3. Madura Timur pada paruh kedua abad ke-16 dan paruh pertama abad ke-

XIV-3. Madura Timur pada paruh kedua abad ke-16 dan paruh pertama abad ke-

17, legenda dan sejarah

Sadjarah Dalem yakin bahwa raja-raja Sumenep pada zaman dahulu telah memegang peranan penting dalam sejarah, karena itulah mereka ditampilkan dalam buku tersebut.

257 Cerita tutur Sumenep setempat yang bersifat sejarah telah disadur dalam Karta Soedirdia, "Tiareta". 258 Nama Kanduruwan atau Kanduruhan pada abad ke-16 dan ke-17 agaknya berkali-kali telah diberikan kepada para pangeran

yang agak rendah derajatnya, tidak lahir dari permaisuri (Jawa: prameswari, garwa padmi). Dalam buku-buku cerita (serat kandha) memang disebutkan seorang saudara yang tidak seibu dengan Sultan Tranggana dari Demak, yang bernama demikian. Kelak ia mendapat sebutan Pangeran Panggung dari Randu Sanga (tempat asal ibunya); lihat Brandes, Pararaton, hlm. 228 dan 229. Dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hlm. 230) diberitakan bahwa Raden Wangkawa, anak "selir" raja Demak yang pertama, oleh saudaranya yang tidak seibu, Sultan Tranggana, dianugerahi nama Raden Kanduruwan, dan telah dijadikan adipati di Sumenep. Jadi, cerita tutur yang menyatakan bahwa pada permulaan abad ke-16 di Sumenep telah ada raja Kanduruwan, yang mempunyai hubungan keluarga dekat dengan dinasti Demak, agaknya dapat dipercaya juga. Gelar Kanduruwan dapat dihubungkan dengan Kanuruhan, gelar keraton dizaman Jawa Kuno, yang berarti bendahara raja (lihat Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 175 dan 176).

Menurut cerita setempat di Sumenep, makam tua yang bertarikh tahun Jawa 1504 (1582 M.) di Kampung Pasar Pajhingghaan di ibu kota itu adalah makam Adipati Kanduruwan. Andai kata diakui bahwa pangeran Jawa Tengah dari keluarga raja Demak ini memang telah berperan di Sumenep pada perempat kedua dan ketiga abad ke-16, tidak mustahil kalau ia meninggal pada tahun 1582, dalam usia yang lanjut. Menurut cerita tutur Jawa, ia adalah - sebagai saudara tidak seibu dengan Sultan Tranggana dari Demak - paman Sultan Pajang (menantu Tranggana). Mengingat hubungan keluarga yang demikian itu, dapat dipahami tidak diberitakan sikap bermusuhan raja-raja Sumenep dengan raja-raja Demak dan Pajang.

Menurut tradisi Sumenep setempat, Adipati Kanduruwan meninggal dalam pertempuran atau akibat pertempuran melawan orang Bali. Panarukan, di ujung timur Jawa di seberang Sumenep, sampai pada dasawarsa terakhir abad ke-16 tetap "kafir" seperti halnya Blambangan. Raja-raja setempat selalu berada di bawah lindungan raja- raja Bali di Gelgel, yang dalam hal tertentu merupakan pengganti-pengganti yang sah maharaja Majapahit yang telah hilang itu. Pada paruh kedua abad ke-16 berkali-kali terjadi pertempuran antara para penguasa Islam di Pasuruan dan raja-raja "kafir" di kerajaan-kerajaan yang letaknya lebih ke timur di ujung timur Jawa. Mereka itu dibantu oleh orang-orang Bali. Jadi, tambo Sumenep yang mengatakan bahwa Kanduruwan - adipati Islam dari Demak itu - telah berperang melawan orang-orang Bali mungkin benar. Saudaranya lain ibu, yaitu Sultan Tranggana dari Demak yang terkenal itu, dianggap telah mangkat dalam pertempuran atau akibat pertempuran melawan raja "kafir" di ujung timur Jawa (di Panarukan). Dalam paruh kedua abad ke-16, konon Kerajaan Sumenep dipandang sebagai pertahanan terdepan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah, Demak dan Pajang, dalam peperangan melawan kerajaan "kafir" di Bali. Kerajaan itu selalu merupakan ancaman yang berbahaya, demikian pula kerajaan-kerajaan sekitarnya, Panarukan dan Blambangan di ujung timur Jawa.

