikulum masih
kurang memadai.
Merdhana. 2000 Kurikulum Muatan Lokal
pada Sekolah Menengah Kejuruan Standar di Bali.
Data yang dikumpulkan kegiatan para guru mulok
berdasarkan keahliannya, data pelaksanaan
pembelajaran, data pengembangan mulok
menghadapi dunia kerja. Pengumpulan
data menggunakan kuesioner
pada guru-guru
dan kepala sekolah di 3 SMK
standar di Bali. Pentingnya pengembangan
kurikulum nasional dengan kurikulum mulok melalui
kerjasama antara pihak Kanwil, sekolah dan dunia
usahaindustri.
Kurniati dan Utami 2005. Evaluasi
Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Jawa SMA sebagai
Muatan Lokal di Jawa Tengah.
Data yang dikumpulkan meliputi kekuatan,
kelemahan, dampak dan sarana pelaksanaan
pembelajaran bahasa Jawa SMA yang bersumber dari
siswa, guru, kepala sekolah, kepala dinas di Jawa tengah.
Pengambilan data menggunakan teknik
dokumentasi, angket dan wawancara
Agar siswa tidak menyepelekan mata pelajaran
bahasa Jawa, posisi mata pelajaran tersebut disamakan
dengan mata pelajaran lain dan dicantumkan dalam
ijazah
Yufiarti 2009. Pelaksanaan Program
Pendidikan Muatan Lokal Berorientasi Keterampilan
di SMP Lampung. Data yang dikumpulkan
meliputi jenis keterampilan, ketersediaan guru mulok,
minat peserta didik mengikuti program mulok,
dan sarana prasarana Pengumpulan data
menggunakan angket yang tersebar di 36
sekolah pelaksana Block Grant
Pelaksanaan muatan lokal yang berorientasi pada
keterampilan tersebar merata di beberapa kabupaten di
Provinsi Lampung. Sebagian besar peserta didik berminat
mengikuti kegiatan mata pelajaran muatan lokal
keterampilan.
33 Lanjutan Tabel 3
Referensi Metodologi
Cara evaluasi Kesimpulan
Sungkowo 2009. Intervensi Pengayaan
Pengetahuan Pangan dan Gizi pada Muatan Lokal
untuk Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten
Lampung Barat. Studi ini menganalisis
tentang pengaruh intervensi pengayaan pengetahuan
pangan dan gizi melalui Mulok Pertanian terhadap
pengetahuan pangan dan gii serta perilaku makan siswa
Data yang dikumpulkan meliputi pengetahuan
pangan dan gizi, pola konsumsi, perilaku makan,
sikap siswa terhadap proses belajar mengajar, dukungan
orang tua, dan status gizi Pengumpulan data
menggunakan kuesioner pre test dan post test pada
77 orang siswa 38 siswa kelas kontrol dan 39
siswa kelas perlakuan Terdapat perbedaan
signifikan rata-rata skor pangan dan gizi siswa
sesudah pengayaan antara kelas kontrol dan
perlakuan. Terdapat perbedaan signifikan
perilaku makan siswa sesudah pengayaan antara
kelas kontrol dan perlakuan. Terdapat
perbedaan yang signifikan pada aspek cara mengolah
dan menyajikan antara kelas kontrol dan
perlakuan.
Pieniak et al. 2009. Association between
traditional food consumtion and motives
for food choice six European Contries.
Studi ini meneliti hubungan antara konsumsi makanan
tradisional dan motif memilih makanan di enam
negara Eropa. Belgia, Prancis, Italia, Norwegia,
Polandia dan Spanyol. Motif ini meliputi berat badan,
harga, kelayakan, kenyamanan, kealamian
makanan, kesehatan, sensorik
daya tarik, dan kefamilieran. Penelitian ini adalah
Cross-sectional, data dikumpulkan melalui
survei konsumen n = 4828 dengan perwakilan
contoh untuk usia 20-70 tahun dan setiap negara
diwakili oleh 800 contoh. Pentingnya faktor
kefamilieran dan kealamian makanan
tradisional menjadi pendorong dalam motif
mengonsumsi makanan tradisional. Sementara
faktor kenyamanam dan kesehatan sebagai
hambatan langsung dalam konsumsi makanan
tradisional, dan faktor pengendalian berat badan
juga sebagai penghalang langsung dalam
menurunkan sikap secara umum terhadap makanan
tradisional.
