Pola Gerakan Intelektual yang Integrated Zaman Al-Ma’mun
173
penguasa di zamannya, akan tetapi ia juga merupakan seorang ilmuwan Muslim, penyair, khatib, muhaddits, serta mahir dalam bidang filsafat dan
perbintangan astronomi. Ia juga dapat menguasai empat bahasa Arab, yaitu bahasa Yunani, Ibrani, Persia, India Jaudah, 2007: 330.
Hal senada pun terjadi pada ulama dan ilmuwan Muslim lainya seperti: Al-Farabi 872-890 M, misalnya selain dikenal sebagai ahli
filsafat, ia juga dikenal sebagai ahli politik, kedokteran, ilmu kalam, akidah, fiqih dan sejarah. Begitupun juga dengan Ibn Sina selain dikenal
sebagai ahli filsafat, sebagaimana terdapat pada bukunya Asy-Syifa, ia juga dikenal sebagai ahli ilmu jiwa lalu dalam bukunya an-Najah, lalu ahli
kedokteran sebagaimana dalam bukunya al-Qonun fi at-Thibb, ahli astronomi, kimia, fisika bahkan juga ahli tasawuf sebagaiman dalam kitab
al-Qanun fi at-Thibb
Nata, 2011: 31, As-SIrjani, 2011: 375, Majid, 2000: 225.
Nurcholis Majid menambahkan dalam Khazanah Intelektual Islam bahwa, pada zaman klasik memiliki ilmuan yang ensiklopedik, seperti Ibn
Rusyd w.595 H1198 M, selain dikenal sebagai filosof Islam, sebagaimana terdapat dalam kitab Fadhlu al-Maqal fima Baina al-Hikmah
wa Syari‟ah Min al-Ittihsal, juga dikenal sebagai ahli kedokteran sebagaimana dalam kitab al-Kulliat, dan ahli fiqih sebagaimana dalam
kitab Bidayah al-Mujtahid. Mereka itulah sebagain ulama, sekaligus ilmuwan yang pernah dimiliki oleh Islam yang memperhatikan masalah
agama, akhirat, spiritual dan juga masalah dunia Majid, 1987: 5. Meskipun zaman kontemporer saat ini tidak selengkap zaman klasik, akan
tetapi saat ini masih ada yang ulama yang karakternya seperti intelektual pada zaman klasik, meskipun jarang ditemui dan tidak begitu banyak
jumlanya.
Melihat adanya fenomena ilmuwan yang demikian, maka muncullah pemikiran dari beberapa ilmuwan untuk mencari sebab-
sebabnya. Ada yang berpendapat, bahwa hal tersebut diatas karena perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman al-
Ma‟mun masih sederhana, berada dalam taraf pertumbuhan, belum khusus seperti saat ini,
sehingga setiap orang dapat mengembangkan hasrat intelektualnya sesuai dengan kehendaknya. Selanjutnya ada juga yang berpendapat, bahwa hal
demikian itu pernah terjadi, karena belum adanya pemahaman yang dikotomik antara ilmu agama dengan ilmu umum. Dan mungkin saja pada
zaman al-
Ma‟mun adalah masih zaman yang terbaik tabi‟in, sebagaimana Rasul pernah bersabda “Sebaik-baiknya zaman adalah
zamanku, lalu zaman para sahabat, dan zaman setelahnya tabi‟in.” Akan tetapi, yang menyebabkan lahirnya ilmuwan Muslim yang
multilatented atau ensiklopedik tersebut adalah karena adanya pola dan
model pendidikan dan model yang integrated. Pola atau model pendidikan
174
Islam di zaman al- Ma‟mun, selain masih dipengaruhi oleh semangat
Hellenis yang berbasis pada penelitian dan pemikiran, juga masih kental dipengaruhi oleh semangat keagamaan yang berbasis pada wahyu. Hal ini
tentu berbeda dengan pola pendidikan yang berkembang di Barat. Sebagaimana A. Malik Fadjar mengatakan: di Barat saat ini yang bersifat
dikotomis, yakni di satu pihak ada yang mengambil model Universitas Studisorum berbasis Hellenis yang menekankan aspek kebutuhan pasar
dan memenuhi kebutuhan lapangan kerja, sebagaimana yang digunakan di Inggris dan Amerika Serikat, yang selanjutnya dikenal sebagai Anglo
System, sedangkan di sisi yang lain ada yang mengambil model universite Magistorum berbasis Semitis yang menekankan kepentingan kaum gereja
yang be
rorientasi doktriner keagamaan” Nata, 2011:132, Kamaluddin, 2010: 172.
Jadi, jika di sandingkan pada zaman al- Ma‟mun atau klasik dengan
saat ini yang ada di Barat tentu saja tidak dapat disamakan dan amat sangat jelas sekali perbedaanya.
