3. Runtuhnya Kerajaan Pengging pada paruh pertama abad ke-16
XIX-3. Runtuhnya Kerajaan Pengging pada paruh pertama abad ke-16
sekarang diberi nama "Bujangga Manik" sesuai dengan nama peziarah "kafir"-nya itu. Dalam karangannya Dr. Noorduyn membicarakan berita-berita lama, antara lain dari "Bujangga Manik" tentang lintas tambangan menyeberangi Bengawan Solo di Semanggi dan Solo, di daerah Bobodo.
322 Semanggi adalah nama tempat kedudukan raja bajul (raja buaya) ayah Jaka Sangara, yang sering disebutkan dalam ikhtisar Serat Kandha susunan Brandes (Brandes, Pararaton, hlm. 225). Bengawan Semanggi sebagai nama Bengawan Solo di daerah Pajang (Brandes, Register, hlm. 47) terdapat dalam uraian mengenai mengungsinya seorang tokoh raja dari Pajang ke timur (hlm. 233), dan mengenai serbuan-serbuan musuh secara tiba-tiba dari timur di Pajang (hlm. 310) dan di Kartasura (hlm. 625). Dalam Meinsma, Babad (hlm. 655) - masih juga dalam zaman Kartasura - pada paruh pertama abad ke-18, disebutkan desa Semanggi dekat Batu Rana, termasuk daerah Solo. Demang di Batu Rana, atas perintah susuhunan di Kartasura, telah mengusir pemberontak Pangeran Erucakra (yaitu Dipanagara I) dari Semanggi.
323 Dalam Serat Kandha (Brandes, Pararaton, hlm. 218-219) disebutkan Raden Juru, adik Patih Udara dari Majapahit. Raden Juru diceritakan beristrikan putri raja taklukan di Probolinggo (ujung timur Jawa), kemudian sesudah ia menjadi duda, kiranya ia bersama anak perempuannya telah memencilkan diri di tempat keramat di Gunung Eduk, untuk membaktikan diri kepada agama. Dalam Pigeaud, Tantu (hlm. 110) Duk ini disebutkan sebagai tempat suci (mungkin), letaknya (mungkin) di ujung timur Jawa. Bagaimana legenda dapat mempertemukan anak perempuan pemimpin rohani dari Duk dengan raja bajul dari Semanggi Jawa Tengah tidaklah jelas. Sebaliknya, dapat diperkirakan bahwa Jaka Sangara, cucu pemimpin dari Duk di ujung timur Jawa itu, adalah seorang yang berdarah keturunan patih Majapahit. la ikut perang di Blambangan dan Bali.
Juga tentang sejarah daerah Pajang zaman ini, hanya legenda-legenda yang tersedia yang diolah ke dalam buku-buku sejarah di Jawa Tengah abad ke-17 dan ke-
18. Hanya satu pemberitaan dalam buku Sadjarah Banten di Jawa Barat dapat kita ambil untuk bahan pembanding.
Dalam cerita tutur Jawa dikatakan bahwa Raja Andayaningrat dari Pengging dan salah satu dari kedua anak laki-lakinya, Kebo Kanigara, ikut bertempur bersama dengan panca tanda dari Terung dan patih Gajah Mada untuk mempertahankan kota raja Majapahit terhadap serangan "kelompok alim" Islam yang dipimpin Sunan Kudus. Andayaningrat gugur dalam peristiwa ini. Setelah kemenangan akhir dicapai oleh orang Islam, putranya yang kedua menggantikan ayahnya menjadi raja di Pengging. 324 Jika cerita tutur ini dapat dipercaya, Kerajaan Pengging rupanya masih tetap bertahan sampai perempat kedua abad ke-16; bukankah kota raja Majapahit pada tahun 1527 direbut oleh orang Islam?
