Institusi Pendidikan Islam Multikultural zaman al-Ma’mun.
110
kemudian yang juga di masa itu pekerjaan mengajarkan menulis dan membaca itu adalah dikenal sebagai pekerjaan kaum Zimmi.
Adapun kaum Muslimin yang telah belajar menulis dan membaca, banyak pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting memerlukan
tenaga mereka Syalabi, 1973: 37.
Kemudian pada akhir abad pertama Hijriyah, mulai timbul jenis kuttab
, yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca al-
Qur‟an dan pokok-pokok ajaran agama. Namun pada mulanya, kuttab jenis ini merupakan pindahan dari
pengajaran al- Qur‟an yang berlangsung di Masjid, yang sifatnya umum
anak-anak dan dewasa. Anak-anak ikut pengajian di dalamnya tetapi karena mereka tidak dapat menjaga kesucian dan kebersihan masjid, lalu
diadakan tempat khusus disamping masjid untuk anak-anak belajar al- Qur‟an dan pokok-pokok ajaran agama. Selanjutnya berkembanglah
tempat-tempat khusus untuk pengajaran anak-anak dan berkembanglah kuttab-kuttab yang bukan hanya mengajarkan al-Qu
r‟an tetapi juga pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Dengan demikian kuttab menjadi
lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal Zuhairini, dkk. 1997: 91. .
Kedua, Halaqah. artinya lingkaran. Proses belajar mengajar yang
berkembang dalam halaqah sangat sederhana, yaitu seorang syekh sambil duduk di sebuah kursi memimpin sebuah pertemuan dan menerima murid-
murid yang duduk di lantai setengah lingkaran di sekitarnya. Murid-murid tersebut mendengarkan dengan baik, terhadap apa yang di baca dari
tulisannya maupun komentar-komentar terhadap catatan-catatan orang lain.
Sebagai ilustrasi dapat dilihat bahwa Ibn Sina menyelenggarakan halaqah
mulai saat fajar di pagi hari, ia membacakan materi yang diajarkan dan berdiskusi sampai pertengahan waktu pagi Stanton, 1994:
156. Ahmad Syalabi juga menjelaskan bahwa al-Ghazali sebagai seorang yang telah mengasingkan dari kehidupan masyarakat umum, mendirikan
sebuah lingkaran para ilmuan-ilmuan di rumahnya yang memperoleh perhatian secara pribadi ditentukan oleh kemampuannya yang menarik
para murid dan popularitas intelektual di halaqahnya sendiri Syalabi, 1945: 31.
Masa keterkaitan seorang murid terhadap halaqah tergantung ketekunan dan target yang ingin dicapainya. Apabila ia telah sampai pada
titik maksimal dalam belajar pada seorang syeikh, maka ia dapat beralih ke syeikh yang lain. Kurikulum yang dipergunakan dalam institusi
halaqah
tergantung pada minat dan pengetahuan seorang syekh, berdasarkan dari pengalaman dan keahliannya.Arief, 2002:110.
Ketiga , Majelis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk
kegiatan transmisi dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majlis banyak
111
jenisnya. Setidaknya ada tujuh macam majelis, yaitu: 1 majlis al-Hadis, 2 majelis at-Tadris, 3 majelis al-Munazarah, 4 majelis al-Muzakarah,
5 majelis as- Syu‟ara, 6 majelis al-Adab, 7 majelis al-Fatwa. Al-
Ma‟mun sering mengadakan majelis pertemuan para ulama di istana, ia sering mengundang berbagai ulama diseluruh negeri dalam berbagai
keahlian, yang dibahas adalah seputar permasalah agama. Ia sendiri yang memadu jalannya acara, disamping ada tata tertib majelis yang di
adakannya, antar lain tidak boleh saling menjatuhkan, menjunjung tinggi profesionalitas kebenaran.
Keempat , Masjid yang berfungsi sebagai sarana pengajaran telah
dikenal sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sebagai otoritas penafsir wahyu Allah al-
Qur‟an. Seringkali kepada beliau, baik di dalam maupun di luar masjid, masyarakat menanyakan tentang berbagai hal menyangkut
aqidah dan akhlak. Maka Nabi pun memberikan penjelasan-penjelasan, sementara pendengarnya membentuk lingkaran halaqah di depan beliau.
