149
termasuk bagian akal ialah mercury, dan sal-amoniak batu bara dan sari minyak. Sedangkan Al-Razi membagi benda-benda menjadi
sayur-sayuran, hewan, dan logam. Bahasa kimia modern sekarang ternyata banyak diambil dari konsep Al-Razi ini Baiquni, 1994: 69.
g. Dalam bidang Sejarah
1 Ibn Hisyam w.834 M adalah seorang murid Ibn Ishaq yang
berjasa meneruskan karya gurunya tersebut dalam penulisan sejarah Nabi sirah nabawiyah Amin, 1995: 64.
2 Muhammad Ibn Sa‟ad w. 830 M Karyanya yaitu kitab at-
Thabaqat al-Kubra dan at-Thabaqat as-Sughra.
3 Ibn Sa‟id w.845 M karyanya Thabaqat al-Kubra.
h. Sastra
1 Abu Nawas 747-815 M lahir di kota al-Hawaz Persia, dan
tumbuh besar di Bashrah karyanya adalah al-Qashidah 2
Al-Jahiz 776-869 M i.
Musik 1
Ishaq al-Mawshil 767-850 M seorang penyanyi terkenal zaman al-
Ma‟mun.
4. Berkembangnya Tradisi Intelektual Zaman al-Ma’mun
Lahirnya gerakan intelektual, berarti lahirnya para ulama dan ilmua yang kemudian membangun kebudayaan dan peradaban terjadi
karena didukung oleh tradisi intelektual pada saat itu. Yakni nilai-nilai Keislaman dan spirit keilmuan yang diterapkan dalam kehidupan mereka
yang telah berubah menjadi atmosfer berkembangnya intelektual yang mengalami puncaknya pada zaman Abbasiyah di Baghdad Hamur, 1997:
35. .
Berbagai kebiasaan yang melekat dan mendarah daging di kalangan umat Islam yang selanjutnya menimbulkan kebagaan serta
mendorong gerakan intelektual Islam. Hal semacam inilah yang penulis yakini dari optimalisasi pengembangan institusi-intitusi pendidikan Islam
pada zaman Abbasiyah, terutama zaman al- Ma‟mun dapat berkembang
tradisi-tradisi intelektual pada umat muslim. Dimana seorang menuntut ilmu baik di instansi pendidikan kuttab, majlis, halaqah, perpustakaan,
masjid, dst, atau dimanapun tempatnya akan melahirkan budaya ilmiah yang intelektual. Adapun tradisi intelektual tersebut dapat dikemukakan
dibawah ini adalah sebagai berikut: a.
Tardisi Belajar Langsung dengan Guru
Pada zaman al- Ma‟mun, pengajaran diberikan secara langsung
kepada murid-murid, seorang demi seorang. Pelajaran diberikan dengan
150
cara dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau di ditekan oleh guru lalu ditulis oleh murid atau murid disuruh menyalin
dari buku yang ditulis oleh guru dengan tangan Watt, 1997: 97. Pada akhir pelajaran, guru mengulang membaca pelajaran dan disuruhnya
seorang murid membacakannya untuk membetulkan jika ada murid yang salah menuliskannya. Kegiatan semacam ini memungkin diktat-diktat
yang di tulis, maka lahirlah kitab-kitab tulisan tangan yang pada akhirnya dicetak menjadi naskah, dan dari naskah tersebut menjadi kitab yang
termasyhur pada zamannya Yunus, 1992: 60.
Seorang pelajar di zaman klasik tidak memilih sekolah yang baik melainkan memilih guru atau syekh yang termashur kealimannya dan
keshalehannya. Murid bebas memilih guru, jikalau pengajaran guur tidak dapat memuaskan baginya, boleh pindah ke halaqah dengan guru yang
berbeda dari sebelumnya.
Kalau guru mengajarkan ilmu dan kitab yang telah dituliskan dengan tangan, maka tiap-tiap pelajar harus memiliki satu naskah kitab
itu. Mula-mula guru membaca satu pasal dari kitab itu sebelum mengajarkannya kepada pelajar sebagai persiapan. Kemudian guru mulai
membacakan kitab dan pelajar mendengarkan dengan penuh perhatian serta melihat ke naskah kitab yang di tangan mereka masing-masing.
Keterangan guru itu amatlah penting terutama keterangan dari ulama besar Yunus, 1992: 61. Hal semacaman ini masih ditemukan diberbagai
pondok pesantern salafi, dimana metode belajarnya sama persis, yakni guru membacakan satu pasal kemudian menjelaskan dan murid
mendengarkan.
Banyak ulama-ulama yang berkontribusi mengembangkan ilmu, terutama pada zaman al-
Ma‟mun, antara lain sebagai berikut: Pertama, Muhammad Ibn Sa‟ad 168-230 H784-845 M yang lahir di Bashrah dan
wafat di kota Baghdad adalah seorang ulama ahli Hadits dan Sejarah. Ia belajar berbagail ilmu pengetahuan keagamaan kepada belajar khusus
pada al-Waqidi Yatim, 1997: 88. Ia seorang yang kuat hafalan, menguasai banyak ilmu Hadis dan Sejarah.
Kedua ,
Imam Syafi‟i, ia memiliki nama asli Muhammad Abu Abdillah ibn Idris ibn Usman ibn Syafi‟i. Ia masih satu keturunan dengan
Nabi Muhammad Saw. dari nenek moyang Abdi Manaf, sementara ibunya bernama Fatimah dari keturunan Ali ibn Abi Thalib. Syafi
‟i lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya meninggal dunia pada saat ia masih
kandungan ibunya Marwan, 1999: 33. Meskipun dalam keadaan yang sangat sedarhana, penuh dengan kesulitan hidup, akan tetapi semnagat
belajarnya dan kecerdasannya sungguh amat luar biasa, karena pada usia sembilan tahun ia sudah hafal al-
Qur‟an 30 juz di luar kepala dan lancar. Ia belajar sastra Arab sampai mahir dan banyak menghafal syair-syair dari