1 Sumber-sumber penulisan sejarah kehidupan raja-raja Demak yang terakhir

III-1 Sumber-sumber penulisan sejarah kehidupan raja-raja Demak yang terakhir

Berita-berita Portugis yang menyangkut zaman ini, yang dimuat dalam buku Peregrinacao karangan Mendez Pinto (Pinto, Peregrinacao) dan satu dua pemberitaan lain, agak ringkas atau tidak dapat dipercaya. Cerita babad dan buku-buku cerita Jawa Tengah dalam paruh kedua abad ke-16, sesudah meninggalnya Sultan Tranggana yang perkasa itu di Demak, mengisahkan sering terjadinya perang dinasti, yang berakhir dengan munculnya Sultan Pajang. Para penulis Jawa di Keraton Mataram pada abad ke-17 dan ke-18 menganggap masa pendek Kejayaan dinasti Pajang sebagai masa peralihan dari zaman Demak ke zaman keluarga raja Jawa Tengah bagian selatan.

Ada dua peninggalan silsilah keluarga raja di Demak, yang dapat memberi gambaran yang jelas mengenai hubungan-hubungan kekeluargaan. Silsilah pertama berdasarkan buku 'Cerita tentang keturunan raja di Jawa' (Verhaal wegens de afkomst des konings van Java).. Silsilah ini tentu mula-mula disusun dalam bahasa Jawa oleh atau atas perintah Pangeran Purbaya putra Sultan Agung dari Banten, waktu ia terpaksa tinggal lama di Betawi (tahun 1684 sampai 1732). Karya tulis tersebut jatuh ke tangan Joan van Hoorn yang kemudian menjadi gubernur jenderal (tahun 1704-1709). Atas perintahnya tulisan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1867

- naskah tulisan Barat milik KLTLV (Hoorn, Notitien). Naskah Jawa ini dari awal abad ke-

18 merupakan dasar bagi penyusunan silsilah berikut ini. Anehnya, karya tulisan Jawa Barat ini tidak memberitakan apapun tentang adanya

hubungan kekeluargaan antara raja-raja Demak dan raja Pajang; sedangkan dalam tambo Mataram ada keterangan tentang hubungan tersebut.

Pangeran Tareng- ganu

Sultan Demak

Ratu Lepir

Pangeran Pangeran

(Lepin) tan

Silsilah kedua berdasarkan Hikayat Hasanuddin dari Banten (Edel, Hasanuddin) cabang keturunan Demak yang ada di Banten ditambahkan di sini demi jelasnya gambaran yang menyeluruh.

Saudara Aria Trenggana, Sultan

Perempuan

AhmadAbdu’l

Arifin dari Demak (- 1546)

Ratu Sedang n

Hasanuddi Pangeran

Pangeran

Pangeran

Ratu Aria

Lepen

Ratu

Jipang

Jepara

Luhut

Yusuf

Jelaslah bahwa kedua silsilah dapat dibandingkan. Banyak tokoh yang disebutkan di situ akan dibicarakan dalam bagian-bagian yang berikut ini.

Ill-2 Raja Demak keempat, Susuhunan Prawata, lagenda dan sejarah

Menurut Mendez Pinto (Pinto, Peregrinacao), meninggalnya Sultan Demak, Tranggana, secara mendadak dalam ekspedisi melawan Pasuruan (Panarukan) di ujung timur Jawa pada tahun 1546, telah mengakibatkan timbulnya kekacauan dan pertempuran antara para calon pengganti raja. Ibu kota Demak hancur karenanya. Pinto mengabarkan adanya pertempuran antara Yang Dipertuan di Cirebon dan "Laksamana" di "Panarukan" (yang dimaksud tentunya Pasuruan). Kedelapan raja yang berhak memilih raja baru (pengganti Sultan Tranggana) akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan Demak dan kembali saja. Pembesar-pembesar kerajaan yang masih tinggal, tanpa setahu "kelompok delapan" itu, pergi ke Jepara; di situ Yang