Menurut Babad Tanah Djawi, kerajaan Pengging runtuh oleh tindakan kekerasan "Alim Ulama dari Kudus", yang juga dengan "kelompok alim"-nya telah memerangi "kekafiran" di Majapahit. Di Keraton Demak, karena rajanya telah dianggap sebagai raja Islam yang sesungguhnya sesudah Majapahit menyerah, orang yakin bahwa semua raja Jawa lainnya - terutama yang Islam - harus tunduk kepada Demak. Menurut cerita babad, raja Demak juga mencurigai Yang Dipertuan di Pengging; ia khawatir jika penguasa Pengging ini - karena masih ada hubungan keluarga dengannya - memberanikan diri mengambil kekuasaan sebagai raja (ing Pengging tilas kabupaten, sarta kapernah santana dening Sultan Dernak, bokmenawi amikir sumeja jemeneng ratu, Pengging bekas kabupaten, lagi pula ia masih kerabat Sultan Demak mungkin ia berpikir ingin menjadi raja). Menurut cerita tutur Jawa, raja-raja Demak dan Pengging masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Majapahit. Oleh karena itu, raja Demak lebih dahulu mengutus orang kepercayaannya, Ki Wanapala, dan kemudian Sunan Kudus, ke Pengging. Sementara para penguasa di Tingkir, Ngerang, dan Butuh telah bersedia menyerah, Kebo Kenanga dari Pengging tetap mempertahankan pendiriannya dalam perang lidah yang berkisar tentang "ilmu" (sami tarung bantah ing ngelmunipun, mereka berbantah tentang ilmu kebatinan). Akhirnya ia dibunuh oleh Sunan Kudus. 325 Karena anak laki-lakinya, Mas Krebet, satu-satunya
324 Kedua cerita tutur tentang dua raja Pengging ini telah diberitakan dalam Brandes, Pararaton, hlm. 229. 325 Sejarah kedua bersaudara Kebo Kanigara, ajar "kafir", yang bertapa di pegunungan untuk melakukan latihan-latihan
keagamaan, dan Kebo Kenanga, raja terakhir di Pengging, yang telah menjadi pengikut "bid'ah" dalam agama Islam, Pangeran Siti Jenar, telah diberitakan dengan cukup panjang lebar dalam Meinsma, Babad (hlm. 52 dan berikutnya; lihat juga Bab II-14). Kebo Kanigara bahkan bertapa sampai di dalam kawah (Gunung Merapi?) dan ia mati terbakar; tidak ada orang yang tahu di mana makamnya (amartapa dateng salebeting kawah; pejahipun obong, boten kantenan kuburipun). Mungkin legenda tentang kedua ajar bersaudara Arga Dewa dan Arga Dalem dari Gunung Merbabu itu (lihat Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 841, "Suluk Panepen") mempunyai sedikit hubungan pula dengan cerita tutur Pengging ini. Ikatan persaudaraan rohani yang telah diikrarkan bersama oleh keempat murid guru "bid'ah" dalam agama Islam Pangeran Siti Jenar, (tiyang sakawan wau sami manjing dados sadulur, sarta kempel manahipun dados satunggal, awit saking karsanipun Pangeran Siti Jenar), menurut cerita-cerita babad, mengingatkan orang pada kelompok-kelompok Empat Serangkai Suci dalam jemaah-jemaah rohani, yang agaknya telah terdapat dalam kepercayaan rakyat "kafir" di Jawa Timur, yang pasti ialah sejak abad ke-14. Mereka disebutkan dalam Nagara Kertagama (Pigeaud, Java, jil. III, hlm. 91, tembang 78, bait 7, dan jil. IV, hlm. 415 dan hlm.
pewaris, masih terlalu muda - kelak menetap di Pajang – sesudah Kebo Kenanga tidak ada penguasa lagi di Pengging. 326
Apabila cerita ini boleh dipercaya, tindakan kekerasan Sunan Kudus di Pengging itu (dua tahun sesudah diutusnya Ki Wanapala) terjadi pada permulaan dasawarsa keempat abad ke-16 (ini jika kita anggap bahwa Majapahit pada tahun 1527 telah diduduki oleh orang-orang Islam). Tindakan Sunan Kudus yang sangat terkenal terhadap "si bid'ah" Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara; Yang Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh. Itu sesuai pula dengan sifatnya yang gagah berani dalam perang melawan kota raja "kafir" Majapahit. 327
Sungguh mencolok bahwa cerita-cerita tutur Jawa yang mengenai Pengging dan Tembayat hampir tidak berhubungan. Apabila diakui bahwa legenda-legenda itu juga mempunyai sedikit nilai sejarah, seharusnya Kebo Kenanga itu hidup sezaman - sungguhpun lebih muda - dengan Sunan Tembayat pertama. Sunan Tembayat yang berasal dari Semarang itu konon untuk beberapa waktu tinggal di Wedi, dekat Klaten (lihat Bab II-14 dan cat. 53 dan 54). Daerah Klaten itu dahulu pasti termasuk wilayah raja-raja Pengging. Pada paruh kedua abad ke-16 Sultan Pajang memperlihatkan rasa hormatnya terhadap makam orang suci di Tembayat itu.