Pengetahuan Sikap Studi pengembangan agroindustri dan agrowisata terpadu di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Bekasi kabupaten Bogor

seseorang terhadap objek-objek. Ini memberikan pengertian bahwa sikap memberikan landasan emosianal dari hubungan antara pribadi seseorang dengan objek yang dimaksud. Menurut Notoatmodjo 2010 bahwa sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan Suka - tidak suka, senang- tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya. Selanjutnya bahwa seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatannya berdasarkan intensitasnya meliputi 4 yaitu: a. Menerima receiving, diartikan bahwa orang atau subyek mau menerima stimulus yang diberikan. b. Menanggapi responding, diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau obyek yang dihadapi. Misalnya ibu yang mengikuti penyuluhan tentang makanan ibu hamil, ketika diminta oleh penyuluh untuk menanggapi, kemudian ia menjawab atau menanggapinya. c. Menghargai valuing, dapat diartikan oleh seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahas dengan orang lain bahkan mengajak atau mempengaruhi dan menganjurkan orang lain merespons. d. Bertanggung jawab responsible, adalah sikap yang paling tinggi tingkatannya terhadap apa yang diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya resiko lain. 3. Praktik atau Tindakan Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak praktik. Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudkannya tindakan perlu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana Notoatmodjo 2010. Selanjutnya dikatakannya bahwa praktik dibedakan menjadi 3 tingkatan yakni: a. Praktik terpimpin guide response. Apabila seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan panduan. Misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya tetapi masih menunggu diingatkan oleh bidan atau tetangganya. Demikian juga seperti seorang anak kecil menggosok gigi namun masih selalu diingatkan oleh ibunya. Hal ini disebut sebagai praktik atau tindakan yang terpimpin. b. Praktik secara mekanisme mechanism. Jika seseorang atau subyek telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanisme. Sebagai contoh misalnya seorang ibu selalu membawa anaknya ke Posyandu untuk ditimbang, tanpa harus menunggu perintah dari kader atau petugas kesehatan. Demikian juga contoh lainnya seorang anak secara otomatis menggosok giginya setelah makan tanpa disuruh oleh ibunya. c. Adopsi adoption. Adopsi merupakan suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. Misalnya menggosok gigi, bukan sekedar gosok gigi, melainkan dengan teknik-teknik yang benar. Seorang ibu memasak, memilih bahan masakan bergizi tinggi meskipun bahan makanan tersebut mahal harganya. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumsi Makanan Menurut Contento 2007 bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi perilaku makan seseorang yaitu makanan food, orang itu sendiri person dan lingkungan 17 enviroment. Sebelumnya Krondl 1990 dalam Worobey 2006 mengatakan bahwa banyak sekali faktor-faktor yang membuat seseorang itu memilih makanan hal ini terangkum dalam tiga faktor yaitu who, where dan why. a. Faktor ”who” menggambarkan tentang karakteristik mengenai individu seperti umur, jenis kelamin, biologi seperti kesehatan dan keturunan atau keadaan seseorang depresi, tingkat aktivitas. b. Faktor ”where” dihubungkan dengan lingkungan fisik seperti waktu dan tempat memilih makanan dan sosial budaya yang berpengaruh saat membuat keputusan memilih makanan. c. Faktor ”why” yang mengacu pada persepsi individu terhadap makanan seperti keyakinan dan sensori dasar dalam memilih makanan. Selanjutnya menurut Pieniak et al. 2009 bahwa berbagai motif orang dalam bersikap memilih makanan yaitu menyangkut tentang berat badan, harga, kelayakan, kenyamanan, kealamian makanan, kesehatan, sensorik daya tarik dan kefamilieran makanan itu sendiri. Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi makanan pada masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam faktor: Individu meliputi keluarga, peer group; faktor makanan meliputi: keragaan makanan dan citra makanan; dan faktor lingkungan meliputi: sekolah, iklan dan pasar. 1. Keluarga Pengertian keluarga berdasarkan UU No 52 tahun 2009 tentang perkem- bangan kependudukan dan pembangunan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Megawangi 1994 dalam Puspitawati 2012 menjelaskan bahwa keluarga dijabarkan sebagai suatu sistem yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan yang menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam keluarga. Pengertian ini menunjukkan bahwa cukup banyak interaksi yang terjadi dalam keluarga diantaranya tentang konsumsi makanan keluarga setiap hari. Menurut Hunt et al. 2011 bahwa dalam rumah tangga pembelian makanan dan aktivitas konsumsi makanan bervariasi, dan dalam banyak kasus bergantung pada anggota keluarganya. Ini juga erat kaitannya dengan pendapatan dalam rumah tangga terhadap konsumsi makan mereka setiap hari. Selanjutnya dikatakannya bahwa banyak dari perempuan muda memainkan peran penting dalam pembelian dan persiapan makanan untuk anggota keluarga. Makan bersama dengan orang lain dalam keluarga merupakan hal yang penting karena banyak nilai-nilai yang terdapat dalam proses makan bersama tersebut walaupun ada kendala yang signifikan untuk makan secara teratur dengan seluruh keluarga inti. Hal ini mencerminkan begitu pentingnya dalam hidup ini makanan yang dimasak di rumah. Makin tinggi pendidikan ibu, akan meningkatkan wawasan ibu termasuk tentang gizimakanan, kesehatan dan pengasuhan Madanijah 2003. Lebih lanjut dikatakannya bahwa ibu dengan pendidikan tinggi maka pendidikan ayahnya juga tinggi yang memungkinkan memperoleh pandapatan yang tinggi sehingga akan lebih menunjang pengetahuan dan wawasan ibu karena tersedia sarana bacaan atau visual lainnya yang mendukung. Ini dapat menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu dalam keluarga memang sangat berarti dan memungkinkan dalam mentransformasi pengetahuannya tersebut pada anak yang setiap saat berinteraksi dengannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harker et al. 2010 menunjukkan bahwa siswa yang tinggal di rumah keluarga, mengonsumsi lebih baik buah dan sayuran setiap hari dibandingkan dengan orang dewasa muda yang hidup secara mandiri. Juga menemukan antara lain adanya perbedaan yang nyata pada sikap antara siswa yang beusia di bawah 21 tahun dan orang orang-orang di atas 21 tahun terhadap makanan yang sehat. Studi ini menunjukkan implikasi yang jelas untuk sejumlah orang yang berkepentingan dalam mengembangkan keterampilan pada pilihan makanan dan manajemen makanan termasuk tentang anggaran dalam keluarga. Hasil penelitian Laska 2010 menunjukkan bahwa orang dewasa muda yang hidup dengan orang tua mereka atau di apartemen yang disewarumah sering konsumsi makanannya kurang, asupan makanan sedikit dan kurang sehat dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kampus sehingga dibutuhkan strategi yang efektif dan sehat untuk orang dewasa tersebut. Namun menurut Dammann et al. 2010 bahwa di keluarga, pemilihan makanan pada anak-anak sering tidak sehat karena terbatasnya ketersediaan makanan terhadap anak tersebut dan beberapa keadaan yang dilaporkan bahwa terjadi penurunan perilaku makan. Pola konsumsi makanan tradisional menjadi pelengkap makanan pokok selain beras yang pada sisi lain dapat memberikan kemudahan ekonomis terhadap kecukupan pangan dan dengan harga rendah sehingga pendapatan ril rumah tangga bisa meningkat. Makanan Tradisional dapat berperan sebagai suatu survival