5. Pemimpin Agama ketiga dan keempat dari Giri yang paling terkemuka pada abad ke-16, Sunan Prapen
XI-5. Pemimpin Agama ketiga dan keempat dari Giri yang paling terkemuka pada abad ke-16, Sunan Prapen
Menurut kisah setempat, Sunan Dalem, yang pada tahun 1506 mulai memerintah, wafat pada tahun 1545 atau 1546. Konon, ia digantikan anaknya yang dua tahun kemudian meninggal. Sunan ketiga dari Giri ini sesudah meninggal diberi nama anumerta Sunan Seda-ing-Margi, yang artinya sunan yang menemui ajal dalam perjalanan. Selanjutnya tidak ada yang diketahui lagi tentang dia. 207
Menurut cerita setempat, pada tahun 1548 M. ia digantikan oleh kakaknya yang terkenal dengan nama anumerta Sunan Prapen (menurut tempat bangunan makamnya). Kisah setempat yang berkenaan dengan tahun 1570 M. (Wiselius,
207 Rouffaer mengira-ngirakan bahwa Sunan Giri yang ketiga gugur pada tahun 1548, pada waktu Sultan Tranggana melakukan serangan terhadap Panarukan (dengan tidak tepat disebut Pasuruhan, dalam Pinto, Peregrinacao; lihat Rouffaer, "Encyclopaedie", hlm. 208). Tidak mustahil bahwa pemimpin rohani tersebut telah ikut serta dalam melakukan ekspedisi terhadap kerajaan "kafir" di ujung timur Pulau Jawa itu, yang sejak dahulu kala telah mempunyai hubungan dengan pedagang-pedagang Gresik, tetapi cerita tutur setempat tidak membenarkan perkiraan ini.
"Historiseh") menceritakan bahwa pada waktu masih hidup ia memakai nama "Sunan Mas Ratu Pratikal".
Sunan Prapen ialah pemimpin agama di Giri. Selama pemerintahannya yang panjang sekali (dari tahun 1548 sampai kira-kira tahun 1605) ia banyak berjasa membentuk dan memperluas kekuasaan "kerajaan Imam" Islam, baik di Jawa Timur dan Jawa Tengah maupun di sepanjang pantai pulau-pulau Nusantara Timur. Paruh kedua abad ke-16 merupakan masa kemakmuran Giri/Gresik sebagai pusat peradaban Pesisir Islam dan pusat ekspansi Jawa di bidang ekonomi dan politik di Indonesia Timur.
Menurut kisah setempat, pada tahun 1549 M., satu tahun sesudah ia mulai berkuasa, Sunan Prapen membangun keraton. Konon kedaton yang didirikan oleh kakeknya, Prabu Satmata, pada tahun 1488, dipandang tidak sesuai lagi dengan kejayaan dan kekuasaan yang telah dicapai oleh keturunan pemimpin-pemimpin agama. Jatuhnya kekuasaan Kerajaan Demak sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546 mungkin telah mempengaruhi Sunan Prapen. la ingin mendirikan suatu bangunan besar sebagai tanda sudah merdeka. Masjid di Kudus, "kota suci" tidak jauh dari Demak, menurut prasasti pada tahun 1549 juga selesai dibangun (lihat Bab V-2). Ada alasan untuk menduga bahwa pemimpin-pemimpin agama di Kudus pada pertengahan abad ke-I6 juga ingin berbuat seperti raja-raja merdeka.
Cerita Jawa setempat tidak memuat berita-berita yang menunjukkan bahwa Giri/Gresik menderita karena jatuhnya Kerajaan Demak dan kericuhan di Jawa Tengah, sebelum raja Pajang - sebagai anggota keluarga terakhir dinasti lama - memegang pimpinan. Berbeda dengan raja-raja di daerah yang letaknya lebih ke barat, seperti Tuban dan Jipang, yang mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja Demak, Sunan Prapen dari Giri tidak mau mencampuri urusan politik penguasa-penguasa di pedalaman Jawa Tengah. Sebagai wakil dinasti Demak, Ratu Kalinyamat dari Jepara yang hidup sezaman dengan Sunan Prapen masih tetap mempertahankan kekuasaannya atas daerah-daerah di sepanjang pantai barat Laut Jawa sampai Banten. la juga melakukan usaha mengusir orang-orang Portugis dari Malaka, tetapi gagal. Pada paruh kedua abad ke-16, Sunan Prapen hanya memusatkan usahanya memperluas kekuasaan rohani dan duniawinya serta hubungan-hubungan dagangnya lewat laut ke arah timur. Ekspansi ini akan dibicarakan dalam bagian berikut.
