9 Hubungan antara kerajaan Islam Demak dan kerajaan kuno Majapahit yang "kafir"; legenda dan sejarah
II-9 Hubungan antara kerajaan Islam Demak dan kerajaan kuno Majapahit yang "kafir"; legenda dan sejarah
Berita Jawa tentang masa akhir kerajaan tua itu simpang siur dan berbau dongeng. Berita tersebut terdapat dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari abad ke-17 dan ke-18, paling sedikit dua abad sesudah kejadian-kejadian itu berlangsung. Tidak bisa diperoleh buku-buku sejarah Jawa, yang bersudut pandang "kafir", yang bertepatan atau hampir bertepatan waktu dengan kejadiannya, yang dengan panjang lebar mengisahkan peristiwa-peristiwa selama satu setengah abad terakhir berdirinya
40 Menurut cerita tutur yang bersifat sejarah tentang raja-raja Melayu (Sajarah Melayu, Bab II), raja Malaka yang ketiga telah menerima gelar dan nama Sultan Muhammad Shah dari Sayid Abdu'l Aziz dari Jedah. Tampilnya orang Arab terkemuka ini dapat dibandingkan dengan apa yang dikisahkan oleh cerita tutur Jawa tentang Syekh Nuruddin dan raja Demak. Ada keanehan bahwa menurut berita seorang Portugis (Barros, Da Asia), "Raja Jepara" telah merelakan dirinya "diislamkan" oleh Palatehan. Ini mungkin dapat diartikan bahwa raja Demak telah diakui dan diumumkan sebagai sultan dan raja Islam yang sebenarnya oleh Sunan Gunungjati.
Dalam sejarah dinasti Jawa yang lebih muda, diketahui bahwa beberapa raja telah meminta atau menerima bantuan atau persetujuan ulama terkemuka guna memperoleh gelar sultan. Raja Pajang bersama dengan raja Demak diakui sebagai sultan oleh Sunan Gunungjati. Cerita yang sukar dipercaya ini tercantum dalam riwayat singkat raja-raja Cirebon, yang pada tahun 1684 disusun oleh Panglima Jacob Couper (yang dapat berbahasa Jawa) untuk keperluan Pemerintah Tinggi di Betawi. Cerita serupa itu telah dicantumkan oleh Ds. Valentijn dalam karyanya yang terkenal yang bersifat ensiklopedi itu (Valentijn, Oud en Nieuw, jil. IV, hlm. 69). Antara pemerintahan raja Pajang dan pemerintahan Sultan Demak yang pertama terdapat jarak waktu hampir setengah abad. Yang mungkin lebih besar kebenarannya ialah cerita (Meinsma, Babad, hlm. 121) bahwa raja Pajang menerima gelar sultan itu (1581 M.) dari Sunan Giri (di Gresik). Yang dapat dipercaya pula ialah berita-berita bahwa Syerif di Mekkah yang pada waktu itu memegang kekuasaan, pada tahun 1638 dengan perantaraan surat telah mengakui raja Banten dan pada tahun 1641 mengakui raja Mataram sebagai sultan. Raja Mataram sejak itu disebut Sultan Agung. Diketahui juga adanya kejadian-kejadian mengenai raja-raja atau para calon raja, yang minta bantuan tokoh-tokoh agama sebagai penengah dalam perselisihan keluarga mereka. Sunan Giri tersebut di atas rupanya telah bertindak sebagai penengah antara raja Surabaya dan Panembahan Senapati Mataram; Panembahan Senapati telah mendengar ramalan bahwa keturunannya akan menjadi maharaja di seluruh Jawa. Dengan disaksikan oleh Panglima Couper tersebut di atas, pada tahun 1680, Sunan Giri telah menolak permintaan bantuan Mangkurat II dari Mataram dan menjatuhkan pilihannya pada Pangeran Puger; dan Pangeran Puger kemudian menjadi raja Mataram. Dalam hubungan ini Couper bahkan menganggapnya sebagai suatu pengurapan 'menjadi raja'. Tetapi upacara serupa itu, seperti upacara naik tahta yang berlaku bagi raja-raja Eropa, sepanjang diketahui
terhadap raja-raja Islam. Akhirnya diketahui adanya surat Jawa dari tahun 1708 (terjemahan ke dalam bahasa Belanda terdapat dalam buku Bataviaas Inkomend Briefboek, .1709, jil. VIII), yang menyatakan anggapan penulis surat itu tentang raja-raja Mataram dahulu, seolah- olah mereka itu "ditetapkan sebagai raja oleh sahabat-sahabat Tuhan, para wali tua itu, dengan persetujuan dari Mekkah". Kiranya dapat dipertimbangkan, apakah pengaruh yang cukup besar dari. para pemimpin rohani terhadap putusan-putusan politik dan penggantian raja-raja Jawa ini merupakan sisa-sisa kekuasaan, yang dimiliki para pendeta brahmana maupun para rohaniwan lain pada zaman Hindu di Jawa, (sebelum zaman Islam) untuk dapat bertindak terhadap kaum awam, bahkan juga terhadap raja.
