Prinsip-Prinsip Pengembangan Sains dalam Islam zaman Al-

182 pengetahuan berbeda dengan prinsip politik yang bertumpu pada mencari pembenaran” Nata, 2011: 383-384. Keempat . Prinsip kesesuaian dengan agama. Sebagaimana dikemukakan dalam prinsp tauhid tersebut, bahwa semua sumber ilmu dalam Islam pada hakikatnya berasal dari Allah, maka dari itu ilmu pengetahuan yang bersumber pada kajian alam jagat raya pasti akan sejalan dengan pengetahuan yang berasal dari wahyu. Dengan demikian, antara ilmu agama dan ilmu umum tidak boleh bertentangan. Jika ada pertentangan antara ilmu agama dan ilmu umum, maka harus diperbaiaki adalah pendapat ilmu. Kelima . Prinsip terbuka dan manfaat. Dalam Islam bahwa ilmu yang dihasilkan oleh seseorang ilmuwan bersifat terbuka dan menjadi milik bersama. Dengan sifatnya yang demikian, maka tidak oleh seorang pun melarang membaca hasil temuan seorang ulama. Dengan sifat yang terbuka, maka ilmu tersebut juga boleh dikritik atau dibatalkan oleh ilmuwan lain. Dengan prinsipnya yang demikian itu, maka ilmu pengetahuan akan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam Islam bahwa ilmu yang dihasilkan oleh seorang ilmuwan harus bermanfaat atau berguna bagi peningkatan kesejahteran umat manusia, baik secara jasmani maupun rohani. Dalam Islam, ilmu bukanlah tujuan, melainkan hanya sebagai alat dan ilmu bukan hanya untuk ilmu, melainkan ilmu untuk kemaslahatan umat manusia. Dengan cara demikian, setiap orang yang mengembangkan ilmu pengetahuan akan memiliki kontribusi bagi kesejahteraan umat manusia Nata, 2011: 38-385. Didalam ajaran agama Islam, bahwasanya segala ilmu itu hakikatnya adalah bersumber dari satu zat, yakni Allah Swt. Sebagai sumber daripada segala ilmu. Hal tersebut dilansir dan ditegaskan oleh Allah dalam firmannya Q.S. al- An‟am ayat 73 sebagai berikut:                               “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah” lalu terjadilah, dan di tangan Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia Mengetahui yang ghaib dan yang 183 nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dep. Agama R.I, t.t: 136. Dari interpretasi ayat diatas, menegaskan bahwasanya Allah yang Maha Mengatahui yang ghaib dan yang nampak sebagai dimensi dari seluruh benda di alam raya ini, ghaib yang non fisik atau immaterial dan fisik atau material, karena memang aspek ontologis dan epistemologis ilmu dalam Islam meliputi keduanya, yakni yang material fisik dan immaterial non- fisik. Dalam hal ini, Ibn „Abbas menyebut yang ghaib sebagai apa yang tersembunyi pada manusia dan yang nampak sebagai aktivitas manusia al-Fairuzabadi, t.t: 90. Disamping itu juga Allah menegaskan dalam dialognya dengan para malaikat di awal penciptaan Nabi Adam yang akan didaulat menjadi kholifah di bumi. Disaat para malaikat menolak dan mempertanyakan alasan Allah memilih Nabi Adam, maka Allah kemudian mengungkapkan kelebihan Adam yang telah diberikan semua nama, yakni ilmu. Dalam ayat ini bahwasanya manusia diberikan potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda. Ia juga dianugrahi potensi untuk berbahasa Shihab, 2002: 143. Bahkan juga sering dikaitkan dengan pandangan Islam secara umum mengenai ilmu ini adanya perintah Tuhan, langsung maupun tidak langsung, kepada manusia untuk berfikir, merenung, menalar, dan lain sebagainaya. Banyak sekali seruan dalam kitab suci kepada manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan, gugatan, atau perintah supaya berfikir, merenung dan menalar. 17 Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa al- Qur‟an dan Hadits memiliki pandangan yang integrated, baik pada dataran ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Pandangan ini jauh lebih unggul dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu-ilmu 17 Nurcholis Majid dalam kerangka ini memetakan bahwa perkataan „aql akal, dalam kitab suci tersebutkan sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah dalam surah al-Anfal ayat 22, “Sesungguhnya seburuk-buruknya makhluk melata di sisi Allah ialah mereka manusia yang tuli dan bisu, yang tidak mengguna kan akalnyala ya‟qilun. Perkataan fikr pikir tersebut sebanyak 18 kali, dalam bentuk kata kerja lampau , dan 17 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah Q.S Ali Imran 3 ayat 191; “… Mereka yang selalu mengingat Allah pada saat berdiri, duduk maupun diatas lambung berbaring, serta memikirkan kejadian langit dan bumi ”. Yang sama maknanya dengan aqal dan fikir ialah tadabbur merenungkan, yang dua kali tersebutkan dalam kitab suci, kedua-duanya tentang sikap yang diharapkan dari manusia terhadap Al- Qur‟an. salah satunya ialah Q.S. Muhammad 47 ayat 24, “Apakah mereka tidak merenungkan Al- Qur‟an, ataukan pada hati dan jiwa mereka ada yang menyumbatnya ?”, Juga perkataan Ibrah bahkan renungkan atau pelajaran, yang tersebutkan dalam kitab suci sebanyak 6 kali, antara lain dalam Q.S. Yusuf 12 ayat 111; Dalam kisah-kisah mereka itu sungguh terdapat bahan pelajaran bagi orang yang berpengertian mendalam…”. 184 pengetahuan yang dikembangkan di Barat yang bersifat pasial, tidak utuh dan tidak kokoh, sehingga mudah sekali ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan yang dapat menghancurkan harkat dan martabat manusia. H. Paradigma Pengembangan Sains Integrated yang Berbasis pada Tauhid di Zaman Al- Ma’mun Berikut ini adalah pengembangan ilmu pada aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis yang digunakan oleh para ulama atau ilmuwa pada zaman klasik sebagai berikut:

