Berdirinya Baitul Hikmah Zaman al-Ma’mun

123 proses penerjemahan dan perburuan manuskrip lainnya. Al- Ma‟mun juga mengisi Baitul Hikmah dengan berbagai manuskrip berharga yang didapat dari berbagai daerah di antaranya adalah daerah pemerintah Byzantium Amin, 2001: 72. Di Baitul Hikmah, segala ilmu pengetahuan dikaji, diteliti, dan dikembangkan oleh para ilmuan. Studi yang berkembang pesat di lembaga tersebut antara lain: matematika, astronomi, kedokteran, zoology serta geografi. Sebagai kholifah yang punya intelektual tinggi, juga inovatif, al- Ma‟mun meminta para ilmuan tidak hanya menguasai pengetahuan hasil transfer dari peradaban lain saja. Ia juga mendorong para ilmuwan Muslim untuk melahirkan inovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Syuyuti, t.t: 56. Upaya tersebut akhirnya tercapai, hingga Baghdad menjelma menjadi kota yang kaya raya di dunia dan menjadi pusat intelekual pada saat itu. Penduduk Baghdad mencapai satu juta jiwa populasi terbesar saat itu dan selama kepemimpinannya, telah melahirkan sederet ilmuwan yang terkemuka di dunia yang pernah dimiliki oleh umat Muslim. Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, di Baghdad telah didirikan peneropong bintang-bintang oleh al- Ma‟mun, yang langsung berhubungan dengan Baitul Hikmah. Lalu al- Ma‟mun menyuruh para ulama untuk mempelajari kitab al-Majisthi yang berisi ilmu falaq. Kemudian al- Ma‟mun menyuruh para ulama untuk membuat alat peneropong, untuk mempelajari hal ihwal tentang perbintangan sebagaimana yang dibuat oleh Bathlimus pengarang kitab al-Majisthi. Alat peneropong tersebut kemudian mereka namai sebagai “Peneropong al- Ma‟muni” Yunus, 1992:62-65. Jika melihat keharmonisan al- Ma‟mun terhadap para ulama, tidak mungkin al- Ma‟mun atau para ulama saling memusuhi satu sama lain sebagaimana pendapat para penulis lainnya yang mengatakan bahwa al- Ma‟mun adalah orang yang kejam dengan sering menghukum para ulama sebagaima pada peristiwa Mihnah. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Tamim Ansary sebagai berikut: ia dibawa ke istana dan diminta berdebat dengan teolog terkemuka tentang pertanyaan apakah al- Qur‟an itu makhluk ciptaan atau bukan. Filsuf menyerang Ibn Hanbal dengan logika, ulama itu memukul balik dengan kitab suci. Filsuf mengikatnya dalam buhul-bukul argument, Ibn Hanbal berkelit lepas dengan doa kepada Allah. Jelas, tidak ada seorang pun yang bisa benar-benar “menang” dalam debat semacam ini karena para pendebat tidak sepakat pada hal-hal yang mendasar. Ketika Ibn Hanbal menolak untuk mengingkari pandangannya, ia dipukul secara fisik, tapi tidak mengubah pikirannya. Ia dikurung dalam penjara. Ia tetap 124 saja berpegangan pada prinsip-prinsipnya: tidak akan pernah membiarkan nalar menginjak-injak wahyu, tidak pernah Ansary, 2010: 184-185. Oleh karena itu, bukti fisk yang berkembang adalah al- Ma‟mun dengan para ulama saling bersinergi dalam mengembangkan ilmu. Dimana al- Ma‟mun memiliki sikap pemaaf, berjiwa besar sebagai pemimpin, dan bijaksana. Tidak mungkin jikalau ia melakukan resistensi terhadap para ulama, akan tetapi justru sebaliknya. Jika tidak ada kiprah al- Ma‟mun dengan upaya-upaya yang menyelamatkan kerajaan dan peradaban yang diwariskan oleh pendahulunya Kholifah al-Mansur dan Harun al-Rasyid, maka bisa dipastikan umat Islam belum mencapai titik puncak kejayaan the golden age. Karya ilmuan yang di terjemahkan antara lain seperti: karya Aristoteles, Plato, Galen, Hippocrates, Dioscorides, Ptolemy dan Alexander dari Aphrodisias Nakosten, 1995: 15. Dan buku-buku Yunani yang dibawa dari Ankara dan Amuriyah, terdapat buku-buku lain yang dibawa dari pulau Cyprus, Ibnu Nubatah al-Masari telah menyebutkan masalah ini. Al- Ma‟mun telah melantik Sahal bin Harun sebagai penulis harta simpanan Darul Hikmah yang berupa buku-buku karangan para ahli filsafat yang dibawa dari pulau Cyprus, yaitu sesudah kholifah berdamai dengan pemerintahan pulau Cyprus dan meminta pemerintahan tersebut untuk mengirim buku-buku Yunani. Perintah tersebut berunding dengan orang-orangnya dan meminta pendapat mereka tentang rancangannya untuk mengirim buku-buku tersebut kepada al- Ma‟mun. Akan tetapi semua yang berunding telah menolak rancangannya, kecuali seorang padre yang mendukung dengan alasan-alasan buku yang mengandung ilmu-ilmu aqli akan merusak pemerintahan Abbasiyah dan menjerumuskan para ulama ke jurang kesalahan. Dengan itu ia mencadangkan supaya buku-buku tersebut diserahkan kepada kholifah al- Ma‟mun secepatnya. Pendapat tersebut akhirnya diterima, dan buku-buku itu pun segera dikirim kepada al- Ma‟mun yang merasa amat gembira dan disana terdapat buku yang dibawa dari Konstantinopel Syalabi, 1997:201. Buku-buku Yunani merupakan buku yang paling banyak diterjemahkan oleh pemerintahan al- Ma‟mun akan tetapi buku-buku yang diterjemahkan, merupakan buku-buku yang terlebih dahulu disingkirkan dari hal-hal yang berbau musyrik, seperti adanya kepercayaan pada mitologi para dewa, artinya al- Ma‟mun maupun umat Muslim tetap berhati-hati terhadap kemusyrikan, meski hanya sebatas penerjemahan karya non-Muslim. Tidak hanya memanfaatkan dan menerjemahkan buku-buku yang memberi manfaat langsung dari perkembangan umat 125 Islam pada masa itu, tetapi memang juga buku-buku yang penting untuk diterjemahkan dan sudah tidak terdapat lagi di daerah lain, meskipun muncul rencana untuk meyesatkan umat Islam melalui buku yang dipinjam. Namun al- Ma‟mun, tetap dengan senang hati dan menerjemahkan karya tersebut, karena pasti akan ada manfaat lain selain daripada kemudharatannya saja. Mengenai hal ini, Ibnu as Nadim telah menyebut bahwa kholifah al- Ma‟mun mempunyai perutusan dengan raja Roma, dan pada suatu hari al- Ma‟mun mengirim surat kepada raja Roma untuk meminta izin menyelamatkan ilmu-ilmu purba yang tersimpan di negeri Roma. Permintaan al- Ma‟mun akhirnya disetujui oleh raja Roma. Dengan hal itu al- Ma‟mun melantik serombongan tokoh-tokoh, di antarnya seperti al- Hajajj bin Matar, Ibnu al-Batriq, Salam. Mereka pun telah kembali dengan membawa buku-buku yang telah mereka pilih. Kholifah al- Ma‟mun pun mengarahkan mereka supaya menerjemahkannya. Dikatakan juga bahwa Yuhana bin Masuwaih adalah termasuk kedalam rombongan yang dikirim ke negeri Roma tersebut. Kholifah al- Ma‟mun pun mendapat tenaga Hunain bin Ishaq yang masih berusia muda dan memintanya menyalin buku-buku tersebut kedalam bahasa Arab, dan ia pun diberikan upah oleh al- Ma‟mun dengan emas seberat buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab Syalabi, 1997: 202-203. Karya terbesar yang terpenting dalam zaman al- Ma‟mun adalah karena ia telah membangun Baitul Hikmah yang membuat Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat pada saat itu dan secara tidak langsung telah melahirkan berbagai ilmuwan penting yang telah berkontribusi lewat karyanya yang sangat bermanfaat bagi perkembangan umat Islam. a. Munculnya Konsep Dasar Mutikultural pada Baitul Hikmah dan Pengaruhnya. Intitusi di zaman al- Ma‟mun telah mengukir sejarah baru dalam peradaban manusia di mana bangsa Barat sekalipun belum mengenalnya, apa yang disebut