strategi untuk orang miskin dengan pendapatan terbatas sehingga mampu membangun kapasitas membangkitkan kemandirian untuk menolong diri sendiri dan keluarganya dalam memenuhi kebutuhan pokok yang termurah Lestari et al. 2007 Pranadji 1988 mengatakan bahwa pengetahuan, sikap dan keterampilan gizi cenderung berhubungan dengan perilaku konsumsi makanan keluarga yang dipengaruhi oleh jenis dan tingkat pendidikan formal, besar keluarga, tingkat pendapatan keluarga, pengeluaran absolut untuk pangan, mobilitas dan nilai-nilai tentang makanan yang dianut oleh masyarakat setempat. Selanjutnya menurut Minarto 2010 bahwa kualitas konsumsi pangan dalam keluarga tersebut dipengaruhi juga oleh ketersediaan bahan pangan dan daya beli sehingga penting memanfaatkan bahan pangan lokal untuk kebutuhan sehari-hari. 2. Sekolah Hasil penelitian Ritchie et al. 2010 tentang dampak pendidikan gizi di California menyatakan bahwa pendidikan gizi yang terkoordinasi secara signifikan dapat mempengaruhi konsumsi makanan ke arah yang lebih baik pada pilihan makanan sehat. Sementara menurut Rovner et al. 2011 menemukan bahwa sekolah berada dalam posisi yang kuat untuk mempengaruhi pola makan siswa sehingga perhatian pada makanan yang dijual di sekolah perlu untuk meningkatkan diet mereka. Selanjutnya Fredman dan Connors 2011 menyatakan bahwa memberikan informasi gizi di toko atau kedai lokasi pendidikan dapat mempromosikan pilihan makanan sehat. 19 Yeung 2010 menyatakan bahwa pendidikan gizi di sekolah di Hongkong dirancang harus menarik untuk anak laki-laki maupun perempuan dan program pelaksanaan pendidikan gizi yang efektif harus menanamkan kebiasaan makan yang sehat dan keterampilan memasak yang sehat serta memenuhi kebutuhan siswa yang mengacu pada perbedaan jenis kelamin. Pendekatan yang lebih beragam dapat digunakan melalui kurikulum formal dan informal, memprioritas- kan keterampilan memasak dan keragaan makanan di kurikulum. Pendidikan dapat memperbaiki keadaan konsumsi makanan dengan merancang kurikulum yang menarik dalam pendidikan formal dan memprioritaskan memasak. Sungkowo 2009 menyatakan bahwa intervensi pengayaan pengetahuan pangan dan gizi di Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Lampung Barat memberikan dampak lebih baik dilihat dari kebiasaan, frekuensi dan tatacara makan. Sebagai bukti positif bahwa pengaruh pendidikan orang dewasa tentang gizi anak berdampak pada tinggi badan dan berat badan. Temuan ini mendukung untuk memperluas fokus kebijakan program gizi dari pasangan ibu dan anak terhadap konteks yang lebih luas dari keluarga dan masyarakat karena banyak ibu di India dan Vietnam bekerja di luar rumah Moestue et al. 2008. Selanjutnya hasil penelitian Shim et al. 2011 menunjukkan keprihatinannya tidak sesuai anjuran dalam penggunaan bahan pengawet, pewarna, dan pemanis buatan dalam makanan dimana lebih dari dua pertiga contoh menyatakan bahwa informasi mengenai bahan aditif cukup. Hal ini terkait dengan kurangnya informasi sehingga subyek sulit memahami bahan tambahan makanan dan juga pendidikan yang tidak cukup. Devi 1996 melalui hasil penelitiannya menyatakan bahwa adanya hubungan makanan jajanan tradisional dengan lingkungan keluarga terutama pada tingkat pendidikan ibu dan frekuensi makanan di luar rumah. Adanya hubungan perilaku konsumsi makanan jajanan tradisional murid terutama pada pengetahuan gizi guru dan kegiatan makan bersama. Sementara itu hasil penelitian Napitu 1994 bahwa rata-rata frekuensi siswa jajan di perkotaan lebih tinggi dibanding di pinggiran kota karena sebagian besar tidak sarapan pagi di rumahnya masing- masing. Siswa cenderung lebih banyak konsumsi jajanan tradisional dibandingkan dengan makanan asing. 3. Peer Group Peer group merupakan kelompok sosial informal yang terdiri dari orang- orang sebaya, mempunyai status yang sama, minat serta terikat oleh premis kesamaan, berusia sekitar sama, dan saling berinteraksi. Khusus untuk peer group dalam remaja didorong oleh kebebasan dan jiwa individual yang tinggi yang membutuhkan suport emosional dan sosial yang tinggi, juga belajar tentang keterampilan sosial dalam kelompoknya tetapi mereka tidak belajar dari orang tua atau gurunya Muus, 1990 dalam Cobb 2001. Escamilla et al. 2008 melakukan penelitian dengan tujuan untuk menilai dampak pendidikan gizi pada kelompok sebaya dan mengidentifikasi kebutuhan penelitian masa depan, diperoleh hasil bahwa pendidikan gizi pada kelompok sebaya memiliki pengaruh positif terhadap hasil pengelolaan diabetes dan menyusui, serta pada pengetahuan gizi umum dan perilaku asupan makanan. Peer group dapat berpengaruh pada kesehatan seseorang. Hal ini ditunjukan oleh hasil penelitian Salvy et al. 2011 yang melihat efek singkat dikucilkannya motivasi untuk makan dan asupan makanan pada remaja yang kelebihan berat badan diperoleh ada bukti yang berkembang bahwa pengalaman dikucilkan seseorang dapat mengganggu kemampuan individu untuk mengatur diri, yang pada gilirannya menyebabkan perilaku kesehatan negatif, seperti makan yang tidak sehat meningkat. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kelebihan berat badan dan obesitas pada remaja mungkin beresiko sebagai pengisolasian secara sosial dan dapat meningkatkan kesulitan untuk mempromosikan perubahan perilaku jangka panjang dalam perilaku kesehatan remaja yang kelebihan berat badan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wouters et al. 2010 yang menyatakan bahwa intervensi pada peer group mendukung penurunan tekanan psikologis, khususnya gejala depresi, kecemasan dan kemarahan. Dengan demikian, penggunaan intervensi dukungan kelompok sebaya harus dimasukkan ke dalam program kesehatan sekolah. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pilihan makanan yang dibuat oleh para pemimpin kelompok di suatu kafetaria sekolah memiliki pengaruh dalam membuat pilihan makanan sehat di AS Birnbaum et al. 2002 dalam Bevelander et al. 2011. Hal ini terjadi mungkin karena rekan- rekannya memfasilitasi pembelian produk makanan yang tidak sehat dan temuan ini mungkin menjadi nilai berarti bagi kebijakan pemerintah, kesehatan, dan sekolah misalnya dengan mengarahkan pendidikan kesehatan pada kelompok di sekolah. Selanjutnya Bevelander et al. 2011 menyatakan bahwa konsumsi makanan dan minuman ringan individu terkait dengan ketersediaan kombinasi konsumsi makanan tertentu dari rekan-rekan mereka di sekolah, dan karakteristik pribadi mereka. 4. Keragaan Makanan Tradisional Pola kebiasaan konsumsi makanan dipengaruhi oleh bagaimana seseorang memberi arti kepada makanan yang biasa dikonsumsi. Pada umumnya penerimaan dan penolakan terhadap suatu jenis makanan merupakan kebiasaan yang sulit untuk dirubah karena sifatnya sangat pribadi Wulan 1997. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson et al. 2011 dengan tujuan untuk memahami makanan sehari-hari pada ibu menyatakan bahwa keragaan makanan tradisional menggarisbawahi bagaimana pentingnya memahami identitas yang berkaitan dengan makanan serta yang dapat mempengaruhi pilihan makanan. Lewin 1943 dalam Suhardjo 1989 telah mempelajari apa yang dia anggap sebagai nilai dasar yang menentukan pilihan makanan agar dapat menentukan lebih baik apa yang orang makan dan lakukan yang meliputi rasa taste, nilai sosial, manfaat bagi kesehatan dan harga. Menurut Kuhne et al. 2010 bahwa meskipun ada kontroversial dalam konteks makanan tradisional, tetapi sangat penting untuk mengatasinya melalui proses inovasi. Selanjutnya bahwa proses ini dapat diterima oleh konsumen sepanjang melestarikan karakter makanan tradisional yang ditekankan sebagai prasyarat dalam inovasi produk tersebut.