Besar kemungkinan, bahkan di tanah pedalaman Jawa Timur, Sunan Prapen tidak banyak berusaha untuk berkuasa. Pada daftar tahun-tahun peristiwa Jawa (juga yang dipakai Raffles dan Hageman) tahun 1548-1552, diberitakan adanya perjalanan raja Giri ke Kediri (menurut Hageman bahkan merupakan suatu pendudukan Kediri). Berturut-turut terjadi tahun 1551 M., Kediri dibakar; tahun 1579 M.: kemenangan terakhir kaum Islam; rajanya menghilang (lihat Graaf, Senapati, cat. pada hal. 61).
Berdasarkan catatan-catatan tahun peristiwa itu orang akan menduga bahwa Kerajaan Kediri dari tahun 1548 (waktu jatuhnya Kesultanan Demak) sampai pada akhir perempat ketiga abad ke-16 (1575) masih "kafir". Sunan Giri pada pertengahan abad itu (waktu terjadinya kericuhan di Jawa Tengah sesudah jatuhnya Kerajaan Demak) berusaha memasukkan agama Islam ke daerah itu (atau mencegah timbulnya kembali "kekafiran"?). Karena tidak ada berita dari sumber lain, maka untuk sementara tidak mungkin menentukan apa yang sebenarnya terjadi di Kediri (lihat juga Bab XIX-5. Pajang, dan cat. 370). Raja-raja di wilayah lama yang dahulu termasuk daerah inti kerajaan "kafir" Majapahit, pada waktu jatuhnya kekuasaan maharaja Demak, tampaknya masing-masing tetap mempertahankan kekuasaan yang sudah ada. Menurut cerita Jawa Tengah, pada perempat ketiga abad ke-16, raja Surabaya, yang terkemuka di antara sesama raja (primus inter pares), mewakili raja-raja Jawa Timur. Dalam kedudukan itu ia mengakui raja Pajang sebagai maharaja. Penguasa Giri/Gresik dianggap pelopor para raja yang ikut serta mengambil keputusan politik ini. 208
Kekuasaan di bidang rohani Sunan Prapen dari Giri, lebih-lebih waktu ia sudah lanjut usia, juga diakui oleh raja-raja di pedalaman Jawa Timur. Cerita Jawa Tengah tentang tahun 1581, ketika raja Pajang dilantik sebagai raja Islam utama dan sebagai sultan, dapat dipercaya. Upacara ini kiranya dilakukan di keraton Sunan Prapen dari Giri yang pada waktu itu sudah tua; raja Pajang, JakaTingkir yang pada tahun 1549 mengalahkan Aria Jipang, rupanya juga sudah lanjut usianya. Pada pelantikan yang diberitakan dalam banyak naskah Jawa dan daftar tahun peristiwa itu, hadir raja-raja dari Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madura, dan bahkan raja-raja daerah pantai Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Boleh dianggap upacara ini merupakan suatu kemenangan bagi Sunan Prapen sebasai negarawan. 209 la boleh berharap bahwa, di bawah pimpinan rohaninya, ketertiban pemerintahan di Jawa Timur akan tertanam teguh.
