Latar Belakang Masalah Paradigma Pengembangan Ilmu Pada Zaman Al Ma'mun

2 raya seperti langit, bumi, tumbuh-tumbuhan, bulan, bintang, binatang, air, api, udara, batu-batuan dan lain sebagainya dengan menggunakan penelitian eksperimen di laboratorium, maka yang dihasilkannya adalah ilmu alam Natural Sciencis seperti: Ilmu Kimia, Biologi, Astronomi, Fisika dan lain sebagainnya Nata, 2003: 69-70. Jika di atas objek ontologisnya masing-masing menggunakan metode yang berbeda seperti, metode ijtihad, eksperimen ijbari, observasi, maka untuk objek kajiannya menggunakan metode mujadalah atau logika terbimbing maka yang dihasilkannya adalah Filsafat dan ilmu-ilmu Humaniora. Dan jika objek ontologinya menggunakan intuisi dengan metode penyucian batin tazkiyah al-nafs , maka ilmu yang dihasilkan adalah ilmu ma‟rifah. Jika menyesuaikan pada judul penelitian ini, Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka berpikir untuk melihat suatu permasalahan. Pengertian paradigma selanjutnya berkembang dari definisi paradigma pengetahuan yang dikembangkan oleh Kuhn dalam rangka menjelaskan cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk „masyarakat ilmiah‟ dalam disiplin tertentu. Pengertian lain dari paradigma ilmiah adalah sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal normal science yang mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah. Pengertian paradigma juga menjadi gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh Bachtiar, 2006: 45. Dalam mengembangkan suatu paradigma ilmu, harus dapat melihat cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis dimensi yang membicarakan hakikat ilmu, dimensi epistemologis dimensi yang membicarakan bagaimana memperoleh ilmu, dimensi aksiologis dimensi yang membicarakan nilai ssebuah ilmu, dimensi retorik dimensi yang membicarakan tentang bahasa yang dipakai dalam pemikiran ilmu, dan dimensi metodologis dimensi yang membicarakan metode-metode memperoleh ilmu. Sebagai contoh: Jika kita berhadapan dengan seorang musuh, maka sudut padang kita adalah bagaimana caranya agar dapat menjatuhkan mengalahkan musuh tersebut, dan begitupula sebaliknya, jika kita melihat seorang teman, maka bagaimana caranya agar kita dapat mengambil kebaikan dari teman tersebut. Sejak penterjemahan buku-buku Yunani, kurikulum dalam pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat. Lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya mengajarkan ilmu agama, seperti zawwiyah, hanqoh, 3 pendidikan yang bersifat non-formal atau halaqah yang dilaksanakan di masjid-mesjid, mulai mengajarkan ilmu pengetahuan, seperti matematika, filsafat, dll. Misalnya di Kuttab, yaitu salah satu dari lembaga pendidikan tingkat dasar, pada abad pertama masa Islam hanya mengajarkan pelajaran membaca dan menulis ilmu agama Stanton,1994: 35. Sebagaimana Ahmad Shalabi berpandangan bahwa kuttab lebih fokus pada pendidikan anal-anak tentang al- Qur‟an dan isinya. Namun sejak abad 8 M, kuttab mulai mengajarkan ilmu non-agama Syalabi, 1954: 16-17. Dikarenakan lembaga pendidikan belum menghasilkan sarjana-sarjana di berbagai bidang yang Islami, maka muncul gagasan, bahwa madrasah- madrasah yang diselenggarakan oleh swasta atau pemerintah ingin memasukkan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum dalam lembaga pendidikan yang didirikannya. Gagasan semacam ini juga dilatarbelakangi sejarah umat Islam sejak abad ke-2 Hijriah sampai akhir abad ke-4 telah didirikan lembaga-lembaga pendidikan yang di bangun Darul Hikmah di Kairo dan Baghdad, disampaing ilmu agama, sastra, dan sejarah, dipelajari pula aljabar, fisika, kedokteran, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya Tamsir, 2006: 47- 48. Dalam Integrasi Ilmu, Abuddin Nata dkk. menyatakan bahwa masa awal dari Dinasti Abbasiyah pada tahun 133-766 H 750-1258 M. masa awal abad pertengahan umat Islam memiliki kekayaan ilmu dan pengetahuan Nata, 2003: 16. Akan tetapi, memasuki abad pertengahan sampai akhir abad ke-19 M. Umat Islam mengalami kemunduran, khususnya dalam bidang pendidikan Islam Rahman, 2000: 103. Faktor penyebabnya yakni: hancurnya sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan, karena serangan tentara Mongol yang mengancurkan kota Bagdad, hilangnya budaya berfikir rasional dikalangan umat Islam, dan Serangan Al-Ghazali pun turut membuat hilangya budaya berpikir ilmiah di kalangan umat Islam, karena Imam Al Ghazali mengkritik para filsuf dan tokoh rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina yang dikemukakannya dalam buku Tahafut al-Falasifah Nizar, 2008: 233- 234, Zuhairini, 2006: 109. Adapun faktor penyebab kemunduran lainnya yang terjadi di atas akibat dikotomi adalah. Pertama, pihak kaum