Dipertuan di Surabaya, "Pate Sudayo", terpilih untuk mengisi jabatan sebagai Sultan Demak. "Pate Sudayo" ini berkedudukan di "Pisammanes", yang jauhnya dua betas jam perjalanan dari Demak. Dalam jangka waktu sembilan hari ia muncul di Demak dengan membawa bala tentara yang sangat besar. la mulai memulihkan ketertiban dengan menggunakan kekejaman dan pertumpahan darah. Pada waktu itulah Mendez meninggalkan Jawa. Jadi, dalam bukunya Peregrinacao ia tidak memberitakan bagaimana penggantian raja itu akhirnya dapat diatur.

Cerita-cerita penulis Portugis ini, yang secara mencolok dihiasi dengan pemberitaan mengenai jumlah prajurit dan kapal yang luar biasa besarnya, sama sekali tidak dikuatkan kebenarannya oleh cerita-cerita babad Jawa (tidak seperti pemberitaan- pemberitaan Tome Pires, yang benar-benar dikuatkan oleh cerita-cerita babad Jawa). Tidak mustahil kalau Mendez Pinto, seperti halnya mengenai Pasuruan dan Panarukan, mengacaukan nama-nama geografis itu karena tidak mengenalnya. Mungkin seorang penguasa dari Jawa Timur (Surabaya, Sidayu (?), Pasuruan), dalam kekacauan yang terjadi sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546, telah berusaha merebut kekuasaan di Demak (sehingga pusat kepentingan politik Jawa akan berpindah lagi dari Jawa Tengah ke Jawa Timur). Tetapi ini tidak berhasil sama sekali. Cerita-cerita Jawa tidak mengungkapkan hat ini. Tetapi pemberitaan Mendez Pinto memang penting bahwa sebagai akibat kekacauan di Demak, wibawa Jepara - kota pelabuhannya - secara politis naik, sehingga putusan yang penting telah ditetapkan di situ. Sejarah Jepara akan dibicarakan dalam Bab VI.

Menurut semua cerita babad di Jawa Tengah, Sultan Tranggana di Demak diganti oleh Susuhunan Prawata, yang diberi nama sesuai dengan nama gunang (Gunung Prawata), tidak jauh dari ibu kota yang lama, yang menjadi tempat tinggalnya. Tempat kediaman ini (dalam pengasingan sukarela), dan gelar Susuhunan yang dalam bentuk singkatnya - Sunan - juga dipakai oleh orang-orang suci Islam seperti Kalijaga, memberi petunjuk bahwa kekuasaan raja ini pertama-tama bersumber pada kewibawaannya sebagai pelindung agama. Nama pribadi "Susuhunan dari Gunung" itu agaknya tidak dikenal. Dalam Serat Kandha yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda (Serat Kandha, hat. 439), mengenai dia diberitakan bahwa "volgens eijgen verkiezing Priai Moenkim ofte eeti Heilige soesoehoenan van Prawata" (karena pilihannya

sendirilah ia telah menjadi Priayi Munkim atau Susuhunan Suci di Prawata). 75 Masuk akal bahwa selama masa pergolakan politik dan sesudahnya - yang mulai timbul di Demak sesudah mangkatnya Sultan - kekuasaan rohani seorang keturunan tingkat

75 "Munkim" dapat dihubungkan dengan mukim, suatu istilah yang berasal dari bahasa Arab (muqim), yang menurut hukum agama Islam (fiqih) berarti menetap/bertempat tinggal secara tetap (sebagai anggota jemaah masjid setempat). Kata itu di Aceh biasa dipakai dalam bahasa resmi perkantoran untuk menunjukkan pengertian masyarakat-haminte teritorial (Snouck Hurgronje, Achenese, jil. I, him. 80; Juynboll, Handleiding,hlm. 70). Menurut ilmu bahasa, kata mukim ada hubungannya dengan kaum (kata Arab qawn), yang dalam bahasa Jawa biasa dipakai dalam arti "masyarakat alim", yang tinggal dekat masjid. Di Jawa, dalam desa yang tidak ada masjidnya, kata "kaum " bahkan dapat berarti satu orang, yaitu "pejabat keagamaan desa", yang mewakili golongan Islam dalam pemerintahan desa. Tetapi Sunan Prawata dalam beberapa teks Jawa ternyata juga disebut Sunan Mukmin, yang berarti Orang Beriman yang Sejati (Arab: mu'min).

