4. Surabaya pada paruh pertama abad ke-16, legenda dan sejarah

XII-4. Surabaya pada paruh pertama abad ke-16, legenda dan sejarah

Apabila kita beranggapan bahwa "Pate Bubat" yang dimaksud Tome Pires itu dapat disamakan dengan penguasa di Terung, maka pada paruh pertama abad ke-16 para penguasa Islam kota-kota Tuban dan Surabaya - sebagai raja bawahan yang bersahabat dengan maharaja Majapahit "kafir" - seharusnya memperlihatkan sikap yang hampir sama. Menurut suatu kisah Jawa Tengah (lihat Bab II-10), mereka melakukan serangan terhadap kota kerajaan kuno itu bersama-sama dengan raja-raja Islam lainnya, tetapi dalam kronik lama mengenai penaklukan daerah yang dilakukan Demak pada zaman pemerintahan Sultan Tranggana, tahun 1527 tercatat sebagai tahun didudukinya Tuban, dan 1531 tercatat sebagai tahun ketika raja Surabaya mengakui kekuasaan maharaja baru di Jawa Tengah yang sudah beragama Islam. Tidak dapat diteliti lagi apakah Yang Dipertuan di Terung (raja Surabaya?) oleh Raja

232 Cerita-cerita legenda tentang pemimpin-pemimpin pertama jemaah-jemaah Islam di Gresik dan Surabaya, yaitu Raja Pandita dan Rahmat, dua bersaudara dari Cempa, telah diberitakan dalam Bab I-1. Yang agak janggal ialah bahwa baik keturunan para wali dari Giri, maupun keturunan raja-raja yang kemudian memerintah di Surabaya, tidak dianggap sebagai keturunan para perintis Islam yang pertama-tama itu. juga tidak disebutkan bahwa Sunan Gunungjati dari Cirebon seorang keturunan Jenal Kabir, yaitu saudara sepupu dua orang bersaudara dari Cempa itu, yang bersama mereka datang ke Jawa dan menetap di Grage. Menurut lagenda-lagenda orang suci Jawa Barat, yang disebutkan dalam Djajadiningrat, Banten (hlm. 106) yang bernama Zeinul-Kabir atau Zeinul-Kubra, cucu Husein, cucunya Muhammad, adalah moyang jauh Sunan Gunungjati. Silsilah ini - dan lainnya yang serupa - tentu saja tidak dapat dipercaya. Cerita-cerita tentang tokoh-tokoh legendaris yang mendahului para wali Jawa yang paling dihormati telah dicantumkan dalam Brandes, Pararaton (hlm. 224) dan - secara lebih ringkas - dalam Pigeaud, Literature (jil. II, hlm. 362). Makam-makam Islam tua (yang bertanda tahun) di Jawa Timur (lihat Bab I-1) memberikan kepastian bahwa mulai sekitar tahun 1400 M., dan mungkin bahkan sudah sejak abad ke-12, telah ada orang- orang Islam kaya yang hidup dan meninggal di Jawa. Dalam Djajadiningrat, Banten (hlm. 30 dan hlm. 247-251) telah dimuat suatu pembicaraan tentang sejarah legendaris Malik Ibrahim, yaitu orang yang pada tahun 1419 M. dimakamkan di Gresik.

memang telah dipindahkan ke Semarang, seperti yang dikatakan dalam cerita tutur Jawa itu (lihat cat. 212).

Ada kemungkinan, pada paruh pertama abad ke-16 pun (seperti pada paruh kedua abad itu dan pada abad ke-17) raja-raja daerah inti kerajaan kuno Majapahit, di Jawa Timur dan di daerah ujung timur Jawa, berusaha membangkang terhadap dinasti- dinasti baru di Jawa Tengah, yaitu dinasti Demak, dinasti Pajang, dan kemudian dinasti Mataram. Dalam uraiannya yang diromantisir mengenai pengepungan Kota Panarukan (yang disebutnya Pasuruan), Mendez Pinto, penulis yang berkebangsaan Portugis itu, menampilkan seorang pangeran dari Surabaya sebagai tokoh penting yang terlibat dalam pembunuhan terhadap Sultan Tranggana dari Demak. Mendez Pinto mengakhiri ceritanya tentang kericuhan di Demak sesudah meninggalnya Sultan Tranggana dengan pemberitahuan bahwa "Pate Sudayo" dari Surabaya telah dipilih sebagai raja oleh sidang raja-raja. Walaupun cerita tutur Jawa tidak memberitakan peristiwa ini, bukan hal yang tidak masuk akal apabila ada raja Jawa Timur yang mencoba untuk mencari keuntungan politik dari kekacauan yang timbul di ibu kota kerajaan Islam di Jawa Tengah yang baru saja dibenahi itu. Dalam Sadjarah Surabaya terdapat daftar pendek para penguasa Surabaya, yang mencantumkan nama Sunjaya. Mungkin kita boleh menghubung-hubungkan satu dengan yang lain. 233

Sesudah mengalahkan Aria Panangsang dari Jipang pada tahun 1549, raja Pajang di pedalaman (yaitu tokoh cerita Jawa, Jaka Tingkir), masih kerabat keluarga raja Demak, mencoba memulihkan kembali kerajaan Jawa Tengah. Tampaknya ini sudah sebagian dicapainya melalui ekspedisi militer dan dengan diplomasi damai. Daftar tahun peristiwa Jawa memberitakan tahun-tahun 1548 sampai 1577 sebagai masa perjuangan untuk menundukkan Kediri. Hal ini tercantum dengan penggunaan kata- kata yang menimbulkan dugaan bahwa penguasa kota penting tersebut masih atau kembali menjadi "kafir". Berita ini untuk sebagian dikuatkan oleh kronik Jawa lain, yang mengabarkan adanya pertempuran (yang dilakukan laskar Pajang) pada tahun-tahun 1577 dan 1578 untuk menundukkan Menang (yaitu, Memenang, Kediri) dan Wirasaba (Maja-Agung). 234 Daerah Wirasaba terletak di daerah aliran Sungai Brantas seperti Kediri, semula termasuk wilayah pengaruh para penguasa Surabaya. Rupanya, raja Pajang itu sedang berusaha menanam kekuasaan di tanah pedalaman Jawa Timur, sepanjang Sungai Brantas. (Perluasan wilayah Kerajaan Demak, kira-kira setengah abad sebelumnya, sebagian besar telah terlaksana lewat ekspedisi laut).

233 Untuk "Sajarah Surabaya" lihatlah koleksi Brandes no. 474 di Museum Nasional, Jakarta. Dalam Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah "Surabaya" dan "Ngampel Denta"), telah dicantumkan naskah-naskah Jawa, yang memuat cerita-cerita tutur yang mungkin berisi keterangan penting tentang sejarah kota tersebut. Bahan ini hampir belum pernah dipelajari. Para penulis sejarah di Jawa Tengah pada abad ke-18 dan ke-19 tidak memperhatikan sejarah daerah-daerah di luar wilayah inti Kerajaan Mataram.

234 Cerita tutur tentang perang merebut Kediri, yang kiranya berakhir pada tahun 1577 dengan didudukinya kota itu oleh orang- orang Islam, telah diberitakan dalam Bab XI-5, karena dikatakan bahwa Sunan Prapen dari Giri pada mulanya sudah datang di Kediri juga. Berita-berita tentang ekspedisi-ekspedisi Pajang di Jawa Timur akan dibicarakan dalam Bab XIX.