7. Berakhirnya Kesultanan Pajang pada dasawarsa ke-2 akhir abad ke-16

XIX-7. Berakhirnya Kesultanan Pajang pada dasawarsa ke-2 akhir abad ke-16

Menurut cerita tutur Mataram yang bersifat sejarah, Sultan Pajang meninggal di taman kerajaannya, sebagai akibat penyakit, kecelakaan atau karena tindakan seorang juru taman, 'tukang kebun', tidak dikenal yang ingin berjasa kepada Senapati Mataram. 347 Meninggalnya raja tua itu harus kita tempatkan pada tahun 1587. la dimakamkan di Butuh, suatu tempat yang tidak jauh di sebelah barat taman Kerajaan Pajang, yang masih lama kemudian tetap dikenal sebagai Makam Aji. Butuh adalah daerah kekuasaan salah seorang dari empat penguasa yang - menurut cerita tutur - berkumpul di Pengging tepat pada malam kelahiran bayi yang kelak akan menjadi sunan Pajang itu, yaitu Jaka Tingkir. 348

Yang menjadi ahli waris Sultan Pajang ialah tiga putra menantu; yakni raja di Tuban, raja di Demak, dan raja di Aros Baya, di samping putranya sendiri, Pangeran Benawa, yang konon masih sangat muda waktu ayahnya meninggal. Menurut cerita babad, Sunan Kudus telah menggunakan wibawa kerohaniannya agar yang diakui oleh Keraton Pajang sebagai raja baru itu bukan anak sultan, melainkan raja Demak. Raja Demak itu adalah Aria Pangiri, anak (atau mungkin lebih tepat kemenakan) Susuhunan Prawata yang telah terbunuh, dan cucu Sultan Tranggana yang putrinya telah kawin dengan Sultan Pajang yang baru meninggal itu. Jadi, Aria Pangiri (atau Kediri) dari Demak ini, kecuali menantu, juga kemenakan (dari pihak ibu) Sultan Adiwijaya. Pada tahun 1587 ia sudah agak tua. Mungkin yang menjadi maksud ulama dari Kudus itu ialah mengembalikan kekuasaan di kesultanan Jawa Tengah kepada seorang keturunan langsung Sultan Tranggana dari Demak, yang sudah meninggal kira-kira 40 tahun sebelumnya.

346 "Pusat Pabean" Taji di batas timur tanah Mataram berkali-kali disebut dalam Babad Tanah Djawi (Lihat Brandes, Register, hlm. 33). Yang pantas disebutkan ialah bahwa Taji juga terdapat pada laporan abad ke-15, yang dimuat oleh musafir Sunda "kafir" Bujangga Manik, tentang perjalanannya menjelajahi tanah pedalaman Jawa, yang telah dibicarakan oleh Noorduyn, "Ferry" (hlm. 471), dan Noorduyn, "Bujangga Manik". Lihat juga Bab XX-2.

347 Akhir hidup Sultan Pajang telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 87 dst.) Di situ terdapat juga tinjauan mengenai pertanyaan siapa atau apa kiranya juru taman itu, kalau itu sekiranya bukan penampakan roh, yang memakai nama tersebut.

348 Menurut Babad Tanah Djawi kira-kira 30 tahun sesudah Sultan Pajang, pada tahun 1615, di Butuh juga dimakamkan raja dari Japan (dekat daerah Mojokerto sekarang, di Jawa Timur), yang telah gugur dalam pertempuran dekat Siwalan melawan laskar Sultan Agung dari Mataram (lihat Graaf, Sultan Agung, hlm. 37). Keluarga raja Pajang telah mendapat nama baik di kalangan raja-raja Jawa Timur. Pada tahun 1628, sesudah tanah warisannya diduduki, pangeran merdeka terakhir dari Surabaya, Pangeran Pekik, terpaksa pergi ke Mataram untuk menyatakan takluknya kepada Sultan Agung, dan agaknya ia lebih dulu telah memberi hormat kepada makam Sultan Pajang di Butuh (lihat Graaf, Sultan Agung, hlm. 209).

Menurut cerita tutur Mataram, raja kedua di Pajang itu benar tinggal di istana kerajaan, tetapi dikelilingi oleh pejabat-pejabat istana yang dibawa serta dari Demak. Anugerah dan tanah yang kemudian dibagi-bagikan kepada "orang-orang asing" dari Pesisir itu telah membangkitkan rasa tidak puas dan iri hati para bangsawan dan tuan tanah asal pedalaman Pajang sendiri. Pangeran Benawa, putra almarhum sultan pertama, ahli waris pertama, dijadikan raja di Jipang atas anjuran Sunan Kudus. Di sana Aria Panangsang kira-kira 40 tahun sebelumnya dikalahkan oleh ayah Benawa (waktu itu masih belum menjadi Sultan Pajang). Pangeran muda ini, karena merasa tidak puas dengan nasibnya di tengah-tengah lingkungan yang asing baginya, merencanakan persekutuan "jahat" dengan Senapati Mataram dan orang-orang di Pajang yang tidak puas, mengusir raja baru yang asing itu. Usaha ini berhasil, sesudah terjadi pertempuran singkat, pada tahun 1588. Nyawa raja Demak masih dapat ditolong, berkat permintaan belas kasihan istrinya, seorang putri Pajang. la diikat dengan cinde (sabuk) sutera dan dikembalikan ke Demak. Kekalahannya dalam pertempuran melawan Senapati Mataram dan Pangeran Benawa menurut cerita babad disebabkan oleh berbaliknya orang Pajang yang tidak puas ke pihak Mataram. Di samping itu prajurit-prajurit sewaan yang ikut serta dari Demak teinyata tidak dapat dipercaya. Laskar sewaan itu terdiri dari budak belian, orang-orang Bali, Bugis, Makassar, dan golongan "peranakan", yaitu orang-orang Cina yang berdarah campuran. Dari pemberitaan tentang adanya prajurit-prajurit sewaan dalam tentara raja Demak dapat disimpulkan bahwa pada perempat terakhir abad ke-16 di daerah-daerah Pesisir kehidupan ekonomi yang menggunakan uang sebagai bahan tukar sudah lazim, berbeda dengan hubungan-hubungan sosial di daerah pedalaman Pajang dan Mataram. 349