Pengembangan Ilmu Pengetahuan Sains dan Pengaruhnya
167
Perhatian orang-orang Muslim terhadap menuntut ilmu, dikarenakan adanya dukungan oleh ajaran yang menganjurkan umatnya
untuk menuntut ilmu. Ketika dipuncak kejayaan dalam dunia Islam bersikap terbuka dalam bidang keilmuan, sehingga jika ada satu buah
kitab ilmu pengetahuan di ujung negeri Cina sekalipun, niscaya akan diburu untuk diterjemahkan Muthahari, 2011: 226. Hal demikian itu
tidak lain sebagai implementasi dari al-
Qur‟an dan Hadist Nabi Muhammad Saw. Allah mengungkapkan penghargaan yang begitu tinggi
kepada orang-orang beriman yang berilmu dengan tanpa membatasi jenis ilmu tersebut. Penghargaan Allah tersebut telah diabadikan dalam firman-
Nya:
“.... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang
diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat ....
”.QS. Al-Mujadilah [58]: 11 Departemen Agama R.I, 2005:543.
Ditambah lagi Rasulullah Saw. juga sangat mencintai ilmu pengetahuan melalui beberapa sabdanya dengan tanpa memisahkan jenis-
jenis ilmunya.
ةملسم ملسم لك ىلع ةضيرف ملعلا بلط
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan
”. Hadits Shahih Riwayat Ibn „Adiy, Baihaqi, Thobroni, dan Khatib, Bek, 1948:107.
ةنّجلا ىلا اقيرط هب ها ل س املع هيف سمتلي اقيرط كلس نم
“Barangsiapa merintis jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga
” H.R. Muslim Al-Ghazali,1983:33.
Dengan dasar konsep dan pemahaman inilah akhirnya umat Islam mencapai puncak kejayaannya. Dikarenakan para pemimpin umat Islam
sangat menghargai ilmu pengetahuan. Sehingga, meskipun mereka tahu bahwa Yunani adalah bukan Islam, dan juga bukan pemerintahan Islam
dan ilmu pengetahuannya pun cenderung hellenis, tetapi pemerintahan Islam di kala itu menerjemahkan secara besar-besaran hasil karya ilmu
pengetahuan yang sudah dikembangkan Yunani, tentu dengan terlebih dahulu melakukan seleksi terhadap ilmu-ilmu tersebut dan melakukan
penyesuaian dengan semangat agama Islam Burns Ralp, 1963: 246-247.
168
Karya-karya ilmu filososfis dan rasional mendapat perhatian khusus dalam penerjemahan. Dengan paradigma seperti itu, umat Islam
benar-benar mencapai puncak kejayaan gemilang yang belum pernah dicapai oleh bangsa-bangsa yang ada di dunia ini sebelumnya, karena
memang ilmu-ilmu filosofis sangat menekankan tentang eksplorasi berpikir, sedangkan kajian ilmu rasional menekankan pada konsep dasar
pola pikirnya. Ilmu filosofis dan rasional itu juga yang kemudian lebih banyak menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan yang sangat
dibutuhkan manusia.
Hampir sebagian besar disiplin ilmu pengetahuan, baik yang berbasis politik, ekonomi, sosial, budaya, eksak dan agama itu sendiri
adalah muncul dan dihasilkan oleh para pemikir umat Islam. Sehingga, banyak ilmuwan Muslim yang cukup dikenal, di dunia Barat sekalipun.
Al-Khawarizmi Algorismus dan Ibn al-Haitam Al-Hazen dikenal sebagai ahli matematika dan astronomi; Ibn Rusyd Averroes dan Ibn
Sina Avicena sangat dikenal sebagai ahli kedokteran; al-Khazini, al- Khurasani, al-Razi dan Ibn Sina adalah penyumbang terbesar terhadap
ilmu fisika dan teknologi; dan lain-lain. Akan tetapi, sejarah membuktikan, setelah efek samping pengembangan ilmu pengetahuan
yang berkembang tanpa kontrol, ditambah dengan kekisruhan politik pemerintahan Islam di masa itu, maka justru umat Islam kemudian
menutup diri dari eksplorasi ilmu pengetahuan umum Nasution, 1985: 54.
