7. Ketiga pemimpin agama dari Cirebon, Kudus, dan Giri pada abad ke-16, diperbandingkan satu sama lain
XI-7. Ketiga pemimpin agama dari Cirebon, Kudus, dan Giri pada abad ke-16, diperbandingkan satu sama lain
Ketiga kerajaan terpenting yang diperintah oleh pemimpin-pemimpin agama, yang di Jawa berdiri berdampingan dalam paruh kedua abad ke-16, yaitu Cirebon, Kudus, dan Giri/Gresik, masing-masing mempunyai ciri khas. Dari legenda-legenda Jawa tentang orang-orang suci dan cerita sejarah boleh diambil kesimpulan bahwa di Cirebon/Gunung Jati keimanan dan mistik Islam mempunyai kedudukan penting dalam masyarakat dan juga di dalam keraton orang suci dan anak cucunya. Kekayaan dan kekuasaan politik raja-raja Cirebon tidak pernah sangat besar.
220 Kramer, "Mededeelingen" berisi banyak hal yang menarik. Visser, Katholieke Missie mengutip surat Franciscus Xaverius yang ditulisnya pada bulan Mei 1546, yang isinya menyatakan pendapat misionaris besar ini bahwa agama Islam telah diperkenalkan 60 tahun sebelumnya kepada penduduk kepulauan itu oleh dua atau tiga orang Cacizes (boleh jadi: haji), yang datang dari Mekkah. Baik Giri maupun Gresik tidak disebutkannya. Istilah Cacizes untuk para ulama (clergymen) juga dipakai dalam karangan Jacob, Treatise.
221 Rijali, Tanah Hitu telah dipakai oleb Valentijn, Oud en Nieuw. 222 Pemerintahan ekspansif, yang dijalankan oleh raja-raja Mataram pertama, telah diuraikan dalam Grad, Senapati, dan Graaf,
Sultan Agung.
Berbeda dengan kedua keturunan lainnya, dinasti Kudus tidak dapat memiliki daerahnya lebih dari satu abad tanpa mengalami campur tangan maharaja-maharaja Mataram; Kudus letaknya terlalu dekat dengan ibu kota Jawa Tengah bagian selatan. Dalam pada itu, di "kota suci" tersebut umat Islam, yang "taat" masih menunjukkan semangat juangnya untuk bertempur demi agama Islam dan tekadnya untuk tetap bebas merdeka, masih juga sesudah keturunan pahlawan perkasa yang merebut Majapahit sudah lama tidak mempunyai kekuasaan lagi. Unsur-unsur teologi Islam, yang pada umumnya merupakan pokok penelitian ilmiah, tetap mendapat perhatian orang di Kudus.
Di bidang ekonomi dan politik, para sunan Giri mempunyai kedudukan yang jauh lebih penting dari sunan-sunan di Cirebon atau Kudus. Dengan kebijaksanaan politiknya, dan bila perlu dengan keberanian pejuang, ternyata selama kira-kira dua abad, para sunan di Giri mampu mempertahankan kemerdekaan terhadap serangan raja-raja pedalaman Majapahit dan Mataram. Keraton di Giri sungguh besar sumbangannya untuk kemajuan peradaban Islam di Pesisir, yang masih tetap melanjutkan tradisi kebudayaan "kafir" pra-Islam. Para pedagang dan pelaut dari Gresik telah memperkenalkan nama pemimpin-pemimpin agama dari Giri sampai jauh di luar Jawa. Golongan elite di kota pelabuhan ini agaknya lebih banyak berdarah campuran dibanding dengan golongan elite di kota-kota pelabuhan lain di Jawa; keturunan Cina mempunyai kedudukan penting dalam sejarah Gresik. Perdagangan antarpulau, kekayaan, dan pengaruh politik rupanya lebih diperhatikan oleh para sunan di Giri daripada hidup saleh secara Islam dan mempelajari ilmu agama.
Sunan Prapen dari Giri dan Sunan Gunungjati dari Cirebon hidup sezaman. Keduanya meninggal dalam usia yang sangat lanjut. Sungguh menarik perhatian bahwa baik legenda Jawa tentang orang-orang suci maupun cerita-cerita sejarah tidak memberitakan adanya hubungan antara kedua "Pemimpin Gunung" di pantai utara Jawa itu. Perbedaan dalam sifat kedua sunan itu - yang seorang terbuka yang lain tertutup - mungkin memang menyebabkan kurang adanya komunikasi antara mereka. Kisah-kisah pun tidak menyebut-nyebut soal itu. (Pada tahun 1636, waktu Panembahan Kawis Guwa dari Giri dibawa ke Mataram sebagai tawanan, di keraton Sultan Agung ia bertemu muka dengan Panembahan Ratu dari Cirebon). Dalam hubungan ini pantas sekali diperhatikan bahwa tempat permakaman Gunungjati dekat Cirebon berabad- abad lamanya dianggap sebagai daerah suci, yang hanya dalam situasi tertentu boleh diinjak oleh seorang kafir, sekalipun pejabat tertinggi. Sebaliknya, makam sunan-sunan di Giri, meskipun dihias dengan kayu berukir yang mahal dan berlapis emas, tidak dianggap terlalu suci untuk dilindungi dari kehadiran orang kafir.