Pengembangan Sains Berdasarkan Ontologis

185 pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam sains ternyata merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Ilmu pengetahuan alam seluruhnya pada hakikatnya berasal dari Allah, karena sumber ilmu tersebut berupa wahyu, alam jagat raya, manusia dengan prilakunya, akal pikiran dan intuisi batin seluruhnya ciptaan dan anugrah Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan demikian para ilmuwan di zaman al- Ma‟mun atau klasik dalam berbagai bidang ilmu: fisika, astronomi, kimia, kedokteran, biologi, botani, perkebunan, dan lain sebagainya, sebenarnya bukan pencipta ilmu tapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan. Atas dasar pandangan integrated yang berbasis pada Tauhid tersebut maka seluruh ilmu hanya dapat dibedakan dalam nama dan istilahnya saja, sedangkan hakikat dan subtansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan berasal dari Tuhan.

2. Pengembangan Sains Berdasarkan Epitemologis

Menurut Al- Qur‟an dan Hadis, bahwa cara mendapatkan pengembangan ilmu epistemologis sangat beragam. Untuk mendapatkan ilmu alam yang berdasar pada alam jagat raya harus menggunakan metode ijbari, 19 yakni observasi dan eksperimen yang dilakukan di laboratorium. Dalam pandangan epistemologis, al- Qur‟an tentang bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut berbeda dengan yang dikemngkan di Barat. Jika di Barat pengembangan ilmu hanya menggunakan pancaindra berdasarkan empiris, rasionalis, akal, dan intuisi, maka dalam Islam semua alat untuk mencapai ilmu tersebut harus disertai dengan penyucian batin Shihab, 1997: 438. 20 Petunjuk al- Qur‟an yang menginformasikan tentang pentingnya mengintegrasikan kesucian batin dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan ini sudah dipraktekkan oleh para ulama di masa lalu. Imam Syafi‟i yang dikenal fuqoha yang besar pengaruhnya selalu memelihara kesucian batin. Dalam kesempatan ia pernah mengadu kepada gurunya, 19 Secara harfiyah, ijbari artinya memaksa atau mencoba. Adapun dalam penelitian, ijbari masdunya mengadakan percobaan atau eksperimen di laboratorium berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas, binatang atau manusia secara fisik. Caranya antara lain membandingkan antara satu benda dengan benda lain, memasukkannya ke dalam tabung, mencampurkannya dengan unsur benda lainnya, mengamati, dan mencari reaksi yang ditimbulkannya yang dilakukan secara berulang-ulang dan selanjtnya menarik kesimpulan sebagai teori. Selanjutnya teori yang sudah ada dipadukan dengan cara teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan percobaan serta penerapan teori ini, maka lahirlah teknologi. 20 M. Quraish Shihab,Wawasan Al- Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat , … hal. 438. 186 Waqi‟, karena sulitnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Gurunya itu mengingatkan agar mensucikan batin. 21 3. Pengembangan Sains Berdasarkan Aksiologis Selanjutnya dalam bidang aksiologi ilmu pengetahuan, bahwasanya al- Qur‟an mengingatkan selain ilmu pengetahuan agama dan umum sebagai milik Allah Swt. Dan harus diabadikan dalam rangka beribadah kepada Allah, juga harus disertai dengan memiliki sifat dan ciri- ciri tertentu pula. Antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyah tekun dan kagum kepada Allah sebagaimana ditegaskan dalam Firman Allah Swt:             Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang- orang yang berakal. Q.S. Ali „Imran: 190 Dalam konteks ayat tersebut diatas, ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam yaitu proses penciptaan langit dan bumi, serta peredaran waktu siang dan malam. Timbulnya akan sikap takut dan penuh kagum kepada Allah tersebut diatas disebabkan karena setelah para ulama atau ilmuwan mendalami ilmu pengetahuan tersebut di atas, mereka merasa bahwa kekuasaan Allah itu demikian luas, dan manusia merasa kecil dihadapannya, serta tidak mungkin untuk 21 Dalam teks Arabnya berbunyi: Syakautu ila waqi‟in suahifdzi fa arsyadani ila tarki al- ma‟ashi wa „allamani bi anna al-ilm nurun wa nur Allah la yuda lil ashi. Artinya : Aku mengadu kepada guruku waqi, karena sulitnya mengahafal, guru mengajarkan agar aku meninggalkan perbuatan maksiat. Guru memberitahukan bahwa ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya itu tidak akan ddiberikan kepada orang-orang yang berdosa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Imam Bukhori yang dikenal sebagai ulama besar dalam bidang hadits.menurut riwayat bahwa Imam Bukhori mennetukan metode dan kriteria dalam penetapan hadits yang shahih dalam kitabnya Shahih Bukhari. Menurutnya hadis shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh prawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak bertentangan dengan nas yang lebih tinggi. Ia mencoba pergi berkelana mencari hadis dari satu negri-ke negri lain, kemudian menyeleksinya dengan kreteria tersebut. Dari 300.000 hadis yang ia dapat kemudian ia teliti dengan cermat dan sampai pada kesimpulan bahwa hadis yang shahih itu hanya setengah persennya saja,yakni 1500 hadis. Namuan yang sisanya itu terlebih dahulu ia mintakan petunjuk kepada Allah dengan terlebih dahulu shalat Istiqharah.