Sepeninggalan Nabi, tradisi ini diteruskan oleh para sahabat. Pada masa ini materi pengajaran bertambah dengan pembicaraan tentang hadits-
hadist Nabi. Dengan demikian, nisbat sebutan
ahlu al „ilmi yang berkembang ketika itu adalah mereka yang menguasai dan menghafal
banyak hadits. Pada masa selanjutnya, materi-materi pengajaran di dalam masjid semakin bervariasi, dari fiqih, bahasa sampai syair-syair Arab
Lewis, et.al eds. tt1123-1124. Disamping itu, bahwa penyelenggara pendidikan tidak hanya terbatas pada masjid utama, tetapi juga di masjid-
masjid biasa. Di Mesir, selain di masjid „Amr bin Ash sebagai masjid utama, pengajaran juga dilakukan di masjid Ibn Tulun dan masjid al-
Azhar yang dibangun belakangan. Bahkan lebih dari itu, khalifah al- „Aziz dari dinasti Fathimiyah dan wazirnya, Ya‟qub ibn Kilis, pada tahun
988 M. telah menyelenggarakan 35 perkuliahan di masjid al-Azhar, dan masing-masing pengajar diberi rumah pada seperempat dari seluruh areal
kompleks masjid. Arief, 2002: 109-110.
Kelima , Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan berkonsentrasi sepenuhnya untuk ibadah. Ribath pada asalnya adalah kamp, yaitu tempat tentara yang
dibangunkan di perbatasan negri untuk mempertahankan Negara dari serangan musuh. Ribath banyak ditemukan pada masa Bani Umayah dan
Abbasiyah, didirikan di antar Negara Islam dan Negara musuh Yunus, 1992: 95.
Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian ribath tidak lagi menjadi tempat tentara yang berjuang untuk mempertahankan Negara,
melainkan tempat orang-orang yang berjuang melawan hawa nafsunya, yaitu orang-orang Sufi. Mereka tinggal di ribath beribadah siang dan
malam hari. Dengan demikian maka arti ribath ialah tempat tinggal
112
oaring-orang sufi. Selain daripada beribadat dan membaca zikir mereka juga belajar agama di sana dari syekh kepala ribath. Dengan demikian
ribath itu salah satu tempat belajar juga di samping masjid dll Yunus,
1992: 96. Keenam
, Al-Manazil al-Ulama rumah-rumah ulama adalah tempat tinggal seorang guru yang digunakan untuk mentransmisi ilmu
agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain perdebatan ilmiah. Ulama yang tidak diberi kesempatan mengajar di institusi pendidikan formal akan
mengajar di rumah-rumah mereka.
Mengutip pendapat Abuddin Nata, menjelaskan bahwa sebaik- baiknya tempat untuk belajar adalah di masjid, karena duduk di masjid
untuk keperluan pendidikan dan pengajaran membutuhkan faedah guna menumbuhkan tradisi yang baik dan menghilangkan kebiasaan yang
buruk Nata,2010: 155. Hal tersebut kiranya berbeda dengan rumah yang privasinya selalu terjaga, tidak sembarangan orang dapat memasukinya,
kecuali atas izin dari empunya. Oleh karenanya rumah hanya dapat dijadikan tempat belajar manakala ketika darurat saja.
Ketujuh , Toko buku, berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan
Islam. Dalam sejarah tercatat, bahwa selama kejayaan khlaifah Abbasiyah, toko buku berkembang pesat di wilayah Timur Tengah, dan peran
pentingnya menyebar di seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika Utara dan semenanjung Siberia. Sebelum perpustakaan oleh bangsa
Mongol, Baghdad memiliki lebih dari 100 penjual buku. Para pembeli dan penjual manuskrip besar bagi kehidupan intelektual dalam sebuah
masyarakat melalui karya-karya pilihan mereka yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Persia, atau bahasa-bahasa bangsa Timur, dan karya-karya
bahasa Arab yang disalin dan di sediakan untuk umum Stanton, 1994: 160.
