4. Pemimpin agama yang kedua di Giri, Sunan Dalem; legenda dan sejarah

XI-4. Pemimpin agama yang kedua di Giri, Sunan Dalem; legenda dan sejarah

Menurut daftar-daftar tarikh Jawa, penguasa (ulama) yang kedua di Giri mulai memegang peranan pada tahun 1506. Rupanya, ia hidup sezaman dengan Sultan Tranggana dari Demak dan ia telah mengalami pula pendudukan kota Kerajaan Majapahit oleh pasukan Islam pada tahun 1527.

Di antara mukjizat-mukjizat yang dilakukan oleh Sunan Satmata disebutkan juga bahwa ia telah memindahkan "pertapaan" - tempat ayahnya dulu membiasakan diri ber-

202 Bagaimanapun aneh kedengarannya cerita ini, sebagai inti kebenaran di dalamnya boleh kita anggap adanya hubungan antara moyang keturunan Giri dan Blambangan yang "kafir" di ujung timur Pulau Jawa. Dalam hal Nyai Gede Pinatih dan Raden Paku atau Iskak, maka penjelasan tentang cerita Jawa ini ada benarnya, karena memang ada hubungan lama dalam perdagangan antara Gresik dan kota-kota pelabuhan di ujung timur Pulau Jawa. Sekalipun tidak langsung ada kaitannya dengan Gresik, cerita legenda mengenai adanya hubungan antara Blambangan dan Pesisir Timur Laut berikut ini perlu kita sebutkan. Dikisahkan bahwa raja Blambangan telah mencuri keris pusaka, yang bernama Sumelang Gandring, milik raja Majapahit; barang yang sangat berharga ini kemudian dikembalikan lagi ke Majapahit oleh pandai besi Empu Supa. Pandai besi ini oleh raja (Majapahit) diberi hadiah atas jasanya yang penting ini, yang berwujud daerah Sidayu (antara Tuban dan Gresik). Legenda-legenda tentang pandai besi dan keris disebut dalam Pigeaud, Literature (jil. III di bawah "Empu").

khalwat - beserta masjid dan perigi tempat mengambil air wudu dari sebuah gunung di Blambangan ke Giri. Hal itu dilakukannya hanya dengan kekuatan "daya pikir" belaka.

Dalam legenda mengenai Giri terdapat cerita tentang serangan-serangan yang dilakukan, atau percobaan-percobaan pembunuhan yang direncanakan, oleh raja "kafir" Majapahit atau pegawai-pegawainya, yang ditujukan kepada ulama Giri itu. Seperti biasanya, legenda-legenda itu samar-samar dalam hal penentuan waktu. Pemerintahan Sunan Satmata dan Sunan Dalem dalam legenda dicampur aduk saja. Dapat diperkirakan bahwa sikap permusuhan antara Majapahit dan Giri baru berkembang dan terwujud pada permulaan abad ke-16, waktu pihak raja mulai memandang pengislaman berbagai kota pelabuhan sebagai bahaya bagi kekuasaannya. Bukan tanpa alasan bahwa pernimpin umat beragama di Giri didakwa melakukan usaha merebut kekuasaan duniawi di kota pelabuhan tua Gresik. la memperlihatkan ketidaksenangannya untuk memberi penghormatan kepada maharaja "kafir" di Majapahit sebagai penguasa tertinggi. Penghormatan itu selalu dilakukan oleh para penguasa di Tuban, kota yang paling sedikit sama tuanya dengan Giri/Gresik itu, walaupun mereka sudah Islam. Keyakinan beragama yang teguh pada keturunan Giri ini mungkin disebabkan ia keturunan seorang cendekiawan agama.

Menurut cerita tutur Jawa, raja Majapahit telah memberi perintah untuk membunuh Sunan Giri. Namun, algojo yang dikirim rupanya bersedia memeluk agama Islam. Malahan kemudian ia menjadi pengikut ulama itu. Sejak itulah ia memakai nama Mutalim Jagapati, Dalam dongeng-dongeng lain juga terdapat pelaku yang bernama Jagapati, teman seperjuangan Sunan Giri melawan kekuasaan "kafir".

Menurut cerita lain, raja Majapahit bahkan telah mengirim Patih Gajah Mada dengan kekuatan militer untuk melawan Giri. Serangan ini digagalkan tidak lain dan tidak bukan hanya karena daya ajaib keris Kala Munyeng (atau Kalam Munyeng) yang, menurut cerita, berasal dari alat tulis (kalam) orang suci itu. Dalam legenda ini kiranya "kalam" (tenaga batin) disejajarkan dengan Kala Munyeng, suatu kekuasaan adikodrati atau setan, yang sudah disebut-rebut dalam naskah-naskah dari zaman pra-Islam. Yang menarik perhatian dalam cerita ini ialah hubungan antara orang suci Islam itu dan sebilah keris, yang telah ikut bertempur melawan "alam kafir". 203

Cerita tentang tindakan bersenjata yang dilakukan oleh kekuasaan Kerajaan Majapahit terhadap penguasa di pantai utara agak dikuatkan oleh pemberitaan Todie Pires. Menurut Suma Oriental (Pires, Suma Oriental, hal. 189), kiranya Guste Pate, penguasa Majapahit - mungkin pada permulaan abad ke-16 - telah menghancurkan daerah Cajongam. Cajongam mungkin dapat disamakan dengan Juwana. Dalam pembicaraan tentang hubungan antara raja-raja Demak-Japara dan raja-raja Pati-

203 Cerita tentang keris Giri antara lain terdapat dalam Meinsma, Babad (hlm. 43). Hubungan antara keris, besalen pandai besi dan para orang suci dalam agama Islam telah diperhatikan dalam Pigeaud, Literature, jil.I, hlm. 278. Nama Kala Munyeng terdapat dalam mantra Jawa Bali dalam Codex L0r, no. 3189; lihat juga Pigeaud, Literature, III, hlm. 276a.

Juwana (pada Bab IV-2) telah diajukan dugaan bahwa kepala pasukan Majapahit berusaha mengembalikan kekuasaan raja di sebelah barat laut Kerajaan (Majapahit) dengan melakukan serangan terhadap Cajongam. Apabila legenda Jawa tentang keris Sunan Giri itu mempunyai inti kenyataan, maka usaha serupa itu di sebelah timur laut - lebih dekat pada ibu kota - telah mengalami kegagalan.

Menurut cerita Jawa Tengah dari abad ke-17 atau ke-18, sunan di Giri (Sunan Dalem) juga ikut serta secara aktif dalam pendudukan kota Kerajaan Majapahit (pada tahun 1527). Alas tunjukan Sunan Ngampel Denta - yang tertua di antara orang-orang suci - bahkan ia memegang kekuasaan tertinggi di kerajaan lama itu selama 40 hari sesudah hilangnya Brawijaya. Maksudnya ialah untuk menghilangkan segala bekas yang ditinggalkan oleh "alam kafir", sebelum raja Demak dilantik menjadi maharaja (lihat Bab II-10).

Cerita ini tidak ada dalam tambo-tambo lama di Giri dan Gresik. Tempat terhormat Sunan Giri dalam cerita itu mungkin bukanlah suatu kenyataan historis, tetapi merupakan usaha selanjutnya untuk lebih menonjolkan posisi Giri.

Sebaliknya, yang justru pantas dipercaya ialah beberapa cerita Jawa Timur tentang adanya hubungan antara Giri dan Sengguruh, daerah Malang sekarang. Menurut cerita tutur setempat, penguasa di Gribik (atau Ngibik) di daerah Sengguruh telah beralih ke agama Islam berkat jasa seorang syekh di Manganti, paman Sunan Giri. Seperti biasa cerita demikian tidak menyebutkan waktu-waktunya. Tetapi dari pemberitaan ini dapat diambil kesimpulan bahwa di pedalaman Jawa Timur pun sekitar tahun 1500 M. sudah terbentuk kelompok-kelompok Islam, berkat pengaruh orang-orang alim yang berasal dari daerah pantai utara. Dalam hal ini kiranya Gribik dapat dibandingkan dengan Singkal di daerah Kediri (yang pernah ditempati Sunan Bonang), dengan Tembayat di daerah Klaten (didirikan oleh orang terkemuka/ bangsawan dari Semarang), dan dengan Pasir di tanah Jawa bagian barat daya (tempat raja Demak menanamkan pengaruhnya). 204

Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan anggota-anggota keturunan patih "kafir" Majapahit, yang (menurut Tome Pires sebagai Guste Pate) pada hari-hari terakhir kerajaan itu masih berkuasa. 205 Kerajaan Jawa Timur "Gamda", yang menurut penulis Portugis itu sekitar tahun 1515 M. diperintah oleh anak laki-laki Guste Pate, mungkin meliputi daerah Sengguruh juga. Kerajaan itu masih akan disinggung lagi dalam pembicaraan tentang sejarah ujung timur Jawa pada abad ke-16 (Bab XV,

XVI, dan XVII). Menurut cerita yang panjang lebar dan cukup teliti, dengan disertai tahun terjadinya

peristiwa, pada tahun 1535 M. penguasa "kafir" dari Sengguruh menduduki pusat Islam,

204 Cerita tutur setempat tentang Gribik kita dapati dalam Codex LOr no.2035 (7); lihat juga Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 245a. 205 Lihat Bab II-12 dan cat. 45, dan juga Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 382 (Sengguruh).

Giri. Sesudah sekelompok kecil orang Cina Islam, di bawah pimpinan Panji Laras dan Panji Liris, dekat Lamongan dikalahkan oleh orang-orang dari pedalaman, Sunan Dalem memerintahkan kepala pasukannya Jaga Pati (sama dengan yang diberitakan dalam cerita lain?; lihat di muka) untuk menghentikan pertempuran. Sunan Dalem telah meninggalkan Giri untuk menyingkir ke Gumena, yang diperintah oleh Ki Dang Palih. Syekh Koja, paman Sunan (sama dengan Syekh Manganti, yang telah mengislamkan Gribik), telah menyetujuinya. 206 Orang-orang "kafir" dari selatan tadi membuka dan merusakkan makam Sunan Satmata yang saleh itu, tetapi suatu kawanan lebah yang keluar dari dalam makam itu telah memaksa orang-orang "kafir" itu meninggalkan Giri lagi, dan kembali ke Sengguruh. Sunan Dalem dapat kembali ke tempat kedudukannya. Di sebelah timur makam suci sunan pendahulunya, ia menyuruh buat makam untuk Syekh Grigis, juru kunci yang telah dibunuh oleh para penyerang "kafir". Di Gumena beliau memerintahkan untuk mendirikan masjid dengan atap tingkat tiga. Hal itu tentu untuk menyatakan rasa terima kasih atas bantuan yang telah diterimanya di tempat itu.

Terlepas dari cerita legenda tentang kawanan lebah tadi, cerita tutur setempat yang disertai tahun-tahun kejadian ini layak dipercaya. Dari cerita itu dapat diambil kesimpulan bahwa 8 tahun sesudah runtuhnya kota kerajaan tua Majapahit (pada tahun 1527) "orang-orang kafir" masih juga berusaha membendung meluasnya agama Islam ke timur dengan mengadakan serangan terhadap Giri. Memang demikianlah, menurut kronik Demak (lihat Bab II-12), pada tahun 1531 Surabaya telah dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan maharaja Islam di Demak, dan pada tahun 1535, sama tahunnya dengan pertempuran di Giri, laskar Demak diceritakan telah merebut Pasuruan. Pasuruan ini boleh jadi merupakan kota penting dalam kerajaan "Gamda" (menurut Tome Pires), yang meliputi daerah Sengguruh juga. Dapatlah diduga bahwa kekalahan Pasuruan (musibah yang lebih hebat daripada kawanan lebah) telah memaksa laskar Sengguruh melepaskan kembali Giri yang baru saja diduduki itu. Mereka merasa terancam hubungannya dengan markas besarnya di pedalaman akan terputus.