orang,
di
Jawa
tidak
pernah
dilakukan dilakukan
tahun peristiwa tak banyak memberi petunjuk. 41
Dalam bagian ini mengenai kerajaan Islam Demak cukup disebutkan bahwa buku- buku cerita (Serat Kandha) dan cerita babad yang kemudian bersifat Islam, selama masa akhir berdirinya kerajaan "kafir" Majapahit menonjolkan beberapa tokoh dalam suasana cerita legenda saja. Dalam cerita tutur Islam, raja-raja Majapahit bernama Brawijaya; disebutkan adanya beberapa Brawijaya selama beberapa generasi 'berturut- turut. Perdana Menteri Majapahit, patih raja, dalam legenda-legenda itu bernama Udara atau Madura. Nama ini muncul juga dalam ceiita "Damarwulan" yang berasal dari
zaman permulaan Islam. 42
Yang lebih penting untuk kepastian sejarah ialah pemberitaan-pemberitaan musafir Portugis, Tome Pires. Pada dasawarsa kedua abad ke-16, waktu ia mengunjungi Jawa, kerajaan tua itu masih ada. Ibu kotanya dinamakan Dayo, dan rajanya diberi nama Batara Vigiaja. Menurut Pires, raja ini tunduk pada Fiso-Rey a Capitam Mor. Guste Pate yang dahulu juga dmamakan Pate Amdura atau Pate Andura. Guste pate ini ayah mertua Raja dan juga ayah mertua Pate Madura. Anak laki-lakinya memerintah suatu daerah, Gamda. Kakek Guste Pate dahulu sudah menjadi tokoh penting di Keraton Majapahit.
Menurut Tome Pires, Guste Pate ini telah berkali-kali berperang melawan raja-raja Islam di Jepara, Demak, dan Tidunang (Tedunan). Kemenangan orang-orang Islam dan runtuhnya kota-raja yang tua itu, tidak dialami lagi oleh musafir Portugis itu; ia telah meninggalkan Jawa. Nama-nama yang disebutnya dalam pemberitaan-pemberitaan tentang kerajaan tua itu kebanyakan mudah dikenal. Batara Vigiaja itu sama dengan Brawijaya dalam cerita tutur Jawa, dan Amdura adalah Udara atau Mahudara, patih yang legendaris. Gamda, daerah yang dikuasai putra Guste Pate, kiranya dapat dihubungkan dengan Gajah Mada, nama perdana menteri yang tersohor dari abad ke-
14. Gelar Guste dapat diartikan "gusti patih". 43 Yang aneh ialah bahwa nama Majapahit, dalam bentuk apa pun, tidak terdapat dalam buku Tome Pires, Surna Oriental. Nama Dayo ialah satu-satunya nama yang dipakai untuk menyebut ibu kota tua itu. Tetapi pemberitaan mengenai kerajaan tua itu, yang dimuat dalam buku
41 Mundurnya kekuasaan raja-raja Majapahit di Nusantara pada abad ke-15 merupakan pokok isi sebuah tinjauan ilmiah Dr. De Graaf (Graaf, "Tome Pires").
42 Tentang Kisah Damarwulan, lihat cat. 9 sebelumnya. Ikhtisar singkat mengenai cerita-cerita legenda dalam pelbagai buku- buku cerita dan cerita babad tentang raja-raja Brawijaya di Majapahit terdapat dalam Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah kata "Majapahit".
43 Berita Tome Pires tentang Guste dan keluarganya serta daerahnya "Gamda" akan ditinjau lebih lanjut dalam Bab-bab 12-17, yang membicarakan Jawa Timur.
Portugis tersebut, menutup segala kemungkinan timbulnya keraguan-keraguan: pasti
Majapahit yang harum namanya itulah yang dimaksud. 44