6. Keraton Surabaya, pengaruh peradabannya yang meluas ke daerah pedalaman Jawa Timur dan Jawa Tengah pada abad ke-16 dan permulaan abad ke-17
XII-6. Keraton Surabaya, pengaruh peradabannya yang meluas ke daerah pedalaman Jawa Timur dan Jawa Tengah pada abad ke-16 dan permulaan abad ke-17
Panembahan Jayalengkara (kalau ini memang benar-benar namanya), sebagai raja merdeka Surabaya yang terakhir, terus gigih berjuang seumur hidupnya melawan perluasan-perluasan daerah ke arah timur yang dilakukan oleh raja-raja Mataram. Menurut Sadjarah Dalem, permaisurinya ialah seorang putri dari Kediri (dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Pekik), dan ia masih kerabat keluarga raja di Madiun yang asal
238 Bagian cerita dalam Meinsma, Babad (hlm. 182 dst.), mengenai kemampuan Sunan Giri untuk meramal, telah diberitakan dalam Bab XI-5 dan cat. 19. Penggolongan daerah-daerah secara urut, dalam tiga kelompok yang terpisah-pisah, perlu mendapat perhatian. Beda antara kelompok pertama dan ketiga (keduanya dari Pesisir) tidak terlalu jelas. Dalam Graaf, Senapati (hlm. 106) telah diajukan perkiraan bahwa permusuhan pertama antara raja Mataram dan raja Surabaya ini kiranya telah terjadi pada tahun 1589.
239 Dalam Graaf, Sultan Agung (hlm. 12 dst.), telah dicantumkan ikhtisar tentang berita-berita yang kira-kira dapat dipercaya mengenai raja-raja Surabaya pada abad ke-16. Sadjarah Dalem juga disebut-sebut di situ.
usulnya adalah Sultan Demak. Berdasarkan hubungan keturunan, tidak ada alasan yang mendorongnya untuk bersikap baik terhadap para penyerbu dari Mataram itu. Di bidang ekonomi dan sosial terdapat jurang yang dalam antara Mataram di pedalaman yang masih rendah peradabannya dan daerah-daerah Jawa Timur yang telah maju. Jawa Timur telah mempunyai kota-kota pelabuhan yang makmur. Peradabannya berkembang dengan adanya perdagangan laut dan pergaulan dengan orang-orang asing.
Nama Jayalengkara beberapa kali disebut dalam sastra Jawa. 240 Menurut buku- buku cerita abad ke-17 atau ke-18, moyang yang menurunkan raja-raja di Jenggala (di delta Sungai Brantas) adalah Inu Kertapati yang sangat tersohor itu, yang juga bernama Jayalengkara. Konon, ia mula-mula memerintah di tanah asalnya di alam maya, Mendang Kamulan.
Salah satu dari buku-buku hukum abad ke-16 atau ke-17, yang dapat dibandingkan dengan kitab Salokantara yang dianggap karangan Senapati Jimbun dari Demak, menyebut Raja Jayalengkara dari Mendang Kamulan sebagai pengarangnya.
Akhirnya ada sajak romantis-didaktis yang panjang, Jaya Lengkara, yang dikenal dalam berbagai versi. Yang dianggap sebagai pengarangnya ialah Pangeran Pekik dari Surabaya, dan nama Surabaya sering disebut di dalamnya.
Pemberitaan tentang nama Jayalengkara dalam sastra Jawa ini mudah menimbulkan perkiraan bahwa keraton Surabaya pada paruh kedua abad ke-16 dan juga pada abad ke-17 - yang berkali-kali disebut dalam cerita-cerita Jawa Tengah dari abad ke-19 - merupakan pusat peradaban Pesisir. Nama Pangeran Pekik sering disebut dalam cerita-cerita tutur Jawa Tenjah yang dihubungkan dengan perkembangan sastra pada abad ke-19. 241 Dapat diperkirakan bahwa kitab hukum Jaya Lengkara boleh dianggap hasil karya raja Surabaya yang hidup pada abad ke-16. Begitu pula halnya dengan Salokantara yang dianggap hasil karya raja Demak, Senapati Jimbun.