Disamping sebagai tempat menjual buku-buku dan manuskrip, toko buku juga sering dijadikan sebagai tempat halaqah untuk membahas
dan mengkaji berbagai macam disiplin ilmu. Pemilik toko buku biasa berfungsi sebagai tuan rumah dan pemimpin halaqah tersebut. Ia
mengundang para ilmuan yang ada di sekitarnya untuk melakukan diskusi tentang masalah-masalah intelektual dan keagamaan. Bahkan tidak jarang
ulama yang diundang untuk menyampaikan materi keagamaan dan berdiskusi dengan ilmuan setempat. Proses pendidikan yang dilakukan
oleh ulama dalam institusi informal toko buku memiliki tujuan yang amat berguna dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan menyediakan karya
tulis, khususnya karya-karya filsafat dan sains Yunani klasik bagi masyarakat umum Arief, 2002: 111.
Kedelapan, Observatorium adalah tempat kajian ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani. Guna mengembangkan ilmu pengetahuan yang terjadi
113
di masa Abbasiyah berkuasa, dibangun tempat untuk penelitian dan kajian ilmiah lainnya. Di zaman al-
Ma‟mun tempat ini digunakan sebagai tempat belajar mengajar, dimana siswa akan selalu aktif, seperti belajar
memecahkan masalah, eksperimen, learning by doing, serta belajar menemukan sesuatu yang sifatnya ilmiah. Oleh sebab itu, kegiatan ini
bukan hanya ada di kelas-kelas saja melainkan di lembaga pusat kajian ilmiah.
Kesembilan , Perpustakaan yaitu tempat koleksi buku dan tempat
riset. Pada awalnya perpustakaan cenderung didirikan di rumah orang- orang kaya, bangsawan dan istana-istana para penguasa. Karena ajaran-
ajaran al- Qur‟an memerintahkan individu-individu untuk mengajarkan
ilmu pengetahuan dan menyediakan kekayaan yang dimilikinya bagi orang lain yang kurang beruntung, maka para hartawan Muslim
membiayai perpustakaan dan seringkali membukanya untuk para ilmuwan, juga untuk umum.
Diantara peran ulama yang sangat berjasa dalam kajian keperpustakaan adalah Ibn Ishaq al-Naqdim, pengarang kitab al-Fihrist.
Kitab al-Fihrist merupakan karya bibliografi yang paling komperhenshif
tentang manuskrip-manuskrip yang ditulis atau diterjemahkan oleh sarjana-sarjana Muslim sampai abad kesepuluh. Disamping mendaftar
buku-buku, Ibn Ishaq al-Naqdim juga mencatat identitas kebangsaan, tanggal kelahiran dan kematian dan mengomentari sifat, perhatian, studi
dan pristiwa-pristiwa yang terjadi pada diri si pengarang Azra, 1994: 13.
Dari uraian di atas dapat menjelaskan bahwa posisi ulama di dalam lembaga pendidikan informal sangat besar kontribusinya dalam
mengembangkan kehidupan intelektual Islam. Ulama tidak hanya menyampaikan materi pelajarannya pada halaqah yang ada di rumahnya,
tetapi mereka juga ikut berpartisipasi aktif dalam mengunjungi toko-toko buku, perpustakaan sanggar sastra dan bahkan institusi-institusi formal
dan informal lainnya, guna menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat, juga menanamkan rasa kepedulian ilmu pengetahuan
kepada para penguasa dan hartawan, pada realitasnya tidak sedikit perpustakaan yang dibangun oleh para penguasa dan hartawan Arief,
2002: 11-12. Di sisi lain, para ulama juga memberikan kontribusi intelektual yang sangat berharga dalam melacak bibilografi dan indeks
terhadap tokoh-tokoh sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Ibn Ishaq al-Nadim.