pendukung ilmu-ilmu agama menganggap ilmu-ilmu umum itu bid‟ah atau haram dipelajari karena berasal dari orang-orang kafir, sementara para pendukung ilmu-ilmu umum menganggap ilmu-ilmu agama sebagai mitologi yang tidak akan mencapai tingkat ilmiah, karena tidak bersifat empiris Kartanegara, 2003: 2. Kedua, adanya kesenjangan tentang sumber ilmu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu- ilmu umum yakni, munculnya perbedaan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu- ilmu umum. Pada umumnya pendukung ilmu-ilmu agama hanya akan menganggap valid sumber Ilahiah dalam bentuk kitab suci yakni Al- Qur‟an dan Hadis dan menolak sumber-sumber non-skripual sebagai sumber otoritatif 4 untuk menjelaskan kebenaran sejati atau akidah. Di pihak lain ilmuwan- ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan inderawi atau dapat dibuktikan secara ilmiah Kartanegara, 2005: 22-23. Ketiga, berkenaan dengan objek- objek ilmu yang dianggap “sah”, bagi kaum sains modern segala objek yang bisa di observasi dianggap sah. Sedangkan, para pendukung ilmu-ilmu agama justru sebaliknya, objek-objek yang non-fisik metafisik seperti Tuhan, malaikat sebagai objek-objek yang mulia, yang mana bagi yang mempelajarinya akan menemukan kebahagiaan. Keempat, munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Kelima, menyangkut metode ilmiah. Sains modern seperti dikatakan oleh Zainuddin Sardar, pada dasarnya hanya mengenal satu metode ilmiah yang disebut metode observasi atau eksperimen. Sedangkan kaum agamis, mengembangkan metode-metode yang menjauhkan umatnya dari menggunakan pengamatan indra dan juga penalaran akal dalam ilmu-ilmu agama Kartanegara, 2005: 8- 9. Keenam, sulitnya mengintegrasikan berbagai pengalaman manusia, khususnya indera, intelektual, dan intiusi sebagai pengalaman-pengalaman legitimate dan real dari manusia. Sains modern dengan bias positivistisnya yang kuat sering menganggap tidak objektif seluruh pengalaman manusia selain pengalaman indrawi. Sedangkan kaum agamis dengan penekanannya yang kuat terhadap pengalaman mistik dan religious, yang memuncak pada kenabian dan pewahyuan, para ulama sering mengabaikan pentingnya pengalaman inderawi dan rasional, sebagaimana yang digeluti dalam bidang- bidang filsafat dan ilmiah, sehingga terjadi ketimpangan yang akut dalam memberikan penekanan terhadap pengalaman indrawi Kartanegara, 2005: 8- 9. Kebenaran di atas, penulis maksudkan adalah dalam hal akidah, satu- satunya sumber yang otoritatif untuk mencapai kebenaran melalui al- Qur‟an dan al-Hadits, sedangkan akal tidak mampu mengetahui mana yang baik atau yang buruk, karena informasi tentang itu hanya bisa dicapai melalui kitab suci bukan dalam hal ilmu pengetahuan. Bahwasanya sains modern Barat sering menganggap rendah setatus keilmuan dari ilmu-ilmu keagamaan, bahkan ketika yang terakhir berbicara tentang hal-hal ghaib maka ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah. Karena ilmu-ilmu tersebut dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris, padahal ilmu-ilmu agama pasti akan berbicara ihwal yang gaib, seperti Tuhan, Malaikat dan sebagainya sebagai pembicaraan yang pokok mereka. Bahkan dalam pandangan Syafi‟i Ma‟arif yang dikutip oleh Moh. Sofwan mengatakan bahwa: Pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendidikan atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun. Dua model yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang 5 bercorak tradisionalis ketimuran, yang dalam perkembangannya lebih menekankan aspek doktriner-normatif yang cendrung eksklusif- apologestis . Adapun model yang kedua adalah pendidikan Islam yang modernis ala barat yang pada perkembangannya ditenggarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya trasendental ” Sofwan, 2004: 6. Implikasi dari anggapan ini terhadap paradigma umat Islam, ternyata menimbulkan konsekuensi yang tidak baik. Tidak sedikit umat Islam berlomba-lomba untuk menjadi beriman atau orang alim dengan mempelajari ilmu agama saja, dengan alasan untuk tujuan akhirat dan mengabaikan ilmu umum. Dampak yang terjadi yakni sedikit sekali umat Islam yang mempelajari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi iptek, padahal hal tersebut adalah cerminan dari budaya yang maju pada sebuah bangsa atau negara. Pada akhirnya perkembangan iptek dikuasai oleh orang-orang Barat, dimana sebelumnya Barat pernah di tutupi kegelapan atau disebut The Dark Age , akibat dari otoriter gereja, yang menjadikan agama Kristen menjadi agama resmi Negara dan berkuasa Burn, 1964: 37, Paus dan pemuka- pemuka agama Kristen kala itu menetapkan beberapa teori ilmu pengetahuan dan mensucikannya sehingga menjadi teori yang tidak terbantahkan. Siapa pun yang menentang otoriter gereja akan menghadapi pengadilan di mahkamah gereja inkuisisi Burn, 1964: 246-247. Akhirnya, masa kejayaan yang pernah terjadi, sebutan untuk umat Islam tidak lebih dari sekedar kaum tradisional, atau sebutan lain yang terkesan ortodok. Sementara umat Islam sedang mencapai puncak kejayaannya. Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan sudah dikembangkan. Mulai dari ilmu eksak seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, optik, teknik, hingga ilmu-ilmu non-eksak seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Lebih dari sepuluh abad dari abad 6 M hingga 16 M umat Islam menguasai kemajuan iptek dan menjadi penghulu bagi dunia saat itu Titus, 1985: 36. Kejadian di atas, demikian jelas sangat bertolak belakang dengan keadaan yang pernah terjadi pada pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Mereka sangat menghargai dan mencintai ilmu pengetahuan, sebagaimana ilmuan Muslim pada masa tabi‟in atau sesudahnya. Al- Qur‟an dan al-Sunah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Yang ada dalam al- Qur‟an adalah ilmu. Sedangkan pembagian adanya ilmu agama dan ilmu umum sejatinya merupakan hasil dari kesimpulan manusia yang mengidentifikasikan berdasarkan objek kajiannya. Tergantung ontologisnya yang dibahas berdasarkan pada wahyu seperti; Fiqih, Tafsir, Tasawuf dsb. ataukah pada alam jagat raya atau berdarkan pada pengamatan dan eksperimen seperti; fisika, biologi, kimia, astronomi dsb Kartanegara, 2005: 16. Dengan demikian para ulama, baik di era klasik maupun kontemporer, selama mereka 6 berpedoman kepada al- Qur‟an dan al-Sunah yang mendorong mengembangkan ilmu pengetahuan, tradisi ilmiah yang kuat, dukungan dari penguasa, stabilitas politik, struktur sosial dan pendidikan yang turut mewarnainya, baik formal, nonformal dan informal. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam mampu menguasai ilmu pengetahuan, sains dan teknologi melebihi atau melampaui kemampuan umat sebelumnya dan umat yang lain sezamannya. Umat Islam mampu menguasai ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, ilmu pasti, ilmu alam, ilmu hitung dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Semua hal itu tidak terlepas dari peran dan aktivitas para ilmuwan muslim yang selalu menggali, mendalami, memahami serta mencari berbagai rahasia alam dan ilmu pengetahuan yang tersimpan dalam al-Qu r‟an. Para ilmuwan muslim menempatkan al-Qur‟an sebagai sumber juga sebagai paradigma kerangka berpikir dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak berbagai penemuan para ilmuwan muslim yang sangat mengagumkan dalam dunia sains dan teknologi. Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama dikenal yaitu sejak awal Islam. Pada masa awal, pendidikan identik dengan upaya da‟wah Islamiyah , karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan agama itu sendiri. Fazlur Rahman, menyatakan kedatangan Islam membawa untuk pertama kalinya suatu instrumen pendidikan tertentu yang berbudayakan agama, yaitu al- Qur‟an dan ajaran ajaran nabi Muhammad sendiri Rahman,2000: 263. Tetapi, perlu digaris bawahi pula, bahwa pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara Syalabi, 1954: 1. Bahkan keadaan pada saat umat Islam mengalami puncak kejayaan yang sangat luar biasa, di zaman dinasti Abbasiyah. Umat Islam menoreh prestasi yang gemilang di mata dunia. Perubahan tersebut terjadi setelah tahun 750 M. Konesp paradigma mengembangkan ilmu pengetahauan dalam Islam, sebagaimana yang dipraktikan para ulama dan ilmuan Islam di zamna klasik Nata, 2012: 4-5. Gerakkan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja‟far al-Mansur dinasti Abbasiyah. Setelah ia mendirikan kota Baghdad 144 H762 M dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid, sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang berasal dari luar al-Gurabi, 1954: 137. Strategi penguasa daulah Abbasiyah, oleh karenanya banyak memperkerjakan kaum terpelajar sebagai staff pemerintahan Jenggis, 2011: 51. Di sisi lain masa puncak kejayaannya, umat Islam menguasai peradaban dunia, di mana pada saat itu negara-negara barat masih berada dalam kegelapan the dark age atau lebih tepatnya hampir mendekati pada kehancuran Dawson, 1962: 151. Negara-negara Barat umumnya masih dalam 7 cengkeraman pengaruh dogma-dogma gereja yang amat sangat otoriter, jika dilihat secara politis sebenarnya dalam rangka melindungi kekuasaan kerajaan. Semua orang yang berpikir kritis, meskipun hasil pemikiran ilmiah, yang berguna untuk ilmu pengetahuan dan kemajuan, tetapi berbeda dengan paham yang dianut gereja selama ini, diberantas, bahkan tidak sedikit yang akhirnya dihukum mati karenanya karena tidak sepaham oleh peraturan yang dibuat oleh gereja Jenggis,2011: 55. Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya di tahun 1616 Hart, 1982: 56. Hal tersebut pernah terjadi pada ilmuwan Barat yang bernama Galileo Galilei pada tahun1042 M, saat itu Galileo dipaksa merubah keyakinannya tentang Heliocentris karena bertentangan dengan paham gereja yang menganut paham Geocentris. Paham Heliocentris adalah paham yang menyatakan bahwa dalam tata surya, bumi mengelilingi matahari, yakni matahari sebagai pusat peredaran. Sedangkan Geosentris meyatakan bahwa bumi sebagai pusat peredaran, planet-planet lain termasuk matahari mengelilingi bumi Ahmed, 1997: 5. Galileo Galilei merupakan tokoh utama selain Descartes yang melakukan matematisasi alam. Ia mentransformasikan buku tentang alam, yang telah dianggap oleh umat Islam, Kristen, Yahudi berabad-abad lamanya sebagai tanda-tanda Allah sign of god, kedalam sebuah buku matematika yang dipahami oleh pengetahuan matematis-bawaan pikiran manusia. Di satu sisi juga mengidentifikasi bahwa paradigma dikotomis yang nondiskriminatif dapat membawa pada penyatuan ilmu Nasr, 1996: 136. Pemikiran Galileo ternyata sejalan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan apa yang terdapat dalam kitab suci Al-Q ur‟an Ahmed, 2000: 7. Dalam masa rezim dan kekuasaan Islam di kala kejayaannya, pada masa dinasti Abbasiyah, pemerintahan Islam justru memfasilitiasi transformasi ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat. Penterjemahan terhadap karya-karya ilmu pengetahuan Yunani dilakukan besar-besaran. Di mana Yunani sudah memiliki banyak kemajuan dalam kajian teori, namun belum dapat dikembangkan. Tokoh-tokoh besar yang memajukan ilmu pengetahuan, baik di bidang ilmu-ilmu kedokteran, sosial dan ilmu pasti muncul dari kalangan umat Islam. Merekalah yang menjadi pelopor ilmu kedokteran, astronomi, sastra, aljabar, kimia, seni, sosial dan sebagainya. Maka sudah sepantasnya umat Islam dapat menjadi pusat perhatian dunia, karena peradaban yang sangat maju dan berkembang Rahman, 2000: 104. Para Cendikiawan muslim bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, tetapi menambahkan ke dalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan falsafat. Dengan demikian timbulah ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filosof-filosof Islam. Filsof-filsof Islam, sebagaimana halnya dengan filosof- filosof Yunani, bukan hanya mempunyai sifat filsof, tetapi juga sifat ahli ilmu pengetahuan. Karangan-karangan mereka bukan hanya terbatas dalam lapangan 8 falsafat, tetapi juga lapangan ilmu pengetahuan Nasution, 1985: 71. Penerjemahan buku-buku Yunani merupakan salah satu faktor dalam gerak intelektual yang dibangkitkan dalam dunia Islam abad ke-9 dan terus berlanjut sampai abad ke-12 Saefuddin, 2002: 8. Ironisnya ketika dalam puncak kejayaannya, umat Islam justru terbawa derasnya arus kebudayaan, yaitu proses dari akibat akulturasi atau mungkin juga diakibatkan karena kekurang kehati-hatian umat muslimin itu sendiri terhadapnya. Mereka telah memasukkan ke dalam ilmu-ilmu yang mereka kaji, teori-teori yang bertentangan dengan ajaran Islam, sepertiyang telah diuraikan oleh Al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah Kehancuran para Filsuf. Buku tersebut dibuat karena berkecamuk pemikiran bebas yang membuat banyak orang meninggalkan ibadah Majid ed, 1984: 33. Akhirnya, terjadi pulalah pertentangan yang hebat di kalangan ilmuwan Islam dan tokoh agama Islam Zaini, 1989: 9. Menurut Fuad al-Ahwani dalam bukunya berjudul Filsafat Islam, mengatakan: Pertentangan sebenarnya berawal sejak terjadinya percampur adukan antara ilmu filsafat dan ilmu kalam setelah abad 6 H. Ilmu kalam menelan mentah-mentah kaidah-kaidah ilmufi lsafat yang kemudian dituangkan ke dalam berbagai buku dengan nama ilmu tauhîd, yakni pembahasan problem ilmu kalam dengan menekankan penggunaan semantik logika Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh kaum filosof Ahwani , 1985: 22. Sejak saat itu, sampai berabad-abad lamanya umat Islam tidak mau mendekati ilmu filsafat yang dianggap dapat membawa kepada kekafiran dan atheisme. Hal ini juga semakin diperparah oleh beberapa ulama yang kemudian mengeluarkan fatwa-fatwa yang mengharamkan ilmu pengetahuan, terutama ilmu filsafat, serta mengkafirkan orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Lebih parahnya lagi, orang-orang yang mempelajari dan mengajarkannya ditangkap lalu dipenjarakan dan disiksa, serta buku-bukunya dibumi hanguskan, seperti yang dialami oleh Al-Rukn dan Ibn Rusyd. Meskipun Ibnu Rusyd sangat berhati-hati agar buku fiqih dan filsafatnya tidak menyinggung orang lain, dengan mengemukakan pendapatnya secara tidak