Pola gerakan intelektual dan pengembangan ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam di zaman al-
Ma‟mun atau klasik adalah pola gerakan yang bersifat integrated. Yaitu pola yang didasarkan pada
integrasi antara dimensi fisik dan metafisik, dimensi lahir dan batin, dimensi fisik dan tasawuf, dimensi fisik, panca indra, intuisi, akal, dan
wahyu, dunia dan akhirat, jasamni dan rohani, dan material spiritual. Hal tersebut berpandangan pada dasar sifat dan krakteristik ajaran al-
Qur‟an dan Sunah yang tidak mengenal pemisahan antara berbagai urusan
tersebut dan tidak di temukan dikotomik dalam segala hal. Keimanan kepada Tuhan yang bersifat batin dan menggunakan
indra batiniah, berupa an-nafs, ar-ruh, as-sir, al-qalb, al-fuad, al-lub, al- zauq
dan berbagai potensi batiniayh lainnya dalah sebuah realitas objektif dan menjadi bagian integral dari kebutuhan manusia. Indra batin itulah
yang digunakan untuk memahami dan menghayati nilai-nilai spiritual dan ajaran tentang keimanan. Indra batin inilah yang diberikan Tuhan untuk
membantu indra, fisik, dan akal manusia dalam memahami berbagai hal yang berada di luar jangkauannya. Keimanan itulah yang selajutnya
menjadi energi positif yang menggerakkan orang untuk semakin meyakini adanya hal-hal yang metafisis dengan cara memahami hukum-hukum
Tuhan yang bersifat metafisik yang terdapat berbagai fenomena sosial, fenomena alam, dan berbagai hal lainnya. Ketika kajian empiris,
observasi, dan eksperimen yang dilakukan fisik, panca indra dan akal di laboratorium misalnya menemukan teori tentang segala sesuatu yang
terdapat pada benda tersebut, dan teori tentang segala sesuatu yang terdapat dalam benda tersebut, dan teori tersebut disusun dalam bentuk
ilmu pengetahuan sains, maka sesungguhnya ilmuwan hanyalah
175
penemu, bukan pencipta. Yang menciptakan semua itu adalah Yang Maha Pencipta Tuhan. Para ilmuwan Muslim di zaman al-
Ma‟mun atau klasik menggunakan pola gerakan intelektualnya itu bertolak dari
pemahaman yang utuh tentang manusia dengan segenap potensi yang dimilikinya, pemahaman yang utuh menjadi objek penelitian baik bersifat
fisik maupun nonfisik. Mereka memadukan antara empiris, spekulatif, metafisis, dan bathiniah secara bersamaan. Itulah mengapa ketika dengan
meyakini adanya Tuhan, dalam waktu yang bersamaan para ilmuan atau ulama di zaman al-
Ma‟mun klasik dapat menjadi seorang sufi, seorang ilmuwan yang menguasai anatomi manusia, karakteristik, benda-benda
fisik, sebagaimana terlihat dalam ilmu astronomi, fisika, biologi, kimia, kedokteran, sosiologi, geografi, matematika, optic, farmasi, pemerintahan
dan lain sebagainya secara bersamaan Nata, 2011: 33.
Secara historis dan sosiologis gerakan intelektual di zaman al- Ma‟mun belum ada pola atau model yang khusus. Hal tersebut terjadi,
karena pada zaman tersbut belum ada gangguan atau bahkan pemaksaan dari luar maupun dalam atau kekuatan secara politis yang mengharuskan
menggunkan model atau pola tertentu. Pada zaman al- Ma‟mun setiap
ulama dapat saling menghormati dan menghargai gagasan dan pemikirannya masing-masing. Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa di
zaman tersebut yang ada memiliki persamaan dan model gerakan intelektualnya dan ada juga memiliki perbedaan antar satu sama lain. Di
kalangan para ilmuwan bidang sosial dan ilmu alam sains pada ilmuwan yang lebih banyak berkonsentrasi pada bidang teoritis, seperti al-Biruni
dalam bidang fisika dan ada juga yng berkonestrasi pada praktik, seperti al-Razi dalam bidang fisika, ada juga yang berkonetrasi pada teoritis dan
praktis secara bersamaan, seperti Ibn Sina dalam bidang kedokteran, dan Ibn Rusyd dalam bidang kedikteran dan hukum Islam Nata, 2011: 134.
Jadi dapat dikatakan, pola gerakan integrasi keilmuan yang terjadi pada zaman klasik sangat variatif, dinamis, proresif, inovatif dan holistic.
Hal ini sejalan dengan adanya kebebasan dan kemerdekaan yang tumbuh dan berkembang di kalang ulama, belum ada tekanan politik dan berbagai
kepentingan dan pesanan yang diletakkan pada ilmuan. Dan model intelktual yang di kembangkan di Yunani, India, dan Cina yang berbasi
pada budaya, tradisi tidak sepenuhnya digunakan oleh ulama. Dengan demikian model gerakan intelktual pada zaman klasik memiliki ciri,
bahwa para ulama langsung mengakses al-
Qur‟an dan Sunah, tanpa mengikuti petunjuk ulama sebelumnya dan para ulama dapat menjadi
ulama ilmu agama serta juga dapat menjadi ilmuwan di berbagai bidang seperti: ilmu alam, ilmu sosial, ilmu kedokteran, filsafat dan lain
sebagaianya.