tinggi keluarga raja yang lama itu sajalah yang merupakan satu-satunya jaminan untuk mengembalikan ketertiban dalam batas tertentu. Dapat diduga bahwa Susuhunan di Prawata telah mencari dan mendapat juga bantuan dari "masyarakat orang alim", yang telah menganggap Masjid Demak yang suci itu sebagai pusatnya, yaitu masjid yang telah didirikan dan dikelola oleh keluarga raja Demak.

Daerah yang dijadikan tempat tinggal Susuhunan, yaitu Prawata, memang terkenal, dan sudah sejak abad ke-19 diselidiki oleh sarjana-sarjana Belanda. Menurut salah satu Serat Kandha (Codex LOr, No. 6379, jil. 9), konon, Prawata telah didirikan oleh Sultan

Tranggana sebagai taman sari, tempat menikmati kesegaran dan keindahan. 76 Silsilah-silsilah yang dicantumkan pada Bab III-1 tidak menyebut Susuhunan

Prawata. Mungkin ia harus dianggap sama orangnya dengan putra kedua Sultan Tranggana, yang dipanggil Pangeran Ratu (Sang Raja).

Pertempuran berdarah antara para calon pengganti raja, yang -katanya J disaksikan sendiri oleh Mend6z Pinto, muncul dalam babac Jawa Tengah dalam bentuk kisah mengenai serangkaian pembunuhan Menurut cerita-cerita babad dan buku-buku cerita (serat kandha) sesudah meninggalnya Sultan Tranggana, saudara laki-lakinya, Pangeran Seda Lepen, telah dibunuh atas perintah Susuhunan Prawata. Abdi-abdi pangeran tua itu kemudian membunuh orang yang telah mengakhiri nyawa majikannya itu (Babad Tanah Djawi, jil. IV, hal.12 dan Serat Kandha, Codex LOr, No. 6379, jil. 9). Seda Lepen meninggal d sungai adalah nama pangeran itu, yang diberikan sesudah ia meninggal; pembunuhan itu agaknya dilakukan dekat jembatan sungai. Tidak diberitakan alasan Susuhunan Prawata menyuruh membunuh pamannya. Dapatlah diduga bahwa pamannya itu pun calon pengganti raja. Pada silsilah yang disajikan di

76 Uraian tentang Prawata terdapat dalam karangan Veth, "Nalezingen". Uraian itu berdasarkan pada penyelidikan J. Knebel, kontrolir Kudus yang juga telah menyusun lampiran pada Rapporten mengenai daerah tersebut. Menurut Knebel, pada paruh kedua abad ke-19 di Undakan, suatu desa dekat Prawata, beberapa orang kebayan (anggota pemerintah desa bawahan) masih mempertahankan kebiasaan mengenakan kuluk (tutup kepala berbentuk kemcut), dengan tubuh bagian atas terbuka, karena mereka menganggap dirinya sebagai abdi raja Demak. Brumund juga menguraikan lagi tentang Prawata (Brumund, Hindoeisme). Di situ dilihatnya sebidang tanah yang oleh penduduk setempat disebut Sitinggil dan - dekat Garuda - kolam berisi kura-kura besar-besar berwarna belang, yang diberi makan seperti binatang keramat. Kolam kura-kura dekat Garuda itu juga pemah diberitakan oleh Domis (Domis, Aanteekeningen, bagian ke-3, hlm. 13), dan oleh Cornets de Groot Sr. (Comets

de Groot, "Grissee", hlm. 231), yang menamakan tempat itu Sendang Garuda atau Saniet. Sultan Demak rupanya berkali-kali berziarah ke tempat tersebut.