Padahal selama 500 tahun the dark ages, rentang antara Aristoteles 367-322 S.M sampai St.Thomas Aquinas 1225-1274 M
ilmuwan Barat, suatu masa panjang, Priode inilah sebenarnya masa kejayaan Islam terjadi, dan para Mahasiswa Eropa berbondong-bondong
belajar ke negeri Muslim. Mereka menjadi inspirator dan pelopor pencerahan Eropa setelah mencuri ide-ode dari negeri Muslim. Adapun
pencurian terjadi dalam berbagai bentuk. Pada abad ke-11 dan ke-12 sejumlah pemikir Barat seperti Constantine The African, Adelard of Barth
melakukan perjalanan ke Timur Tengah dan mereka belajar Bahasa Arab dan melakukan studi serta membawa ilmu baru ke Eropa. Leonardo of
Pisa
belajar di Bougie, Aljazair pada abad ke-12, ia juga belajar matematika dan aritmatika al-Khawarizmi Setiawan dan Hendriarjo,
2005: 21-22. Sementara itu, ilmu-ilmu Keislaman juga berkembang pesat.
Dalam bidang hadits tercatat nama-nama seperti Bukhari dan Muslim, dalam Hukum Islam terkenal seperti Malik ibn Anas, Idris al-
Syafi‟i, Abu Hanifah, Ahmad Ibn Hambal. Dalam ilmu tafsir seperti al-Tabari, dalam
ilmu kalam seperti Wasail ibn Atha, Abu Al-Huzail, Abu Hasan Al- Asy‟ari dan Al-Maturidi, dalam bidang tasawuf seperti Abu Yazid Al-
169
Bustami dan Husain Ibn Mnasur Al-Hallaj. Nama-nama tokoh pentingdalam sejarah Islam baik dalam bidang politik, keilmuan, seniman,
dll. Dapat dilihat dalam kitab Tabaqat Al-Kubra karya Ibn Sa‟ad dan
Wafiyat Al- A‟yan wa Anba Al-Zaman karya Ibn Khalikan.
Kekisruhan politik pemerintahan Islam di saat Islam masih di posisi puncak kejayaannya, adalah karena banyaknya terjadi perebutan
kekuasaan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa sebagaian besar pergantian kepemimpinan umat Islam adalah selalu terjadi pertumpahan
darah. Belum lagi, pertentangan yang sangat sengit pada setiap pergantian pemerintahan hanya karena perbedaan paham fikih keagamaan dan haluan
politiknya. Sebagaimana diungkap sebelumnya, di masa Islam dalam kejayaannya di masa khalifah al-
Ma‟mun zaman dinasti Abbasiyah, ada suatu peristiwa tragis yang pernah terjadi, yakni peristiwa Mihnah ujian
Nasution, 1985: 60. Akibat peristiwa Minah bagi orang-orang yang akan menduduki
posisi penting di pemerintahan, yang berkonsekuensi penyiksaan terhadap ulama-ulama Islam yang tidak sejalan dengan akidah pemerintahan yang
berpaham Mu‟tazilah yang beraliran dan berpola pikir filosofis dan
rasional di kala itu, maka membuat apriori yang dalam pada umat Islam, yang pada akhirnya melakukan resistensi dan perlawanan.
Sesudah masa itu, untuk tujuan politis, khalifah al-Mutawakkil kemudian membatalkan madzhab
Mu‟tazilah sebagai madzhab negara dan mendukung madzhab Ahlussunnah wa al-
jama‟ah. Lebih dari itu, kemudian akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan
ilmu-ilmu rasional ditutup. Bahkan, banyak tokoh-tokoh Mu‟tazilah yang
diusir dari Baghdad Nasution, 1985: 61-62. Sejak kejadian perubahan inilah kemudian secara tidak sadar umat
Islam kemudian seolah membuat batas terhadap ilmu-ilmu filosofis dan rasional, pada dasarnya adalah ilmu-ilmu umum yang menjadi dasar
pengembangan iptek di masa-masa berikutnya. Hal itu terjadi terus menerus selama berabad-abad mewarnai paradigma berpikir sebagian
besar umat Islam, hina akhirnya dipahami seolah sebagai doktrin agama yang sudah mutlak dan dianggap sebagai suatu kebenaran.