176
Hal yang terjadi di atas berbeda pada zaman setelah zaman klasik, dimana pemahaman keagamaan pada zaman pertengahan abad ke-14 sd
18 M, malah cenderung lebih mengutamakan ilmu agama, dan kurang menghargai ilmu-ilmu umum, seperti ilmu sosial, alam, filsafat dan ilmu
lainya sudah mulai ditinggalkan dan tidak lagi ada pengembangan ilmu umum oleh umat Islam, akan tetapi pengembangan ilmu umum justru
diambil alih oleh Barat. Secara politis umat Islam malah terpecah
menjadi dua kubu, Syi‟ah dan Sunni, hal tersebut hingga saat ini masih terus berlangsung. Pada akhirnya di zaman pertengahan inilah telah terjadi
pandangan dikotomis antara ilmu agama dengan ilmu umum, yang mana sudah tidak telihat jelas ingtergatif dari keduanya. Sampai munculnya
paradigma bahwa ilmu umum adalah sesuatu yang tidak wajib harus dipelaari oleh umat Islam, karena kedudukannya hanya fardhu kifayah.
Pada abad pertengahanlah, dimana perhatian umat Islam lebih banyak tertuju pada ilmu-ilmu agama yang membicarakan tentang moral,
tasawuf, atau tarekat dibandingkan ilmu umum, hal semacam ini menjadi tumpang tindih. Karena meninggalkan ilmu-ilmu umum, maka terjadilah
apa yang saat ini dinamakan “dikhotomis” yaitu memisahkan antara ilmu- ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, serta meyakini bahwa mempelajari
ilmu umum sebagai bukan dari bagian perintah ajaran Islam. Keadaan umat Islam yang terpinggirkan dan ketidakmampuan untuk mengakses
berbagai peluang atau informasi dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Jika di telusuri terjadinya sikap dikotomis ilmu antara agama dengan umum, tidak ditemukan pada zaman al-
Ma‟mun akan tetapi pada saat kholifah al-Mutawakil pada tahun 847-861 M. yang membatalkan
madzhab Mu‟tazilah sebagai madzhab negara dan mendukung madzhab
Ahl al-Sunnah wa al- Jama‟ah. Lebih dari itu, kemudian akademi-akademi
yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan ilmu-ilmu rasional ditutup. Bahkan, banyak tokoh-tokoh
Mu‟tazilah yang diusir dari Bagdad. Agaknya wajar jika kemudian Ahl al-Sunnah wa al-
Jama‟ah menutup akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan rasional,
karena golongan ini sebagian besar lebih berpaham Jabariyyah, yang menganut Fatalisme, yakni segala hal yang ada dan terjadi pada manusia
lebih ditentukan oleh Tuhan. Dalam paham ini, manusia tidak punya daya dan upaya untuk dirinya sendiri sekalipun Nasution, Rasional: 1995:
115. Sejak saat itu, perkembangan dan eksplorasi keilmuan di bidang filosofis dan rasional menjadi terhenti. Semua lembaga-lembaga yang
mengajarkan filsafat ditutup. Secara perlahan dan tanpa disadari oleh umat Islam, mereka akhirnya seperti konservatif terhadap dirinya dengan ilmu-
ilmu filosofis dan rasional yang justru sebagai dasar perkembangan iptek. Perkembangan iptek yang sebelumnya pernah mencapai puncak
177
kemajuannya pun akhirnya nyaris terhenti secara total. Sebagian umat Islam seolah mengklaim, bahkan menganggap menghianati dan memusuhi
agama kepada orang-orang yang mempelajari ilmu umum, dan akan dipandang mulia orang-orang yang mempelajari ilmu agama atau ilmu-
ilmu yang bernuansa akhirat.
Dengan demikan, pola gerakan yang terjadi di zaman al- Ma‟mun
klasik sangat variatif, dinamis, progresif, inovatif dan integrated serta holistik. Hal ini sejalan dengan adanya kebebasan dan kemerdekaan yang
tumbuh dan berkembang di kalangan para ulama, belum ada tekanan politik dan berbagai kepentingan dan pesan yang diletakkan kepada para
ilmuwan, dan sebagai pemula, atau printis. Tidak semuanya model atau pola gerakan yang dikembangkan di India, Yunani di pakai oleh para
ulama Islam.
Jadi dapat dikatakan bahwa, pola gerakan integrated yang digunakan dalam zaman al-
Ma‟mun atau klasik memiliki ciri-ciri yaitu setiap ulama dapat menjadi seorang ulama ilmu agama, juga dapat
menjadi ilmuwan dibidang misalnya, ilmu sosial, ilmu alam, filsafat, seni dan lain sebagainya.