Tidak ada cerita mengenai pengganti Adipati Kanduruwan. Seperti halnya Madura Barat, Sumenep tidak menghadapi serangan Senapati dari Mataram, yang pada tahun 1589 berusaha memulihkan kembali kerajaan Jawa Tengah sesudah wafatnya Sultan Pajang. Raja Mataram pertama belum dapat meluaskan kekuasaannya sampai jauh ke timur.

Ekspedisi merebut daerah yang dilakukan kemudian oleh cucunya, Sultan Agung, pada tahun 1624 - yang telah menundukkan kerajaan-kerajaan Madura Barat - telah mencapai Sumenep juga.

Menurut berita-berita Madura Timur, dan juga berita-berita Belanda, raja Sumenep telah memberikan perlawanan yang gagah berani terhadap Jawa Tengah. Setelah tertangkap, ia dibunuh dengan keris atas perintah Sultan Agung. Menurut cerita tutur Banten, seorang raja Sumenep telah datang ke sana beserta keluarga dan segenap abdi pelayan keraton untuk minta tolong, karena harus melarikan diri menghindari Menurut berita-berita Madura Timur, dan juga berita-berita Belanda, raja Sumenep telah memberikan perlawanan yang gagah berani terhadap Jawa Tengah. Setelah tertangkap, ia dibunuh dengan keris atas perintah Sultan Agung. Menurut cerita tutur Banten, seorang raja Sumenep telah datang ke sana beserta keluarga dan segenap abdi pelayan keraton untuk minta tolong, karena harus melarikan diri menghindari

Yang dikuatkan juga oleh berita-berita Belanda ialah bahwa, sesudah Sumenep diduduki, daerahnya diperintah atas nama raja Mataram oleh seorang Wali Negara, yang bernama Angga Dipa. Ia keturunan Jepara. Menurut cerita setempat, penguasa baru Sumenep yang datang dari Jawa Tengah itu ternyata bupati yang membangun Maseghit Hajjhi di sebelah utara kabupaten. Di situ dapat ditunjukkan adanya batu dengan inskripsi tahun Jawa 1570 (1648 M.) 259

Menurut buku-buku sejarah Jawa Tengah, sesudah direbutnya Madura, baik Barat maupun Timur, banyak sekali "tawanan perang" pria, wanita, dan anak-anak yang diangkut dari Pulau Madura ke Gresik dan ke Jawa Tengah untuk dipekerjakan oleh para pemenang. Raja-raja Mataram telah memerintahkan dan melaksanakan pemindahan paksa secara besar-besaran kelompok-kelompok petani dan buruh dari daerah-daerah pendudukan ke daerah inti kerajaan mereka. Kemungkinan, sebelum mereka, juga ada raja-raja Jawa pada zaman pra-Islam yang merebut dan menduduki tanah-tanah tetangga berdasarkan pertimbangan keuntungan ekonomis, karena dengan jalan demikian mereka dapat menggunakan tenaga kerja paksa yang murah. Mereka diserahi pekerjaan berat, sedangkan penduduk tanah-tanah raja dan sanak saudara raja dapat mencurahkan perhatian penuh pada tugas pemerintahan sebagai prajurit atau pegawai negeri. Pemindahan penduduk dalam negeri, yang berabad-abad telah dilakukan oleh raja-raja terhadap kelompok-kelompok suku di Jawa dan Madura itu, berakibat leburnya tradisi-tradisi lama suku-suku setempat maupun hubungan perkawinan penduduk desa. Yang benar-benar asli sekarang hampir tidak terdapat lagi di Jawa. Pengaruh agama Islam yang serba menghilangkan perbedaan-perbedaan setempat itu memperkuat kecenderungan demikian.

259 Sejarah perebutan Madura oleh Sultan Agung dari Mataram telah dibicarakao dalam Graaf, Sultan Agung, hlm. 83-93. Cerita- cerita Sumenep setempat telah disadur dalam Werdisastra, Bhabhad.