2. Madura Barat pada paruh pertama abad ke-16, legenda dan sejarah

XIII-2. Madura Barat pada paruh pertama abad ke-16, legenda dan sejarah

Menurut Tome Pires, pada permulaan dasawarsa abad ke-16 raja Madura belum memeluk agama Islam. Ia termasuk golongan bangsawan tinggi, yang memperistri putri "Guste Pate" Majapahit yang perkasa itu. Tetapi ia masih dapat hidup damai dengan tetangga dekatnya, para penguasa di Gresik (yang beragama Islam). 251

Pada daftar tahun peristiwa Demak yang menyebutkan daerah-daerah yang ditaklukkan (lihat Bab II-12), nama Madura tidak dicantumkan. Menurut cerita Madura, putra mahkota di Madura Barat pada tahun 1450 J. (1528 M.) telah masuk Islam. 252 Angka 1450 (tahun Jawa) yang demikian "bulat" sebenarnya agak mencurigakan. Tetapi apabila diakui bahwa kota kerajaan yang lama, Majapahit, pada tahun 1527 M. telah diduduki oleh orang-orang Islam, tidak mustahil apabila penguasa di Madura Barat - yang sebenarnya seorang raja bawahan yang patuh terhadap maharaja "kafir" - pada tahun 1528 memutuskan untuk mengakui raja Islam baru di Jawa sebagai atasannya.

248 Buku cerita Jawa Tengah sedikit mencentakan selarah Madura yang bersifat legenda; lihat Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Darawati".

249 Lihat Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 135 dst. 250 Dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem, terdapat daftar para penguasa Madura pada hlm. 214 dst. Urutan generasi,

terutama mengenai zaman dahuiu, tidak selalu dapat dipercaya. Tetapi nama tempat-tempat yang rupanya menjadi tempat kedudukan para penguasa daerah ini, dan yang rupanya menjadi tempat mereka dimakamkan, merupakan bahan menarik untuk dipelajari.

251 Dalam Pires, Suma Oriental, Madura baru disebutkan pada bagian akhimya (hlm. 227). 252 Cerita-cerita tutur Madura Barat yang bersifat sejarah telah diuraikan dalam Pal mer, "Madoera" dan dalam Pa' Kamar,

"Madoera".

Pada tahun 1527 raja Tuban juga tunduk pada kekuasaan Demak. Menurut cerita tutur, keturunan raja Tuban, seperti juga keturunan raja Madura Barat, mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja Majapahit. Mungkin sikap Tuban pada tahun 1527 itu mempengaruhi sikap Madura Barat.

Adanya hubungan dengan jatuhnya kerajaan "kafir" Majapahit lalu menjadi lebih masuk akal, apabila cerita tutur Madura Barat tentang masuk Islamnya raja Islam pertama mengandung pokok kebenaran. Karena mimpi putra mahkota, seorang patih Madura, yang bernama Empu Bagna, diutus ke Jawa Tengah untuk mengetahui seluk- beluk keadaan di sana. la menyerah kepada Sunan Kudus untuk diislamkan, dan sekembalinya di Madura Barat ia dapat menggerakkan hati tuannya, sang putra mahkota, untuk berbuat demikian pula. Munculnya pahlawan yang menaklukkan Majapahit, yang kelak akan diberi gelar Sunan Kudus dalam legenda ini, memungkinkan adanya kebenaran bahwa keluarga raja Madura Barat sebagian besar karena terdorong oleh pertimbangan-pertimbangan politik - tanpa kekerasan senjata - telah mengambil keputusan mengakui penguasa Islam di Demak sebagai maharaja. (Dapat diterima bahwa karena hubungan dengan Gresik dan Surabaya, asas-asas keagamaan dan kemasyarakatan Islam dalam perempat pertama abad ke-16 sudah cukup dikenal di Madura; untuk mendapatkan keterangan tentang hal tersebut, putra mahkota tidak perlu lagi mengutus patihnya ke Jawa Tengah).

Menurut cerita tutur Madura Barat, putra mahkota yang telah masuk Islam itu bernama Pratanu; kelak ia terkenal sebagai Panembahan Lemah Duwur di Aros Baya. Ayahnya, raja tua, kiranya baru pada saat menjelang wafatnya menyatakan persetujuan untuk menerima agama baru, Islam, dengan menganggukkan kepala (bahasa Madura, angguq). Oleh karena itu, dalam cerita tutur ia mendapat julukan Pangeran Ongguq. Sebelum itu ia bernama Pragalba, dan nama istananya Palakaran atau Plakaran. Itulah nama raja tua tersebut dalam silsilah-silsilah. Dapat diperkirakan bahwa Pangeran Pakalaran, meskipun mengakui kekuasaan tertinggi raja Islam di Demak, masih beberapa tahun sesudah tahun 1528 memerintah Madura Barat sebagai raja "kafir" sebelum ia meninggal. Menurut cerita tutur, yang mungkin tidak sepenuhnya dapat dipercaya, konon tempat peristirahatannya yang terakhir ialah salah satu makam tua di tempat permakaman raja-raja "Aeng Mata" dekat Bangkalan. Di sini terdapat pula istri cicitnya, Cakraningrat I di Sampang, yang dianggap paling penting. (Cakraningrat sendiri dimakamkan di Imogiri, Mataram).