Kesucian Prawata juga terbukti dari suatu kenyataan bahwa di situ pada tahun 1680, pada akhir perang pergantian kekuasaan lima tahun di Jawa, telah terjadi pergolakan rakyat. Seorang wanita mengangkat dirinya sebagai "Ratu Tanah Jawa" dan mengirim lima utusan yang mengenakan pakaian rohaniwan (papeclederen) datang pada panglima tentara Belanda Couper untuk "memberi peringatan" kepadanya. Sunan Mangkurat II di Kartasura, setelah diberi tahu oleh Couper, memberi perintah untuk membunuh "orang-orang gelandangan" itu dan menghancurkan "keraton baru di Prawata" (Daghregister, berita bertanggal 11 November 1680).

Di Godong atau Gogodong, 7 atau 8 kilometer dari Prawata, terdapat gua dalam bukit batu karang yang mempunyai dua jalan keluar, dan yang menurut cerita tutur juga dianggap keramat oleh Keraton Demak. Pada tahun 1678 Antonio Hurdt (Graaft, Hurdr, hlm. 90), dalam ekspedisi dari Japara ke Kediri telah melewati Gogodong, dan ternyata "ada dua gua dalam batu karang, yang bertemu di bagian dalam, keduanya cukup lebar dan dari sini mengalir air yang sangat jernih, yang berasal dari pancuran mata air, dan yang diminum juga oleh Susuhunan dan opsiropsir kami". Diceritakan kapadanya bahwa "seorang sultan dari Demak, yang sangat besar nafsunya untuk memerintah dan ingin menguasai pemerintahan di Majapahit, telah bertapa di situ, madraga, empat puluh hari dengan berpuasa dan berdoa, agar dikuasainya seluruh wilayah Jawa." Menurut Knebel (Rapporten) di dekat Prawata masih ada tempat-tempat "keramat" lagi, yang menurut cerita tutur dahulu pemah ditempati Susuhunan yang dihormati itu. Di Kampung Swanagaran bahkan disimpan tempolong 'peludahan', yang dahulu dipakai Susuhunan sebagai benda wasiat.

atas ini, Lepen (boleh jadi singkatat dari Seda Lepen) ialah kakak Pangeran Ratu (yang boleh disamakan dengan Susuhunan Prawata), dan bukan pamannya. Tidak mudah untuk menyimpulkan apa yang benar-benar telah terjadi. Serat Kandha (Codex LOr, No. 6379) menyebut yang terbunuh itu dengan nama: Pangeran Saba Kingking. Konon ia ayah Aria Panangsang, yang pada gilirannya membalas dendam dengan pembunuhan

juga. 77 Sama sekali tidak ada berita yang dimuat dalam babad Jawa mengenai

pemerintahan Susuhunan Prawata. Tetapi ada surat Portugis yang ditulis oleh Manuel Pinto (bukan Fern. Mendtsz Pinto yang telah disebut di atas), ditujukan kepada Uskup Besar di Goa, bertanggal 7 Desember 1548, dan dikirim dari Malaka. Ternyata penulisnya singgah di Jawa dalam perjalanan pulang dari Sulawesi Selatan kembali ke Barat, dan mengadakan pembicaraan dengan raja. Menurut tanggalnya, mungkin raja

itu Susuhunan Prawata. 78

Manuel Pinto antara lain memberitakan, raja Jawa itu sedang berusaha mengislamkan seluruh Pulau Jawa. Raja berkata, bila usaha ini berhasil, ia akan menjadi segundo turco, maksudnya: menjadi sultan Turki yang kedua, setaraf dengan Suleiman I, Sang Pencinta Kemewahan (1520-1566). la mengira akan dapat dengan mudah menjatuhkan Malaka dengan menutup jalur-jalur pengiriman beras dari Jawa. Ia berkata juga bahwa sedang mempertimbangkan untuk mengirimkan ekspedisi ke Sulawesi Selatan dengan maksud menaklukkan dan mengislamkan daerah itu. Manuel Pinto berusaha supaya raja membuang pikiran tersebut karena khawatir kalau-kalau ekspedisi tentara Jawa akan merugikan Pastor Vicente Viegas yang pada waktu itu juga sedang berusaha memperkenalkan agama Kristen di Sulawesi Selatan.

