4. Panembahan Senapati dari Mataram memerdekakan diri dari Keraton Pajang
XX-4. Panembahan Senapati dari Mataram memerdekakan diri dari Keraton Pajang
Dalam cerita tutur Jawa, Ki Pamanahan tidak memakai gelar yang lebih tinggi dari Ki Gede Mataram. Tetapi anaknya, yang juga menjadi penggantinya, waktu diangkat di Keraton (Pajang) telah diberi nama dan sekaligus gelar Senapati-ing-Alaga oleh raja Pajang. Gelar itu selanjutnya merupakan bagian tetap dari nama raja-raja Mataram. 368
Menurut cerita tutur Jawa, Senapati yang masih muda itu pada tahun 1584 - segera setelah ia mendapat kekuasaan atas Mataram - mulai mengadakan persiapan untuk memerdekakan tanah warisnya. Yang paling mencolok dari kegiatannya itu ialah pembangunan tembok sekeliling istananya. Ini dilakukannya atas nasihat dan petunjuk salah seorang dari para wali Islam, Sunan Kalijaga atau seorang penggantinya sebagai ulama dari Kadilangu. 369
Selain itu, menurut cerita tutur, pada permulaan pemerintahan Senapati, para penguasa setempat yang wajib upeti di kawasan Kedu dan Bagelen telah terhujuk untuk membangkang terhadap raja Pajang. 370 Pada waktu itu pula raja muda tersebut berjumpa pertama kali dengan Nyai Loro Kidul. 371 Dan juga, sesudah tidur di atas batu
367 Pembicaraan mengenai tahun-tahun kejadian yang menyangkut pemerintahan Ki Pamanahan di tanah Mataram telah dicantumkan dalam Graaf, Senapati, hlm. 54.
368 Berita-berita mengenai tahun-tahun pertama pemerintahan Senapati Mataram dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 70- 79). Mungkin nama gelar Senapati Ingalaga atau Surapati Ingalaga sudah dikenal orang di Keraton Majapahit pada permulaan abad ke-16. Ada kemungkinan bahwa adipati Islam di Terung yang terkenal itu telah menerima gelar itu dari patih Majapahit (lihat Bab XII-2 dan cat. 211).
369 Dalam Graaf, Senapati (hlm. 76-77) telah disebutkan cerita-cerita tutur mengenai pembangunan tembok Kotagede. Dari cerita-cerita tutur itu dapat diambil kesimpulan bahwa pada perempat terakhir abad ke-16 itu tembok itu masih termasuk barang baru di Mataram. Sesudah raja Mataram yang masih muda itu pada tahun 1584 mulai mendirikan tembok itu berdasarkan petunjuk-petunjuk dari ulama besar Kadilangu, pada tahun 1592 atau 1593 benteng batu (Kuta Bacingah, dari bata putih dan merah) telah diselesaikan oleh Senapati dari Kediri (seorang pelarian dari pihak raja Surabaya); lihat Graaf, Senapati (hlm. 119-121). Keraton-keraton raja yang lebih tua di Jawa Timur dan di daerah-daerah di sepanjang pantai utara mungkin sudah jauh lebih dahulu memiliki tembok pengeliling. Jadi, mudah dimengerti bahwa pimpinan pembangunan tembok di Mataram diserahkan kepada orang-orang yang berasal dari pusat-pusat kebudayaan yang lebih tua. Pembangunan tembok di Cirebon, menurut anggapan yang dinyatakan dalam cerita tutur lawa, juga diserahkan kepada orang-orang yang berasal dari daerah-daerah yang letaknya lebih ke timur, Demak dan Majapahit (Graaf, Senapati, hlm. 115).
370 Bagian cerita ini, yang berakhir dengan percobaan pembunuhan terhadap Senapati, dengan Yang Dipertuan Bocor sebagai pelakunya telah diberitakan pada cat. 319.
