3 Para ulama besar di Kudus
V-3 Para ulama besar di Kudus
Dalam cerita tutur Jawa, ulama Rahmatu'llahi dari Ngudung, penghulu Masjid Demak, kadang-kadang disebut juga Sunan Kudus, atau dicampuradukkan dengan dia. Sunan Kudus pertama yang sebenarnya ialah anaknya. Menurut cerita setempat (periksa: Solichin Salam, Kudus; Knebel, Babad Pasir; Rapporten, hal.150) Sunan ini konon bernama Ja'par Sidik. Pada mihrab masjid (dengan tahun yang sesuai dengan tahun 1549) disebutkan (menurut Solichin Salam) "al-qadhi Ja'far Shadiq" sebagai pendiri masjid. 106
Peristiwa-peristiwa penting dalam riwayat hidup Sunan Kudus pertama, kemenangan dalam perang melawan Majapahit, dan pendirian "kota suci", sudah dibicarakan di bagian sebelum ini. Uraian tentang hal ini berdasarkan cerita-cerita atau catatan-catatan dalam karya-karya tulis Jawa saja. Berita-berita Portugis atau Belanda tentang sejarah Kudus dari abad ke-16 tidak ada. Juga yang berikut ini bersumberkan buku-buku cerita Jawa dan cerita babad.
Dalam cerita tutur Jawa tampil Sunan Kudus sebagai penyebar agama yang ulung, yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Di samping kemenangan dalam Perang Majapahit, penaklukan Kebo Kenanga di Pengging, para Yang Dipertuan di Tingkir, Ngerang, dan Butuh di Jawa Tengah sebelah selatan (lihat Bab II-14), Sunan Kudus juga melakukan tindakan kekerasan terhadap guru mistik bid'ah Syekh Lemah Abang, yang akhirnya oleh Majelis Orang Suci dijatuhi hukuman mati. Yang dapat
105 Terus berlangsungnya gaya bangunan dari zaman sebelum Islam ke bangunan-bangunan Islam dari zaman Pesisir, yang dibangun atas perintah orang-orang suci Islam dan keturunan-keturunan mereka, dapat dibandingkan dengan terus hidupnya dan berkembangnya seni wayang dan seni gamelan dari zaman sebelum Islam, dan juga terus hidupnya seni sastra puisi Jawa (yang biasa disebut tembang "kecil") pada abad ke-16 dan ke-17, yang menurut cerita tutur Jawa disebabkan oleh kegiatan pelbagai tokoh wali. Cerita tutur ini telah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 245 dst. Menara Kudus dengan gaya bangunan Jawa dari zaman sebelum Islam merupakan bukti kecenderungan untuk bertahannya peradaban Jawa. Di bidang seni bangunan masih terdapat beberapa contoh lain lagi tentang bertahannya bentuk-bentuk sebelum zaman Islam dalam lingkungan masyarakat Islam: pintu-pintu gerbang pada tempat-tempat permakaman keramat Tembayat dan hiasan-hiasan pada makam-makam keramat di Giri/Gresik dan di Madura (aer Mata). Menurut Solichin Salam, kiranya ulama inilah "pencipta" tembang Mas Kumambang dan Mijil. Cerita tutur yang menghubungkan irama tembang "kecil" dengan orang- orang suci dalam agama Islam sudah dibicarakan juga dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 20 dst.
106 Nama Ja'far Shadiq atau Ja'far Sidik terdapat beberapa kali lagi dalam naskah-naskah Jawa; tidak jelas apakah yang dimaksudkan itu orang yang sama. Dalam Djajadiningrat, Banten (hlm. 26) ayah orang suci Jumadi'l-Kubra disebut dengan nama itu, dan dalam Codex LOr, no. 1977 (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 53) orang yang bernama demikian juga dianggap sebagai penyusun karangan berbahasa Arab tentang penujuman. Kedua pemberitaan ini mungkin saja menyangkut orang yang sama (sebagai tokoh legenda?). Brandes (Pararaton, hlm. 22) menyebutkan seseorang dengan nama Ja'far Sidik dari Lemah Abang, yang melawan Majapahit. Mungkin juga Ja'far Sidik ini adalah Sunan Kudus yang pertama, yaitu pahlawan dalam pertempuran melawan Majapahit. Menurut cerita tutur yang lazim di kalangan orang Jawa, hubungan antara Sunan Kudus dan Lemah Abang hanyalah dalam hal tertentu saja, yaitu bahwa ia termasuk orang yang paling keras menentang ahli mistik Syekh Lemah Abang, yang akhirnya oleh sidang lengkap orangorang suci dihukum mati karena ajaran bid'ahnya.
dibandingkan dengan peristiwa ini ialah cerita tutur tentang tindakannya yang penuh kekejaman terhadap Syekh Jangkung, yang sedianya akan dihukum mati, karena Syekh Jangkung berniat mendirikan masjid tanpa izin. Berkat usaha pembelaan Sunan Kalijaga, jiwa Jangkung masih dapat tertolong; sebagai gantinya salah seorang pengikutnya terpaksa menjalani hukuman itu. Karena itulah maka Syekh Jangkung mengikrarkan dendam abadi antara keturunannya dan keturunan Sunan Kudus (Hooykaas, "Djangkoeng"). Menurut cerita lain, seorang syekh lain, Syekh Maulana dari Krasak-Malang (dekat Kalinyamat), murid Sunan Gunungjati dari Cirebon, karena telah berani memberi malu dia dalam pertengkaran mengenai kebenaran mistik, konon juga dibunuh atas perintah Sunan Kudus (Rapporten, hal.168-175). Menurut cerita lain lagi, sebagai akibat kekuasaan Sunan Kudus yang luar biasa, Ki dan Ni Mulak, suami istri, murid-muridnya sendiri yang telah menjengkelkannya, telah berubah menjadi anjing- anjing hitam di dalam makam mereka (Codex LOr, No. 89912, koleksi Rinkes).