Kühne et al. 2010 Innovation in traditional
food products in Europe: Do sector innovation
activities match con
sumers’ acceptance? Untuk memverifikasi sejauh
mana inovasi sesuai penerimaan konsumen
Data kuantitatif dikumpulkan
dari 270 orang yang terdiri dari 90 produsen, 90
pemasok bahan dan 90 pelanggan dari di tiga
negara Eropa, Belgia, Hungaria dan Italia. Tingkat
penerimaan dengan 2429 contoh dari tiga negara
tersebut. melalui survei dan
wawancara langsung dengan produsen
makanan tradisional, pemasok makanan
tradisional dan pelanggan serta dari konsumen.
konsumen menerima inovasi sepanjang
melestarikan karakter makanan tradisional
meliputi kemasan yang menjaga kualitas sensorik
dan yang meningkatkan umur simpan makanan
tradisional, mengutamakan kesehatan dan keamanan
produk, pemilihan bahan baku yang lebih baik.
Fokus penelitian tentang muatan lokal lebih berorientasi pada evaluasi mulok, ada juga yang berorientasi pada mata pelajaran pendidikan yang lebih
bersifat keterampilan apakah dalam bahasa, atau keterampilan dalam membuat sesuatu. Sutardi 1997 meneliti tentang pelaksanaan kurikulum muatan lokal
SLTP di Provinsi Lampung; Merdhana 2000 meneliti tentang kurikulum muatan lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan Standar di Bali. Khusus untuk
keterampilan bahasa banyak yang berorientasi pada bahasa daerah seperti Kurniati dan Utami 2005 tentang evaluasi pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa SMA
sebagai muatan lokal di Jawa Tengah. Yufiarti 2009 tentang pelaksanaan program pendidikan muatan lokal berorientasi keterampilan di SMP Lampung.
Selain itu untuk pendidikan gizi yang berorientasi pada muatan lokal baru sebatas pengayaaan pengetahuan pangan dan gizi. Ini seperti yang dilakukan oleh
Sungkowo 2009 yaitu tentang intervensi pengayaan pengetahuan pangan dan
gizi pada muatan lokal untuk Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Lampung Barat. Hasil penelitian ini diantaranya menyatakan bahwa terdapat perbedaan
signifikan rata-rata skor pangan dan gizi siswa sesudah pengayaan antara kelas kontrol dan perlakuan. Selanjutnya terdapat pula perbedaan signifikan perilaku
makan siswa sesudah pengayaan antara kelas kontrol dan perlakuan. Dan juga terdapat perbedaan yang signifikan pada aspek cara mengolah dan menyajikan
makanan antara kelas kontrol dan perlakuan.
Selanjutnya penelitian tentang makanan tradisional seperti yang dilakukan oleh Pieniak et al. 2009 bertujuan untuk meneliti hubungan antara konsumsi
makanan tradisional dan motif memilih makanan di enam negara Eropa. Ditemukan bahwa faktor kefamilieran dan kealamian makanan tradisional
menjadi pendorong dalam motif mengonsumsi makanan tradisional. Sementara faktor kenyamanam dan kesehatan sebagai hambatan langsung dalam konsumsi
makanan tradisional terkesan kurang higienis, dan faktor pengendalian berat badan juga sebagai penghalang langsung sikap terhadap makanan tradisional
karena tinggi lemak.
Kühne et al. 2010 melakukan penelitian dengan tujuan untuk memverifikasi sejauh mana inovasi sesuai penerimaan konsumen melalui survei
dan wawancara langsung dengan produsen makanan tradisional, pemasok makanan tradisional dan pelanggan serta dari konsumen. Lebih lanjut ditemukan
bahwa konsumen menerima inovasi sepanjang tetap melestarikan karakter makanan tradisional yang meliputi kemasan yang menjaga kualitas sensorik dan
yang meningkatkan masa simpan makanan tradisional, mengutamakan kesehatan dan keamanan produk, serta pemilihan bahan baku yang lebih baik.
Analisis Kebijakan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak tentang
pemerintah, organisasi Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002; Menurut Djogo, et al. 2003 bahwa kebijakan adalah intervensi, cara dan pendekatan
pemerintah untuk mencari solusi atas masalah pembangunan atau untuk mencapai tujuan pembangunan dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan
maupun implementasinya di lapangan menggunakan instrumen tertentu; Sebelumnya Carl I. Fredrick 1963 dalam Dwijowijoto 2003 mendefinisikan
bahwa kebijakan sebagai rangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang
yang ada, di mana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka
mencapai tujuan tertentu; Sehingga menurut Dwijowijoto 2003 bahwa kebijakan adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.
Dijelaskannya bahwa pertanyaan pertama kenapa berkenaan dengan ”segala sesuatu”? Karena kebijakan berkenaan dengan setiap aturan main dalam
kehidupan bersama, baik yang berkenaan dengan hubungan antara warga, maupun antara warga dengan pemerintah. Kedua, kenapa istilah yang dipakai
”dikerjakan”? Oleh karena ”kerja” sudah merangkum proses ”pra dan pasca” yaitu bagaimana pekerjaan tersebut dirumuskan, diterapkan dan dinilai hasilnya.
35 Ketiga, kenapa ”dikerjakan” dan ”tidak dikerjakan”? Karena ”dikerjakan” dan
”tidak dikerjakan” sama-sama merupakan keputusan; Selanjutnya menurut Hasim 2011 bahwa kebijakan dikondisikan dan dibentuk oleh dimensi politik, sosial,
ekonomi serta faktor sejarah, sehingga kebijakan merupakan suatu sistem yang berorientasi pada tujuan untuk menyelesaikan masalah. Dari pengertian yang ada
ini, maka dalam proses berlangsungnya kebijakan dibutuhkan analisis yang mengkaji sejauh mana kebijakan tersebut bermanfaat.
Menurut Dunn 2003 bahwa analisis kebijakan merupakan aktivitas intelektual yang ditujukan untuk menciptakan, menilai secara kritis dan
mengkomunikasikan tentang pengetahuan dalam proses kebijakan. Metode analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai
dalam pemecahan masalah manusia yaitu: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi dan evaluasi. 1 definisi: menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang
menimbulkan masalah kebijakan; 2. prediksi: menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa datang dari penerapan alternatif kebijakan termasuk jika
tidak melakukan sesuatu; 3. preskripsi: menyediakan informasi mengenai nilai konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang; 4. deskripsi: menghasilkan
informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan; 5. evaluasi: kegunaan alternatif kebijakan dalam
memecahkan masalah
Dalam pembuatan analisis kebijakan terdapat tahap-tahapnya yang menurut Dunn 2003 ada lima fase yang dilakukan yaitu: 1. fase penyusunan agenda;
disini para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah kebijakan pada agenda publik; 2. fase formulasi kebijakan; para pejabat merumuskan
alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah; 3. adopsi kebijakan: alternatif kebijakan dipilih dan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas dan atau
konsensus kelembagaan; 4. implementasi kebijakan; kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi dengan memobilisir sumber daya
yang dimilikinya, terutama finansial dan manusia; 5. penilaian kebijakan: dimana unit-unit pemeriksaan dan akuntasi menilai apakah lembaga pembuat
kebijakan dan pelaksana kebijakan telah memenuhi persyaratan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang telah ditentukan.
Menurut Dwidjowijoto 2007 bahwa kelima tahap pembuatan kebijakan ini dinilai paralel dengan tahapan analisis kebijakan yang dapat digambarkan seperti
Tabel 4. Tabel 4 Analisis kebijakan dan pembuatan kebijakan
Analisis Kebijakan Pembuatan Kebijakan
Perumusan masalah Penyusunan agenda
Peramalan Formulasi kebijakan
Rekomendasi Adopsi kebijakan
Pemantauan Implementasi kebijakan
Penilaian Penilaian kebijakan
Sumber: Dunn 2003.
Selanjutnya menurut Dwidjowijoto 2007 bahwa analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin ilmu dengan tujuan memberikan informasi yang bersifat
deskriptif, evaluatif, dan atau preskriptif. Analisis kebijakan dapat menjawab tiga macam pertanyaan yaitu: Pertama nilai, yang pencapaiannya merupakan tolok
ukur utama untuk menilai apakah suatu masalah sudah teratasi; Kedua fakta,
yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai; Ketiga tindakan, yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disebutkan maka analisis kebijakan dapat menggunakan salah satu atau kombinasi dari ketiga
pendekatan analisis yang meliputi empiris, valuatif dan normatif. ketiga pendekatan tersebut sebagaimana pada Tabel 5.
Tabel 5 Pendekatan, pernyataan utama dan tipe informasi
Pendekatan Pernyataan utama
Tipe informasi Empiris
Adakah atau akankah ada fakta? Deskriptif dan prespektif
Valuatif Apa manfaatnya nilai?
Evaluatif Normatif
Apakah yang harus diperbuat aksi? Prespektif
Sumber: Dunn 2003.
Proses Analisis Kebijakan Proses analisis kebijakan merupakan aksi yang dilaksanakan dalam analisis
kebijakan yang meliputi 5 yaitu merumuskan masalah, peramalan masa depan kebijakan, merekomendasikan, pemantauan dan evaluasi kebijakan Dunn 2003.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan Masalah
Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi yang dapat diidentifikasikan untuk kemudian diperbaiki atau dicapai
melalui tindakan publik. Masalah kebijakan mempunyai ciri-ciri yaitu a. Saling ketergantungan antar masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan di dalam
satu bidang kadang-kadang mempengaruhi masalah-masalah kebijakan di dalam bidang lainnya misalnya dalam pelayanan kesehatan dan masalah pengangguran.
Dalam kenyataan masalah-masalah kebijakan bukan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri. Sistem masalah yang saling tergantung mengharuskan suatu
pendekatan holistik yaitu suatu pendekatan yang memandang bagian-bagian sebagai tak terpisahkan dari keseluruhan sistem yang mengikatnya.
b. Mempunyai subyektivitas masalah kebijakan. Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan, dan
dievaluasi secara selektif, meskipun ada suatu pemikiran bahwa masalah merupakan suatu hal yang obyektif. Masalah tersebut merupakan elemen dari
suatu situasi masalah yang diabstrasikan dari situasi tersebut oleh analis. Dengan begitu apa yang dialami sesungguhnya merupakan suatu situasi masalah, bukan
masalah itu sendiri. Dalam analisis kebijakan merupakan hal yang sangat penting untuk tidak mengacaukan antara situasi masalah dengan masalah kebijakan,
karena masalah adalah barang abstrak yang timbul dengan mentransformasikan pengalaman ke dalam penilaian manusia. c. Buatan manusia dan produk
penilaian subyektif dari manusia. Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin ketika manusia membuat penilaian mengenai keinginan untuk mengubah beberapa
situasi masalah. Masalah tidak berada di luar individu dan kelompok-kelompok yang mendefinisikannya, yang berarti bahwa tidak ada keadaan masyarakat yang
alamiah di mana apa yang ada dalam masyarakat tersebut dengan sendirinya merupakan masalah kebijakan. d. Bersifat dinamis. Terdapat banyak solusi
untuk suatu masalah sebagaimana yang terdapat banyak definisi terhadap masalah
37 tersebut. Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang konstan;
dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan malahan solusi terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum
usang. 2. Peramalan Masa Depan Kebijakan
Peramalan atau forecasting adalah prosedur untuk membuat informasi aktual tentang situasi sosial di masa depan atas dasar informasi aktual tentang
situasi sosial di masa depan dan atas dasar informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan. Peramalan mengambil tiga bentuk yaitu peramalan proyeksi,
prediksi dan perkiraan. a. Peramalan proyeksi, yaitu ramalan yang didasarkan atas ekstrapolasi hari ini ke masa depan, dan produknya disebut proyeksi. Teknik
yang digunakan antara lain analisis antar waktu, estimasi tren linier, dan transpormasi data. Peramalan ini menggunakan pernyataan yang tegas
berdasarkan argumen dan kasus dimana asumsi mengenai validitas metode tertentu misalnya analisis antar waktu atau kemiripan kasus misalnya kebijakan
masa lalu dan masa depan yang digunakan untuk memperkuat suatu pernyataan. Proyeksi dapat diperkuat dengan argumen dari pemegang otoritas seperti para
pakar dan logika kausal yang menyangkut tentang teori yang digunakan. b. Peramalan merupakan sebuah prediksi ádalah ramalan yang didasarkan pada
asumsi teoritik yang tegas. Asumsi ini dapat berbentuk hukum teoritis, proporsi teoritis misalnya pecahnya masyarakat sipil diakibatkan kesenjangan antara
harapan dan kemampuan, atau analogi misalnya analogi antara pertumbuhan organisasi pemerintah dengan pertumbuhan organisme biologis. Sifat terpenting
dari prediksi adalah bahwa prediksi menspesifikan kekuatan penyebab dan konsekuensi akibat, atau proses suatu hubungan yang paralel analog yang
diyakini mendasari suatu hubungan. Prediksi dapat dilengkapi dengan argumen dari mereka yang berwenang misalnya penilaian yang informatif dan metode.
c. Suatu perkiraan conjecture adalah ramalan yang didasarkan pada penilaian yang informatif atau penilaian pakar tentang situasi masyarakat masa depan.
Penilaian ini dapat berbentuk penilaian yang intuitif, dimana diasumsikan adanya kekuatan batin dan kreatifitas dari para intelektual atau pengetahuan terpendam
dari para pelaku kebijakan. Perkiraan dapat diperkuat dengan argumen, metode dan kausalitas dari pakar.
3. Merekomendasikan Kebijakan