Tetapi, menurut cerita tutur Jawa Tengah, Senapati Mataram yang masih muda, yang baru pada tahun 1584 mulai memerintah, selagi Sultan Pajang masih hidup sudah mulai berusaha memperbesar kekuasaannya di Jawa Tengah. Hal ini merugikan pihak yang berhak mewarisi. Pada tahun 1588 ia berhasil menduduki kota Kerajaan Pajang, yang letaknya dekat dengan daerahnya. Sejak itu para panglima Mataram sering
208 Berita tentang raja Surabaya sebagai raja yang terkemuka di antara sejumlah besar raja-raja Jawa Timur tercantum dalam Raffles, History, jil. II hlm. 143. Yang disebutkan ialah: Surabaya, Gresik, Sidayu, Tuban, Pasuruan, Wirasaba, Ponorogo, Kediri, Madiun, Blora, dan Jipang. Yang terutama mengherankan ialah pemberitaan bahwa raja-raja ini kiranya telah menyatakan dirinya "merdeka" dari raja Madura dan mengakui penggantinya Panji Wiryakrama dari Surabaya sebagai yang terkemuka di antara mereka. Wiryakrama ini kiranya telah bertindak sebagai "wedana" mereka, sebagai "juru bicara" mereka waktu menghadap raja Pajang. Seorang Panembahan Jayalengkara dalam Sadjarah Dalem disebut sebagai raja pertama dari sederetan raja Surabaya; ialah konon ayah Pangeran Pekik dari Surabaya, yaitu ipar Sultan Agung dari Mataram. Terlalu sedikit keterangan yang ada pada kita untuk menetapkan bahwa Wiryakrama itu pendahulu (mungkin ayah?) Jayalengkara. Lihat juga Bab XII-5.
209 Upacara pada tahun 1581 di Giri dilukiskan dalam Serat Kandha (hlm. 512-516) dan dalam Meinsma, Babad, hlm. 122. Dalam babad ini upacara tersebut dihubungkan dengan penggalian telaga, yang oleh Sunan disebut Telaga Patut. Para abdi dari semua raja yang hadir membantu melakukan pekerjaan itu. Kerja sama ini dan nama Patut ('rukun') untuk telaga itu (suatu pusat) kiranya mempunyai arti simbolis 209 Upacara pada tahun 1581 di Giri dilukiskan dalam Serat Kandha (hlm. 512-516) dan dalam Meinsma, Babad, hlm. 122. Dalam babad ini upacara tersebut dihubungkan dengan penggalian telaga, yang oleh Sunan disebut Telaga Patut. Para abdi dari semua raja yang hadir membantu melakukan pekerjaan itu. Kerja sama ini dan nama Patut ('rukun') untuk telaga itu (suatu pusat) kiranya mempunyai arti simbolis
Ada berita dalam babad dan buku cerita Jawa Tengah bahwa pada tahun 1589 sudah terjadi pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Surabaya. Pada waktu itu Sunan Giri bertindak sebagai penengah dan pendamai. Menurut cerita, pada waktu itu (dan juga pada kesempatan-kesempatan lain) pemimpin agama itu telah memperlihatkan kurnia Ilahinya dengan meramalkan bahwa selanjutnya keluarga raja Mataram akan menguasai seluruh Jawa. 210 Tetapi cerita tentang ramalan mengenai kejayaan di masa datang Mataram berasal dari angan-angan dan khayalan para pejabat (abdi dalem) raja Mataram pada abad ke-17 dan ke-18. Sukar dipercaya bahwa Sunan Prapen yang sudah tua itu pada tahun 1589 sengaja mengucapkan pernyataan yang menguntungkan seorang penguasa setempat yang masih muda, jauh di tanah pedalaman Jawa Tengah dan merugikan sanak saudara Sultan Pajang yang bersahabat dengan dia.
Yang sudah pasti ialah bahwa Keraton Giri sesudah tahun 1589 menjadi tempat berlindung bagi raja-raja Jawa Tengah dan Jawa TImur, yang tanahnya diduduki oleh laskar Mataram. Menurut sumber-sumber yang boleh dipercaya, anggota-anggota keluarga raja Pajang dan Tuban, dan Pangeran Mas dari Aros-Baya di Madura diizinkan beberapa waktu tinggal di Giri. 211 Hal itu membuktikan adanya suatu sikap Giri yang memihak Mataram.