langsung, akan tetapi tetap saja masih mendapat serangan yangbelum pernah di terima pemikir sebelumnya. Ia dianggap kafir dan bukunya pun di bakar Amin, 1995: 192. Bahwasanya pemilahan bukan pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, meskipun dengan maksud dan arah yang mungkin tidak persis sama, penulis juga mendapati cendikiawan muslim, seperti Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Jama‟ah, Syafi‟i, Ibnu Khaldun al-Qabisi, dan al-Zarnuji, karena kecenderungannya terhadap agama, perioritas terhadap ilmu umum dengan 9 ilmu agama, sehingga memiliki implikasi pada tatanan paradigma keilmuan masyarakat Sopyan, 2010: 120-121. Al-Ghazali dalam bukunya, Ihya „Ulûm al-Dîn, juga mengklasifikasikan ilmu pengetahuan kepada dua macam ilmu, yakni 1 ilmu syar‟iyyah, dan 2 ilmu ghairu syar‟iyyah. Ia memandang bahwa ilmu syar‟iyyah adalah ilmu wajib yang tidak diragukan lagi dampak bagi penuntutnya, sedangkan ilmu ghairu syar‟iyyah termasuk ilmu yang diserahkan pencapaiannya kepada manusia melalui penangkapan pancainderanya, penalaran hatinya dan penghayatan hatinya al-Ghazali, t.t: 5. Berbeda dengan ilmu syar‟iyyah yang bersifat wajib dan sudah jelas kebenarannya, kebenaran ilmu-ilmu ini bersifat relatif yang tingkat validitasnya masih sangat terbatas karena perbedaan pemaknaan dan penafsiran setiap individu, sehingga tidak wajib mempelajarinya dan tergantung kepada minat masing-masing individu. Sedangkan dalam kitab al-Mustashfa miliknya, dalam kitab ini menjelaskan bahwa Ghazali mengkalisifikasikan hukum agama harus diambil dari ajaran-ajaran wahyu bukan dari akal manusia. Pemikiran ini merupakan bentuk antisipatif terhadap pemikiran Mu‟tazilah yang menyatakan bahwa akal manusia termasuk sumber syari‟at Islam. Dalam sejarah Islam memang didapati bahwa dalam perjalanan rezim dan politik Islam telah mengalami suatu kejadian yang memicu resistensi umat Islam terhadap ilmu-ilmu non-agama. Ketika al- Ma‟mun berkuasa, ia meneruskan jejak ayahnya Harun al-Rasyid dengan mendirikan Baitul al Hikmah Yunus, 1992: 62-63. suatu lembaga perguruan tinggi dan memiliki perpustakaan rasional untuk kegiatan penelitian dan penterjemahan pada 830 M. Asrorah, 1992: 30, Nasution, 1985: 68. Kejadian-kejadian politis yang bisa diketengahkan di antaranya adalah pada masa pemerintahan khalifahaAl- Ma‟mun zaman dinasti Abbasiyah yang menerapkan Mihnah ujian bagi orang-orang yang menempati posisi penting di pemerintahan, termasuk juga para pemuka masyarakat. Hal ini terjadi karena khalifah Al- Ma‟mun yang berpaham Mu‟tazilah kemudian menjadikan paham tersebut sebagai paham resmi negara. Pada waktu itu, yang sedang hangat diperdebatkan adalah isu tentang mempersoalkan apakah Al- Qur‟an itu bersifat qodim atau tidak. Istilah lainnya adalah apakah Al- Qur‟an itu makhluk atau bukan? Zahra, 1996: 176. Yang tergolong persoalan yang memunculkan mahkamah pemeriksaan yang pertama dalam sejarah Islam. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan Negara daulah lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah, sehingga hilanglah persaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam dan sebalinya menjadi permusuhan Al-Sayyis, t.t: 111. Fenomena politik khalifah al- Ma‟mun dalam pemaksaan paham Muta‟zilah dalam persepektif teori analisis diskursus kemunculan sebuah institusi, praktik dan konsep hangat terkait dengan empat hal: will keinginan, power kekuasaan, discipline disiplin dan regime pemerintahan Zahrah, 10 1996: 175. Hal tersebut dikenal dengan sebutan formasi diskursif discursive formations , bangunan yang mendasar adanya sebuah diskursus. Analisis diskursus ini memberikan pemahaman, bahwa khalifah al- Ma‟mun menginginkan ilmu pengetahuan yang berkembang tetap terkontrol dan dibatasi oleh pemerintah dan paham Mu‟tazillah sebagai tamengnya Al- Sayyis, t.t: 509. Akan tetapi akibat peristiwa Mihnah tersebut, banyak pemuka-pemuka Islam dari ahli fiqh dan hadits yang disiksa karena tidak sejalan dengan paham al- Ma‟mun yang menyatakan bahwa al-Qur‟an tidak qadim atau al-Qur‟an adalah makhluk Zahrah, 1996: 176. Hal ini jelas menyulut kemarahan umat Islam kala itu. Implementasi ajaran Mu‟tazilah yang dipengaruhi filsafat dan bersifat rasional, telah menimbulkan peristiwa yang menyakitkan mayoritas umat Islam, sehingga mereka membenci dan menentang ilmu-ilmu yang bersifat rasional. Puncaknya atau klimaksnya, umat Islam kemudian menjauhi dan membenci semua ilmu non-agama kecuali sebagian kecil saja seperti ilmu hitung hisab karena diperlukan dalam ilmu faraidh ilmu pembagian pusaka atau waris Hanafi, 1996:19. Akan tetapi umat Islam yang eksis pada era kontemporer ini berhutang kepada khalifah al- Ma‟mun karena dia adalah