Lamongan, yang menurut cerita Giri pada tahun 1535 masih di bawah kekuasaan "orang-orang kafir" (yang pernah mendatangi Giri), menurut kronik Demak, pada tahun 1541 dan 1542 telah diduduki pasukan Demak. Sekaligus Kota Wirasaba yang letaknya sedikit lebih ke selatan. Sejak itu Giri merasa aman dari serangan lewat darat dari sebelah selatan.

206 Nama Ki Dang Palih (artinya "separuh") bagi Kiai di Gumena mengingatkan kita pada pemberitaan Tome Pires mengenai kedua penguasa, yang membagi dua kekuasaan di Gresik. Mungkin nama Ki Dang Palih juga dapat dianggap sebagai nama yang mencakup kedua kiai bersama, yaitu dwiraja. Dengan demikian, maka bertambah besar kemungkinan bahwa Gumena dan Gresik dapat dihubungkan yang satu dengan yang lain. Dalam Verzameling van Mohammedaansche Oudeden, die gevonden worden in en om Grissee ("Kumpulan benda-benda kuno Islam yang ditemukan di Gresik dan sekitarnya"), suatu koleksi lukisan yang berasal dari L. Pfaff (Maronier, Pictures, hlm. 58, K 16 no. 1 s.d. 22), terdapat gambar-gambar masjid dan bangunan-bangunan makam, yang disalin dari gambar-gambar asli Jawa dari awal abad ke-19, yang menarik untuk dipelajari. De tempel in het dorp Goemenol ("Rumah ibadat di Desa Goemenol") yang termasuk dalam kumpulan ini (K.16, no. 18) boleh diidentifikasikan sebagai masjid di Gumena.

Anehnya, cerita setempat tentang pendudukan sementara atas Giri tidak memberitakan apa-apa tentang Kota Gresik; mungkin karena Gumena dan Gresik mempunyai hubungan yang erat. Juga tidak ada berita lain tentang bantuan langsung dari maharaja Islam dan Demak. Ada kemungkinan besar bahwa para ulama besar di Giri, sesudah runtuhnya kerajaan "kafir" Majapahit pada tahun 1527, merasa dirinya merdeka dan bebas, juga dari raja Islam baru di Demak. Dengan didudukinya Tuban pada tahun 1527 dan Surabaya pada tahun 1531 (mungkin dari laut), Sultan Tranggana telah mengambil langkah pertama ke arah penegakan kekuasaannya di daerah-daerah pantai utara kerajaan "kafir" dahulu. (Baru waktu diadakan ekspedisi-ekspedisi militer dari tahun 1535 hingga 1545, ia, menurut daftar tahun peristiwa, telah menundukkan daerah-daerah pedalaman, dan terakhir Sengguruh). Penundukan atau pendudukan atas Giri/Gresik tidak diberitakan sama sekali, baik dalam cerita Demak maupun dalam cerita Giri.

Apabila dugaan dapat dibenarkan bahwa Gumena - di bawah pemerintahan Ki Dang Palih - dan Gresik yang mempunyai dua penguasa itu (menurut Tome Pires) boleh dihubungkan satu dengan yang lain, Sunan Dalem di Giri itu pada tahun 1535 telah mengambil keuntungan politik dari rasa takut yang ditimbulkan oleh kedatangan laskar "kafir" dari Sengguruh untuk memperkuat kekuasaannya sendiri di kota pelabuhan itu. Dapat diperkirakan bahwa kedua penguasa di Gresik yang (menurut Tome Pires) saling memerangi itu tidak akan mampu mengatur pertahanan kota terhadap penyerang dari luar. Pembangunan masjid di Gumena pada tahun 1539 (menurut cerita tutur setempat) adalah suatu tanda pengukuhan kekuasaan para ulama Giri di Gresik. Tentang kedua penguasa (di Gresik) ini selanjutnya tidak ada berita lagi.