Dari berita-berita Manuel Pinto, dapat ditarik kesimpulan bahwa raja Jawa itu mengetahui sedikit mengenai perkembangan politik di Eropa. Pada tahun 1547 Sultan Suleiman I telah mengkonsolidasikan kedudukannya di daerah-daerah Hungaria dengan mengadakan perjanjian dengan Kaisar Karel V. la seorang pahlawan agama Islam. Dr.Crucq telah berusaha (Crucq, "Kanon", hal. 362) membuktikan bahwa pada pertengahan abad ke-16 di Keraton Demak hidup seorang Portugis yang murtad, berasal dari Algarvia (bagian Portugis yang paling selatan), terkenal dengan nama Coje Geinal (mungkin saja Khoja Zainu'I-Abidin), yang kerjanya membuat meriam untuk raja.

77 Kisah romantis mengenai kematian raja Demak yang keempat telah dibicarakan oleh Brandes dalam suatu pembicaraan tentang Aria Panangsang. Mengenai Ratu Kalinyamat dari Jepara, yang telah mengucapkan kaul untuk tetap tidak memakai pakaian selama belum diadakan pembalasan terhadap pembunuh suaminya, yaitu Aria Panangsang, telah ditulis sebuah karangan oleh Dr. D.A. Rinkes (Rinkes, Genoveva,). (Lihat Bab VI tentang Jepara).

78 Surat Portugis yang ditulis oleh Manuel Pinto telah diterbitkan oleh P. Delplace (Delplace, Selectae). Buku tersebut sebagian diterjemahkan, dan sebagian lagi dijadikan ringkasan dalam tinjauan ilmiah C. Wessels (Wessels, "Wat staat"). Untuk studi mengenai sejarah Demak tersebut digunakan salinan surat yang berada di perpustakaan Istana Ajuda di Lisabon.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa orang inilah yang banyak memperluas pengetahuan

Keraton Demak tentang Eropa dan penyebaran agama Islam. 79

Boleh jadi raja Demak yang keempat ini telah menganggap dirinya penguasa yang berhak penuh atas kerajaan Islam itu dan sebagai pelindung agama Islam, sedangkan kekuasaan pemerintahan sebenarnya sudah beralih ke tangan orang lain. Pertumbuhan kekuasaan raja-raja Islam yang setengah merdeka di Jawa Barat (Cirebon dan Banten) dan di Jawa Timur (Surabaya dan Gresik-Giri) dimulai pada pertengahan abad ke-16; begitulah anggapan orang. Agaknya Susuhunan Prawata tidak kuasa mengubah situasi yang demikian itu. Sejarah kerajaan-kerajaan yang lebih kecil akan dibicarakan dalam bab-bab berikut.

Tidak ada berita-berita Portugis atau berita-berita Eropa lain mengenai akhir pemerintahan raja Demak ini. Sebaliknya, cerita-cerita dalam babad dan tambo Jawa Tengah memuat cerita romantis tentang pembunuhan Susuhunan Prawata. Konon, ia bersama istrinya telah dibunuh atas perintah atau oleh kemenakannya sendiri, Aria Panangsang, sebagai balas dendam atas kematian ayah Aria Panangsang, yang beberapa waktu sebelumnya dibunuh atas perintah Susuhunan Prawata. Aria Panangsang ialah raja bawahan di Jipang-Panolan (letaknya cukup jauh di sebelah timur Demak). la jugalah yang mengusahakan kematian Pangeran Kalinyamat, yang karena perkawinan masih mempunyai hubungan keluarga dengan raja Demak. Bahkan ia merencanakan pembunuhan terhadap Jaka Tingkir, yang kelak akan menjadi Sultan Pajang. Janda Pangeran Kalinyamat yang terbunuh itu kelak banyak dikenal sebagai Ratu Kalinyamat. Konon dengan tindakannya yang tepat telah dapat menggerakkan hati Jaka Tingkir untuk memerangi Aria Panangsang dari Jipang dengan tentara Pajangnya. Jipang ditundukkan, dan Aria Panangsang gugur. Demikianlah berakhir keluarga raja Demak cabang Jipang, dan mulailah Pajang memegang kekuasaan tunggal. Maka, berdirilah kerajaan pedalaman yang pertama di Jawa Tengah sebelah selatan, yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan politik besar selama berabad- abad. Para penulis sejarah pada abad ke-17 dan ke-18 memandang Pajang sebagai pelopor Kerajaan Mataram. Sejarah Jepara-Kalinyamat, sejarah Jipang-Panolan, dan sejarah Pajang masing-masing akan dibicarakan dalam Bab-Bab VI, IX, dan XIX (lihat juga cat. 73).