khalifah yang paling banyak perhatiannya pada perkembangan ilmu pengetahuan, maka layak jika kahlifah al- Ma‟mun disebut sebagai khalifah sains. Bahkan ia yang pertama kali mendirikan gerakan pemikiran dalam sejarah, sekaligus pemakarsa paling besar dalam penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani Masood, 2009: 46. Al- Ma‟mun ingin umat Islam maju dalam segala hal, terutama dalam ilmu pengetahuan. Ia mengajak umat Islam agar selalu menggunakan akal berfikir. Oleh karena itu dengan adanya Mihnah, al- Ma‟mun agak keras terhadap umat Islam, terutama masalah qodariyah. Akan tetapi yang mendikotomi ilmu bukanlah al- Ma‟mun, karena sudah jelas arah dan tujuannya agar umat Islam maju dengan menggunakan akal berfikir rasional, dan orang yang membuat menjauhi ilmu adalah orang-orang setelah al- Ma‟mun yang tidak suka dengan cara al- Ma‟mun. Seorang pakar sejarah sains dari universitas Harvad, Abdel Hamid Sabra pernah menuturkan dalam Ahmad P. Jengis : Gerakan penterjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab mewakili fase pertama dari tiga tahap Islamisasi sains. Beliau menyebutkan: Pertama . Sebagai fase peralihan atau akuisisi, di zaman sains Yunani memasuki wilayah peradaban Islam bukan sebagai kekuatan penjajah, melainkan sebagai tamu yang diundang. Kedua. Adalah fase penerimaan atau adops i, dimana Umat Islam mulai mengambil dan menikmati karya-karya ilmiah yang dibawa sang tamu. Lahirlah orang- 11 orang seperti Jabir ibn Hayyan, al- Kindi, dan Abu Ma‟asyar. Ketiga. Tahap selanjutnya, fase asimilasi dan naturalisasi. Pada tahap ini umat Islam bukan hanya sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan mengolah karya-karya ilmiah sendiri, menciptakan karya-karya baru, bahkan menyebarkan ke masyarakat luas. Inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawarizmi dan Umar al Khayyam dalam Matematika, Ibnu Sina dan Ibn an Nafis dalam kedokteran, Ibn Haytsam dan Ibn al Syatir dalam Astronomi, al Biruni dan al Idris dalam Geografi, dan masih banyak lagi sederetan ilmuwan-ilmuwan muslim lainnya Jenggis P., 2011: 51-52. Di samping itu, kejadian lainnya yang bisa dianggap besar pengaruhnya adalah fatwa yang sangat keras dari peranan al- Asy‟ari dengan kapasitas intelektualnya tentang hukum mempelajari ilmu filsafat, yang kemudian menjadi pegangan penting bagi golongan Ahl al-Sunnah. Dengan meminjami metode Mu‟tazilah, berhasil merumuskan paham Suni Majid, 2000: 34. Sebelumnya, memang beberapa tokoh sudah menghujat dan menentang ilmu filsafat seperti Ibn Hazm, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim, tetapi pengaruhnya tidak sehebat pengaruh fatwa al- Asy‟ari Zaini, 1989: 9. Munculnya fatwa di atas secara otomatis pendidikan Islam kehilangan dimensi dialektikal konkret kemanusiaan dan memunculkan dimensi vertikal keabadian. Seharusnya antara kedua dimensi tersebut menjadi karakteristik utama pendidikan Islam. Artinya, secara filosofis pendidikan Islam tidak hanya menyentuh persoalan hidup yang multidimensional di dunia, tetapi juga menyangkut dimensi transendental. Akan tetapi sejarah mencatat tidak demikian. Menurut Abuddin Nata, sejarah Islam mencatat bahwa sejak abad pertengahan 13 M sampai dengan awal abad modern 18M perhatian umat Islam lebih banyak tertuju pada ilmu-ilmu agama, moral, tasawuf sebagaimana yang dikemukakan di atas. Nata, 2012: 2. Sedangkan al Ghazali dan Ibn Taimiyah, mengajak umat Islam untuk membangun kerangka berfikir memahmai Islam secara benar. Al Ghazali dan Ibn Taimiyah mengemukakan kesalahan terbesar ulama Islam adalah terseretnya pemikiran mereka dalam arus pemikiran filsafat Yunani, dimana filsafat mengajarkan kemerdekaan untuk berfikir bebas yang telah merusak pola berfikir umat Islam di bidang kalam dan tidak mustahil akan merembet pula dalam pemikiran hukum Islam. Bagi al-Ghazali pemikiran semacam itu akan berbahaya terhadap subtansi ajaran Islam dan harus ditolak. Karena akan mengakibatkan budaya sekuler, seperti, mempercayaai sepenuhnya akal dibandingkan dengan wahyu Nata, 2012: 2. Kejadian ini terus berlanjut berabad-abad lamanya, hingga memasuki abad ke-20 M. umat Islam baru menyadari adanya sesuatu yang telah hilang dari mereka, yakni budaya mengeksplorasi ilmu pengetahuan. 