dengan konsep multicultural dalam pendidikan. Konsep demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam ke Syalabi, 1995giatan ilmiah ini. Berikut dapat digambarkan dengan jelas adanya konsep dasar multicultural pada institusi Baitul Hikmah adalah sebagai berikut: Pertama , nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip dan penerjemahan buku-buku sains dari Yunani guna melengkapi intitusi- intisuti pendidikan Islam pada zaman al- Ma‟mun. Ia memberikan 126 kebebasan berekspresi, keterbukaan dan kesetaraan sarjana Muslim dan non-Muslim. Al- Ma‟mun telah memberikan penghargaan dengan memberikan emas kepada para sarjana baik yang Muslim dan non-Muslim yang telah menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Suasana kebebasan intelektual di institusi ini merupakan peletakan dasar-dasar konsep multicultural dalam pendidikan Islam. Nilai-nilai toleransi merupakan nilai strategis dalam membangun dasar yang kuat dalam perdamaian Ta‟cub, 2002:200. Sebagaimana pendapat Nurcholish Majid, menyatakan bahwa interaksi positif antara masyarakat Arab Muslim dengan kalangan non- Muslim haya dapat terjadi pada suasan kebebasan, keterbukaan dan adanya toleransi Majid, 2000: 222. Sependapat dengan Ya‟qub, bahwa nilai-nilai toleransi merupakan nilai strategis dalam membangun dasar yang kuat dalam perdamaian. Oleh sebab itulah berdampak pada meningkatnya semangat para penerjemah dalam melaksanakan tugas. Hal semacam inilah yang di inginkan oleh al- Ma‟mun yang terpenting dalam bentuk nyata. Kedua, perbedaan entik kultural dan agama bukan hambatan atau rintangan dalam melakukan suatu kemajuan, terutama dalam hal kemajuan penerjemahan. Para penerjemah yang memiliki perbedaan kultur, suku, ras, bangsa dan agama seperti : 1 Abu Sahl Fazhl bin Nawbakht yang berkebangsaan Persia. 2 Yuhanah bin Masuya yang berkebangsaan Syria. 3 Hunayn bin Ishaq yang beragamakan Kristen Neestorian dari Hiriah. 4. Alan al- Syu‟bi yang berkebangsaan Persia. 5 Qutha bin Luqa yang beragamakan Kristen dari Yacobite. 6 Abu Bisr Matta ibn Yunus yang beragamakan Kristen Nestorian. 7. Ishaq bin Hunayin beragamakan Kristen Nestorian. 8 Hubaish beragamakan Kristen yang sama. Konsep dasar pendidikan multicultural di Baitul Hikmah lebih bersifat internal dan khusus yang lebih menekankan pada aspek keragaman dan kesedrajatan peserta didik dala proses pendidikan. Oleh karena itu, subyek-subyek multicultural yang dapat dilihat pada halaqah, kuttab , masjid, ribath, dan majelis mengenai keadilan, kemiskinan, dan latar belakang kelompok-kelompok minoritas dalam bidang sosial dan budaya, ekonomi dan pendidikan yang bertujuan untuk mencapai pemberdayaan kelompok-kelompok minoritas tersebut. Kebudayaan bangsa, kondisi-kondisi sosial-politik, ekonomi dan pendidikan yang berbasis multicultural pada zaman al- Ma‟mun membawa pengaruh yang luar biasa terhadap kemajuan peradaban bangsa seperti: Pertama , Terjalinnya asimilasi antara bangsa Arab dengan mawali non Arab atau bangsa-bangsa lain yang lebih dulu mengalami perkembangan di bidang ilmu pengatahuan dan teknologi. Kedua, Gerakkan 127 penerjemahan yang dikelola dalam suasan keberagaman, kesedrajatan, perbedaan-perbedaan kebudayaan toleransi terhadap semua kelompok dan agama khususnya agama Kristen membawa pengaruh pada kemajuan ilmu pengetahuan dan juga ilmu pengetahuan agama. Ketiga, Kebebasan dalam memilih materi dan guru dalam belajar mengajar dan hubungan yang harmonis antar guru dan murid dan nilai-nilai toleransi antara keduanya keduanya berkembangnya ilmu pengatahuan dan lahirnya imam-imam mazhab seperti, Imam Syafi‟i yang merupakan mazhab ketiga dan Imam Hanbali yang merupakan mazhab keempat. Gambar: 4.1 Konsep dasar pendidikan Multikultural pada Institusi Baitul Hikmah

2. Berkembangnya Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan

Ilmu-ilmu yang tumbuh dan juga berkembang pada zaman al- Ma‟mun tersebut adalah sebagai berikut: a. Ilmu-ilmu Agama Ilmu Agama yang dimaksud penulis disini adalah ilmu-ilmu yang muncul di tengah-tengah suasan Keislaman, berkaitan dengan agama dan bahasa al- Qur‟an. Syalabi menyebutkannya “ilmu-ilmu Islam” dan sebagian cendikiawan yang lain me nyebutkannya “lmu-ilmu naqli”. Memang ilmu pengetahuan telah berkembang sejak Dinasti Umayyah. Akan tetapi pada zaman Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Adapun cabang ilmu pengetahuan agama antara lain sebgai berikut: 1 Ilmu Tafsir Pada masa Abbassiyah ilmu tafsir mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan melakukan penafsiran secara sistematis, menyeluruh serta terpisah dari hadits. Menurut Ibn Nadim, orang yang pertama Nilai-nilai kebebasan Keterbukaan Toleransi Kesetaraan Beda etnik, agama, ras 128 melakukan penafsiran secara sistematis berdasarkan tertib mushab adalah al-Fara Fa‟al, 2008: 69. Dan pada zaman Abbasiyah, muncul berbagai aliran seperti Sunni, Syi‟ah, dan Muktazilah yang mempengaruhi penafsiran al- Qur‟an S.J, 2008:61. Dari berbagai tafsir yang ada, terdapat dua kategori tafsir, yaitu: Pertama . Tafsir bil al-Matsur, yaitu penafsiran al- Qur‟an berdasarkan pada sanad dan periwayatannya, meliputi tafsir al- Qur‟an dengan al- Qur‟an, al-Qur‟an dengan Hadits dan al-Qur‟an dengan perkataan para sahabat. Kedua, Tafsir bil al- Ra‟yi, yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan ijtihad Fa‟al, .2008: 69. Tafsir al- Qur‟an ini belum dikodifikasikan sebelum masa Abbasiyah, pertama. Ketika terjadi kebangkitan ilmu pengetahuan pada zaman itu, tafsir secara sistematis sesuai susunan al- Qur‟an dibukukan. Orang yang pertama membukukan tafsirnya ialah al-Farra atau Umar ibn Bukhair, karena ia sering sekali di tanya oleh gubernur Irak di zaman Kholifah al- Ma‟mun mengenai tafsiran ayat-ayat tertentu, maka Umar ibn Bukhair meminta kepada al-Farra untuk menulis tafsir al- Qur‟an Mammur, t.t: 229. 2 Ilmu Hadits Pada zaman Daulah Abbasiyah, kegiatan pengkodifikasian Hadits dilakukan dengan giat, sebagai kelanju tan dari usaha para „ulama sebelumnya. Perlu diketahui, pengkodifikasian Hadits pada masa Umayyah dilakukan, akan tetapi tidak melakukan penyeleksian atau penyaringan terlebih dahulu, dan dampaknya adalah hadis Rasulullah dengan Hadits palsu bercampur. Hadis dan Ilmu Hadits berbeda pengertian, Jika Hadis adalah segala sesuatu perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu yang ia lihat atau yang diceritakan kepadanya. Sedangkan Ilmu Hadits adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui tentang keshahihan atau kelemahan Hadits, cara mendapatkannya dan menyampaikannya pada orang lain. Atthabari, 1968: 39. Oleh karena itu berkenaan dengan keutamaan Hadits sebagai hukum Islam yang kedua setelah al- Qur‟an maka para ulama Islam di zaman Abbasiyah, berusaha semaksimal mungkin menyaring Hadits Rasulullah agar dapat diteima sebagai sumber hukum yang sah dalam Islam. Penyeleksian Hadits dilakukan dengan cara mengkritik terhadap sanad, maupun matan Hadits Atthabari, 1968: 42. 3 Ilmu Kalam Ilmu ini lahir karena dorongan untuk membela agama Islam dari pemikiran orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menggunakan filsafat