Terdapatnya bermacam-macam cerita tentang Sunan Kudus itu, walaupun sedikit sekali yang dapat dipercaya, menjadikan orang berpendapat bahwa Sunan Kudus telah menimbulkan kesan pada orang-orang sezaman dengan dia maupun yang hidup sesudahnya sebagai orang yang serba keras tindakannya dan sebagai penyebar agama yang ulung. Tidak dapat dikatakan bahwa semua ulama besar memiliki sifat- sifat semacam itu.
Menurut cerita Jawa Tengah yang kemudian, Sunan Kudus sebagai guru agama mempunyai hubungan yang amat erat dengan Aria Panangsang dari Jipang, sedang ia telah memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap Susuhunan Prawata dari Demak. Sebelumnya telah disebut cerita bahwa Aria Panangsang diberi kuasa oleh Sunan Kudus untuk membunuh Susuhunan. Menurut cerita lain (Serat Kandha, hal. 469), ia mau mendamaikan kembali Aria Panangsang dari Jipang dengan Jaka Tingkir yang kelak menjadi Sultan Pajang. Apa yang dituturkan sebagai contoh-contoh tindakan dalam perkembangan Kerajaan Demak adalah bukti bahwa ulama besar ini mempunyai kemauan dan perhatian terhadap masalah pemerintahan.
Di kotanya, Kudus, kecuali mendirikan masjid besar dari batu (dengan menaranya), ia membangun pula sebuah tempat kediaman yang megah bagi dirinya dan keluarganya. Lebih dahulu telah diberitakan bahwa keraton ini mempunyai masjid yang lebih kecil, yang sekarang bernama Masjid Suranata. Dapat diterima bahwa memiliki masjid sendiri dekat keraton pada abad ke-16 dan sesudahnya dipandang sebagai hak istimewa dan lambang kebesaran dan kewibawaan raja. 107
107 Giri, tempat kedudukan Sunan Giri, juga mempunyai dua masjid, seperti Kudus: kedua masjid itu telah dikunjungi oleh musafir-musafir Belanda pada abad ke-18 (Hoorn, Notitien; dan Rouffaer, "Encyclopaedie", hlm. 208). Keraton-keraton Surakarta dan Yogyakarta yang sekarang ini masing-masing juga mempunyai dua masjid: Masjid Besar di Alun-alun Utara dan Masjid Suranatan. Bangunan-bangunan itu ada persamaannya dengan bangunan-bangunan keramat bagi keluarga, yang di zaman sebelum Islam agaknya terdapat dekat tempat kediaman pribadi para raja dalam istananya.
Dalam karya tulis Melayu dan Jawa terdapat beberapa ungkapan yang menunjukkan bahwa di luar Jawa pun Kudus harum namanya sebagai pusat agama Islam. Meskipun Giri/Gresik dalam hal ini, lebih-lebih di Indonesia bagian timur, dianggap jauh lebih penting (ini akan dibicarakan pada Bab XI), Kudus dan Giri masih sebanding.
Pemberitaan Melayu tentang Kudus ditemukan dalam sajak-sajak Hamzah Pansuri, ulama-pengarang dari Sumatera Utara, yang diterbitkan oleh J. Doorenbos. Di situ dapat kita baca (Doorenbos, Hamzah Pansuri, hal. 45), bahwa sang pengarang mencari Tuhan secara berturut-turut di Mekkah, di Baros, dan di Kudus, tetapi akhirnya ia telah menemukan Tuhan di rumahnya sendiri. Hubungan antara ketiga nama kota ini perlu mendapat perhatian. 108 Dalam bahasa Jawa kisahnya terdapat dalam suatu syair tentang agama Islam, dalam bahasa Jawa-Sasak, dengan judul "Pangeran Sangu Pati". 109 Dalam sajak itu dibeda-bedakan tiga modalitas agama Islam (di Lombok): Jawa, Kudus atau Kampung, dan Arab atau Sembawa. Mungkin nama-nama ini ada kaitannya dengan daerah-daerah yang memasukkan agama Islam ke Lombok. Mungkin juga ada kaitannya dengan berbagai masjid kepunyaan para pembawa agama, seperti para pedagang-pelaut yang menetap di kota-kota pantai. Perlu diperhatikan disebutkannya Kudus, sebagai modalitas khusus, sesudah modalitas Jawa yang umum dan sudah dikenal itu (bagi pulau-pulau di sebelah timur kiranya yang dimaksud adalah Jawa Timur, Giri/Gresik, dan Surabaya). 110