1. Pengembangan Sains Berdasarkan Ontologis

Menurut Al-Qu r‟an dan hadis bahwa sumber ilmu ontology pengetahuan bukan hanya alam jagat raya fenomena alam, perilaku sosial fenomena sosial dan kekuatan daya pikir ratio sebagaimana yang dianut dalam masyarakat Barat, melainkan juga ayat-ayat al- Qur‟an dan matan Hadis Rasulullah, serta intuisi atau ilham. Dengan demikian, sumber ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam jauh lebih lengkap dan lengkap jika dibandingkan dengan sumber ilmu pengetahuan menurut pandangan Barat. Jika Objeknya ontologis yang dibahas wahyu al- Qur‟an termasuk penjelasan atas wahyu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw., berupa Hadits, dengan menggunakan metode ijtihad, maka yang dihasilkannya adalah ilmu-ilmu agama seperti: Teologi, Fiqih, Tafsir, Hadits, Tasawuf, dsb. Al- Qur‟an sebagai sumber ilmu pengetahuan, bisa dijelaskan oleh Q.S. Yusuf ayat 1-2 dan Q.S. An-Nahl ayat 44. 18 Kemudian jika objeknya ontologis yang dibahasnya alam jagat raya, maka para ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam atau yang lebih dikenal dengan sains, seperti langit, bumi, serta segala isi yang ada di antara keduannya, yakni matahari, bulan bintang, tumbuhan-tumbuhan, bintang, api, udara dsb dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium pengukuran, pertimbangan dsb., maka ilmu yang dihasilkan adalah Ilmu alam Natural Sciencis seperti biologi, fisika, kimia, astronomi, dsb. Nata, 2011: 337. Dengan memperhatikan ayat-ayat al- Qur‟an dan penjelasannya, dapat diketahui bahwa alam jagat merupakan sumber ilmu 18 1. Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab Al Quran yang nyata dari Allah. 2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Q.S. Yusuf : 1-2. 44. Dengan Keterangan-keterangan mukjizat dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, q.S. An-Nahl ayat 44. 185 pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam sains ternyata merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Ilmu pengetahuan alam seluruhnya pada hakikatnya berasal dari Allah, karena sumber ilmu tersebut berupa wahyu, alam jagat raya, manusia dengan prilakunya, akal pikiran dan intuisi batin seluruhnya ciptaan dan anugrah Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan demikian para ilmuwan di zaman al- Ma‟mun atau klasik dalam berbagai bidang ilmu: fisika, astronomi, kimia, kedokteran, biologi, botani, perkebunan, dan lain sebagainya, sebenarnya bukan pencipta ilmu tapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan. Atas dasar pandangan integrated yang berbasis pada Tauhid tersebut maka seluruh ilmu hanya dapat dibedakan dalam nama dan istilahnya saja, sedangkan hakikat dan subtansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan berasal dari Tuhan.

2. Pengembangan Sains Berdasarkan Epitemologis

Menurut Al- Qur‟an dan Hadis, bahwa cara mendapatkan pengembangan ilmu epistemologis sangat beragam. Untuk mendapatkan ilmu alam yang berdasar pada alam jagat raya harus menggunakan metode ijbari, 19 yakni observasi dan eksperimen yang dilakukan di laboratorium. Dalam pandangan epistemologis, al- Qur‟an tentang bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut berbeda dengan yang dikemngkan di Barat. Jika di Barat pengembangan ilmu hanya menggunakan pancaindra berdasarkan empiris, rasionalis, akal, dan intuisi, maka dalam Islam semua alat untuk mencapai ilmu tersebut harus disertai dengan penyucian batin Shihab, 1997: 438. 20 Petunjuk al- Qur‟an yang menginformasikan tentang pentingnya mengintegrasikan kesucian batin dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan ini sudah dipraktekkan oleh para ulama di masa lalu. Imam Syafi‟i yang dikenal fuqoha yang besar pengaruhnya selalu memelihara kesucian batin. Dalam kesempatan ia pernah mengadu kepada gurunya, 19 Secara harfiyah, ijbari artinya memaksa atau mencoba. Adapun dalam penelitian, ijbari masdunya mengadakan percobaan atau eksperimen di laboratorium berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas, binatang atau manusia secara fisik. Caranya antara lain membandingkan antara satu benda dengan benda lain, memasukkannya ke dalam tabung, mencampurkannya dengan unsur benda lainnya, mengamati, dan mencari reaksi yang ditimbulkannya yang dilakukan secara berulang-ulang dan selanjtnya menarik kesimpulan sebagai teori. Selanjutnya teori yang sudah ada dipadukan dengan cara teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan percobaan serta penerapan teori ini, maka lahirlah teknologi. 20 M. Quraish Shihab,Wawasan Al- Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat , … hal. 438.