5. Citra Makanan Tradisional

Berbagai jenis makanan mempunyai citra tersendiri di mata masyarakat. Ini menyebabkan masyarakat akan mengonsumsi makanan tertentu yang mempunyai nilai sesuai dengan tingkat naluri pada makanan yang terdapat dalam masyarakat 21 Suhardjo 1989. Nilai makanan yang terdapat dalam masyarakat tersebut selalu tergambarkan dalam pikiran manusia sehingga dapat berakhir dengan keputusan untuk mengonsumsi makanan tradisional tersebut. Adapula orang yang mengonsumsi makanan didasari oleh gengsi sosialnya yang mengikuti perkembangan zaman sehingga akan dianggap mempunyai gaya hidup yang beda dan bahkan lebih modern jika tidak mengonsumsi makanan tradisional. Hasil penelitian yang dilakukan Yulianis 2009 ditemukan bahwa faktor gengsi sosial dan gaya hidup yang mengarah ke nilai-nilai modernisasi yang menganggap segala sesuatu yang berbau tradisional atau lokal adalah dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman. Citra makanan tradisional berhubungan dengan berbagai bahan makanan yang menyusunnya. Ada orang senang mengonsumsi makanan tersebut, tetapi dapat menjadi pengalaman yang dilematis: mereka butuh untuk mencari beragam makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi, tetapi di sisi lain dapat berpotensi berbahaya Rozin 1988 dalam Contento 2007. Sebagai contoh adalah bahan makanan dari hewani seperti daging yang dapat memenuhi kebutuhan protein namun dapat pula berpotensi menyebabkan tubuh tidak sehat. Kemungkinan oleh karena kelangkaan ketersediaan makanan tradisional maka terjadi berbagai keadaan yang dapat mempengaruhi citra dari makanan tersebut. Menurut Almli et al. 2011 bahwa makanan tradisional relatif mahal dan memakan waktu dalam menyiapkannya untuk selera tertentu, kualitas, penampilan, nilai gizi, kesehatan dan keamanan makanan tersebut. 6. Iklan Iklan sangat mempengaruhi perilaku konsumsi makanan seseorang sehingga dapat berubah dari makanan tradisional ke makanan fasf food. Iklan ini dapat melalui media elektronik radio, televisi, dll juga dari media cetak Koran, majalah, bulletin, dll. Menurut Bowen dan Devine 2011 bahwa model multimedia termasuk karakteristik masyarakat dan budaya dapat mempengaruhi akulturasi makanan di tingkat keluarga dan rumah tangga serta pilihan makanan pada kalangan remaja wanita. Goris et al. 2009 menyatakan bahwa kontribusi iklan terhadap terjadinya obesitas di Amerika Serikat berkisar antara 16-40, di Australia 10-28, di Italia dan Inggris berkisar antara 4-18, sehingga kontribusi iklan televisi tentang makanan dan minuman untuk prevalensi obesitas jelas berbeda antara negara dan mungkin signifikan di beberapa negara. Selanjutnya dalam penelitian Andreyeva et al. 2011 dengan tujuan menganalisis pengaruh iklan dihubungkan dengan konsumsi makanan siap saji, minuman ringan dan obesitas, ternyata iklan televisi dapat meningkatkan penggunaan gula pemanis, soft drink berkarbonasi pada anak. Akibatnya iklan dikatakan dapat meningkatkan konsumsi keseluruhan kategori makanan yang tidak sehat. Anschutz et al. 2011 melakukan penelitian tentang efek langsung dari menonton iklan di televisi terhadap asupan makanan ringan pada dewasa muda, dimana hasilnya menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda terpengaruh oleh iklan makanan. Asupan makanan pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan pria ketika mereka melihat iklan makanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan untuk makan makanan ringan bila terkena iklan makanan.