Menjelang akhir hidupnya yang panjang itu, Sunan Prapen menyatakan keinginan menghormati kakeknya, Prabu Satmata, pendiri dinasti pemimpin-pemimpin rohani di Giri. Menurut cerita setempat, ia telah memberi perintah untuk membuat cungkup di atas makam kakeknya, konon pada tahun 1590 M. Rupanya, ia menyadari bahwa
210 Cerita tentang ramalan Sunan Giri sehubungan dengan kejayaan Mataram di masa datang muncul dalam Meinsma; Babad (hlm. 184), dan dalam Serat Kandha (him. 597). Waktu pada tahun 1589 raja-raja Jawa Timur di bawah pimpinan Pangeran Surabaya, dan Senapati Mataram berhadapan muka di medan pertempuran dekat Japan, Sunan Giri telah menggerakkan hati mereka untuk membuka sendiri tabir rahasia hari depan mereka dengan melakukan pilihan. Pangeran Surabaya, yang paling muda, memilih "isi" di antara "isi" dan "pembungkus", dan senapati meneri ma "pembungkus". Sesudah mereka melakukan pilihan, para raja lalu mengurungkan niatnya menyelesaikan persoalan dengan kekuatan senjata, karena mereka masing- masing yakin, bahwa masa depan itu ada di tangan mereka. Perdamaian tidak terganggu. Kemudian Sunan Giri menyatakan kepada seorang abdinya bahwa bungkus yang menjadi bagian Senapati Mataram itu berarti penduduknya (wonge). Menurut Sunan Giri, maka penduduk yang tidak lagi menghormati perintah tuan pemilik negeri (ora anurur marang kang duwe bumi) akan diusir (ditundung). Oleh karena itu, tindakan Senapati Mataram sungguh bijaksana dengan mau menerima "pembungkus" itu. Istilah "pembungkus" dan "isi" ini boleh saja dikaitkan dengan buah nyiur. Dalam renungan-renungan mistik Jawa "pembungkus" dan "isi" dapat berarti "lahiriah, jazadi" dan "batiniah, rohani". Pangeran Surabaya, yang berasal dari keturunan pemimpin-pemimpin rohani, dalam legenda Jawa ini secara tepat dihubungkan dengan "isi" itu, dalam arti keagamaan. Persoalan apkahperlawanan antara pemimpin-pemimpin rohani dan "rakyat" (wonge) pada satu pihak, dan kekuasaan kerajaan raja-raja Mataram pada pihak lain sudah terjadi pada perempat terakhir abad ke-16, tidak dibicarakan di sini (ingat sajalah pada kericuhan-kericuhan Kajoran di Jawa Tengah pada perempat abad ke-17). Bagaimanapun, penerapan klasifikasi "lahiriah-batiniah" pada hubungan politik antara Mataram dan Jawa Timur merupakan hal yang perlu diperhatikan.
211 Pada permulaan abad ke-17 J.P. Coen mendengar bahwa lawan-lawan raja Mataram, seperti raja Pajang dan raja Tuban, telah melarikan diri ke Giri (Coolhaas, Coen, jil. VII, hlm. 461). Dalam Graaf, Sultan Agung (hlm. 86) nama Pangeran Mas dari Aros Baya disebutkan. Raja-raja dari Madura Barat (Aros Baya atau Aris Baya, kemudian Bangkalan) pada abad ke-17 telah mempunyai hubungan keluarga dengan para sunan dari Giri, menurut Sadjarah Dalem.
kekuasaannya di Jawa Timur terletak di atas dasar rohani yang kukuh, yang telah diletakkan oleh seorang ulama, yakni kakeknya itu.
Pemimpin agama keempat di Giri ini pasti telah lanjut sekali usianya. Pada tahun 1601, pelaut Belanda, Olivier van Noort, waktu singgah di Gresik (Noort, Reis, jil.I, hal. 141-142) mendengar bahwa raja tua itu berumur 120 tahun; istri-istrinya yang banyak itu mempertahankan hidupnya dengan menyusuinya seperti seorang bayi. Berita-berita dari Cina juga mengabarkan bahwa raja tua itu lebih dari seratus tahun umurnya. 212 Menurut cerita Jawa setempat, ia wafat pada tahun 1605 M. Tidak ada alasan untuk meragukan tahun kejadian ini.