Terhambatnya perkembangan ilmu filosofis dan rasional pada kalangan umat Islam di satu sisi, tetapi di sisi lain umat non Islam, yakni
masyarakat Barat, justru mendapat imbas dari perkembangan kemajuan iptek umat Islam yang pernah ditempuh. Perkembangan eksplorasi ilmu-
ilmu filosofis dan rasional yang dilakukan bangsa Barat akhirnya mengantar mereka menguasai perkembangan iptek dunia, di saat umat
Islam sudah mulai tenggelam dijerat paradigma dikotomisnya terhadap ilmu pengetahuan.
170
Tak dapat di pungkiri lagi, akhirnya umat Islam terpuruk dan terkurung dengan sikap statis atau diam ditempat yang membawa mereka
kepada kemunduran yang berkepanjangan. Sedangkan bangsa Barat akhirnya menjadi pengawal perkembangan iptek, bahkan sampai bisa
menjelajah dan menjajah negara-negara di wilayah dunia Islam.
Mulnculnya kesadaran bahwa paradigma ilmu pengetahuan yang telah terpengaruh oleh skulerisme dan materialisme telah menjadikan
pengetahuan modern menjadi kering dan kehilangan kesakralannya terpisah dari nilai-nilai tauhid dan teologis Sholeh,t.t: 5.
Menurut Murtadha Muthahari tidak sependat dengan klasifikasi ilmu model al-Ghazali, bahkan menolak adanya dikotomi ilmu agama dan
ilmu non-agama. Menurutnya, pembedaan ilmu semacam itu dapat melahirkan kesalahan konsepsi, bahwa ilmu non-agama terpisah dari
Islam dan tidak sesuai keuniversalan Islam. Penolakkan Murthadi atas dikotomi ini berdasarkan pada pandangan bahwa ilmu dalam al-
Qur‟an dan Hadits hadir dalam maknanya yang umum. Demi menjaga identitas
Keislaman dalam persainagan budaya global, para ilmuwan Muslim bersikap defensive dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni
dengan melarang segala mebentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan
fanatic terhadap syari‟ah, salah satunya adalan fiqih produk pertengahan yang dianggap telah final. Mereka melupakan sumber kreatifitas, yakni
ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya. Pada ranah inilah tanpa sadar umat Islam telah menumbuhkan embrio dikotomi ilmu Enginer,
2003: 20-21.
Menurut Ziauddin Sardar mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab dikotomi sistem pendidikan Islam adalah diterimanya budaya
Barat secara total bersamaan denagan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab mereka yang menganut pandangan tersebut
berkeyakinan, bahwa kemajuanlah yang terpenting bukan agama. Oleh, sebab itu, kajian agama dibatasi bidangnya. Agama hanya membicarakan
hubungan individu dengan Tuhannya, lainnya bukan urusan agama Hadi Imron, 2000: 73.
Hilangnya aspek kesakralan dari konsep ilmu Barat serta sikap keilmuwan Muslim yang menyebabkan terjadinya stagnasi setelah
memisahkan wahyu dari akal, dan memisahkan pemikiran aksi dan kultur dipandang sama bahayanya bagi perkembangan keilmuan Islam. Karena
itu muncul sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara keduanya, sehingga lahirlah keilmuan baru yang modern tetapi
tetap bersifat religious dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian di kenal dengan Islamisasi Ilmu pengetahuan atau Integrasi ilmu Tabroni,
2000: 93.
171
Dalam menghilangkan dikotomi ilmu dengan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan atau Integrasi ilmu pengetahuan, Ziauddin Sardar
memberikan solusi yaitu dengan cara peletakkan epistemology dan teori sistem pendidikan yang bersifat mendasar, lebih lanjut Ziauddin Sardar
mengatakan untuk menghilangkan perlu dilakukan usaha-usaha yaitu: pertama
, dari segi epistemology, umat Islam harus berani mengembangkan kerangka masa kini yang terartikulasi sepenuhnya.
