Sejarah Ujung Timur Jawa pada Abad ke-16 Bagian
Bab 17 Sejarah Ujung Timur Jawa pada Abad ke-16 Bagian
Timur Ujung Timur: Blambangan
XVII-1.
Berita-berita kuno tentang Blambangan, legenda dan sejarah
Waktu membicarakan lagenda-lagenda yang menyangkut Probolinggo (Bab XVI-1), telah diketengahkan bahwa Blambangan, sebagai kerajaan yang berada jauh di sebelah timur, mempunyai kedudukan penting dalam cerita tutur Jawa. Menakjingga, raja Blambangan, dalam sastra Jawa telah menjadi terkenal sebagai lawan Damarwulan, tokoh suatu kisah yang sejak abad ke-17 benar-benar menjadi kesayangan rakyat; bagi penelitian sejarah, Damarwulan tidak banyak artinya. 284 Tetapi yang pasti ialah bahwa Kerajaan Blambangan telah mengalami masa-masa perkembangan kekuasaan yang mencolok.
Tempat (mungkin lebih dari satu) di daerah Banyuwangi, yang sebelum zaman Islam merupakan tempat raja-raja Blambangan mendirikan istana, tidak dapat ditunjukkan dengan pasti. Di pelbagai tempat ditemukan peninggalan-peninggalan bangunan tembok. Tetapi banyak di antara bangunan-bangunan itu dahulu milik penguasa-penguasa setempat yang hidup pada abad ke-17 atau ke-18. 285 Dugaan bahwa Semenanjung Blambangan atau Purwa yang sekarang tidak berpenduduk itu menyimpan peninggalan-peninggalan kota keraton suatu kerajaan lama zaman pra- Islam masih harus dikuatkan atau dibuktikan dengan penggalian arkeologi.
Dalam buku-buku cerita abad ke-17 atau ke-18 terdapat suatu cerita tutur tentang asal usul legendaris Raja Menakjingga dari Blambangan. la dikatakan sebagai seorang tokoh yang dilindungi, atau bahkan diciptakan oleh seorang rohaniwan "kafir" dari Dataran Tinggi Tengger yang bernama "ajar" Guntur Geni yang telah mematahkan serangan di pantai Jawa Timur; serangan yang dilancarkan oleh musuh-musuh raja Majapahit dari seberang laut. Penyerang-penyerang itu adalah orang-orang Siyem (Siam), Kaboja (Kamboja), dan Sukadana (Kalimantan). Sebagai imbalan, "ajar" yang gagah berani itu dianugerahi gelar Pamengger beserta wewenang untuk memerintah
284 Kedudukan Kisah Damarwulan dalam kesusastraan Jawa telah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil. 1, hlm. 231 dst. Lihat juga cat. 256 dan 267.
285 Babad Tawang Alun telah dibicarakan dalam Pigeaud, "Aanteekeningen". Cerita babad ini merupakan sejarah keluarga keturunan para penguasa di Macan Putih, di pedalaman daerah Banyuwangi yang sekarang, dan yang menjadi tempat asal banyak bupati Banyuwangi dari abad ke-18 dan ke-19. Peninggalan-peninggalan dari Macan Putih dari abad ke-18 masih dapat ditunjukkan. Bayu adalah nama tempat lebih jauh ke pedalaman. Moyang keturunan ini, yang setengah bersifat tokoh legenda, yaitu Tawang Alun, kiranya hidup pada abad ke-17.
Blambangan jauh di sebelah timur. 286 Dari cerita legenda ini dapat disimpulkan bahwa para penulis Jawa abad ke-17 dan ke-18 berkeyakinan bahwa ada hubungan-hubungan lama antara penduduk Dataran Tinggi Tengger yang tidak beragama dan raja-raja Blambangan yang menguasai tanah pedalaman ujung timur Jawa itu. Wilayah penuh pegunungan di sebelah selatan Dataran Tinggi Yang dan Dataran Tinggi Raung juga termasuk daerah mereka.
Blambangan, yang masih lama "kafir" itu, mendapat tempat penting dalam alam pikiran orang Bali dan sastranya. Karena tidak ada tanggal yang dapat dipercaya, sulit sekali menetapkan apakah pengaruh Bali di bidang politik dan kebudayaan di Blambangan, dan pada umumnya di bagian timur dan tengah ujung timur Jawa, sudah ada pada zaman sebelum Islam, pada abad ke-15. Pada abad ke-16, ke-17, dan ke-18 dengan kekerasan senjata raja-raja Bali ikut mencampuri pemerintahan di ujung timur Jawa. Tidak mustahil bahwa campur tangan itu merupakan lanjutan suatu tradisi yang telah berabad-abad usianya.
Pada tahun 1339 M. Raja Hayam Wuruk dari Majapahit, dalam perjalanan kelilingnya menjelajahi ujung timur Jawa, tidak mengunjungi Blambangan. Di Patukangan - dapat disamakan dengan Panarukan yang sekarang - ia menerima (tanda-tanda) penghormatan penguasa setempat di Madura, Bali, dan Blambangan. Jelas sekali bahwa, seperti orang dari pulau-pulau (Bali dan Madura), orang dari Blambangan juga pergi ke Panarukan lewat laut. Jalan darat lewat lereng-lereng timur dan utara Pegunungan Raung pada waktu dahulu mungkin terlalu berat untuk ditempuh. 287
Yang masih perlu disebutkan ialah dongeng mitos Sri Tanjung, yang digubah dalam bentuk tembang, yang digolongkan dalam kesusastraan Jawa-Bali. Tembang itu sudah terkenal, baik yang versi Bali maupun yang versi Banyuwangi. Cerita ini mungkin ditulis di daerah Blambangan pada abad ke-16. Legenda setempat tentang ibu kota Banyuwangi menghubungkan nama ini (banyu wangi = air harum) dengan salah satu bagian tembang tersebut. Tidak dapat ditentukan lagi apakah legenda ini sudah sangat tua. Bagaimanapun Sri Tanjung dan - yang sejenis -Suda Mala boleh kita anggap sebagai hasil ciptaan peradaban Kerajaan Blambangan; di sini sampai pada permulaan abad ke-17 "kekafiran" ujung timur Jawa, dengan bantuan dan mungkin karena
286 Sejarah yang bersifat legenda mengenai Pamengger dari Blambangan telah diuraikan oleh Brandes, Pararaton (hlm. 219) dan lebih singkat lagi dalarn Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 361b. Lihat juga Pigeaud, Literature, jil. III, dengan judul "Pamengger", hlm. 330 dan cat. 256.
287 Dalam Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 83, "durbar" Raja Hayam Wuruk pada tahun 1339 di Patukangan (Panarukan) telah dibicarakan. Ada kemungkinannya bahwa Balumbung(an) dalam Nagara Kertagama (tembang 28, bait 1) merupakan suatu bentuk lain nama Blambangan. Balungbungan terdapat juga dalam naskah lain; lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 183.
pengaruh raja-raja Bali, masih tetap mampu bertahan terhadap desakan para penakluk Jawa-Islam yang datang dari barat. 288