Kesepuluh . Zawiyah, yaitu tempat yang hampir menyerupai ribath,
yaitu tempat untuk belajar, tetapi lebih kecil bangunannya dari ribath. Biasanya didirikan di padang sahara di tempat-tempat yang sunyi senyap,
terjauh dari pada penduduk yang ramai Yunus, 1992: 96. Berbeda pandangan dengan Mahmud Yunus, sebagaimana Abuddin Nata
114
mengatakan “ zawiyah adalah tempat yang berada di pinggiran masjid yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan bimbingan spiritual,
wirid, dzikir, mujahadah, muhasabah, dan istighasah untuk menyucikan diri dan memperoleh penghayatan dan pengalaman batin, serta merasakan
kehadiran Tuhan dalam dirinya, yang selanjutnya memancar dalam sikap
dan perbuatan terpuji berupa akhlak mulia” Nata, 2010: 206. Jadi zawiyah
merupakan tempat yang kecil di pinggiran masjid dan digunakan untuk bertahanus atau menyendiri agar dapat menemukan pengalaman
spiritual batin. Jika ditelaah lebih jauh lagi pada institusi pendidikan Islam,
ternyata ditemukan konsep dasar pendidikan multikultural pada masa kejayaan Islam yaitu ketika al-
Ma‟mun menjadi kholifah 813-833 M dari bani Abbas di Baitul Hikmah, yaitu institusi pendidikan tinggi Islam
pertama yang dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah al- Ma‟mun Asar,
1992: 109. Bahwasanya institusi tersebut telah mengukir sejarah baru dalam peradaban umat manusia, di mana bangsa Barat belum mengenal
konsep pendidikan multicultural. Dimana subyek toleransi, perbedaan etnik kutural, dan agama sudah dikenal dan merupakan hal yang biasa.
Konsep demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam kegiatan pendidikan di intitusi ini.
Pendidikan multikultural masih diartikan sangat ragam, dan belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multicultural tersebut beragam
budaya atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai keragaman budaya Rosyada, 2008: 3. Pendidikan multikultural bisa
diartikan sebagai pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat dan terkadang juga menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam
masyarakat dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk membina siswa agar menghargai keragaman budaya masyaakat.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, seluruh lembaga pendidikan Islam pada masa Abbasiyah, dapat diklasifikasikan menjadi
tiga tingkatan, yaitu: Pertama, Pendidikan dasar rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko buku, dan istana. Kurikulum pendidikan dasar
meliputi materi pelajaran : 1 Membaca dan menghafal al- Qur‟an, 2
Pokok-pokok agama Islam: wudhu, shalat, puasa, 3 Menulis, 4 Tarikh, 5 Membaca dan menghafal syair, 6 Berhitung, 7 Dasar-dasar nahwu
dan sharaf. Kurikulum diatas ini tidak seragam di seluruh daerah, mengingat situasi kondisi setempat yang berbeda-beda. Kedua,
Pendidikan menengah yang mencakup masjid dan sanggar seni. Adapun kurikulum yang diajarkan sebagai berikut: 1 Al-
Qur‟an, 2 Bahasa dan sastra Arab, 3 Fiqih, 4Tafsir, 5 Hadits, 6 Nahwusharaf, 7 Ilmu-ilmu
eksakta, 8 Mantiq, 9 Falaq. 10 Tarikh, 11 Ilmu-ilmu kealaman, 12 Kedokteran, 13Musik. Ketiga, Pendidikan tinggi yang meliputi masjid,
115
madrasah, dan perpustakaan seperti Bait al Hikamh dan Dar Hikmah di Kairo. Kurikulum pendidikan tinggi lebih menunjukkan adanya
keberagaman, akan tetapi pendidikan tinggi meliputi dua fakultas. Pertama
, fakultas ilmu agama dan sastra. Fakultas ini mempelajari: 1 Tafsir, 2 Hadits, 3 FiqihUshul fiqih, 4 Nahwusharaf, 5 Balaghah, 6
Bahasa dan sastra arab, Kedua, fakultas ilmu filsafat hikmah. Fakultas ini mempelajari : 1 Mantiq, 2 Ilmu alam dan kimia, 3 Music, 4 Ilmu-
ilmu eksakta, 5 Ilmu ukur, 6 Ilmu falaq, 7 Ilmu teologi, 8Ilmu hewan, 9 Ilmu nabati, 10 Ilmu kedokteran Arief, 2005: 139-140.
Menurut beberapa para ahli menilai bahwasanya pembagian tingkatan diatas masih terbuka untuk diperdebatkan, hal ini terlihat dalam
fungsi lembaga masjid yang kadang-kadang dianggap lembaga pendidikan yang memberikan materi pelajaran tingkat menengah dan kadang-kadang
pendidikan yang memberikan materi pelajaran di tingkat menengah, kadang-kadang di tingkat tinggi.
Hafalan adalah ciri utama pendidikan Islam pada masa klasik dan pertengahan. Hal ini bisa dimaklumi karena kekuatan hafalan sangat
dibutuhkan untuk menjaga al- Qur‟an dan keotentikan hadits layak untuk
dipercaya kalau pembawa hadits itu orang yang kuat hafalannya. Madrasah yang mengkonstruksikan kajian pada ilmu-ilmu keagamaan
juga menggunakan kekuatan hafalan menjadi sebuah keharusan Anwar, 2006: 23. Cara menghafal adalah selalu mengulang-ulang pelajaran. Al-
Shirazi, syeikh pertama Nizhamiyah Baghdad, biasa mengulangi pelajarannya sampai 100 kali agar memperoleh kepastian bahwa
hafalannya itu betul-betul tertancap di memori hafalannya Al-Jauzi, t.t: 7.
Mengandalkan kekuatan hafalan saja, menurut ahli pendidikan Islam klasik adalah tidak banyak manfaatnya. Oleh karena itu,
pemahaman menjadi keharusan Anwar, 2006: 10-11 .‟Abdul al-Latif al-
Bagdadi memberi nasehat kepada murid-muridnya untuk berusaha keras mengahafal dan memahami buku yang dibacanya. Seandainya buku itu
hilang, maka tidak terpengaruh sedikitpun buat murid-muridnya Makdisi, 1981: 103. Hafalan, mengulang-ulang, memahami dan mudhakarah saja
belumlah cukup, karena secara fitrah manusia bisa lupa. Oleh karena itu, mencatat hasil belajar diatas tidak dapat di sepeleka. Al-Zarnuji
memberikan nasehat bagi setiap siswa untuk selalau membawa secarik kertas dan alat tulis untuk merekam sesuatu yang berguna bagi
perkembangan ilmiahnya Burhan, t.t: 8. Sehubung dengan ini, sistem pendidikan Islam, mestinya memberikan materi pendidikan sosial yang
Islami, pendidikan ekonomi yang Islami, pendidikan politik yang lslami, yang selanjutnya dijabarkan dalam berbagai mata pelajaran bidang studi
seperti sekarang ini yang semuannya sudah bersifat Islami atau dengan
116
kata lain,semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sudah bernuansa Islami Tamsir., 2006: .45.
3.
Tokoh-tokoh Pengembang Ilmu dan Pendidikan Islam Multikultural Zaman Al-
Ma’mun a.
Kholifah Al-Ma’mun 813-833 M
Sebagaimana mengenai biografi al- Ma‟mun sudah dibahas di atas,
ia adalah kholifah Daulah Abbasiyah, putra dari mendiang Kholifah Harun al-Rasyid. Ia memprakarsai kegiatan keilmuan-keilmuan dan
penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia mendirikan sebuah akademi di Baghdad yang bernama Baitul Hikmah
gedung kebijaksanaan yang didalamnya terdapat observatorium yang diperintahkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Naskah-naskah
Yunani diburu dari Konstantinopel untuk memperkaya perpustakaan akademi ini dan untuk diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Selain itu
sebuah akademi kedokteran di dirikan pada masa pemerintahannya.
Al- Ma‟mun dikenal sebagai tokoh pengembang ilmu pengatahuan
sekaligus pendidik multicultural. Ia sangat toleran sekali terhadap rakyatnya atau orang-orang yang berbeda agama, seperti agama Kristen,
serta ia lebih familiar terhadap peradaban-peradaban yang berbeda dengan bangsa Arab, misalnya peradaban Rusia, Pagan dan lain-lain. Ia dikenal
juga karena kejeniusannya dalam memajukan intelektual Islam dan memperbanyak membangun intitusi pendidikan Islam yang membuatnya
satu di antara kholifah sekaligus intelektual besar sepanjang sejarah
Sebagaimana uraian di atas, menjelaskan bahwa al- Ma‟mun selain
ia adalah kholifah besar, ia juga seorang intelektual yang jenius sepanjang sejarah. Ia adalah tokoh yang memiliki visi dan misi pengembangan ilmu
dan pendidikan multicultural, baik dalam mengelola peradaban Islam maju dibandingkan dengan peradaban sebelumnya, selain itu kepribadian
yang dimiliki al-
Ma‟mun sepertinya sangat diperlukan dalam melaksanakan pengembangan ilmu dan pendidikan sebagai pemimpin
yang semestinya diteladani. Jadi dapat disimpulkan bahwa al- Ma‟mun
adalah tokoh yang memiliki visi dan misi multicultural dalam mengelola institusi pendidikan Islam, dimana sosok intelek dan berkepribadian yang
amat sangat luhur itulah yang sangat di perlukan dalam melaksanakan pendidikan multicultural sebagai kholifah yang patut diteladani akan sifat
baiknya. b.
Abu Ja’far Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi 780-850 M
117
Beliau ahli di bidang al-Jabar dan astronomi, direktur perpustakaan Baitul Hikmah atau pusat studi dan riset astronomi dan
matematika. Ia adalah seorang nasionalis dan ahli Pahlevi, dan sebagai tokoh pengembangan ilmu zaman al-
Ma‟mun sekaligus pendidik multikultural, selain al-
Ma‟mun ia juga menciptakan suasana bebas, terbuka, toleran dan sederajat dalam mengelola Baitul Hikmah dan ikut
andil dalam menerjemahkan buku-buku warisan Hellenisme dari Yunani ke dalam bahsa Arab Siwito, Fauzan, 2003: 33. Al-Khawarizmi berkerja
dalam obsevatorium tempat dia menekuni telaah matematika dan astronomi.
Berikut disebutkan beberapa sumbangan orisinal al-Khwarizmi pada zaman al-
Ma‟mun dalam al-jabar dan matematika pada umumnya. Pertama
, ia memperkenalkan perhitungan sistem decimal persepuluhan yang menggantikan sistem seksagesimal perenam puluhan, suatu sistem
perhitungan kuno dari Babilonia. Sistem seksagesimal itu sampai sekarang masih tersisa dalam perhitungan waktu: jam 60 menit, 60
detik, dan perhitungan busur drajat. Kedua, ia meletakkan dasar-dasar ilmu hitung dan aljabar. Untuk pertama kalinya al-Khawarizmi
menggunakan simbol-simbol dan variable-variable, mendahului sarjana- sarjana Eropa, dan menggunakan simbol-simbol itulah yang mendorong
kemajuan pesat matematika. Ketiga
, ia menerapkan bilangan “nol” untuk pertama kalinya dalam perhitungan sistem decimal aritmatika dan al
jabar. Keempat, ia menemukan nilai phi yang menyatakan
perbandingan keliling sebuah lingkaran terhadap garis tengahnya, yaitu sebesar 227 = 3,1428571 bandingkan dengan
modern yang bernilai = 3,1415926. Al-Khawarizmi menemukan bahwa perbandingan keliling
terhadap garis tengah lingkaran bernilai tetap konstanta tanpa tergantung kepada ukuran lingkarannya. Penemuan konstanta
phi tersebut sangat berguna untuk perhitungan-perhitungan yang berkaitan
dengan lingkaran dan bola seperti luas dan volume. Kelima, Ia berjasa menyusun daftar logaritma. Istilah logaritma algoritma berasal dari nama
al-Khawarizmi sendiri. Istilah algoritma sendiri sekarang digunakan dalam pengertian sebagai suatu tata cara sistematis untuk menemukan
jawaban dari sebuah soal di mana tiap langkah harus jelas letaknya. Keenam
, ia juga menemukan metode aljabarik untuk menghitung tinggi segitiga. Dengan metode tersebut, tinggi sembarang segitiga dapat
dihitung dengan metode penjabaran sisi-sisi segitiga yang diketahui. Ketujuh
, ia merumuskan penyelesain persamaan kuadrat dengan memperkenalkan konsep variable, parameter, akar kuadrat, dan bersama
ilmuan muslim lainnya memecahkan persamaan kuadrat ax
2 +
bx + c = 0 dengan rumus yang sekarang dikenal ABC: X
1,2
= [-b b
2
– 4 ac ] 2a. x disebut sebagai akar-akar persamaan kuadrat variable yang dicari ;
118
sedangkan a, b, dan c disebut sebagai parameter. Selain rumus tersebut al- Khawarizmi juga memperkenalkan metode “pelengkap kuadrat” untuk
menyelsaikan persamaan kuadrat dan kubik, suatu metode yang sampai sekarang dipelajari oleh siswa SMU Heriyanto, 2011: 13-14.