371 Pertemuan dengan Dewi Segara Kidul dan pertemuan dengan penyadap nira dari Giring telah dibicarakan pada Bab XX-2.
datar di Lipura, konon ia menerima petunjuk dari kahyangan 'tempat para hyang tentang kejayaan bagi keturunannya di masa datang. 372
Menurut tutur Jawa, Senapati Mataram yang masih muda telah mengabaikan kewajibannya terhadap raja Pajang yang sudah tua itu; ia tidak sowan 'menghadap' raja di keraton untuk memberikan penghormatan tahunan. la juga menggagalkan pelaksanaan hukuman - yang harus dilakukan atas perintah raja - terhadap keluarga tumenggung di Mayang. Tumenggung Mayang itu (tidak jauh di sebelah barat kota Keraton Pajang) adalah ipar Senapati Mataram. Seharusnya ia dihukum karena pelanggaran yang dilakukan oleh anaknya, Raden Pabelan, yang telah menemui ajalnya. Konon, Senapati telah memberikan suaka kepada tumenggung itu. 373
Tindakan sewenang-wenang dari bawahan yang membangkang itu telah memaksa raja Pajang yang sudah tua itu menggunakan kekerasah senjata terhadap Mataram. Sebelum terjadi pertempuran, di dekat Prambanan tentara kerajaan telah pecah, lari cerai-berai terutama karena Gunung Merapi meletus. Sultan Pajang, dalam perjalanan kembali dari Prambanan ke Pajang dan selama bermalam di Tembayat, merasa bahwa kerajaannya telah berakhir, dan akan diganti oleh dinasti Mataram yang akan memerintah seluruh Jawa. 374
Setelah kembali di kota keraton, raja Pajang tidak lama kemudian meninggal - menurut salah satu cerita babad - akibat perbuatan seorang juru taman yang bersimpati kepada Senapati Mataram. Kemudian Sultan dimakamkan di Butuh. 375
372 Batu datar di Lipura (tidak terlalu jauh di barat daya Yogyakarta) kiranya dalam cerita-cerita tutur Mataram merupakan pusat sakral tanah Mataram. Menurut cerita babad dari Lipura - sesudah mereka mendengar ramalan surgawi - Senapati mengikuti Sungai Opak ke arah hilir sungai, menuju ke tempat kediaman Dewi Segara Kidul, sedang pamannya sekaligus penasihatnya, Juru Martani, menuju ke arah utara, ke puncak Gunung Merapi, untuk menghubungi kekuatan adikodrati. Dalam Graaf, Senapati (hlm. 75) beberapa hal telah diberitakan tentang Lipura. Kiranya dapat diduga bahwa kesucian tempat tersebut pada abad ke-16 itu merupakan peninggalan dari penghormatan religius orang-orang Mataram "kafir" sebagai penduduk kuno, penghuni Mataram yang asli. Mengenai perjalanan Juru Martani ke Merapi, penulis cerita babad tidak menyebutkan hal-hal yang istimewa. Sajian-sajian untuk labuh, yang sudah biasa dilakukan atas perintah raja-raja Mataram sampai abad ke-20 ini di empat tempat di Jawa Tengah sebelah selatan (di Gunung Merapi, Gunung Lawu, di pantai selatan, dan di Dlepih), sudah dikemukakan pada cat. 342. Juru Martani, Dewi Segara Kidul, dan Lipura juga disebutkan dalam cerita-cerita yang bersifat legendaris Nitik Sultan Agung (Ketentuan-ketentuan Sultan Agung), dan Baron Sakender (Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 160- 163).
373 Adegan cerita mengenai pelanggaran Raden Pabelan dan perginya Tumenggung Mayang dari Pajang ke Mataram sudah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 80 dst.). Dalam Djajadiningrat, Banten, diberitakan adanya "putra Adipati Pajang", yang dengan rasa kecewa meninggalkan Pajang, dan telah diterima oleh Ki Gede Mataram sebagai menantu. Nama Mayang tidak disebutkan. Mungkin pangeran Pajang ini, yang kemudian menjadi ipar Senapati Mataram, dapat dianggap sama dengan tumenggung d Mayang yang ditampilkan dalam cerita babad itu. Berdasarkan kata-kata putra Dipati Pajang, Djajadiningrat (Banten, hlm. 29-30) dapat membenarkan bahwa ia (putra Dipati Pajang) termasuk keturunan mereka yang memerintah Pajang sebelum Jaka Tingkir. Menurut Sadjarah Banten, kiranya Jaka Tingkir - anak emas Sultan Demak - di Pajang telah menjadi pengganti seorang "Adipati " yang baru saja meninggal. "Adipati Pajang" tua yang dimaksud Sadjarah Banten ini mungkin dapat dianggap sama dengan Yang Dipertuan di Pengging yang dimaksud dalam cerita tutur Jawa Tengah. Nama Pengging tidak muncul dalam Sadjarah Banten. Jadi, kiranya Tumenggung Mayang, yang mencari perlindungan di Mataram itu, mungkin juga seorang keturunan keluarga raja Pengging.
374 Cerita-cerita babad tentang "pertempuran dekat Prambanan" dan bermalamnya Sultan Pajang tua di Tembayat sudah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 82-87). Menurut Meinsma, Babad (hlm. 158), ada tiga menantu Sultan Pajang yang ikut bergerak melawan Mataram: adipati-adipati dari Demak, Tuban, dan Banten. Mengenai hubungan perkawinan antara keluarga raja Pajang dan Banten sama sekali tidak ada berita dalam cerita tutur Banten. Yang agaknya memang benar adalah bahwa raja dari Aros Baya (Madura Barat) telah memperistri seoradg putri dari Pajang.
375 Dalam Graaf, Senapati, telah dicantumkan tinjauan-tinjauan mengenai meninggalnya Sultan Pajang-dan tentang juru taman, yang kiranya telah terlibat dalam peristiwa itu. Mungkin juru taman itu nama roh halus.
Menantunya, raja Demak, memerintah di Pajang hanya untuk waktu yang singkat. la segera diusir oleh Pangeran Benawa, putra almarhum raja yang lebih muda, yang bekerja sama dengan Senapati Mataram. Baru sesudah Pangeran Benawa menyerahkan kekuasaan di Pajang kepada Senapati, raja Mataram yang muda itu dapat menganggap dirinya raja merdeka di Jawa Tengah bagian selatan. Sejak itu menurut cerita Jawa ia merhakai gelar "panembahan". Kejadian-kejadian itu dapat kita tempatkan pada tahun 1588. 376