Manfaat Ilmu Aksiologi Ilmu dalam Perspektif Islam
40
pertama-tama mencari penyebab yang paling awal munculnya masalah Bidin, 2003: 78.
Dalam Wawasan al- Qur‟an, disebutkan dari wahyu yang pertama
diturunkan, sebenarnya sudah ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu. Melalui kalimat Iqra Bismi Rabbika, bahwas titik tolak atau motivasi daripada
pencarian ilmu dan tujuan akhir adalah haruslah karena Allah Shihab, 1997: 439.
Sebagaimana Quraish Shihab mengutip pendapat Syaikh Abdul Halim Mahmud, dalam memahami Bacalah demi Allah dengan arti untuk
kemaslahatan makhluknya. Bukanlah Allah yang membutuhkan sesuatu, tetapi makhluklah yang membutuhkan Allah terhadap sesuatu Shihab, 439-440.
Kemudian, dapat dikatakan karena pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan manusia, justru sebaliknya, manusia yang membutuhkan Allah, maka berarti
motivasi karena ada untuk Allah adalah motivasi dan upaya yang dapat mendatangkan manfaat dan kemaslahatan untuk makhluk-Nya. Semboyan ilmu
untuk ilmu tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam. Apapun ilmunya, materi pembahasannya haruslah selalu bismi rabbika, atau dengan kata lain
harus bernilai rabbani. Sehingga, ilmu yang dalam kenyataan dewasa ini terkesan rabbani.
Dengan demikian ilmuwan Muslim hanya akan mengeksplorasi ilmu yang jelas-jelas memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk umat manusia.
Mereka akan menghindari cara berfikir tentang bidang-bidang yang tidak menghasilkan manfaat, apalagi hanya menghabiskan energy Shihab, 1997:
439. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW sering berdoa:
ع ي ا ع كب عا ي ا لا
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat”.
Atas dasar inilah, berpikir atau menggunakan akal untuk mengungkapkan rahasia metafisika, tidak boleh dilakukan. Jika ditinjau dari
sisi manfaat atas penerapan dan orientasinyanya, maka ilmu dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama, Ilmu yang diterapkan dan bermanfaat langsung untuk
kehidupan manusia di dunia. Ilmu dalam kelompok ini adalah yang jelas-jelas langsung dirasakan dan dibutuhkan oleh manusia di dunia atau dibutuhkan
dalam masa hidupnya. Seluruh ilmu sains mencakup politik, ekonomi, sosial, budaya dan kejiwaan adalah termasuk dalam kategori kelompok ilmu ini.
Kedua
, Ilmu yang bermanfaat secara tidak langsung untuk kehidupan manusia di dunia, tetapi untuk akhirat dan dimensi spiritual.
41
Ilmu dalam kelompok ini dikategorikan dengan ilmu-ilmu yang bersifat non-materi dan hasil yang dirasakan tidak langsung untuk kehidupan manusia
di dunia atau semasa hidupnya. Ilmu ini lebih banyak berkaitan dengan agama dan keimanan seseorang, seperti bagaimana dan mengapa manusia harus
beragama, harus percaya kepada Tuhan, percaya bahwa sesudah kematian akan ada kehidupan dan pertanggung jawaban, percaya bahwa ruh itu ada dan akan
kekal setelah kematian serta akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, dan lain-lain.
Islam memandang wahyu sebagai sumber ilmu yang primer, karena ia berkaitan dengan kebenaran absolut. Hal tersebut bertolak belakang dengan
pandangan Barat yang menganggap bahwa semua ilmu diperoleh melaui indera secara empiris. Ironinya, hal tersebut dianggap sebagai satu-satunya metode
dan sumber yang absah untuk memperoleh ilmu. Para ilmuwan Barat menolak untuk menerima wahyu se
bagai sumber ilmu dan menganggap sebagai “tidak ilmiah” bahkan merendahkannya ketingkat mitologi atau takhayul.
Sebagaimana diungkapkan oleh Hossein Nasr, pandangan dunia Barat modern, menolak untuk menganggap setiap pendapat ilmiah yang menjadi
pertimbangan serius, sepanjang menyangkut ilmu dan menolak untuk menerima kemungkinan dari cara lain dalam memperoleh ilmu, seperti yang
diterima melalui wahyu Nasr, 1993: 186. Sedangkan Osman Bakar berpendapat bahwa metode ilmiah modern harus menggugurkan klaimnya yang
menjadikan satu-satunya jalan untuk mengetahui sesuatu. Kemungkinan cara- cara lain memperoleh ilmu tentang alam semesta patut diakui Bakar, 1988:
75. Oleh sebab itu, tidak terlalu berlebihan untuk menyimpulkan bahwa sumber dan metode ilmu dalam Islam lebih konferhensif dari pendekatan Barat.