Kerangka pengetahuan di maksud setidaknya dapat menggambarkan metode-metode dan pendekatan yang tepat yang nantinya dapat membantu
pakar Muslim dalam mengatasi masalah-masalah moral dan etika yang sangat dominan di masa sekarang. Kedua, perlu adanya teoritis ilmu dan
teknologi yang menggambarkan gaya-gaya dan metode-metode aktifitas ilmiah dan teknologi yang sesuai tinjauan dunia dan mencermeinkan nilai
dan norma budaya muslim. Ketiga, perlu diciptakan teori-teori sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem
modern. Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral harus mengacu kepada konsep ajaran Islam, mislanya konsep tazkiyah al-nafs, tauhid dsb.
Disamping itu sistem tersebut juga harus mampu memenuhi kebutuhan- kebutuhan masyarakat Muslim secara multidimensional masa depan. Dan
yang terpenting, pemaknaan pendidikan, mencari ilmu, sebagai pengalaman belajar sepanjang masa Sardar, 1984: 280-281.
Dalam Islam sebetulnya tidak dikenal pemisahan esensial ilmu agama dan ilmu umum. Berbagai disiplin ilmu dan pespektif intelektual
yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarki tertentu yang bertujuan kepada pengetahuan tentang hakikat Tauhid, yang
merupakn subtansial dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan kenapa para ulama dan ilmuwan Muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-
ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim ke dalam hirarki ilmu pengetahuan menurut Islam. Dengan demikian, pendidikan
dalam Islam tidak menganal dikotomi dalam pengertian yang berlebihan, akan tetapi hanya membedakan jenis-jenis atau klasifikasi, seesuai dengan
bidang manfaat, metode dan cara memperolehnya, obyek, seperti yang tampak pada table dibawah ini:
No Bidang
Pembagian 1. Sisi
Manfaat Ilmu
Aksiologi a.
Ilmu yang langsung bermanfaat untuk kehidupan Dunia Ilmu yang langsung bermanfaat untuk
kehidupan Akhirat 2. Sisi Perolehan Ilmu
Epistemologi a.
Ilmu Kasbi atau Ilmu Mubasyarah b.
Ilmu Laduni atau Ilmu Mukhasayafah 3. Sisi
Objek Ilmu
Ontologi a.
Ilmu yang bersifat Material b.
Ilmu yang bersifat Non-Material
172
Tabel 4.2: Paradigma Pembagian Ilmu dalam Persepektif Islam Jika melihat daripada table diatas, kiranya sering orang
berpandangan bahwa adanya dikotomi itu teletak pada sisi manfaat ilmu atau aksiologi, yang secara pembagian diameteral membagi ilmu kepada
ilmu untuk kepentingan dunia dan ilmu untuk kepentingan akhirat. Sebagaimana al-Ghazali membagi ilmu kepada ilmu
syari‟ah dan ghoiru syari‟ah atau Al-Syafi‟i seperti yang dideskripsikan oleh Suwito dan
Fauzan, membagi ilmu menjadi dua macam: pertama, ilmu fiqh untuk agama. Dan kedua ilmu Thib untuk keperluan tubuh, hal tersebut adalah
merupakan hanya hirarki atau tingkatan saja ilmu saja, bukan pemisahan dua jenis yang berlainan.
Oleh karenanya, apa yang yang dimulai sejak Rasulullah, lalu berkembang pada masa sahabat dan diteruskan pada genarasi selanjutnya
Dinasti Umayah dan Abbasiyah, termasuk pada zaman al- Ma‟mun
adalah upaya Islam dalam mensinregikan atau dengan kata lain mengintegrasikan ilmu, baik ilmu agama atau ilmu umum, baik yang
dikembangkan oleh ulama atau ilmuwan Muslim yang bertujuan pada sumbu “Tauhid” atau pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha
Tun ggal”.
Paradigma pengembangan ilmu pengetahuan pada era klasik, adalah obor kehidupan yang akan terus mengiringi umat Islam dalam
peradaban dunia, bahwa konsep Islam yang di bawa oleh Rasulullah adalah
ramatan lil‟alamin rahmat untuk seluruh alam, itu artinya meskipun panggung dunia telah berubah pada masa kini, dimana ilmu
pengtahaun dan juga teknologi didominasi oleh Barat, akan tetapi tetap saja Islam yang menjadi porosnya.