Dalam hikayat dari Surakarta yang ditulis pada abad ke-19, Pangeran Pekik dari Surabaya dianggap sebagai penulis atau pemberi ilham berbagai sastra romantis, antara lain Damarwulan. 242 Buku itu terkenal di seluruh Jawa dalam banyak versi dengan pelbagai perluasan dan penambahan yang terjadi kemudian. Cerita itu, sebagian khayalan, adalah tentang keluarga raja Majapahit yang sudah runtuh satu abad sebelum penulisnya lahir. Sebagian besar cerita itu meliputi peperangan antara raja-raja Majapahit dan raja-raja Blambangan. Perang yang pada abad ke-16 terpaksa dilakukan oleh raja-raja Surabaya melawan para penguasa "kafir" di Blambangan (telah
240 Lihat Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Jaya Lengkara". 241 Dalam kesusastraan Jawa banyak terdapat orang yang memakai nama Pekik; lihat Pigeaud, Literature jil. III, di bawah "Pekik".
Oleh karena itu, penjelasan etimologis bahwa Pekik, asal dari pekih, ucapan ltulisan Jawa untuk kata Arab faqih, yang berarti ahli hukum, tidaklah dapat diterima sepenuhnya.
242 Tinjauan pendek tentang kitab Damarwulan dimuat dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 231 dst.
diberitakan Tome Pires), dicerminkan dalam kisah sejarah Damarwulan ini. (Kisah itu sebenarnya memuat unsur-unsur mitos dan dongeng).
Seandainya dapat kita terima bahwa Jayalengkara memang nama seorang raja penting di Surabaya, ayah Pangeran Pekik pada permulaan abad ke-17, maka hubungan antara nama itu dan tokoh Panji dalam mitos perlu mendapat perhatian. 243 Menurut Sadjarah Dalem, raja-raja Jayalengkara dari Surabaya beristrikan seorang putri Kediri, sama halnya dengan tokoh legenda Panji Inu Kertapati dari Janggala. Menurut buku cerita Jawa (serat kandha), seorang moyang Panji Inu bernama Jayalengkara juga. Akhirnya, penguasa Surabaya, yang pada pertengahan abad ke-16 bertindak sebagai "juru bicara" raja-raja Jawa Timur dalam menghadapi raja Pajang, memakai nama Panji Wiryakrama - menurut cerita yang didengar Raffles (memang benar bahwa panji atau apanji, sebagai gelar keningratan kuno yang sudah dikenal sejak sebelum zaman Islam itu, masih tetap dipakai antara lain di daerah-daerah pedalaman Jawa Timur seperti Malang). Hubungan antara nama-nama Jayalengkara dan Panji itu menguatkan keyakinan bahwa - seperti halnya Damarwulan - apa yang biasa disebut cerita-cerita Panji yang romantis itu pun sebagian besar berkembang di Jawa Timur. Hal itu karena pengaruh Keraton Surabaya. Latar belakangnya yang bersifat mitos itu tentu berasal dari zaman yang jauh lebih tua.
Cerita-cerita Panji telah dikenal baik di daerah-daerah pantai Bali, Jawa, dan Surnatera, tempat peradaban Pesisir mendapat sambutan baik pada abad ke-16 dan ke-17. Cerita-cerita itu lebih dikenal daripada Damarwulan. Palembang adalah salah satu tempat di seberang yang amat banyak mendapat pengaruh peradaban Pesisir Jawa Timur. Sejarah Palembang pada abad ke-16 akan dibicarakan dalam Bab XVIII. Menurut cerita setempat, seseorang dari Surabaya, bernama Ki Gedeng Sura, dalam perempat terakhir abad ke-16 memegang pemerintahan di Palembang. Masa pemerintahan dalam sejarah Palembang ini dengan tepat bersambung dengan masa- masa pemerintahan raja-raja sebelumnya, yang semuanya sedikit banyak mempunyai hubungan baik dengan raja-raja di Jawa Timur sebelum zaman Islam.