Sungguh suatu hal yang menarik perhatian bahwa silsilah yang berdasarkan naskah-naskah Jawa Barat, seperti tercantum di atas (Bab III-1), tidak memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas yang dapat menguatkan kebenaran cerita-cerita babad. Pada silsilah itu terdapat satu orang pangeran Jipang, yang dikisahkan sebagai adik

79 Sejak permulaan abad ke-16, para raja di Nusantara sangat mendambakan memiliki meriam. Meriam-meriam itu, kecuali dipakai sebagai senjata, juga dianggap sebagai tanda kekuasaan raja. Penelitian Crucq tentang asal meriam-meriam tua di Jawa penting bagi penulisan sejarah (Crucq, "Kanon"). Sarjana-sarjana Jawa juga merasa tertarik pada asal meriam-meriam tua itu (yang tentunya mempunyai nama panggilan masing-masing). Dalam beberapa cerita rakyat tentang sejarah lama kerajaan-kerajaan Jawa yang bersifat legenda, meriam-meriam itu mempunyai kedudukan penting (Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Cannon"; jugacat.137).

laki-laki Pangeran Ratu, yang boleh dianggap sama dengan Susuhunan Prawata dalam cerita babad di Jawa Tengah. Nama Aria Panangsang tidak terdapat dalam silsilah tersebut. Kenyataan ini mendorong kita untuk berhati-hati sebelum gambaran keadaan yang serba romantis dalam babad itu kita terima sebagai kebenaran historis.

Menurut Babad Giyanti (Yasadipura, Babad, jil. IV, hal. 43), baik Susuhunan Prawata maupun musuhnya, Aria Panangsang, menemui ajalnya pada tahun 1549 M. (tahun Jawa 1471). Tahun 1549 sebagai tahun kematian Susuhunan Prawata - raja Demak yang keempat dan terakhir sebagai raja merdeka - tampaknya dapat dipercaya, karena dua tahun kemudian Ratu Putri di Jepara, Ratu Kalinyamat, dengan kapal- kapalnya telah ikut serta mengadakan ekspedisi penting melawan Malaka. Ini terbukti dari berita-berita Portugis. Dapat dimengerti bahwa ia merasa aman pada waktu itu di kotanya, Jepara, karena kemenangan sekutunya, Sultan Pajang, telah mengakhiri kekalutan-kekalutan Demak di lingkungan dekatnya.

Pemerintahan pendek Susuhunan Prawata dari Demak (1546-1549) merupakan antiklimaks terhadap masa kejayaan raja yang mendahulainya, Sultan Tranggana, yang sebagai raja Islam telah memerintah sebagian besar Pulau Jawa. Jatuhnya kekuasaan Demak sesudah tahun 1546 tampaknya tidak terlalu banyak mencemarkan wibawa- religius masjid sucinya dan keturunan Sultan. Masjid tersebut dalam abad-abad berikutnya masih menjadi pusat bagi orang-orang alim di Jawa Tengah, dan keturunan raja-raja Demak masih lama diperlakukan dengan hormat dan rasa segan di keraton raja-raja Jawa yang lain. Orang-orang Portugis - yang berjumpa dengan seorang pangeran Demak di tempat pengasingannya di Keraton Banten - menghormati pangeran itu sebagal wakil keturunan "kaisar-kaisar" di Jawa. Gelar Susuhunan dan tempaf tinggal di "gunung" (Prawata), yang kita ketahui dari raja merdeka yang terakhir, dapat dianggap sebagai petunjuk bahwa waktu ia masih hidup pun wibawa religius