12 Munculnya Islam sebagai sebuah agama yang membawahi suatu tujuan untuk memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Islam merupakan salah satu agama yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Al- Qur‟an sebagai sebuah kitab suci telah memancarkan sinar cahaya ilmu pengetahuan bagi para ilmuwan Muslim. Al- Qur‟an dijadikan sebagai sumber dan kerangka berpikir dalam merenungkan kekuasaan Allah dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi bagi para ilmuwan Muslim. Alam jagat raya adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan, dengan memahami dan mengkaji alam jagat raya maka para ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam sains, seperti ilmu tumbuh-tumbuhan flora, makhluk hidup biologi, binatang fauna, perbintangan dan planet astronomi, benda cair dan keras fisika, melalui ilmu-ilmu murni ini lahir ilmu botani, kimia, kedokteran dan lain sebagainya. Dengan menyadari alam sebagai ciptaan dan ayat Allah, maka manusia semakin memahami alam dengan segala hukum, hikmah, dan rahasia yang terkandung di dalamnya, maka manusia akan menyadari kelemahan dirinya sekaligus bersyukur kepada-Nya. Dengan cara demikian seorang ilmuan dengan ilmunya yang luas dapat digunakan, mengenal, mendekati, dan mencintai Allah Swt. sebagaimana Ian Babour dikatakan dengan ungkapan menemukan Tuhan dalam sains Babour, 1997: 87. Terjadinya perkembangan ilmu yang selanjutnya melahirkan paradigma budaya dan peradaban, karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu al- Qur‟an dan Sunah yang memerintahkan manusia menggunakan daya cipta pikiran, rasa potensi batin, karsa potensi fisik, yang digunakan untuk membaca, menulis, dan meneliti baik yang bersifat bayani, burhani, ijbari, jadali maupun irfani. Faktor yang bersifat internal ini dapat pula disebut faktor yang disengaja, yakni Allah Swt. dan Rasul-Nya secara sengaja menjadikan Islam sebagai agama ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan peradaban. Adapun faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar ajaran Islam, yakni faktor yang sudah ada sebelum datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. namuan demikian, dari segi pemanfaatnnya berbagai faktor tersebut ada juga dilakukan secara sengaja, yakni dilakukan atau usaha, dorongan dan dukungan dari khalifah yang berkuasa pada waktu itu. Ketika para ilmuwan Muslim atau umat Islam mulai mengabaikan, meninggalkan serta menjauhkan kajian al- Qur‟an yang mendalam dari aktivitas keilmuan dan aktivitas kehidupan, maka di situlah titik awal kemunduran umat Islam. Dan jika hal itu terus berlangsung sampai saat ini, dan kalau ada kajian- kajian al- Qur‟an itu hanya sebatas kajian biasa bukan kajian yang mendalam. Suatu kajian untuk menemukan rahasia alam dalam al- Qur‟an. Al-Qur‟an dan hadits telah dijadikan sebagai dasar bagi semua aktivitas ilmiah dalam sejarah 13 Islam. Paradigma atau sudut pandang yang paling dominan dalam mendukung pengembangan ilmu adalah faktor yang bersifat nonfisik, seperti faktor motivasi dan niat yang tulus, kesungguhan dalam meneliti, orientasi kehidupan yang lebih mengutamakan segi-segi yang bersifat inteletual, moral, dan spiritual, serta penghargaan terhadap orang-orang yang mendalami ilmu agama dan umum. Keadaan ini semakin diperkuat lagi oleh adanya dominasi kekuasan dan pengaruh para ulama dan ilmuwan di masyarakat. Menurut Abbuddin Nata, di masa sekarang saat dimana para ulama dan ilmuwan kurang dihargai dan tergeser peran dan kedudukannya oleh kekuasaan para penguasa, menyebabkan ukuran ketinggian suatu bangsa bukan lagi ilmu, moral dan spiritual, melainkan hal-hal yang bersifat materialistic, hedonistik, kapitalistik, dan skularistik yang di sertai dengan terjadinya kehancuran di bidang moral dan akhlak mulia. Faktor-faktor yang bersifat nonfisik inilah yang saat ini dapat dikatakan mengalami krisis, sehingga walaupun secara ekonomi, teknologi dan keamanan sudah meningkat, namun tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan gerakan intelektual Nata, 2012: 18-19. Paradigma sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis mau pun tindak perilaku seseorang Sitanggang, Rinto, 2010: “http:www.docstoc.com.. Karena paradigma sangat menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui. Paradigma pulalah yang mempengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk, adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang melihat sesuatu realitas sosial yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan perbedaan paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi persepsi dan tindak komunikasi seseorang. Berdasarkan dari latar belakang di atas, penulis sekiranya memandang bahwa persoalan pengembangan terhadap ilmu dalam pendidikan Islam adalah kunci permasalahannya terhadap kemajuan atau kemundurannya umat Islam, karena pandangan seseorang terhadap ilmu pengetahuan akan menentukan sikapnya ke depan, apakah ia akan mengutamakan, akan menganggap biasa- biasa saja, atau bahkan akan sangat tidak peduli dan meninggalkannya. Itu semua menjadi semacam spirit kehidupan bagi berkembanganya budaya eksplorasi ilmu pengetahuan untuk masyarakat Islam. Jika melihat daripada paradigma dengan meninjau ulang sejarah keilmuan abad pertengahan antara abad 8-12, maka dapat didapati bahwa ilmu pengetahuan berkembang dibangun oleh ilmuwan Islam dengan sangat pesat, bahkan mewarnai dunia saat itu. Tradisi keilmuan berkembang hingga mampu melahirkan karya-karya besar dan monumental. Padahal jika diukur dengan kondisi infra struktur yang ada saat itu belum cukum memadai dan kurang mendukung bagi perkembangan keilmuan tersebut. Akan tetapi, meski 14 demikian bagaimana itu dapat terwujud? Apa sebetulnya yang mendorong perkembangan ilmu sejak saat itu? Apakah karena epistemologinya, ontology atau aksiologi yang benar? Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang ada, penulis mencoba meneliti tentang Paradigma pengembangan ilmu pada zaman al- Ma‟mun priode klasik melalui adanya pengembangan dari fenomena- fenomena alam jagat raya yang menghasilkan ilmu alam natural sciencis. Penulis mencoba memaparkannya melalui pendekatan perspektif sejarah Islam Islamic historical perspective, dimana perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam pada puncaknya dengan mengetengahkan judul “Paradigma Pengembangan Ilmu Zaman Al- Ma‟mun 813 -833 M”.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat di identifikasi permasalahan sesuai dengan judul penelitian ini, maka dapat di identifikasikan beberapa hal, diantaranya: a. Siapakah sebenarnya al-Ma‟mun itu? b. Paradigma atau sudut pandang bagaimanakah pengembangan ilmu pengetahuan yang ada pada zaman al-M a‟mun itu? c. Apakah yang dimaksud dengan paradigma pengembangan ilmu? d. Bagaimana peranan atau langkah-langkah apa saja yang dilakukan al- Ma‟mun dalam mengembangkan peradaban Islam di era klasik? e. Tradisi intelektual yang berkembang bagaimanakah di zaman al-Ma‟mun? f. Ilmu pada fenomena apa saja yang berkembang pada masa kepemimpinan al- Ma‟mun? g. Institusi-institusi apa saja yang berkembang pada kepemimpinan al- Ma‟mun? h. Bagaimanakah peranan ulama dan ilmuan dalam mengintegrasikan ilmu pengtahuan?

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang didapatkan, agar tidak meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka akan dibatasi hanya pada : a. Biografi al-Ma‟mun b. Paradigma Pengembangan sains c. Pengembangan institusi-institusi pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun d. Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan ilmu pada pemerintahan zaman al- Ma‟mun e. Tradisi intelektual yang berkembang f. Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains g. Hasil pencapaian al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu pengetahauan 15 h. Pengembangan sains dan pengaruhnya terhadap kemajuan Masyarakat Islam i. Ilmu-ilmu yang integrated Tauhid berdasarkan pada fenomena alam

3. Perumusan Masalah

Setelah membatasi permasalahan di atas main research question pada penelitian ini adalah “Paradigma Pengembangan Ilmu bagaimanakah yang di kembangkan atau digunakan pada zaman al- Ma‟mun? maka sub dari permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut: a. Siapakah al-Ma‟mun itu? b. Apa yang dimaksud paradigma pengembangan sains? c. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains? d. Hasil bagaimanakah, yang dapat dicapai al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains ?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan permasalahan dalam penelitian ini, maka tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Mengungkap fakta tentang pengaruh paradigma pengembangan terhadap sains dalam sejarah pendidikan Islam pada zaman al- Ma‟mun. 2. Menganalisis secara kritis fakta sejarah tentang Paradigma pengembangan ilmu pengatahuan dan pengaruhnya dalam pendidikan Islam, kemudian menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga bagi umat Islam terutama dalam mengelola sistem pendidikannya. 3. Menemukan akar-akar sejarah tentang proses terjadinya pengembangan sains pengetahuan dalam pendidikan Islam pada priode klasik khususnya pada zaman al- Ma‟mun.

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Manfaat atau signifikansi penelitian ini, seiring dengan semangat yang diharapkan dari tujuan penelitian,maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini diantaranya: 1. Menjelaskan sejarah tentang paradigma pengembangan ilmu dan pengaruhnya dalam pendidikan Islam, serta kontribusinya yang sangat berharga bagi Masyarakat Islam terutama dalam sistem pendidikan Islam. 2. Memberikan informasi tentang sejarah atau proses pengambangan sains pengetahaun dalam pendidikan Islam zaman klasik. 3. Mengetengahkan informasi tentang fakta pengaruh paradigma pengembanagn terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam.