4. Jaka Tingkir, Kerajaan Pajang pada pertengahan abad ke.16

XIX-4. Jaka Tingkir, Kerajaan Pajang pada pertengahan abad ke.16

Mengenai asal dan riwayat hidup Sultan Pajang, yang telah melanjutkan kekuasaan dinasti Demak atas Jawa Tengah, buku-buku cerita (serat kandha) dan babad memuat banyak cerita. Pada pokoknya, isinya mengatakan bahwa ia putra raja Pengging terakhir yang dibunuh oleh Sunan Kudus. Waktu masih kecil ia bernama Mas Krebet,

484 dan berikutnya). Menurut cerita-cerita babad, Empat Serangkai yang telah menempatkan diri di bawah bimbingan Pangeran Siti Jenar itu, terdiri dari para penguasa di Pengging, Tingkir, Butuh, dan Ngerang, yaitu tempat-tempat yang dalam sejarah Pajang masih berkali-kali lagi disebutkan. Sultan Pajang dimakamkan di Butuh.

Pangeran Siti Jenar disamakan dengan Syekh Lemah Abang. Guru mistik yang menjadi tokoh legenda ini akibat ajaran bid'ahnya yang menghujah Tuhan telah dihukum mati di atas api unggun oleh orang-orang suci dari Masjid Demak (lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 387 dan 291; sebagai catatan: Siti Jenar berarti "Tanah Kuning", dan Lemah Abang artinya: "Tanah Merah"). Hubungan yang dalam cerita-cerita babad telah terjalin antara "ajaran bid'ah" Islam dan Empat Serangkai Suci, yang antara lain beranggotakan Pengging, menimbulkan dugaan bahwa di tanah pedalaman Jawa, terlepas dari pengaruh langsung kota-kota pelabuhan di pantai utara yang penduduknya berdarah campuran, agama Islam telah dapat diterima (mula-mula dalam bentuk mistik "bid'ah") dalam kelompok-kelompok atau jemaah-jemaah, yang kehidupannya dikuasai oleh pemikiran-pemikiran asli kuno tentang kehidupan.

326 Kerajaan Pengging mempunyai kedadukan penting dalam kisah-kisah sejarah gadungan berbentuk puisi, Aji Pamasa dan Wita Radya, karya pujangga di Surakarta pada akhir abad ke-19, Ranggawarsita. Karya-karya puisi ini tidak dapat diberi nilai historis. Ikhtisar-ikhtisar kedua kisah itu dalam bahasa Jawa telah dimuat dalam Poerwa dan Wira, Prarelan, jil. II, hlm. 147,19 dst. Ikhtisar-ikhtisar itu terbit pada tahun 1896 dan 1900. Pada waktu itu Pengging ternyata sudah menjadi nama yang termasuk dalam dongeng yang sudah lama silam. Ranggawarsita sendiri, yang termasuk keluarga Yasadipura, telah mengira bahwa keturunannya mempunyai hubungan dengan keturunan Sultan Pajang, dan karenanya mempunyai hubungan juga dengan keturunan raja-raja Pengging.

327 Legenda-legenda tentang Syekh Lemah Abang dan orang-orang suci lain telah dibicarakan dalam Rinkes, Heiligen.

karena pada saat lahirnya wayang beber sedang dipertunjukkan di rumah ayahnya. 328 Pada masa remaja ia bernama Jaka Tingkir, sesuai dengan nama Tingkir, tempat ia dibesarkan.

Jaka Tingkir telah menjadi pahlawan dongeng di Jawa Tengah bagian selatan. Banyak cerita yang hebat-hebat tersebar luas. la dianggap mempunyai kekuasaan atas masyarakat buaya, demikian pula (yang diduga menjadi) kakeknya Jaka Sangara, yaitu Raja Andayaningrat. 329

Meskipun tidak pasti bahwa yang kelak menjadi sultan Pajang itu berasal dari keluarga raja Pengging, maksud untuk mengangkat raja lagi bagi daerah Pengging, sesudah meninggalnya Kebo Kenanga, jelas terbukti dari putusan raja Demak untuk mengusahakan supaya Jaka Tingkir menetap di Pajang. Pejuang muda ini telah masuk keluarga raja (Demak) karena perkawinannya dengan putri Sultan Tranggana yang muda. Menurut cerita babad, kediaman raja di Pajang dibangun dengan mencontoh keraton di Demak.

Waktu pada tahun 1546 Sultan Demak meninggal (dalam aksi militer - atau karena akibatnya - ke ujung timur Jawa), konon raja Pajang yang masih muda itu - menantu raja - selama kekacauan berkecamuk di ibu kota cepat mengambil alih kekuasaan. 330 Menurut cerita tutur Mataram, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu,

328 Cerita tentang kelahiran dan masa muda calon yang kelak akan menjadi Sultan Pajang dikisahkan dengan panjang lebar dalam Meinsma, Babad (hlm.55), dan dalam bentuk ikhtisar diuraikan dalam Graaf, Senapati (hlm. 16). Pemberian nama krebet untuk wayang beber, suatu jenis pentas Jawa yang jarang kita jumpai lagi, sebenarnya hanya diketahui dari Babad Tanah Djawi ini. Pertemuan di Pengging, yang kiranya dihadiri oleh para penguasa dari Tingkir, Ngerang, dan Butuh untuk menyaksikan pertunjukan wayang beber, menimbulkan dugaan bahwa pertunjukan itu mempunyai fungsi sebagai upacara suci. Cerita tutur Jawa menganggap wayang pada umumnya sebagai hasil ciptaan orang-orang suci dalam agama Islam. Ini tidak mungkin benar (lihat cat. 68 dan Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 245). Pertunjukan wayang, dan apa pun yang berkaitan dengan pertunjukan itu, berasal dari masa sebelum zaman Islam. Berita mengenai pertunjukan wayang beber, yang diadakan berkenaan dengan dilangsungkannya pertemuan (yang mungkin bersifat) religius antara pengikut Pangeran Siti Jenar, memang merupakan suatu petunjuk bahwa (mungkin) kepercayaan rakyat sebelum zaman Islam di tanah pedalaman Jawa dan pemikiran-pemikiran mistik "bid'ah" (yang hampir-hampir panteistis sifatnya) telah bertemu dalam alam pertunjukan wayang yang sakral itu. Yang aneh dalam Babad Tanah Djawi ini ialah bahwa ayahnya, Ki Gede Pengging, telah menyerahkan anaknya kepada "saudara tuanya" dalam keimanan agama, Yang Dipertuan di Tingkir; oleh penguasa di Tingkir anak tersebut diberi nama Krebet, yang kelak sebagai bujang diberi julukan Jaka Tingkir, sesuai dengan nama ayah angkatnya. Dapat diperkirakan bahwa cerita ini pada abad ke-17 telah dibuat-buat orang, dengan maksud supaya hubungan keluarga antara Jaka Tingkir, pahlawan yang terkenal, yang kelak menjadi Sultan Pajang, dan keluarga raja lama di Pengging dapat diterima. Mungkin Jaka Tingkir itu bukan anak kandung Ki Gede Pengging, dan juga bukan cucu Raja Andayaningrat. Namun cerita tentang bertemunya Empat Serangkai di Pengging, pertunjukan wayang, dan perang lidah dengan Sunan Kudus memang dapat dianggap sebagai suatu ungkapan tentang hubungan-hubungan kemasyarakatan dan keagamaan di tanah pedalaman Jawa Tengah pada paruh pertama abad ke-16, yang pada abad ke-17 belum dilupakan orang.

329 Suatu pandangan singkat tentang cerita-cerita ajaib dalam buku-buku cerita (serat kandha) dan cerita-cerita babad mengenai Jaka Tingkir telah dimuat dalam Djajadiningrat, Banten, terutama hlm. 226-228 dan 270-277. Hubungan (keluarga) Jaka Tingkir dan Jaka Sangara dengan kaum buaya membangkitkan ingatan pada legenda tentang raja pemakan manusia, Dewata Cengkar dari Mendang Kamulan, tanah asal segala asal dalam dongeng mitos. Dewata Cengkar telah diusir dari tempat kedudukannya sebagai raja oleh Ajisaka dari negeri asing ("Rum"), dan raja tersebut selanjutnya hidup terus scbagai Buaya Putih di Lautan Selatan. Sesudah Ajisaka berangkat meninggalkan Jawa (kembali ke "Rum"), putra Dewata Cengkar, Daniswara, memerintah kembali sebagai raja di Mendang Kamulan (lihat Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 358). Daniswara mendapat pelajaran dari raja ular (?) yang bijaksana, Sindula, kakeknya (Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah kata "Sindula" dan "Cindula"). Mungkin terdapat sedikit hubungan antara cerita-cerita mitos Jawa Tengah tentang Mendang Kamulan ini dan legenda-legenda Pengging dan Jaka Tingkir. Jarak antara Mendang Kamulan di daerah Grobogan dan Pengging tidak terlalu jauh. Bahwa tempat-tempat lama seperti Tingkir, Tarub, Sesela, dan Mendang Kamulan letaknya berdekatan telah diketengahkan dalam Graaf, Senapati, hlm. 10 dst.

330 Sejarah pengambilalihan kekuasaan di Kerajaan Demak oleh raja Pajang yang muda itu sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546, telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati hlm. 24-43 dan pada Bab III-2 buku ini.

yaitu orang suci yang di Jawa Tengah bagian selatan dianggap yang terpenting di antara Sembilan Wali. Sunan Kalijaga rupa-rupanya telah menjadi penghulu masjid suci di Demak sesudah Sunan Kudus. Seorang anak perempuannya telah diambil oleh Sultan Tranggana sebagai permaisuri muda. Dari perkawinan ini lahir ratu muda di Pajang, permaisuri Jaka Tingkir, dan adiknya yang laki-laki, Raden Mas Timur, yang kelak menjadi Panembahan Mas di Madiun. 331 Apabila cerita tutur itu mengandung kebenaran, maka kiranya raja Pajang yang muda tersebut waktu bertindak di Demak telah dapat mengandalkan wibawa rohani kakeknya Sunan Kalijaga, yang juga menjadi gurunya. Menurut cerita tutur, putra sulung Sultan Tranggana, yang lahir dari perkawinan yang lebih dahulu, diberi kedudukan sebagai ulama saja. la bergelar Susuhunan Prawata.

Pada tahun 1549 Susuhunan Prawata dibunuh atas perintah kemenakannya Aria Panangsang dari Jipang yang merasa berhak atas tahta Kerajaan Demak. Aria Panangsang tidak lama kemudian dikalahkan dan dibunuh dalam perang tanding oleh Jaka Tingkir dari Pajang; Jaka Tingkir membalas dendam karena iparnya, Susuhunan Prawata, telah dibunuh oleh Aria Panangsang. Kekuasaan Kerajaan Jipang patah, dan kekuasaan Pajang sejak itu diakui oleh sebagian besar pedalaman Jawa Tengah. 332 Ratu putri Kalinyamat, ipar perempuan raja Pajang yang lebih tua (seperti halnya ratu muda Pajang, ia pun putri Sultan Tranggana), memerintah di Jepara, dan dari situ ia memerintah juga Pesisir Jawa sebelah barat. 333 Ki Panjawi, raja Pati, teman seperjuangan Jaka Tingkir dalam pertempuran melawan Jipang, mengakui kekuasaan tertinggi Pajang. 334

Menurut cerita tutur Jawa, Aria Panangsang dari Jipang, penuntut tahta Kerajaan Demak yang memberontak itu, adalah murid Sunan Kudus, pejuang yang gagah berani untuk perluasan "Bait'ul Islam". Tetapi Jaka Tingkir, Ki Panjawi, dan Sunan Prawata dari Demak (yang telah dibunuh itu) telah mendapat bimbingan agama dari Sunan Kalijaga dari Kadilangu. Dapat diperkirakan bahwa Jaka Tingkir dari Pajang makin bertambah kuat keinginannya untuk bertindak dengan kekerasan senjata terhadap Aria Panangsang, karena dengan demikian ia juga dapat membalas dendam terhadap Sunan Kudus atas pembunuhan yang telah dilakukan terhadap Kebo Kenanga dari

331 Padmasoesastra, Sadjarah (hlm. 230 dst.) menyebutkan anak-anak Sultan Tranggana dari Demak yang disebut Sultan Sah Ngalam Akbar III. Berdasarkan pemberian gelar Islam kepada raja Demak ini, yang sebenarnya tidak biasa dipakai, dapat diperkirakan bahwa dalam bagian Sadjarah Dalem ini, penggubahnya, Padmasoesastra, atau salah seorang dari pendahulunya, telah mengutip keterangan-keterangan dari daftar keturunan, yang semula telah disusun oleh orang suci Islam, mungkin seorang penulis yang tergolong dalam "Jemaah Suci" di Kadilangu, tempat dimakamkannya Sunan Kalijaga.

332 Sejarah Kerajaan Jipang Panolan telah dibicarakan pada Bab IX buku ini. 333 Dalam Bab VI buku ini diuraikan sejarah Jepara pada abad ke-16. 334 Pemberitaan-pemberitaan bersejarah mengenai Kerajaan Pati Juwana telah dikumpulkan pada Bab IX buku ini.

Pengging, yang digantikan Jaka Tingkir sebagai raja di Pajang. Mungkin ia masih keturunan Kebo Kenanga. 335