Demak lebih penting daripada kekuasaan politiknya.' 80

80 Kapan mulai dipakainya gelar-gelar susuhunan, sunan, sinuhun, dan kasuhun belum dapat dipastikan. Gelar-gelar sinuhun dan kasuhun terdapat dalam naskah-naskah yang tidak berasal dari kalangan Islam, sebagai gelar dari Kekuasaan Gaib, yang berkuasa di Selatan, di Samudra (Pigeaud, Literature, jil. II, di bawah "Sinuhun", "Kasuhun"). Ini menjadi petunjuk bahwa kata- kata ini dari zaman dahulu kala sudah berjiwa religius. Sunan telah menjadi gelar yang lazim diperuntukkan bagi Orang-orang Suci di Jawa. Belum pasti apakah gelar susuhunan itu oleh raja Demak yang terakhir itu sendiri sudah dipakai. Jika belum, alasannya mungkin kekuasaannya tidak cukup besar untuk memakai gelar itu. Pertimbangan ini juga berlaku bagi keturunan- keturunannya yang menyebut dia sebagai Susuhunan Prawata.

Agak ganjil bahwa raja Mataram yang ketiga, yang terkenal sebagai Sultan Agung, sejak tahun 1624 memakai gelar susuhunan, sebelum ia berhak memakai gelar sultan. Kebanyakan raja dari keluarga-raja Mataram di Jawa Tengah meniru beliau dan menamakan diri susuhunan. Pembuatan "sitinggil" yaitu "tanah yang ditinggikan" (serambi yang lebih tinggi dari tanah sekitarnya, tempat duduk raja), sebagai singgasana, agar pandangan raja dapat meliputi seluruh alun-alun keraton, mungkin dapat dihubungkan dengan gelar susuhunan ini ("Yang Dijunjung Tinggi"; lihat Grad, Sultan Agung, hlm. 108-110, dan hlm. 127-131).

Hal yang menarik perhatian juga ialah adanya kesesuaian nama gelar Susuhunan Prawata yang dipakai oleh raja Demak terakhir yang "alim" dengan gelar Sunan Gunung Jati ("Orang Suci di Gunungjati") yang dipakai oleh cikal bakal keluarga raja Cirebon, dan dengan gelar Sunan Giri ("Orang Suci di Gunung") yang dipakai "imam raja" di Giri-Gresik. Kiranya mustahil kesesuaian ini bersifat kebetulan belaka. Lebih masuk akal perkiraan bahwa pada pertengahan abad ke-16 para penguasa Islam, yang sejak waktu yang belum lama (tidak lebih dari satu abad) telah mencapai kebesaran dan kedudukan yang tinggi, mulai beranggapan bahwa tempat tinggal atau istana kebesaran di atas tempat yang berketinggian itu sudah merupakan kebiasaan dan berkaitan dengan kekuasaan mereka, yang berdasarkan agama itu. Peradaban Jawa sebelum zaman Islam telah mengenal bangunan-bangunan keramat di atas gunung, candi-candi di lereng-lereng gunung bagi dewa-dewa, dan

Mungkin sekali pada pertengahan abad ke-16 perdagangan di laut sebagian besar sudah pindah dari Demak ke Jepara, karena selat dangkal yang merupakan jalan masuk ke Demak sudah tertutup oleh endapan lumpur. Pada paruh kedua abad ke-16 dan pada abad ke-17 Jepara merupakan kota pelabuhan Jawa Tengah yang terpenting.